• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Neuropati Diabetik 1.Definisi 1.Definisi

4. Diagnosis Neuropati Diabetik

Sampai saat ini masih terus dikembangkan dan diteliti cara terbaik untuk deteksi dan diagnosis neuropati diabetik, khususnya untuk kepentingan klinis-praktis dalam praktek sehari-hari. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis neuropati diabetik menurut Djokomoeljianto (1997), Misnadiarly (2006), dan Waspadji (2006) adalah:

a. Gejala klinis neuropati

Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan atau parestesia atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan distal dan atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan deformitas pada kaki dan tangan, dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala

otonom (Ginsberg, 2008). Sedangkan menurut Baradero (2009) meliputi, riwayat rasa nyeri, kesemutan ekstermitas, tekanan darah ortostatik, kekuatan otot, refleks, fungsi sensori.

Manifestasi klinis neuropati diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinisnya menjadi bervariasi diantaranya : Kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti disobek (Sudoyo, 2007).

b. Clinical Neurological Examination (CNE)

Akhir-akhir ini pemeriksaan CNE dipergunakan untuk deteksi maupun diagnosis polineuropati diabetik dalam praktek klinis sehari-hari. CNE merupakan salah satu modifikasi dari pemeriksaan Neuropathy Dissability Score (NDS), oleh karena NDS dianggap lebih rumit dan sulit diaplikasikan dalam pemakaian klinis praktis. CNE meliputi kajian fungsi sensoris, kekuatan otot kaki, dan refleks pergelangan kaki, serta pada masing-masing pemeriksaan diberikan skor tertentu. Pemeriksaan CNE meliputi tes pin prick, reflex tendo Achilles, dan sentuhan ringan (kapas) (Valk GD et al.,1998).

c. Tes vibrasi dengan garputala

Tes vibrasi dengan garputala dapat dipakai sebagai alternatif untuk menilai sensasi getar bila alat Biotesiometer untuk menilai Vibration Perception Threshold (VPT) tidak tersedia (Boulton, 1998). Tes vibrasi merupakan salah satu langkah awal dalam pemeriksaan somatosensorik

(Harrison, 1999). Pemeriksaan sensasi primer dengan tes vibrasi ini untuk melihat fungsi mekanoreseptor, terutama korpus pacini, yang mungkin pada pendeerita DM mengalami masalah pada fungsi saraf ini (Harrison, 1999).

Rasa vibrasi diperiksa dengan garpu tala, lebih baik garpu tala yang besar yang memberikan vibrasi 128 Hz dalam satu detik. Kelemahan vibrasi dengan menggunakan garpu tala ini cukup lambat untuk penggunaan kuantitatif karena membutuhkan antara 15 dan 20 detik untuk merusak dibawah ambang penerimaan. Vibrasi biasanya diperiksa pada tulang yang menonjol, terutama maleolus pada pergelangan kaki, patella, spina iliaca interior, processus spinosus dari corpus vertebra, sendi metacarpal-falangeal (ruas jari), processus styloideus dari ulna, dan siku. Tempat kontrol tes vibrasi adalah sternum dan dahi. Pemeriksa dapat membandingkan ambang pada tempat yang ditunjuk pada pasien dengan diri sendiri. Perkiraan kasar hilangnya derajat rasa vibrasi dapat dilakukan dengan menghitung detik dimana pemeriksa dapat merasakan rasa vibrasi lebih lama dari pada pasien. pasien harus jelas bahwa perhatian diarahkan pada rasa vibrasi dan bukan hanya tekanan ujung garpu tala (Delf, 1996).

d. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)

Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Prinsip kerjanya adalah merekam gelombang potensial yang ditimbulkan baik oleh saraf maupun otot.

melalui prosedur-prosedur stimulasi listrik dan teknik perekaman dapat mempelajari transmisi dan eksitabilitas saraf (Endang, 1999)

. Gelombang potensial dapat ditimbulkan dalam otot dengan memberikan stimulus pada saraf motorik yang mengelolanya, untuk mengukur kecepatan hantaran saraf motorik yaitu dengan merangsang saraf motorik pada dua tempat disebelah proksimal dan distal. Kerusakan pada akson yang berat, mengakibatkan aksi potensial tidak dapat ditimbulkan (Vinik,2000; Endang,1999). Evaluasi saraf sensorik dilakukan dengan memberikan stimulus pada saraf sensoris. Aksi potensial saraf sensoris dapat direkam dengan elektrode permukaan yang dililitkan pada jari. pengukuran kecepatan hantaran saraf sensoris dengan menghitung jarak dari stimulus tunggal sampai elektrode perekam dibagi dengan latensi. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan dalam menghantarkan impuls dari tempat perangsangan sampai akson terminal dan transmisi dari akson terminal ke motor end plate, sehingga timbul potensial aksi (Endang, 1999).

Elektromiograf mendeteksi potensi listrik yang dihasilkan oleh sel otot ketika otot aktif dan ketika sedang beristirahat. Pada neuropati, akan didapatkan karakteristik seperti: Amplitudo potensial aksinya dua kali normal disebabkan peningkatan jumlah serabut saraf per motor unit, peningkatan durasi potensial aksi, penurunan jumlah motor unit dari otot (Boulton, 2004).

e. Test Monofilamen

Beberapa prinsip umum mengenai pemeriksaan sensorik: Pertama, sebaiknya diingat bahwa pemeriksaan tergantung pada respon pasien yang subjektif; karena itu, membedakan respon tergantung pada tingkat kesadaran, motivasi, dan intelegensi pasien dan juga keterampilan dimana pemeriksa memberikan tugas yang jelas. Kedua, pemeriksaan sensorik sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang lelah. Ketiga, pemeriksaan sensorik pada pasien yang tidak mempunyai keluhan neurologik sebaiknya cukup singkat. Keempat, pasien diperiksa dengan mata tertutup selama pemeriksaan sensasi primer (Delf, 1996).

Monofilamen 10g telah dipublikasikan secara luas sebagai salah satu alat deteksi neuropati diabetik. Alat ini dipublikasikan sebagai sarana yang murah, praktis, dan mudah digunakan untuk deteksi hilangnya sensasi proteksi. Alat ini terdiri dari sebuah gagang plastik yang dihubungkan dengan sebuah nilon monofilamen, sehingga akan mendeteksi kelainan sensoris yang mengenai serabut saraf besar (Armstrong, 2000).

Berbagai jenis dan ukuran monofilamen telah beredar di pasaran. Salah satu alat yang sering dipakai adalah Semmes-Weinstein monofilament, dengan variasi ukuran 1 g, 10 g, dan 75 g. Menurut Levin ME dkk (1991), ukuran standar monofilamen yang biasa dipakai adalah 10 g dengan ketebalan 5,07. Tes ini memeriksa fungsi reseptor Merkel dan Meissner dan hubungannya dengan serabut saraf diameter besar (Perkins BA, 2001 dan Boulton,1998).

Beberapa penelitian memakai cara dan interpretasi yang berbeda-beda dalam penggunaan monofilamen. Pemeriksaan monofilamen pada penelitian ini menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada tahun 2011, yaitu:

1) Menggunakan monofilamen ukuran 10g (5,07) 2) Meminta pasien membuka kaos kaki dan sepatunya.

3) Menjelaskan prosedur kepada pasien dan tunjukkan kepada pasien monofilamen-nya.

4) Sebelum melakukan pemeriksaan pada kaki responden, monofilamen diuji cobakan pada sternum atau tangan dengan tujuan pasien dapat mengenal sensasi rasa dari sentuhan monofilamen. 5) Melakukan pemeriksaan pada salah satu tungkai yang memiliki

ulkus dengan kedua mata responden tertutup.

6) Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa, penekanan dilakukan selama 2 detik, kemudian segera ditarik.

7) Gunakan monofilamen pada 10 titik lokasi di kaki kiri dan kanan seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.2 Lokasi Test Monofilamen

- Pemilihan titik lokasi yang acak akan mencegah pasien dari perkiraan area selanjutnya.

- Jika terdapat ulkus, kalus, atau skar di kaki, gunakan monofilamen pada area yang berdekatan.

- Jika pasien telah mengalami amputai, test dilakukan pada titik lokasi yang memungkinkan saja.

8) Pada masing-masing lokasi dilakukan tiga kali pemeriksaan, jika pasien terindikasi tidak merasakan monofilamen.

9) Penilaian hasil pemeriksaan :

- Positif: dapat merasakan tekanan monofilamen dan dapat menunjukkan lokasi dengan tepat setelah monofilamen di angkat, pada 2-3 kali pemeriksaan.

- Negatif: tidak dapat merasakan tekanan atau tidak dapat menunjukkan lokasi dengan tepat, pada 2 dari 3 kali pemeriksaan.

10)Hasil positif skor =1, hasil negatif skor = 0. Sehingga skor total pada satu kaki bervariasi antara 0-10.

11)Dalam mendokumentasikan hasil test monofilamen, jika tertulis 6/9 maka dapat diartikan bahwa pasien dapat merasakan sentuhan monofilamen pada enam titik lokasi dan hanya dilakukan test pada sembilan titik area dikarenakan ibu jari pasien yang telah diamputasi.

C. Ulkus Diabetika

Dokumen terkait