• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Hasil penelitain pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa berdasarkan umur sebagian besar pasien berada di antara usia 51-80 tahun yaitu sebanyak 126 orang (80,2%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Allivia Firdahana (2010) dalam penelitiannya tentang Perbandingan Nilai Faal Paru Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Stabil Dengan Orang Sehat diperoleh hasil bahwa penderita PPOK sebagian besar berada dalam usia antara 66-75 tahun yaitu sebanyak 17 orang (56,67%). Dalam penelitiannya ini Allivia menggunakan responden sebanyak 30 orang. Menurut Djojodibroto dan R.Darmanto (2009) dalam Kemalasari (2017), karakteristik pasien PPOK juga lebih dominan pada kelompok usia di atas 50 tahun dikarenakan PPOK merupakan penyakit yang muncul setelah terpapar dengan berbagai macam iritan dalam waktu yang lama.

Menurut Hisyam, dkk (2001) dalam Kemalasari (2017) umumnya penderita PPOK kebanyakan berusia lanjut, karena terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada system pernapasan dan menurunnya aktifitas fisik pada kehidupan sehari-hari.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar pasien PPOK adalah pasien laki-laki yaitu sebanyak 128 responden (81,5%). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Permatasari (2015) dalam penelitiannya diketahui bahwa pasien laki-laki (96,9%) lebih mendominasi PPOK dengan sebaran usia terbanyak pada rentang usia 56-75 tahun (78,1%). Secara umum, karakteristik pasien PPOK lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa PPOK berhubungan dengan kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2001, sebanyak 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merokok perokok (PDPI, 2011 dalam Kemalasari, 2017).

Lebih lanjut dari hasil penelitian diperoleh pasien PPOK sebagian besar suku batak yaitu sebanyak 122 orang (77,7%), beragama Kristen yaitu sebanyak 106 orang (67,5%), tingkat pendidikan sebagian besar pasien berpendidikan SMA yaitu sebanyak 88 orang (56,1%), status pernikahan sebagian besar pasien adalah menikah yaitu sebanyak 145 orang (92,4%).

4.2.2 Faktor Risiko

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa faktor risiko pasien PPOK di RS Dr.Pirngadi dan RSUP HAM berdasarkan riwayat keluarga diketahui bahwa seluruh pasien (100%) memiliki keluarga yang menderita penyakit PPOK dan sebagian besar keluarga pasien yang menderita PPOK adalah saudara kandung yaitu sebanyak 86 orang (54,8%). Dari Tabel 4.3 pasien PPOK sebagian besar bekerja sebagai pedagang yaitu sebanyak 71 orang (45,2%) dan PNS/Pensiunan PNS yaitu sebanyak 69 orang (43,9%). Menurut GOLD/Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (2011) dalam Kemalasari (2017) pasien PPOK juga dominan kepada yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja.

Dalam hal ini GOLD menyebutkan bahwa itu terjadi karena adanya paparan dari lingkungan kerja. Serta hubungan yang konsisten antara paparan lingkungan kerja dan PPOK tersebut sudah diobservasi dengan penelitian epidemiologi multipel berkualitas tinggi.

Dari hasil penelitian pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kebiasaan merokok subyek penelitian berdasarkan klasifikasi perokok sebagian besar pasien mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 118 orang (75,2%), lamanya >45 tahun sebanyak 90 orang (57,3%). Dan dari 157 pasien PPOK, sebanyak 39 pasien sudah berhenti merokok sebagian besar lamanya sudah >10 tahun yaitu sebanyak 22 orang (14,0%). Menurut Mukti (2017) berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.

Banyaknya batang rokok yang pasien isap dalam sehari sebagian besar adalah 2 bungkus yaitu sebanyak 96 orang (61,1%). Berdasarkan klasifikasi perokok tersebut, maka pasien PPOK yang berobat ke RS Dr. Pirngadi dan RSUP HAM Medan pada tahun 2016-2017 sebagian besar tergolong perokok aktif yaitu sebanyak 119 orang (75,2%).

Dari hasil penelitian pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa kebiasaan merokok subyek penelitian berdasarkan ketergantungan fisik terhadap rokok dilihat dari Indeks Brinkman (IB), sebagian besar pasien tergolong perokok berat yaitu sebanyak 141 orang (89,8%). Jenis rokok yang digunakan pasien PPOK

sebagian besar adalah jenis rokok kretek yaitu sebanyak 87 orang (55,4%). Cara pasien menghisap rokok sebagian besar dihisap dalam sebanyak 104 orang (66,2%). Pasien PPOK sebagian besar merokok setiap saat sebanyak 120 orang (76,4%). Meskipun sakit dan harus beristirahat sepanjang hari sebagian besar pasien PPOK tetap merokok yaitu sebanyak 141 orang (89,8%). Pasien PPOK lebih sering merokok pada saat setelah bangun tidur dibandingkan saat lainyaitu sebanyak 117 orang (74,5%). Jarak waktuantara bangun pagi dengan rokok pertama yang dihisap pasien PPOK adalah antara 6-30 menit yaitu sebanyak 73 orang (46,5%). Pasien PPOK merasa sulit untuk menghilangkan aktivitas merokok sebagian besar pada pagi hari sebanyak 133 orang (84,7%). Seluruh pasien PPOK merasa kesulitan untuk tidak merokok, di tempat bebas rokok (100%). Berdasarkan skor yang diperoleh, pasien PPOK di RS Dr. Pirngadi dan RSUP HAM tergolong sangat tinggi sebanyak 105 orang (66,9%) dan tinggi ada 52 orang (33,1%).

Hasil penelitian pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa kebiasaan merokok subyek penelitian berdasarkan alasan pasien berhenti merokok seluruh pasien menyatakan karena sakit, seperti paru, jantung, stroke dan lain-lain (100%).

Hasil penelitian pada tabel tabel 4.7 menunjukkan bahwa faktor lain yang berkaitan dengan risiko PPK pasien PPOK mengatakan bahwa seluruh anggota keluarga/orang lain (100%) di sekitar pasien PPOK mempunyai kebiasaan merokok dan sebagian besar adalah teman dekat sebanyak 46 orang (29,3%).

Pasien PPOK sering terpapar dengan asap/sisa pembakaran (100%). Paparan asap tersebut berasal dari asap kendaraan bermotor yaitu sebanyak 101 orang (64,3%).

Lamanya pasien PPOK terpapar oleh asap tersebut seluruh pasien (100%) mengatakan >10 tahun. Berdasarkan riwayat penyakit penyerta, selain menderita PPOK seluruh pasien (100%) mempunyai riwayat penyakit lain. Dan penyakit penyerta tersebut adalah penyakit asma yaitu sebanyak 117 orang (74,5%).

Lamanya pasien mengidap penyakit tersebut, seluruh pasien PPOK menjawab >10 tahun (100%).

Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK, namun merokok bukan satu-satunya faktor risiko PPOK. Faktor terjadinya PPOK selain

rokok antara lain pajanan terhadap debu organik, anorganik, bahan kimia dan polusi udara yang dihasilkan dari pembakaran kayu atau bahan biomasa lainnya.

Definisi PPOK menurut GOLD/Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Diseas (2015) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi pada paru dan saluran pernapasan terhadap partikel dan gas berbahaya.

Eksaserbasi dan penyakit komorbid berperan serta terhadap keparahan masing-masing pasien (Silmi, 2015).

Keluhan sesak napas banyak diderita karena seringnya terpapar oleh polusi udara yang kotor, debu, kebiasaan merokok, dan kurangnya memakai alat 6 pelindung diri, serta infeksi tuberculosis yang menahun sehingga terjadi penurunan fungsi paru (PDPI, 2011 dalam Ali, 2017).

Penderita PPOK umumnya mempunyai riwayat pajanan dengan asap rokok, walaupun ditemukan beberapa yang tidak. Respon inflamasi yang terjadi secara terus-menerus menghasilkan suatu akumulasi kerusakan pada saluran napas dan parenkim paru. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase (Mohammad Afien Mukti, 2017).

4.2.3 GEJALA KLINIS/PERJALANAN PENYAKIT DAN RIWAYAT PENGOBATAN

4.2.3.1 Gejala Klinis

Hasil penelitian pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa gejala klinis yang dialami pasien PPOK di RS Dr.Pirngadi dan RSUP HAM sebagian besar pasien sesak nafas yaitu sebanyak 77 orang (49%). Sesak nafas pada pasien PPOK sebagian besar terjadi saat melakukan aktivitas sedang (berjalan cepat, naik tangga) yaitu sebanyak 66 orang (42%) dan saat melakukan aktivitas berat (berlari atau olahraga berat lainnya) sebanyak 56 orang (35,7%). Gejala sesak napas berkurang menurut sebagian besar pasien PPOK adalah sesudah menggunakan obat pelega yaitu sebanyak 109 orang (69,4%). Pasien PPOK sebagian besar mengalami batuk terutama terjadi saat bangun tidur yaitu sebanyak 73 orang (46,5%). Apabila pasien PPOK batuk berdahak, banyaknya dahak yang

dikeluarkan pasien PPOK dalam satu kali berdahak sebagian besar >1 sendok makan yaitu sebanyak 117 orang (74,5%). Sebagian besar berwarna hijau kekuningan yaitu sebanyak 89 orang (56,7%).

Hal ini sesuai dengan pendapat Sylvia A. Price dalam bukunya berupa

“Patofisiologi tahun 2006” yaitu terdapat beberapa tanda dan gejala dari PPOK, antara lain: dispneu, batuk, pink puffer, produksi sputum, barrel chest, ronkhi atau wheezing. Pink Puffer ialah timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang berarti. Biasanya dispneu timbul antara usia 30-40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah kurus.

Pada pasien ini mengalami penurunan berat badan yang signifikan, dari 65 kg menjadi 55 kg. Barrel chest berupa kondisi dimana letak dari diafragma lebih rendah dan bergerak tidak lancar, kifosis, diameter anteroposterior bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah (Price, 2006 dalam Fitria, 2017).

4.2.3.2 Perjalanan Penyakit

Hasil penelitian pada tabel 4.9 berdasarkan perjalanan penyakit pasien PPOK di RS Dr.Pirngadi dan RSUP HAM menunjukkan usia pasien didiagnosa dengan penyakit paru obstrukstif kronik (PPOK) sebagian besar berada diantara 46-60 tahun yaitu sebanyak 71 orang (45,2%). Kondisi pasien PPOK saat ini sebagian besar tidak stabil sebanyak 63 orang (40,1%). Selama ini seluruh pasien PPOK (100%) pernah mengalami kekambuhan dan dirawat di rumah sakit, karena penyakit PPOK. Dan sebagian besar mendapat perawatan gawat darurat sebanyak 105 orang (66,9%).

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus

dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel (PDPI, 2011).

4.2.3.3 Riwayat Pengobatan

Hasil penelitian pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa berdasarkan pemeriksaan spirometri pasien PPOK di RS Dr.Pirngadi dan RSUP HAM diketahui bahwa untuk mengobati penyakit PPOK yang dialami, sebagian besar pasien PPOK menggunakan obat hanya pada saat serangan (kambuh) saja yaitu sebanyak 102 orang (65%). Untuk mengobati penyakit PPOK yang dialami, pasien PPOK sebagian besar mendatangi Dokter Spesialis Paru yaitu sebanyak 113 orang (72%). Seluruh pasien PPOK (100%) menyatakan bila pasien berobat ke dokter, dokter ada memberikan keterangan tentang obat yang diberikan kepada responden. Keterangan yang diberikan dokter kepada pasien PPOK terkait dengan obat yang diberikan kepada pasien PPOK adalah sebagian besar tentang cara/teknik menggunakan obat, waktu/lama menggunakan obat yang diberikan dan efek samping obat yang diberikan dan cara menghindarinya yaitu sebanyak 84 orang (53,5%). Untuk mengobati penyakit PPOK yang dialami, bentuk sediaan obat yang diberikan dokter dan digunakan pasien adalah sebagian besar obat semprot yaitu sebanyak 103 orang (65,6%). Obat semprot yang digunakan pasien PPOK sebagian besar merek Turbuhaler yaitu sebanyak 85 orang (54,1%).

Seluruh pasien (100%) mengatakan bahwa pada saat menggunakan obat semprot,

dokter memberikan penjelasan mengenai penggunaan obat semprot. Pasien PPOK yang menggunakan obat pelega sebagian besar menggunakan LABA (Long Acting Beta-2 Agonist) dan LAMA (Long Acting Muscarinic Antagonist) yaitu sebanyak 68 orang (43,3%). Obat diperoleh pasien PPOK sebagian besar dari praktek dokter yaitu sebanyak 101 orang (64,3%). Biaya pengobatan PPOK yang dialami pasien PPOK dilaksanakan oleh BPJS yaitu sebanyak 122 orang (77,7%).

4.2.3.4 Pemeriksaan Spirometri

Hasil penelititan pada tabel 4.11 menunjukkan bahwa seluruh pasien PPOK (100%) di RS Dr.Pirngadi dan RSUP HAM pernah menjalani pemeriksaan spirometri. Pasien PPOK sebanyak 129 orang (82,2%) mengetahui kegunaan pemeriksaan spirometri. Dan sebagian besar pasien PPOK mengetahui kegunaan pemeriksaan spirometri adalah untuk mengetahui kondisi/faali paru yaitu sebanyak 57 orang (36,31%). Sebelum mendapat pengobatan untuk PPOK yang dialami pasien, seluruh pasien (100%) menjalani pemeriksaan spirometri terlebih dahulu. Pada pemeriksaan spirometri tersebut, nilai VEP1 yang didapatkan dari pasien PPOK sebagian besar adalah >30% yaitu sebanyak 92 orang (58,6%).

Selama menjalani pengobatan, sebagian besar pasien PPOK mengatakan pemeriksaan spirometri sudah dilakukan >2 kali yaitu sebanyak 105 orang (66,9%). Setelah mendapat pengobatan sebagian besar pasien PPOK melakukan pemeriksaan spirometri kembali yaitu sebanyak 121 orang (77,1%). Dari pemeriksaan spirometri tersebut, kondisi PPOK yang dialami pasien PPOK sebagian besar menunjukkan perbaikan yaitu sebanyak 104 orang (66,24%).

Menurut PDPI (2011) dalam Ali (2017), kelainan obstruksi yang menyebabkan penurunan VEP1 disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurum terjadi akibat kerusakan parenkim paru. Keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil yang berkolerasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala khas pada PPOK, tetapi pada bekas TB dapat terjadi penurunan VEP1dan memilik gejala yang mirip dengan PPOK. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan

udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, yang terlihat sabagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme umum timbulnya sesak napas pada aktivitas.

Keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil yang berkolerasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala khas pada PPOK, tetapi pada bekas TB dapat terjadi penurunan VEP1 dan memilik gejala yang mirip dengan PPOK. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi 5 seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, yang terlihat sabagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme umum timbulnya sesak napas pada aktivitas (PDPI, 2011 dalam Ali, 2017).

Dalam keadaan normal paru, pada pemeriksaan spirometri tidak terjadi panurunan nilai dari kapasitas vital dan volume paru (Guyton and Hall, 2012).

Pada kelainan spirometri campuran (Rastriksi dan Obstruksi) disebabkan oleh kombinasi dari kelainan obstuksi dan restriksi. Sehingga pada pemeriksaan spirometri didapatkan nilai rasio VEP1/KVP terjadi penurunan (dalam Ali, 2017).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Seluruh subyek penelitian yang terdiri dari 157 orang pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

2. Faktor risiko yang utama bagi pasien-pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah riwayat keluarga, pekerjaan, dan kebiasaan merokok.

3. Pada lokasi penelitian, pengobatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang tepat dan benar, disertai penjelasan tentang cara dan alasan penggunaan obat, telah diberikan dokter yang bertugas di puskesmas pemerintah kepada sebagian besarpasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

4. Pengobatan yang digunakan pasien PPOK rata-rata dalam bentuk sediaan obat semprot. Jenis obat semprot yang digunakan oleh kebanyakan pasien adalah Turbuhaler dan obat pelega yang paling banyak digunakan adalah dalam bentuk sediaan LABA + LAMA + KORTIKOSTEROID.

5. Semua pasien PPOK diperiksa fungsi parunya dengan menggunakan tes spirometri.

5.2. SARAN

Berdasarkan penelitian tentang gambaran kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, gejala klinis, faktor risiko dan penatalaksanaanya di kalangan pasien Rumah Sakit Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Dr.Pirngadi, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah :

1. Untuk fasilitas pelayanan kesehatan

Dokter/petugas kesehatan lainnya yang bertugas di pelayanan kesehatan, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintah lainnya, hendaknya meningkatkan peran sertanya dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang

bersifat pencegahan, melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang berbagai hal berkenaan dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronikdan faktor risikonya.

2. Bagi pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik dan masyarakat umumnya Diharapkan meningkatkan keperdulian terhadap gaya hidup sehat, menghindari berbagai faktor risiko, dan meningkatkan pengetahuan di bidang kesehatan, agar tidak sampai mengidap penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Firdahana A. 2010. Perbandingan Nilai Faal Paru Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Stabil Dengan Orang Sehat. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Anderson JA. 2008. Effect of pharmacotherapy on rate of decline of lung function in chronic obstructive pulmonary disease: results from the TORCH study.

178(4):332-8.

BarnesPJ. 2016. Inflammatory mechanisms in patients with chronic obstructive pulmonary disease. JAllergy Clin Immunol138(1): 16-27

Bernstein, J.A. 2013. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. USA.73-102.

Brusasco V. 2015. Interpretative strategies for lung function tests.26(5): 948-68.

Permatasari C.Y. 2015. Studi Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di RSUD DR. Soetomo Surabaya.

Ringkasan. ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga.

Saftarina F., Anggraini, D.I.,Ridho M. 2017. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Pasien Laki-Laki Usia 66 Tahun Riwayat Perokok Aktif dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Tanjung Sari Natar. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Jurnal Agromed Unila, Volume 4, Nomor 1, Juni 2017.

Hogg JC, 2012. 4:435-59. The pathology of chronic obstructive pulmonary disease. Annual review of pathology.

Jones PW. 2011. Health status and the spiral of decline. COPD 2009; 6(1):59-63.

Kemalasari, Nadia. 2017. Gambaraan Faal Paru VEP1 dan KVP Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode 2016. Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran.

Universitas Sumatera Utara. Repositori Institusi USU.

Kesten S., Lancet. 2012. Effect of tiotropium on outcomes in patients with moderate chronic obstructive pulmonary disease (UPLIFT): a prespecified subgroup analysis of a randomised controlled trial.374(9696):1171-8.

McBurnie MA., Lancet. 2017. International variation in the prevalence of COPD.

370(9589):741-50.

Mukti M.A. 2017. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Tinjauan Kepustakaan Radiologi. PPDS Pulmonologi Dan Kedokteran Respirasi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Ali M. 2017. Gambaran Kelainan Spirometri pada Pasien Bekas TB yang Mengalami Sesak Napas di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Program Studi Pendidikan Dokter.Fakultas Kedokteran.

UniversitasMuhammadiyah Surakart.

Naunheim K.2013.A randomized trial comparing lung-volume-reduction surgery with medical therapy for severe chronic obstructive pulmonary disease.

Nengl J Med 2003; 348(21):2059-73.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PPDI). 2011. Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan di Indonesia.

Riyanto BS.2013.H.Isyam B.Ajaar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departmen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

374(9696):1171-8.Lancet.

Rochester CL. 2014.An official European Respiratory Society statement on physical activity in COPD. Eur Respir J; 44(6):1521-37.

Kaffah S,Yuniadi Y, Samoedro E. 2017. Atrial Fibrillation in Chronic Obtruktive Pulmonary Disease. Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 36, No. 2April - Juni 2015. ISSN 0126/3773. Review Article.

Thomsen M. 2013. Characteristics and outcomes of chronic obstructive pulmonary disease in never smokers.The Lancet Respiratory medicine 2013, 1(7):543-50.

Van Eerd EA. 2016. Smoking Cessation For People With Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Vollmer WM. 2011. COPD in Never Smokers: Results From The Population-Based Burden Of Obstructive Lung Disease Study. 139(4):752-63.

Lampiran 1.

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON RELAWAN/SUBYEK PENELITIAN

Bapak, Ibu, Sdr (i) Yth, Pertama sekali saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Sdr (i), yang telah berkenan membaca lembar penjelasan ini dan menerima penjelasan tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk menyelesaikan tugas akhir program pendidikan Sarjana Kedokteran, Untuk itu, saya: Rishi Pannir Selvam, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, NIM: 130100439, akan melaksanakan penelitian yang berjudul:

Gambaran Karakteristik (Faktor Risiko, Gejala Klinis/Perjalanan Penyakit, Riwayat Pengobatan, dan Pemeriksaan Spirometri), Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang Berobat ke Rumah Sakit Dr Pirngadi dan

RS Haji Adam Malik, Medan (Januari 2016-Juni 2017).

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah salah satu penyakit sistem pernapasan yang didasari oleh proses inflamasi, akibat kebiasaan merokok dan terpapar dengan zat berbahaya, yang berlangsung lama (kronis). Penyakit ini akan menimbulkan kerusakan paru dan saluran pernapasan yang menetap, sehingga menyebabkan angka kesakitan yang tinggi dan penyebab utama kematian di seluruh dunia. Dengan demikian, penyakit ini akan menurunkan produktivitas dan kualitas hidup pasiennya, serta meningkatkan biaya pemeliharaan kesehatan/

perawatan, baik untuk perorangan atau masyarakat luas secara nasional maupun global.

Penyakit ini dapat dicegah atau ditatalaksana agar tidak berlanjut ke tingkat yang lebih parah. Untuk itu perlu diperoleh data tentang gambaran karateristik pasien penyakit paru obstruktif kronik/PPOK, yang mencakup faktorrisiko, gejala klinis/perjalanan penyakit, riwayat pengobatan, dan pemeriksaan spirometri, yang diperlukan untuk menetapkan bahwa seorang pasien adalah penderita PPOK.

Data yang diperoleh diharapkan akan menjadi masukan bagi instansi terkait, dalam penyusunan program penyediaan dana dan sarana untuk perbaikan upaya pencegahan dan penatalaksanaan, pasien PPOK di tempat pelayanan kesehatan, baik secara perorangan ataupun bagi masyarakat luas. Untuk keperluan tersebut saya akan memberikan lembar pertanyaan (kuesioner), yang akan diisi sesuai dengan data rekam medis Bapak, Ibu, Sdr (i) sekalian dan beberapa pertanyaan yang secara langsungakan dijawab oleh Bapak, Ibu, Sdr (i). Penelitian ini tidak memberikan akibat yang dapat merugikan Bapak, Ibu, Sdr (i), dan saya berharap agar Bapak, Ibu, Sdr (i) sekalian bersedia menjawab setiap pertanyaan yang diberikan, dengan sejujur-jujurnya.

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan disebarluaskan, serta hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian ini saja. Bila diminta, data hanya akan diberikan kepada instansi terkait yang resmi,yang mempunyai kewenangan untuk keperluan perbaikan sistem pelayanan kesehatan.

Bagi Bapak, Ibu, Sdr (i) yang bersedia sebagai relawan penelitian ini, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent). Peneliti juga akan memberikan wang pengganti transport dan lain-lain sebesar Rp 20.000 untuk setiap relawan. Semoga keikutseraanAnda sebagai relawan penelitian ini akan memberikan manfaatbagi kita semua. Terima kasih.

Bagi Bapak, Ibu, Sdr (i) yang bersedia sebagai relawan penelitian ini, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent). Peneliti juga akan memberikan wang pengganti transport dan lain-lain sebesar Rp 20.000 untuk setiap relawan. Semoga keikutseraanAnda sebagai relawan penelitian ini akan memberikan manfaatbagi kita semua. Terima kasih.

Dokumen terkait