• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran karakteristik (faktor risiko, gejala klinis/perjalanan penyakit, riwayat pengobatan, dan pemeriksaan spirometri), pasien PPOK yang berobat ke, Rumah Sakit H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Dr.

Piringadi Medan.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui faktor risiko yang dipunyai oleh pasien PPOK b. Mengetahui gejala klinis yang dialami oleh pasien PPOK c. Mengetahui perjalanan penyakit pasien PPOK

d. Mengetahui riwayat pengobatan yang pernah diterima oleh pasien PPOK

e. Mengetahui pengobatan yang digunakan pasien PPOK saat ini

f. Mengetahui persentase pasien PPOK yang diperiksa fungsi parunya dengan menggunakan spirometri, untuk keperluan penegakan diagnosa dan evaluasi hasil penatalaksanaan PPOK ketika berobat keRumah Sakit H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Dr. Piringadi Medan.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat bagi sistem pelayanan kesehatan:

Data yang diperoleh dari penelitian ini, tentang gambaran karakteristik berupa faktor risiko, gejala klinis/perjalanan penyakit, riwayat pengobatan

dan hal-hal lain yang diperlukan untuk penegakan diagnosa PPOKdan evaluasi hasil penatalaksanaannya, dapat digunakan sebagai masukan bagi instansi kesehatan dan berbagai pihak yang terkait,untuk menyusun program perbaikan usaha pencegahan, penanggulangan PPOKnya sendiri dan juga komplikasinya, secara tepat sasaran.

2. Manfaat bagi pendidikan dokter:

Memberikan masukan kepada institusi pendidikan dokter di Indonesia, tentang kondisi PPOK di kalangan masyarakat, dan mendorong peningkatan kemampuan komunikasi efektif dokter-pasien PPOK, sehingga meningkatkan penghayatan tentang kepentingan adherensi masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya, khususnya PPOK.

3. Manfaatbagi peneliti:

Meningkatkan kepekaan terhadap masalah kesehatan di kalangan masyarakat, khususnya mengenai penyakit PPOK dan meningkatkan penghayatan tentang pentingnya komunikasi efektif di antara peneliti dan subyek penelitian (pasien PPOK) dan keluarganya, serta meningkatkan keterampilan dalam pelaksanaan penelitian bidang kesehatan

4. Manfaat bagi pasien PPOK:

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan PPOK, sehingga pasien PPOK dapat memperoleh penatalaksanaan PPOK yang sesuai dan tepat, dengan biaya terjangkau.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1 Definisi

Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) adalah penyakit paru kronik ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru akibat paparan partikel atau gas beracun yang berbahaya.

2.1.2 Patogenesis PPOK

Adanya paparan dari berbagai faktor risiko menyebabkan interaksi faktor host dengan faktor lingkungan sehingga menyebabkan perubahan patologi berupa pathological triad pada PPOK, yaitu inflamasi yang menetap, gangguan keseimbangan protease-antiprotease dan stres oksidatif. Keadaan ini memicu terjadinya metaplasia dan hiperplasia sel goblet/mukus, hipersekresi mukus, fibrosis, perubahan pada otot polos dan destruksi jaringan paru, yang akan meghasilkan gejala klinis berupa sesak napas (Fischer et al, 2011).

2.1.2.1. Inflamasi yang Menetap

Proses inflamasi, sangat berperan dalam patogenesis PPOK karenapada proses ini akan dilepaskan mediator inflamasiyang akan merusak jaringan paru dan menggnggu mekanisme normal perbaikan jaringan paru.Pada PPOK, proses inflamasi ini terjadi akibat paparan asap rokok dan gas-gas berbahaya lainnya.

Meskipun kebiasaan merokok sudah dihentikan, tetapi prose inflamasi tersebut masih bertahan lama. Berbagai sel inflamasi yang berkaitan dengan PPOK antara lain, neurofil, eosinofil, makrofag, limfosit mencakup TC1, Th1, Th17. Makrofag yang telah diaktivasi akan mengeluarkan beberapa mediator inflamasi dan faktor kemotaktik yang akan menarik sel inflamasi ke paru. Selain itu, makrofag juga akan memproduksi matrix metalloproteinase (MMP), akibat distimulasi oleh

sitokin yang dihasilkan oleh sel T di paru PPOK. Terjadinya emfisema pada PPOK sangat dipengaruhi oleh imunitas humoral dan selular. Sel T, CD 4, CD 8 dan sel B, berakumulasi di alveolus dan jaringan saluran pernapasan, membentuk Bronchus-Associated Lymphoid Tissue (BALT) pada dinding saluran pernapasan yang kecil.

a. Sitokin

1) Interleukin-6 (IL-6)

2) Tumor necrosis factor-α (TNF-α) 3) Interleukin 1-β (IL-β))

4) Kemokin) 5) Adipokin) b. Protein fase akut

1) C-reactive protein 2) Fibrinogen

3) Serum amyloid-A (SA-A) 4) Surfaktan protein–D (SP-D) c. Sel radang

1) Monosit 2) Neutrofil 3) Limfosit

4) Natural Killer Cells (sel NK)

2.1.2.2. KetidakseimbanganProtease-Antiprotease

Telah dibuktikan adanya ketidakseimbangan antara protease yang memecah komponen jaringan ikat, dan antiprotease yang mengimbangi kerja protease didalam paru pasien PPOK. Peningkatan kadar enzim protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel-sel epitel, telah diamati pada pasien COPD,dan telah banyak dibuktikan bahwa aktivitas protease pada PPOK tidak dapat lagi dikendalikan oleh antiprotese. Hal ini dapat dijumpai pada kondisi abnormalitas genetik antiprotease, seperti yang ditemui pada defisiensi antitripsin α1, atau hilangnya kondisi fungsional dari antiprotease akibat proses proteolitik dan zat oksidatif.

Jaringan elastin yang merupakan komponen jaringan ikat utama dalam parenkim paru, dihancurkan oleh elastase, dan hal ini diyakini menjadi faktor penting pada kejadian emfisema. Paparan asap rokok atau iritan-iritan lain yang berlangsung secara terus menerus alam jangka waktu lama, menyebabkan akumulasi makrofag, neurofil, sel T, CD8+di paru. Makrofag, neurofilakan melepaskan berbagai protease, seperti elastase neutrofil, protease (PR3), matrix metalloproteinase (MMPs) dan catepsin. Protease-protease tersebut saling berinteraksi dengan saling mengaktifkan atau menghambat inhibitor endogennya.

Elastase neutrofil yang menghambat kerja penghambatan MMPs, menyebabkan aktivitas MMPs menjadi semakin nyata dalam mendegradasi antitripsin α-1.

Protease-protease tersebut menempel pada matriks eksraselular, serat elastin, dan kolagen, dan menghasilkan elastin yang terfragmentasi. Elastin yang terfragmentasi ini bersifat kemotaktik terhadap monosit atau netrofil, sehingga mendukung akumulasi makrofag, neutrofil dan destruksi paru.

Bukti yang menyatakan bahwa elastase neutrofil (NE) dapat mengaktifkan MMPs, menunjukkan keberadaan (NE) berperan penting pada langkah awal ketidakseimbangan aktivitas protease dan antiprotease dan degradasi jaringan paru, yang selanjutnya menimbulkan PPOK. Elastase neutrofil (NE) mempunyai berbagai efek terhadap sel epitel saluran pernapasan dan matriks jaringan ikat pada PPOK, dan secara in vitro menurunkan fungsi silia/merusak sel epitel saluran pernapasan, serta memicu penglepasan sel epitel bronkus dari matriks ekstraselular dan apoptosis sel endotel.

Selain itu, aktivitas NE dalam proses sekresi, mempunyai hubungan dengan purulensi sputum, baik melalui kontak langsung dengan epitel atau akibat migrasi neutrofil. Hal ini penting pada saat eksaserbasi, yaitu pada saat influks neutrofil dan meningkatnya aktivitas elastase.

Untuk mencapai paru,neutrofil terlebih dahulu diaktivasi, menempel di endotel, dan kemudian bermigrasi ke saluran napas. Selanjutnya neutrofil akan mengalami degranulasi, kemudian melepaskan enzim dan menyebabkan kerusakan jaringan parenkim paru.

2.1.2.3. Stres oksidatif

Stres oksidatif merupakan mekanisme penting pada kejadian PPOK.

Oksidan yang berperan pada kejadian PPOK ini berasal dari asap rokok/partikel berbahaya lainnya, dan juga dilepaskan oleh sel-sel inflamasi, seperti makrofag dan neutrofil. Pada PPOK didapati peningkatan biomarker stres oksidatif (hidrogen peroksida, 8-isoprostan) dalam kondensat yang dihembuskan melalui napas, dahak, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Biomarker ini akan semakin meningkat jumlahnya pada keadaan eksaserbasi. Penurunan antioksi dan endogen mungkin terjadi pada pasien PPOK, sebagai akibat dari penurunan/reduksi faktor transkripsi, yaitu Nrf2 (Nuclear factor-erythroid 2-related factor) yang mengatur banyak gen antioksidan.

Kebisaan merokok yang kronis menyebabkan saluran pernapasan dan paru kerap terpapar oleh ROS (Reactive Oxygen Species), yang akan memicu produksi ROS yang lain, sehingga makin memperberat stres oksidatif, kerusakan jaringan, produksi lemak dan inflamasi di paru dan saluran pernapasan.

Ketiga kondisi yang terjadi pada pasien PPOK tersebut sangat memungkinkan untuk terjadinya peribronchiolar dan interstitial fibrosis, terutama pada perokok. Proses inflamasi dapat mendahului pengembangan fibrosis atau cedera berulang padadinding saluran napas itu sendiri, yang sangat mungkin menjadi faktor yang berkontribusi terhadap keterbatasan pengembangan saluran pernapasan udara yang kecil, dan akhirnya merupakan awal dari perkembangan proses emphysema.

2.1.3. Kondisi patologis pada PPOK

Beberapa kondisi yang telah diuraikan pada patogenesis PPOK, akan menimbulkan perubahan kondisi faali menjadi kondisi patologis, seperti hipersekresi mukus dan disfungsi silia, keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dan hiperinflasi, gangguan pertukaran gas, peninggian tekanan di paru dan berbagai efek sistemik lainnya.

2.1.3.1. Hipersekresi mukus dan disfungsi silia

2.1.3.2. Keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dan hiperinflasi.

2.1.3.3. Gangguan pertukaran gas.

2.1.3.4. Peninggian tekanan di paru (hipertensi pulmoner).

2.1.3.5. Efek sistemik lainnya.

2.1.4. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik, kerap tidak ditemui kelainan yang jelas, karena hal ini sangat ditentukan oleh tingkat keparahan PPOK yang terjadi. Diagnosis PPOK ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosa serta faktor risiko yang ada (Gambar 2.1)

Beberapa kondisi yang dapat dipertimbangkan pada penegakan diagnosa PPOK dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1.

2.1.4.1. Gejala Klinis.

Secara klinis, seseorang dinyatakan mengidap PPOK, apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

Tanda-tanda fisik dari pembatasan aliran udara biasanya tidak ditemukan sampai terjadi penurunan fungsi paru yang signifikan. Dengan demikian, deteksi berdasarkan pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Meskipun pemeriksaan fisik merupakan bagian penting dari perawatan pasien, tetapi pemeriksaan fisik jarang digunakan sebagai sarana diagnostik pada PPOK. Sejumlah tanda-tanda fisik mungkin didapati pada PPOK, tetapi bila tidak dijumpai, bukan berarti meniadakan diagnosis PPOK.

a) Anamnesis.

Dari hasil anamnesis, gejala klinis yang biasa ditemukan pada pasien PPOK adalah sebagai berikut :

1) Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari

2) Batuk berdahak kronik

Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Karakteristik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

3) Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.

b) Riwayat penyakit.

1) Adanya riwayat merokok atau bekas perokok 2) Riwayat terpajan zat-zat berbahaya

3) Riwayat penyakit terdahulu (asma, alergi, sinusitis, polip nasal) 4) Riwayat PPOK atau penyakit pernapasan lain di keluarga

5) Adanya faktor predisposisi pada saat bayi/anak (BBLR, infeksi berulang saluran napas, lingkungan dengan polusi udara)

6) Riwayat ekaserbasi atau hospitalisasi akibat penyakit sistem pernapasan 7) Adanya penyakit penyerta.

c) Pemerikaan fisik 1) Inspeksi.

(a) Pursed-lips breathing (mulut mencucu)

(b) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding) (c) Penggunaan otot bantu pernapasan

(d) Pelebaran sela iga

(e) Terlihat denyut vena jugularis (bila telah terjadi gagal jantung kanan) (f) Tampak tampilan pink puffer & blue bloater

Catatan:

= Pink puffer, gambaran khas pada emfisema: pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan dengan mulut mencucu/pursed-lips breathing), sianosis, edema tungkai (+), ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

= Pursed-lips breathing, bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi memanjang. Sikap ini merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

2) Palpasi.

Bila sudah terjadi emfisema: fremitus suara melemah dan sela iga melebar 3) Perkusi.

Bila sudah terjadi emfisema: hipersonor dan batas jantung mengecil, diafragma letak rendah, hepar terdorong ke bawah

4) Auskultasi

(a) Suara pernapasan vesikular normal atau melemah

(b) Terdapat ronki dan atau mengi pada saat bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

(c) Ekspirasi memanjang

(d) Suara jantung terdengar jauh

2.1.4.2.Pemeriksaan Penunjang.

Spirometri adalah alat pengukur keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan yang non-invasif dan paling reproducibel. Meskipun memberikan sensitivitas yang baik, puncak pengukuran aliran ekspirasi saja tidak dapat dipercaya untuk digunakan sebagai satu-satunya tes diagnostik. Selayaknya semua petugas kesehatan yang merawat pasien PPOK harus memiliki akses untuk pemeriksaan spirometri. Beberapa faktor yang diperlukan untuk mencapai hasil tes yang akurat, diringkas dalamTabel 2.2.

Tabel 2.2.

Berbagai faktor yang diperlukan untuk mencapai hasil tes yang akurat

Spirometri harus dapat mengukur volume udara yang dihembuskan secara paksa sesudah inspirasi maksimal (kapasitas vital paksa/FVC) dan volume udara yang dihembuskan selama detik pertama manuver ini (volume ekspirasi paksa dalam satu detik, FEV1), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC) harus dihitung (Gambar 2.2B).

Sebuah spirometri tracing normal ditunjukkan pada Gambar 2.2A. sebuah spirometri menelusuri khas dari pasien dengan penyakit obstruktif. Pasien dengan PPOK biasanya menunjukkan penurunan FEV1 dan FVC.

Rasio antara FEV1 dan kapasitas vital (VC), FEV1/VC, bukan diukur dari rasio FEV1/FVC, karena hal ini akan menghasilkan nilai-nilai yang lebih rendah dari rasio tersebut, terutama pada kondisi keterbatasan aliran udara.

Hasilpengukuran spirometri dievaluasi, dibandingkan dengan angka referensi, berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin, dan ras.

Kriteria spirometri untuk pembatasan aliran udara tetap rasio pasca bronkodilator FEV1/FVC<0.70. Kriteria ini sederhana dan bebas/independen dari nilai-nilai referensi, dan telah banyak digunakan dalam uji klinis, sebagai dasar dari sebagian besar rekomendasi pengobatan yang diambil. Perlu dicatat bahwa penggunaan rasio FEV1/FVC yang tetap digunakan untuk menentukan pembatasan aliran udara, mengakibatkan diagnosis COPD pada orang tua, menjadi lebih sering dan diagnosis pada orang dewasa <45 tahun menjadi kurang sering, terutama pada PPOK yangringan, dibandingkan dengan menggunakan batasan/cut-offberdasarkan batas bawah normal (LLN) nilai untuk FEV1/FVC.

Nilai-nilai LLN yang didasarkan pada distribusi normal, mengklasifikasikan <5% dari populasi yang sehat sebagai abnormal. Karena itu, dari perspektif ilmiah dan klinis, sulit untuk menentukan kriteria ini sebagai cara untuk menghasilkan akurasi diagnostik PPOK yang optimal. Namun, nilai-nilai LLN sangat tergantung pada pilihan persamaan referensi yang valid, dengan menggunakan nilai FEV1 pasca-bronkodilator.Tidak ada penelitian longitudinal yang tersedia untuk memvalidasi penggunaan LLN, atau penelitian yang menggunakan persamaan referensi pada populasi yang menyatakan bahwa penyebab utama PPOK bukanlah merokok.

Pemeriksaan spirometri hanya satu parameter untuk menetapkan diagnosis klinis PPOK; dan parameter tambahan berupa gejalaklinis dan faktor risiko lainnya harus diperhitungkan. Namun, kesederhanaan sarana diagnostik dan konsistensi hasil pemeriksaan, merupakan hal yang sangat penting bagi dokter untuk penegakkan diagnosa PPOK.

Pemeriksaan spirometri pasca-bronkodilator, diperlukan untuk diagnosis dan penilaian kondisi PPOK.Menilai tingkat reversibilitas keterbatasan aliran udara (misalnya, mengukur FEV1 sebelum dan sesudah bronkodilator atau kortikosteroid) untuk pengambilan keputusan terapi, tidak lagi direkomendasikan.

Pada individu asimtomatik tanpa paparan yang signifikan terhadap tembakau atau rangsangan/partikel berbahaya lainnya, skrining spirometri mungkin tidak diindikasikan; sedangkan pada orang-orang dengan gejala klinis atau faktor risiko (misalnya, >20 bungkus, jumlah tahun merokok atau infeksi dada berulang), hasil diagnostik untuk PPOK relatif tinggi dan spirometri harus dipertimbangkan sebagai metode untuk penemuan kasus awal. Kedua parameter FEV1 dan FVC memprediksi semua penyebab kematian, termasuk yang bukan karena merokok tembakau. Fungsi paru-paru yang abnormal mengidentifikasi sub kelompok perokok, dengan peningkatan risiko untuk kanker paru. Hal ini telah menjadi dasar dari argumen bahwa skrining spirometri harus digunakan sebagai alat penilaian kesehatan global.

Namun, tidak ada data yang menunjukkan bahwa skrining spirometri efektif dalam mengarahkan keputusan penatalaksanaan atau dalam meningkatkan

hasil terapi PPOK pada pasien yang diidentifikasi sebelum pengembangan simptom.

2.1.4.3. Pemeriksaan rutin a. Faal paru

1) Pemeriksaan spirometri (VEP1), VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) (a) Pemeriksaan dilakukan ketika tidak dalam eksaserbasi akut.

(b) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%)

(c) VEP1 merupakan parameter paling umum digunakan untuk menilai beratnya PPOK dan untuk evaluasi perjalanan penyakit

(d) Bila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter dapat digunakan untuk memantau variabilitas harian pagi dan sore yang tidak lebih dari 20% (meskipun tidak begitu tepat)

2) Uji bronkodilator

(a) Dilakukan dengan menggunakan spirometri atau APE meter

(b) Sesudah pemberian inhalasi bronkodilator sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <20% dari nilai awal dan <200ml

(c) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil b. Pemeriksaan darah rutin

1) Hb 2) Ht 3) Leukosit

c. Pemeriksaan radiologi

2.1.4.4. Pemeriksaan tidak rutin (khusus) a. Pemeriksaan faal paru

b. Uji latih kardiopulmoner c. Uji provokasi bronkus d. Uji coba corticosteroid

e. Analisa gas darah f. Radiologi

g. Elektrokardiografi h. .Bakteriologi

i. Kadar α1-antitripsin

2.1.4.5. Faktor Risiko

PPOK dikaitkan dengan beberapa faktor risiko, yang dapat dibagi menjadi risiko yang tak dapat diubah faktor keturunan/genetik, umur, jenis kelamin, dan lain-lain), dan faktor risiko yang dapat diubah (paparan asap rokok dan partikel berbahaya, pekerjaan, status sosio ekonomi, dan lain-lain).

a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah.

1) Faktor keturunan/genetik.

Adanyariwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-antitripsin ...

(a) Usia.

(b) Jenis kelamin

Disebabkan defisiensi alpha-1 antitrypsin, umur dan kelamin, perkembangan paru, paparan terhadap partikel di udara, status asma dan hiperaktivitas saluran pernafasan, bronchitis kronis, dan infeksi.

b. Faktor risiko yang dapat diubah.

1) Paparan asap rokok dan partikel gas berbahaya

Merokok merupakan faktor risiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80%

kematian pada penyakit ini berkaitan dengan merokok, dan orang yang merokok memiliki risiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Risiko untuk perokok aktif sekitar 25%. Namun, faktor risiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK. Faktor risiko lain dapat berupapaparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak.

2.1.5. Diagnosis Banding

Berbagai hal yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien PPOK banyak yang mirip dengan kondisi panyakit repiratori lainnya, seperti pada penyakit asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis dan lain-lain.

Dengan demikian pemeriksaan harus dilakukan secara seksama untuk membedakan penyakit tersebut. Setiap penyakit mempunyai ciri-ciri tersendiri, tetapi ciri-ciri tersebut bukanlah penentu absolut, misalnya ada seorang pasien PPOK yang tidak merokok, tetapi mungkin ada faktor risiko lain yang sangat berpengaruh selain merokok (misalnya paparan asap ketika memasak dengan kayu di dalam rumah yang ventilasinya sangat minim. Selain itu, asma misalnya, lazim ditemui pada masa kanak-kanak, tetapi dapat juga terjadi pada orang dewasa, bahkan orang tua.

Tabel 2.3. PPOK dan Diagnosis Banding

Diagnosis Ciri-ciri penyakit

PPOK Lazimnya pada usia pertengahan

Gejala/prosesnya berjalan secara perlahan, tetapi cenderung memburuk dan menetap (ireversibel)

Riwayat merokok atau paparan partikel berbahaya

Asma mengi yang berulang,sesak napas, dada terasa tertekandan batuk.

bersifat reversibel Penyakit Jantung

Kongestif

Sering batuk berdarah dan berbunyi Kehilangan nafsu makan,mual,

Bronkiektasis menyebabkan pembesaran pada bronkus

Tuberkulosis Batuk berdahak, kurangnafsu makan, penurunan berat badan Obliterative

bronchioloitis

Penyempitan luminal konsentris bronkiolus membran dan pernafasan

Diffuse

panbronchiolitis

Bronkiolitis dan sinusitis kronis

2.1.6. Klasifikasi PPOK

Klasifikasi PPOK dilakukan berdasarkan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara yang terjadi pada PPOK, yang ditentukan dengan pemeriksaan spirometri (GOLD 2017) (Tabel 2.4)

Tabel 2.4 : Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD2017 Klasifikasi limitasi aliran udara pada COPD

kronis (berdasarkan post-bronkodilator FEV1 Pada pasien dengan FEV1/FVC<0.70:

GOLD 1 Ringan FEV1 >80%

GOLD 2 Sedang 50%<FEV1<80%

GOLD 3 Berat 30%<FEV1<50%

GOLD 4 Sangat berat FEV1<30%

2.1.7. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan PPOK dilaksanakan berdasarkan diagnosa tingkat keparahan penyakit.

2.1.7.1. Penatalaksanaan non-farmakologik Edukasi dan manajemen sendiri 2.1.7.2 Penatalaksanaan farmakologik

LAMA + LABA

2.1.8. Komplikasi dan Komorbiditas

PPOK akan melibatkan berbagai sistem dalam tubuh, sehingga sangat mungkin berkaitan dengan kejadian patologis pada organ/sistem tubuh lainnya.

2.1.8.1. Gagal napas 2.1.8.2. Kor pulmonal 2.1.8.3. Infeksi berulang 2.1.8.4. Ansietas dan Depresi 2.1.8.5. Osteoporosis

2.1.8.6. Kanker paru

2.1.8.7. Sindrom metabolik dan diabetes melitus 2.1.8.8. Bronkiektasis

2.1.9. Upaya pencegahan.

2.1.9.1. Mencegah kejadian PPOK.

a) Berhenti merokok atau menghindari pajanan asap rokok b) Menggunakan obat-obatan

2.1.9.2. Mencegah perburukan PPOK.

a) Menerapkan gaya hidup yang sehat b) Menjalani vaksinasi secara rutin c) Menghindari polusi udara

2.1.10. Prognosis

Prognosis PPOK bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat.

Pada pasien yang berumur kurang dari 50 tahun dan datang dengan keluhan sesak nafas yang ringan, akan terlihat ada perbaikan, tetapi apabila pasien datang dengan sesak nafas sedang, ma pasien akan sesak lebih berat dan meninggal dalam masa 5 tahun.

2.2. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

2.3. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN 3.1.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan metode deskriptif dengan rancangan total sampling, untuk mengetahui gambaran karakteristik (faktor risiko, gejala klinis/

perjalanan penyakit, riwayat pengobatan, dan pemeriksaan spirometri), pasien PPOK yang berobat ke Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi dan Rumah Sakit H.

Adam Malik Medan.

3.1.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di sekitar RSUD Dr.Pringadi dan RSUP.Haji Adam Malik Medan.

3.1.3 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai bulan Juni 2017.

3.2 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah pasien-pasien penyakit paru obstruktif kronik yang berobat ke RSUD Dr. Pirngadi dan RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah pasien penyakit paru obstruktif kronik yang berobat ke RSUD Dr. Pirngadi dan RSUP Haji Adam Malik Medan dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan menggunakan metode total sampling.

3.2.3Kriteria Inklusi

3.2.3Kriteria Inklusi

Dokumen terkait