• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIKECEWAKAN MANUSIA DAN DIHIBUR DEWA

Dalam dokumen OM MANI PADME HUM. Penulis. Pendahuluan (Halaman 74-77)

24.WANITA PARANORMAL

25. DIKECEWAKAN MANUSIA DAN DIHIBUR DEWA

Renovasi cetya telah selesai, altar yang berwarna merah terang dan terdiri dari lima tingkat juga telah siap untuk diletakan rupang-rupang para Dewa. Karna aku tidak begitu paham menyusun altar, aku selalu minta petunjuk kepada Guru sejatiku cara menyusunnya. Sebagian rupang para Dewa sudah ada sebelumnya, tapi karena rupang yang harus diletakan di altar agak banyak, aku harus mencari rupang-rupang yang belum ada. Masih kurang 20 lebih rupang yang harus kucari agar altar terisi.

Guru sejatiku mengatakan untuk rupang para Guru yang membimbingku harus mengambil dari vihara tidak boleh beli di toko. Aku mengikuti petunjuk Guruku lalu pergi kevihara yang pertama kali berjodoh denganku, pemimpin vihara itu punya hati yang baik dan mengizinkanku untuk menjemput 6 rupang Dewa diviharanya.

Dari awal memang aku berjodoh baik dengan vihara itu, aku diangkat murid oleh Mahaguru juga di vihara itu, banyak bantuan yang diberikan oleh pemimpin vihara itu, tapi karena tidak semua rupang yang kuinginkan ada divihara itu, aku harus mencari ke vihara lain yang punya aura baik.

Ternyata tidak semua vihara yang auranya baik itu memiliki pengurus yang baik pula. Karena saat Guruku menyuruh agar aku ke vihara yang ada di Jakarta Barat untuk menjemput rupang Dewa Hian Tian Shang Tee, sama sekali tidak mendapat perlakuan yang baik, padahal aku sampai menyempatkan dua kali pergi kevihara itu pagi-pagi demi untuk bertemu dengan pengurusnya, berharap bisa diizinkan

menjemput rupang Dewa yang dimaksud.

Pengurus vihara itu sama sekali tidak memandang kami dan bersikap angkuh, bernada suara keras, sama sekali tidak mengizinkan aku untuk menjemput rupang Dewa

ditempatnya, dan tanpa menghargai kami sama sekali dia segera membalikan badan dan meninggalkan kami begitu saja. Aku begitu kecewa dengan sikapnya itu, kenapa pengurus vihara bisa begitu angkuh, tidak bisakah dia berbicara dengan baik-baik, padahal dialtar viharanya rupang Dewa Hian Tian Shang Tee ada lebih dari sepuluh rupang.

Akhirnya kami pergi dari vihara itu dengan rasa galau dan memberitahukan hal ini pada Guru sejatiku bahwa aku gagal menjalankan tugas ini. Lalu aku diminta untuk ke satu vihara lagi yang berada di Jakarta Pusat, di vihara itu juga banyak sekali rupang Dewa, melihat sikap pemimpin vihara itu kelihatannya baik mungkin dia bisa mengizinkan aku mengambil beberapa rupang Dewa disitu, tapi ternyata dugaanku salah. Dia juga tidak mengizinkannya, padahal aku sudah melihat Dewa yang mau aku ambil ada

kembarannya atau lebih dari satu, dia bilang kalau dia juga mau pakai buat sembahyang.

Aku agak kecewa sekali saat itu, kenapa Guruku menyuruhku kevihara-vihara itu untuk mengambil rupang Dewa padahal sama sekali tidak ada tanggapan baik dari

mereka. Dalam perjalanan pulang aku bertanya-tanya dalam hati, apa arti semua ini, mengapa tidak ada kebaikan yang kudapatkan hari ini? Dewa mengizinkan kenapa manusia tidak mengizinkan? sepertinya ada kesalahan dalam hal ini. Tapi dimana letak salahnya? dan apa makna dari kejadian ini?

Dalam keadaan masih bertanya-tanya, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke vihara di daerah itu juga untuk mengikuti api homa Kalacakra, tapi kami berniat untuk ke vihara yang ada di pancoran terlebih dulu dengan harapan bisa bertemu dengan rupang Dewa yang berjodoh untuk diletakan di altar cetya, tapi anehnya saat mobil kami menyusuri jalan kearah vihara itu, gang yang biasanya kami lewati tidak terlihat oleh suamiku, sehingga kami melewatinya dan tidak mungkin lagi kembali karena harus memutar jalan lebih jauh lagi.

Kami malah diarahkan kesuatu pertokoan yang berada didaerah itu, entah kenapa dengan sendirinya suamiku mengarahkan mobil kami kesana seperti ada dorongan saja. Ternyata disana kami melihat banyak rupang Dharmapala, aku Takjub melihatnya dan bercampur senang.

Aku memilih rupang-rupang Dharmapala yang aku inginkan, ada sekitar 20 rupang yang aku turunkan dari etalase toko itu, dan meminta petunjuk Guru untuk memilihkan yang mana yang boleh aku beli. Guruku memilih 9 rupang Dharmapala yang boleh, karena sebagian belum ada penyatuan dan belum bershadana padanya jadi tidak boleh dibeli dulu.

Setelah memisahkan 9 rupang itu, aku kembali berpikir bagaimana aku bisa

dengan jumlah 9 rupang berapa yang harus aku bayarkan? mana bisa aku membelinya? jika begini bagaimana altar cetya bisa terisi?.

Suamiku bertanya pada pemilik toko itu berapa harganya, ternyata harganya jauh lebih murah, tidak seperti yang aku pikirkan. Dan lebih aneh lagi uang yang dibawa suamiku dari rumah yang tidak dihitung lagi, jumlahnya bisa pas.

Kebahagiaanku tidak sampai disitu saja, setelah mengikuti homa Kalacakra kami diarahkan lagi ke satu toko yang ada di Jakarta Utara disana ada 8 rupang yang kami inginkan, suatu kebetulan juga pemiliknya ada ditempat dan bertemu dengan kami, pemilik toko itu bertanya untuk apa membeli rupang Dewa, suamiku bilang kalau untuk altar cetya.

Mendengar perkataan suamiku itu pemilik toko menanggapi kami dengan baik, dia bersikap ramah dan memberi kami kebebasan memilih rupang di tokonya, bahkan rupang-rupang yang khusus yang disimpan didalam kantornyapun boleh kami pilih dan dia memberikan harga yang sangat murah kepada kami, padahal rupang-rupang itu terbuat dari keramik buatan tangan dan ada cap pembuatnya.

Aku baru mengerti makna dari semua kejadian hari ini, para Dewa menguji ketulusanku mengikuti petunjuknya, sekaligus belajar memahami sikap dan tingkah laku orang lain, karena tidak semua orang tidak baik tapi ada juga orang yang baik, aku sadar ini adalah ujian untukku apakah hatiku tegar menghadapi perlakuan orang dan tetap mengikuti petunjuk para Dewa, walaupun aku dua kali dikecewakan orang tapi dua kali pula para Dewa menolongku dan tidak membiarkan aku tengelam dalam kekecewaan.

Esok paginya aku membersihkan semua rupang itu dan meletakannya di altar dan hampir terisi penuh, aku memohon kehadiran para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini untuk memberkati rupang-rupang itu, dengan membaca mantra hati mereka dan bershadana penuh.

Hari ini pengalaman baru kembali kudapatkan, Guru sejatiku yang selama ini selalu datang memberiku petunjuk melalui meditasi ataupun telepati, hari ini telah menyatu denganku bersamaan telah terisinya rupang-rupang dialtar utama cetya Sukhavati Prajna.

Hari ini aku baru mengetahui apa arti kata-kata Mahaguru mengenai, “Saya adalah Buddha, Buddha adalah Saya. Saya adalah Vairocana, Vairocana adalah Saya, Inilah kemanunggalan“. Aku semakin yakin dengan ajaran Mahaguru, karena aku sendiri telah mengalaminya.

Banyak orang merasa takut menjalani jalan dharma, karena mereka tidak ingin meninggalkan kesenangan duniawinya, banyak orang salah pengertian terhadap para Dewa, menganggap mengikuti jalan Bodhisattva adalah harus meninggalkan

keluarga. Hal ini yang menyebabkan banyak orang tidak mau membina diri.

Padahal jalan dharma selalu mengikuti perkembangan zaman, para Dewa memahami isi hati manusia. Selama manusia itu tulus dan menjalani kehidupan dengan baik dan mau mengikuti jalan para Dewa, maka mereka akan mendapatkan banyak kebaikan dan tidak akan membiarkan mereka mengalami penderitaan.

Di zaman sekarang tidak dituntut untuk benar-benar meninggalkan keluarga untuk membina diri, tapi tetap bisa bersama dengan keluarga dan membina hubungan dengan baik, yang penting tidak melekat dan tidak terikat akan hal itu.

Dalam dokumen OM MANI PADME HUM. Penulis. Pendahuluan (Halaman 74-77)