BAB VII KODE ETIK DALAM PENEGAKAN HUKUM
A. Hukum Kodrat dan Hukum Positif
Sebelum membahas tentang penegakan hukum, lebih dahulu dibicarakan mengenai konsep Immanuel Kant tentang hukum. Seperti dikutip oleh John Ladd (1965), Immanuel Kant menyatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem dapat dikla sifi-kasikan menjadi dua jenis yaitu:
1. Hukum kodrat adalah norma yang ditetapkan oleh Tuhan yang mengandung prinsip-prinsip a priori.
2. Hukum positif adalah norma buatan manusia (pembentuk undang-undang) yang mengandung prinsip-prinsip yang dikehendaki olehpembentuk undang-undang.
[ 114 ] Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H.
Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum
Apabila konsep hukum positif Immanuel Kant ini di kem-bangkan, maka yang dimaksud dengan manusia itu dapat berupa penguasa (pembentuk undang-undang), kelompok masyarakat umum dan kelompok profesi.
Dengan demikian, hukum positif adalah:
1. norma buatan penguasa disebut undang-undang;
2. norma buatan kelompok masyarakat umum disebut kebiasaan;
3. norma buatan kelompok profesi disebut kode etik.
Karena dibuat oleh penguasa (pembentuk undang-undang), maka hukum positif undang-undang mempunyai ke-dudu kan tertinggi dan keberlakuannya menjadi acuan bagi hukum kebiasaan dan kode etik.
1. Hukum Kodrat
Menurut paham hukum kodrat, hakikat hukum dapat ditemukan dalam bentuk norma yang ditetapkan oleh kekuasaan di luar diri manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Hukum kodrat, sebagai norma yang ditetapkan oleh Tuhan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Hukum kodrat seadanya (Welt des Seins) berupa gejala alam bersifat kongkret yang secara empiris dapat ditangkap oleh panca indra, misalnya air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, barang jatuh dari atas ke bawah, permukaan air dalam bejana berhubungan sama, bumi mengelilingi mata-hari, minyak tidak mau bercampur dengan air.
b. Hukum kodrat seharusnya (Welt des Sollens) berupa gejala yang menguasai kodrat manusia dan kodrat hukum itu sendiri, misalnya orang kuat menolong orang lemah, orang mematuhi hukum yang berlaku, orang tidak melakukan kejahatan, hukum menjamin ketertiban, hukum menciptakan keadilan.
Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum
Yang menjadi fokus bahasan sesuai dengan konsep Immanuel Kant diatas tadi adalah hukum kodrat seharusnya (Welt des Sollens).
Thomas Aquinas mengatakan bahwa “hukum kodrat seharus nya” berada di dalam diri pribadi manusia, yang berfungsi sebagai aturanhidup dan dihayati melalui perbuatan. Pribadi manusia merupakan hukum bagi dirinya sendiri sejauh manusia berbuat menurut fungsi hukum itu. Dalam hal ini, moralitas perbuatan dapat diketahui melalui akibat yang terjadi setelah hukum itu berlaku melalui perbuatan manusia. Supaya manusia berbuat sesuai dengan fungsi hukum kodrat itu, maka penguasa (pembentuk undang-undang) menjelmakan hukum kodrat ke dalam bentuk hukum positif.
2. Hukum Positif
Selanjutnya Thomas Aquinas menyatakan, tujuan utama yang ingin dicapai oleh penguasa (pembentuk undang-undang) ialah agar setiap anggota masyarakat atau warga negara ber-kelakuan baik. Hukum positif tidak lain dari perintah dan lara-ngan yang berasal dari akal dan kehendak penguasa yang diberi-kan kepada warganya. Oleh karena itu, keutamaan yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat atau warga negara adalah ketaatan terhadap hukum positif.
Apabila tujuan penguasa (pembentuk undangundang) di hubungkan dengan kebaikan tertinggi dari Tuhan, maka akibat -nya seluruh anggota masyarakat atau warga negara akan ber-perilaku baik. Sebaliknya, apabila tujuan penguasa (pembentuk undang-undang) mengacu kepada kepentingan dan keuntungan pribadi penguasa yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, maka hukum positif menjadikan anggota masyarakat atau warga negara berperilaku buruk. Anggota masyarakat atau warga negara melakukan perbuatan yang sebenarnya buruk karena di
perintah-[ 116 ] Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H.
Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum
kan oleh hukum positif (buruk) yang berlaku itu. Dapat saja terjadi bahwa ketaatan pada hukum positif karena hukum positif itu pada hakikatnya baik. Ini berarti bahwa ketaatan berdasarkan kesadaran akan menciptakan kebaikan, dan ini adalah awal dari kebahagiaan. Namun, bisa juga terjadi bahwa ketaatan pada hukum positif itu bukan karena hukumnya baik, melainkan karena ancaman sanksi yang keras bila dilanggar. Dalam hal ini ketaatan pada hukum positif, karena dipaksa oleh ancaman sanksi yang keras, dan ini merupakan ciri khas hukum positif buatan penguasa.
3. Perbuatan Manusia
Apabila hukum positif buatan penguasa ini dihubungkan dengan perbuatan manusia, maka sesuai dengan tujuan hukum positif itusendiri, perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Perbuatan baik, pemberlakuan hukumnya berbentuk perintah.
Hukum adalah perintah berbuat baik, misalnya layanilah klien sesuai dengan kuasa yang diberikan, berikanlah putusan yang seadil-adilnya, bayarlah pajak penghasilanmu.
b. Perbuatan jahat, pemberlakuan hukumnya berbentuk lara-ngan. Hukum adalah larangan berbuat jahat, misalnya ja ngan-lah menipu orang lain, tidak boleh bertindak melebihi kuasa, dilarang membunuh orang, tidak boleh main hakim sendiri.
c. Perbuatan khusus, pemberlakuan hukumnya berbentuk izin, janji, disposisi atau keputusan, misalnya izin mengemu dikendaraan bermotor, janji menanggung semua risiko dalam asuransi kerugian, disposisi pencairan kredit bank.
Untuk menjamin ketaatan pada hukum positif, maka dalam pemberlakuan hukum positif itu terkandung dampak berupa pemberian sanksi berupa ganti kerugian, pembayaran
Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum
denda, pencabutan hak tertentu, pidana penjara dalam jangka waktu tertentu, atau penjara seumur hidup, bahkan pidana mati.
Disinilah letak keunggulan hukum positif buatan penguasa. Tentu saja pembebanan sanksi hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelanggaran hukum positif.
Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa hukum positif buatan penguasa (pembentuk undang-undang) merupakan:
a. realisasi hukum kodrat yang dilengkapi dengan sanksi
b. penjelmaan kehendak penguasa yang bertujuan agar anggota masyarakat atau warga negara menjadi baik.
c. kehendak penguasa yang jujur dengan menciptakan hukum positif yang baik (adil), atau sebaliknya kehendak penguasa yang zalim dengan menciptakan hukum yang tidak baik (tidak adil).
d. bentuk ketaatan warga negara pada penguasa yang baik, se-hingga warga terbiasa berbuat baik, atau karena takut ancaman sanksi yang keras sebagai ciri khas hukum positif buatan penguasa.
e. keseimbangan antara keadilan, daya guna, dan kepastian hukum.