• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur-unsur Moralitas

Dalam dokumen ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM (Halaman 77-82)

BAB IV MORALITAS

B. Unsur-unsur Moralitas

Moralitas dibangun oleh beberapa unsur pokok yaitu kebebasan, tanggung jawab dan suara hati. Semakin tinggi derajat kebebasan, tanggung jawab dan kemurnian suara hati seseorang, maka semakin baik kualitas moral orang yang bersangkutan.

1. Kebebasan

Kebebasan merupakan unsur penting dalam norma moral.

Hal ini sangat esensial mengingat norma moral itu adalah norma yang otonom, yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai regulations of internal behavior. Jadi selalu ada pilihan (alternatif) untuk bersikap dan berperilaku berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya.

Aliran/mazhab Antinomisime sejalan dengan Hans Kelsen dan berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Paling tidak, bebas dalam lingkup kodratnya sebagai manusia. Aliran Antinomisme ini mengandung keputusan moral adalah sepenuhnya keputusan otonom individu (free will), tanpa ada campur tangan pihak lain, termasuk Tuhan. Dalam Islam dikenal adanya aliran/mazhab gadariyah. Mazhab ini setuju jika dikatakan bahwa Tuhan memiliki kehendak (iradah) dan manusia berada di dalam kekuasaanNya. Namun menurut mazhab ini, pengendalian Tuhan atas makhluknya (termasuk manusia) hanya dalam arti menciptakan, memelihara, dan mengem bangkan mereka menurut hukumnya masing-masing.

Di luar itu manusia wajib berikhtiar dengan sekuat tenaga agar kehidupannya menjadi lebih baik. Menurut pandangan mazhab gadariyah, dengan berikhtiar manusia dapat keluar dari takdir

[ 62 ] Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H.

Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum

yang buruk menuju takdir yang baik. Jika seseorang tahu bahwa di suatu daerah sedang berjangkit wabah penyakit, seyogyanya dia menunda/membatalkan keberangkatannya ke daerah itu.

Per buatan menunda/membatalkan itu sepenuhnya merupakan kebebasan manusia.

Dalam sebuah riwayat, Khalifah Umar bin Khatab (586-644), pernah membatalkan kunjungannya ke negeri Syam (sekarang Suriah), karena di negeri tersebut sedang berjangkit wabah penyakit cacar. Para pengikut jabariyah menuduh Khalifah Umar telah lari dari takdir. Karena menurut mereka apabila Umar tidak ditakdirkan terjangkit cacar, maka ia tidak akan ditimpa penyakit itu, walaupun ia berada di Syam. Namun Umar menjawab, bahwa memang ia telah lari dari takdir Tuhan (yang buruk) menuju takdirNya (yang baik). Menurut Khalifah Umar, harus ada ikhtiar atau upaya untuk memiliki sikap atau perilaku yang menguntungkan.

Manusia adalah makhluk yang bebas, walaupun demikian kebebasan itu tetap berada di bawah lingkup kekuasaan Tuhan Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, justru dengan kebebasan itu manusia mampu berperan sebagai khalifah di muka Bumi

Dalam filsafat barat, pandangan Antinomisme dianut antara lain oleh John Stuart Mill yang menekankan pentingnya setiap orang bebas mengembangkan potensi diri sesuai dengan kehendak keputusan dan penilaiannya sendiri. Namun ia juga menekankan pentingnya kebebasan tersebut dibatasi, agar tidak merugikan hak yang sama dari individu lain.

Kebebasan manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kebebasan sosial dan kebebasan eksistensial. Kebebasan sosial adalah kebebasan yang diterima dari orang lain (sesama manusia) yang karena itu bersifat heteronom. Sedangkan kebebasan eksistensial adalah kebebasan yang menyangkut

Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum

kemampuan manusia untuk menentukan sikap dan perilaku dirinya sendiri, yang karena itu bersifat otonom.

Kebebasan sosial memberi ruang gerak sekaligus membatasi kebebasan eksistensial. Ini berarti bahwa kebebasan eksistensial bergerak dalam ruang yang ditolerir oleh kebebasan sosial. Oleh karena kebebasan sosial ditentukan oleh toleransi orang lain (sesama manusia), maka manusia yang berada dalam lingkungan tersebut harus menyesuaikan kebebasan dirinya dengan kebebasan orang lain. Kebebasan sosial dibatasi oleh beberapa hal antara lain keterbatasan fisik, keterbatasan psikis serta adanya perintah dan larangan (normatif).

Walaupun diyakini bahwa manusia itu adalah makhluk yang bebas, namun terdapat keraguan tentang hal ini. Timbul pertanyaan benarkah manusia itu mempunyai kebebasan dalam bersikap dan berperilaku?”

Ternyata ada pendapat yang menentang paham antinomisme dan mengatakan bahwa kebebasan itu sebenarnya tidak ada. Manusia tidak memiliki kebebasan. Pemikiran ini datang dari mazhab determinisme, baik determinisme materialis maupun determinisme religius

Determinisme materialis berpendapat bahwa manusia adalah materi, semua materi di dalam alam semesta tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri. Sebagai contoh adalah bumi yang diatur oleh hukumnya untuk terus menerus mengelilingi matahari. Oleh karena itu manusia pun tunduk pada hukumnya sendiri, termasuk sikap dan perilakunya. Dari penjelasan diatas, menurut pandangan determinisme materialis adalah suatu kekeliruan jika menganggap manusia memiliki kebebasan.

Determinisme religius menyimpulkan bahwa “hukum” yang mengatur manusia tidak wujud begitu saja, melainkan wujud karena kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemikiran ini mempunyai banyak penganut di kalangan pemikir-pemikir agama dengan

[ 64 ] Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H.

Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum

berbagai variasi. Dalam Islam misalnya, determinisme religius ini dianut oleh penganut paham jahariyah. Paham ini meyakini bahwahanya Tuhan yang secara hakiki memiliki kehendak, bukan makhluk-makhluk ciptaanNya. Manusia tak ubahnya seperti wayang yang dikendalikan oleh ki dalang. Segala daya upaya manusia berasal dari Tuhan, dan dikendalikan oleh Nya. Oleh karena daya pengontrol absolut itu adalah Tuhan yang merupakan sumber keyakinan agama, maka paham determinisme religius ini disebut juga paham absolutisme religius (Religious Absolutism).

2. Tanggung Jawab

“Respondeo ergo sunm” (Aku bertanggung jawab, karena itulah aku ada) demikian pendapat Emmanuel Levinas (1906-1995). Ungkapan tersebut menggaris bawahi betapa penting makna sebuah tanggung jawab.

Kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk ber-sikap dan berperilaku. Oleh karena itu manusia wajib bertanggung jawab atas pilihan yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral, baru akan mempunyai arti apabila manusia tersebut mampu dan mau bertanggung jawab atas pilihan yang dibuatnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditujukan bagi orang yang dapat dan mau bertanggung jawab. Itulah sebabnya kita tidak pernah meminta pertanggungjawaban atas sikap dan perilaku orang giladan anak di bawah umur, meskipun kita tahu mereka telah bersikap dan berperilaku buruk.

Harus diingat bahwa manusia tidak hidup sendiri.

Dalam ruang lingkup kemasyarakatan itu, kebebasan seseorang sering berbenturan dengan kebebasan orang lain, karena itulah kebebasan harus digunakan secara bertanggung jawab, semata-mata demi keniksemata-matan hidup bersama. Hanya manusia yang bertanggungjawab, yang dapat merasakan hakikat kebebasannya

Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum

secara optimal. Uraian di atas menunjukkan bahwa bukan hanya kebebasan eksistensial saja yang menuntut tanggung jawab, tetapi juga kebebasan sosial.

3. Suara Hati

Suara hati sering juga disebut hati nurani. Sebenarnya terdapat perbedaan makna antara hati nurani (synteresis) dengan suara hati (conscientia). Hati nurani atau synteresis adalah pengetahuan intuitif tentang prinsip-prinsip moral, yang menurut Thomas Aquinas berasal langsung dari Tuhan dan tidak mungkin keliru. Apabila manusia menghadapi situasi konkret yang mengharuskannya untuk memilih sikap-sikap moral tertentu, maka yang wujud pada saat itu adalah suara hati (conscientia).

Jika hati nurani adalah suara Tuhan, maka tidak demikian halnya dengan suara hati. Suara hati memang merupakan suara kejujuran, tetapi tidak identik dengan hakikat kebenaran itu sendiri. Suara hati mungkin saja salah, tetapi kesalahan suara hati itu disebabkan karena ketidaktahuan si pemilik suara hati tersebut, bukan karenaia sengaja berbuat salah. Kesalahan suara hati terjadi karena input data (berupa nilai-nilai) yang dijadikan bahan pertimbangan moral tersebut tidak valid, kurang lengkap atau bahkan menyesatkan. Contoh bahwa “prasangka etnis”

yang sejak darimasa kecil diindoktrinasikan kepada seseorang, akan berpengaruh besar untuk menyesatkan suara hatinya, dan dijadikan alasan pembenar terhadap perilaku pembantaian etnis dalam sejarah umat manusia.

Setiap orang memiliki otonomi terhadap suara hatinya. Ini berarti setiap orang berwenang sepenuhnya memilih cara untuk membina dan memelihara suara hatinya. Kebebasan memilih cara tersebut menuntut tanggung jawab pada diri yang bersangkutan, seperti memilih teman bergaul, memilih pasangan hidup, memilih bahan bacaan dan lain sebagainya.

[ 66 ] Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H.

Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum

Dalam dokumen ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM (Halaman 77-82)

Dokumen terkait