• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Mutu ( Quality )

2.2.3 Dimensi Mutu Pelayanan

Cronin dan Taylor (1994) menyatakan bahwa tidak ada satu dimensi mutu pelayanan yang sesuai untuk diterapkan pada semua bidang usaha. Namun demikian, dalam pengukuran mutu pelayanan, yang berhak menentukan adalah konsumen dan bukan pihak manajemen (Parasuraman,1985; Cronin & Taylor,1994; Lagrosen,2004).

Menurut Parasuraman et al. (1991), dimensi mutu pelayanan yang dikenal dengan SERVQUAL dimensions terdiri dari lima dimensi, yaitu:

a. Tangibles, yaitu kondisi fisik yang meliputi fasilitas, perlengkapan dan penampilan petugas.

b. Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan secara akurat, konsisten dan dapat diandalkan.

c. Responsiveness, yaitu kemampuan untuk bersikap tanggap terhadap kebutuhan pelanggan.

d. Assurance, yaitu pengetahuan yang memadai dari petugas, kesopanan serta percaya diri serta dapat dipercaya.

e. Empathy, yaitu kemampuan untuk memberikan perhatian secara personal kepada pelanggan.

Gronroos (1998) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi utama dari mutu pelayanan yaitu functional (process-related), technical (outcome-related) dan image-related criteria. Ketiga dimensi ini dapat dijabarkan menjadi enam kriteria

pelayanan bermutu baik yang dipersepsikan oleh pelanggan (good perceived service quality), yaitu:

a. Professionalism and Skill

Kriteria ini merupakan outcome-related criteria, dimana konsumen menyadari bahwa penyedia jasa (service provider), karyawan, sistem operasional dan sumber daya fisik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah konsumen secara profesional.

b. Attitude and Behavior

Kriteria ini adalah process-related criteria, dimana konsumen merasa bahwa karyawan perusahaan (contact personnel) menaruh perhatian terhadap kebutuhan mereka dan berusaha membantu memecahkan masalah konsumen secara spontan dan dengan senang hati.

c. Accessibility and Flexibility

Kriteria ini termasuk process-related criteria, dimana konsumen merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan dijalankan sedemikian rupa sehingga memudahkan konsumen untuk mengakses layanan. Selain itu juga dirancang agar bersifat fleksibel dengan maksud agar dapat menyesuaikan permintaan dan keinginan konsumen. d. Reliability and Trustworthiness

Krteria ini termasuk process-related criteria, dimana konsumen memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan mereka kepada penyedia jasa.

e. Recovery

Kriteria ini termasuk process-related criteria, dimana konsumen meyakini bila terjadi kesalahan atau sesuatu yang tidak diharapkan oleh kedua belah pihak, maka penyedia jasa akan mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan tepat.

f. Reputation and Credibility

Kriteria ini termasuk image-related criteria, dimana konsumen meyakini bahwa pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya.

Model dimensi mutu pelayanan juga dikembangkan oleh Brady dan Cronin (2001), sebagai penyempurnaan dari dimensi SERVQUAL. Model ini meliputi tiga dimensi utama dan sembilan subdimensi. Tiga dimensi mutu pelayanan tersebut yaitu: interaction quality, physical environment quality dan outcome quality.

a. Interaction quality

Menurut Bateson (1989) pelayanan bersifat tidak berwujud dan memiliki karakteristik berupa proses yang berkesinambungan dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Dengan demikian interaksi interpersonal selama proses penyampaian layanan memegang peranan besar pada persepsi konsumen tentang mutu pelayanan (Gronroos,1982). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Brady dan Cronin (2001) didapatkan bahwa persepsi konsumen tentang interaction quality dibentuk oleh tiga variabel, yaitu attitude (sikap), behavior (perilaku) dan expertise (keahlian).

1) Attitude (sikap)

Sikap adalah reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmojo, 2007). Menurut Newcomb (2007) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan predisposisi dari suatu perilaku dan belum terwujud sebagai suatu tindakan atau aktivitas (Newcomb, 2007). Dalam konteks kualitas jasa menurut Brady dan Cronin (2001), sikap merupakan salah satu tolok ukur penilaian kualitas interaksi. Sikap dari staf penyedia jasa memberikan pengaruh pada penilaian atas kualitas jasa yang diterima oleh pelanggan. 2) Behavior (perilaku)

Skinner (1938) mendefiniskan perilaku sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus. Menurut Brady dan Cronin (2001) perilaku staf penyedia jasa pada saat berinteraksi dengan pelanggan merupakan salah satu tolok ukur penilaian kualitas pelayanan yang diperoleh oleh pelanggan.

3) Expertise (keahlian)

Dalam konteks kualitas jasa, keahlian dapat dilihat dari kompetensi, keterampilan dan profesionalisme dari penyedia jasa itu. Fowdar (2005) menyebutkan bahwa evaluasi pasien terhadap jasa atau pelayanan yang mereka terima didasarkan pada profesionalisme, kompetensi serta komunikasi.

b. Physical environment quality

Lingkungan fisik juga mempengaruhi penilaian pelanggan terhadap kualitas pelayanan. Menurut Bitner (1992) karakteristik dasar jasa yang tidak berwujud membutuhkan kehadiran pelanggan dalam proses penyampaiannya. Dengan demikian lingkungan sekitar dapat secara signifikan mempengaruhi persepsi pelanggan secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Brady dan Cronin (2001) menunjukkan adanya beberapa variabel yang mempengaruhi persepsi kualitas lingkungan fisik, yaitu: kondisi ruangan (ambient conditions), desain ruangan (design factors) dan faktor sosial (social factors). Berikut diuraikan mengenai variable tersebut di atas:

1) Ambient conditions

Kondisi ruangan merupakan aspek non visual dari ruangan yang meliputi suhu, aroma dan musik (Bitner, 1992). Menurut Brady dan Cronin (2001) persepsi terhadap kondisi ruangan di fasilitas pelayanan dapat secara langsung mempengaruhi penilaian pelanggan terhadap kualitas dari lingkungan fisik yang pada akhirnya mempengaruhi persepsi terhadap kualitas layanan secara keseluruhan.

2) Design factors

Desain ruangan mengacu pada arsitektur maupun tata letak ruangan, atau rancangan fasilitas yang ada di dalamnya. Desain ruangan dapat dilihat baik dari segi fungsional (praktikal) maupun estetik (menyenangkan secara visual). Menurut Bitner (2001), desain ruangan merupakan salah satu

unsur tangibles (keberwujudan) yang dapat mempengaruhi penilaian pelnggan terhadap kualitas jasa.

3) Social factors

Faktor sosial merujuk pada jumlah dan tipe orang-orang yang berada di lingkungan fasilitas pelayanan, beserta dengan perilaku mereka (Aubert- Garbet dan Cova, 1999). Faktor sosial disebutkan oleh Baker (1986), dimana salah satu contoh pengaruh negatif dari faktor ini adalah keributan yang ditimbulkan oleh sekelompok orang atau gangguan yang dirasakan karena kegaduhan yang disebabkan oleh tangisan bayi.

c. Outcome quality

Kualitas hasil adalah apa yang diterima oleh pelanggan saat proses produksi berakhir (Gronroos, 1998). Rust dan Oliver (1994) menyebut kualitas hasil sebagai produk dari jasa. McAlexander, Kaldenberg dan Koenig (1994) menyatakan bahwa kualitas hasil dalam industri pelayanan kesehatan mengacu pada terminologi technical care dan menetapkannya sebagai determinan primer persepsi pasien terhadap kualitas jasa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Brady dan Cronin (2001), didapatkan beberapa variabel yang dapat mempengaruhi penilaian pelanggan terhadap kualitas hasil, yaitu waktu tunggu (waiting time), bukti fisik (tangibles) dan kesan (valence). Berikut diuraikan masing-masing variable tersebut:

1) Waiting time (waktu tunggu)

Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) menyatakan bahwa pelanggan menilai ketepatan waktu merupakan bagian yang menentukan dalam

keseluruhan penilaian terhadap kualitas jasa. Pengaruh waktu tunggu terhadap kepuasan konsumen dalam bidang perbankan dan penerbangan telah dibuktikan secara empiris dalam penelitian yang dilakukan oleh Katz, larson dan Lason (1991) dan Taylor dan Claxton (1994). Dengan demikian, waktu tunggu merupakan subdimensi dari kulaitas hasil.

2) Tangibles (bukti fisik)

Konsumen menempatkan bukti fisik dalam urutan teratas dalam melakukan penilaian kualitas hasil dari pelayanan (Booms dan Bitner, 1981). Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) menyatakan bahwa bukti fisik adalah faktor yang dipertimbangkan oleh konsumen dalam pembentukan persepsi terhadap kualitas pelayanan.

3) Valence (kesan akhir)

Dalam penelitian yang dilakukan Brady dan Cronin (2001) didapatkan faktor yang diungkapkan oleh konsumen, yang melampaui waktu tunggu dan bukti fisik, yaitu kesan. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar faktor yang membentuk kesan pada konsumen adalah di luar kendali langsung dari pengelola jasa. Namun demikian, faktor tersebut mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kualitas jasa. Artinya adalah bahwa konsumen mungkin memiliki persepsi positif pada setiap dimensi kualitas pelayanan, namun kesan negatif dari hasil akhir dapat mengakibatkan pengalaman yang kurang menyenangkan pada konsumen.

Dokumen terkait