• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dua Dimensi Nancy Fraser

Dalam konsep keadilan, Nancy Fraser mencoba melunakkan argumentasi libe- ral menyangkut pertarungan antara keadilan distribusi dan keadilan akses, dan menawarkan pengertian keadilan berdimensi dua:

„Pada tahapan teoritis perlulah merancang konsep keadilan dengan dua dimensi, yang mampu menyesuaikan tuntutan-tuntutan legitimasi terhadap keadilan sosial dengan tuntutan-tuntutan legitimasi terhadap pengakuan adanya perbedaan.

(Fraser 2003: 17 f.)

Tesis Fraser mengatakan, bahwa setiap ketidakadilan atau pengesampingan baik pengesampingan ekonomis maupun kurangnya pengakuan itu sesunggunhnya meliputi bagian-bagian yang spesiik:

Gambar. 3: Ungkapan keadilan Nancy Frasers

Sebagai contoh pengesampingan kaum LGBT, yang terutama diletakkan di

Budaya Pengakuan terkait status sosial

Dimensi Ekonomi “ketidaksetaraan ekonomi“

29 Keadilan butuh strategi multidimensional Bayangan sebuan „paritas partisipatoris“

Di sini, keadilan hanya bisa diraih, jika konstelasi spesiik dari penge- sampingan dalam dimensi status dan ekonomi itu diikutsertakan. Sebagai contoh kedua bisa diajukan tentang stigmatisasi dan eksklusivi- tas kelompok pengangguran dalam masyarakat. Memang pengesampi- ngan kelompok ini sebagian besarnya terletak pada buruknya kedudukan materiil. Namun, studi-studi empiris selalu membuktikan, bahwa penghormatan dan pe- ngakuan masyarakat yang artinya status kemasyarakatan, bagi kelompok ini juga merupakan masalah besar. Agar tercipta keadilan dan partispasi, perlulah strategi yang cukup menyertakan kedua dimensi tersebut.

Jadi, mula-mula Frasser menggambarkan satu cara analitis guna meneliti perlakuan yang berbeda atau ketidakadilan. Tapi, ia juga memformulasinya secara normatif tentang keadilan. Keadilan dipahaminya sebagai paritas (kesamaan nilai) yang par- tisipatoris.

Katanya: „Inti normatif konsepsi saya terdiri dari satu paritas yang partisipatoris. Ber- dasarkan norma ini, keadilan membutuhkan tindakan-tindakan pencegahan, yang mengijinkan anggota masyarakat yang dewasa, untuk berhubungan satu dengan lainnya secara setara. Agar paritas yang partisipatoris itu dimungkinkan, paling tidak haruslah, terpenuhi dua persyaratan berikut. Pertama haruslah terjamin pembagian sumberdaya materiil dan “hak-hak bersuara” para partisipan. Hal pertama ini saya sebut sebagai persyaratan obyektif. Dari awalnya saya mengabaikan, bentuk dan tahapan tertentu dari ketergantungan dan ketimpangan ekonomi , yang mempersulit paritas partisipasif (…). Persyaratan kedua sebaliknya, menuntut, „pattern“ (pola) nilai kultural yang terinstitusionalisasi memberikan rasa hormat yang sama kepada anggota masyarakat dewasa dan menjamin persamaan peluang dalam memper- oleh rasa hormat masyarakat. Hal ini saya namakan persyaratan intersubyektif dari paritas partisipatoris” (Fraser 2003: 54 dst.)

Nancy Fraser(kelahiran 1947) adalah guru- besar ilmu politik pada New School for Social Research di New York. Ia tergolong sebagai salah seorang teoritisi feminis terkenal.

Publikasi-publikasinya tentang teori feminis, teori keadilan dan teori kritis.

Kriteria bagi sebuah perlakuan berbeda yang (tidak) adil

Dua strategi memberlakukan

keadilan

Seperti yang dilakukan Rawl, Fraser pun menyebutkan, kriteria pengidentiika- sian dan pengecualian tentang perlakuan berbeda yang adil dan yang tidak adil. Ia mengusulkan kriteria sebagai berikut:

„Untuk kedua dimensi digunakan kriteria umum yang sama, guna membeda- kan tuntutan-tuntutan yang sah dan tidak sah. Terlepas dari apakah pemba- gian atau pengakuan itu kemudian menjadi masalah. Mereka yang dirugikan haruslah menunjukkan, bahwa tindakan pencegahan merintangi mereka, untuk berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang setara“ (Fraser 2003: 57 dst.)

L an gkah - lan gkah p e n gujian

1. Analisa: Pembedaan perlakuan yang ditemui? Bagaimana penampilan kedua dimensi tersebut?

2. Penggunaan kriteria: Bagaimana tindakan pencegahan aturan yang me- rintangi paritas yang partisipatoris?

3. Alternatif-alternatif: Perubahan dan strategi apa saja yang dapat mengem- balikan paritas yang partispatoris?

Langkah-langkah pengujian ini (analisa berdasarkan dua dimensi terhadap tudingan ketidakadilan yang kongkrit, penggunaan, dan alternatif), menurut Fraser terutama merupakan persoalan perundingan dan tawar-menawar yang demokratis.

Satu uji praktis di sini tentu saja bermanfaat. Contohnya menyertakan diskusi- diskusi tentang asurasi warga dibandingkan asuransi berdasarkan perhitungan rata-rata (hal. 47 dst.).

Guna mengatasi ketidakadilan, Fraser mendiskusikan dua strategi kemasyaraka- tan yang berbeda (Fraser 2003: 102 dst.). Yakni airmasi (penyesuaian diri pada keadaan yang ada) dan tranformasi (perubahan).

31

Titik tolak „reformis yang tidak reformistis“

kan sekedar dilunakkan belaka. Satu strategi transformatif yang dilakukan oleh kubu sosialis bisa berupa menggantikan ekonomi pasar bebas dengan konsti- tusi pasar yang sosialis.

Kedua strategi diatas ditolak oleh Fraser. Sebaliknya, ia menyajikan strategi ketiga, yang menurut André Gorz disebut sebagai „reformasi yang tidak reformistik“, Pengertian yang sulit dan saling bertolak belakang itu berkaitan dengan pro- yek sosial demokatis:

Pada periode Fordist, strategi reformasi yang tidak reformistik menguasai pemahaman sebagian sayap kiri kubu sosial demokrat. Dalam perspektif ini, posisi sosial demokrasi dipahami bukan sebagai negara kesejahteraan liberal yang afirmatif di satu pihak dan sosialitis yang tansformatif di lain pihak. Sosial Demokrasi lebih dipahami sebagai rejim yang dinamis, yang perkembangannya transformatif berjangka panjang. Pemikirannya adalah, mula-muka melemba- gakan sederet reformasi distribusi yang agaknya afirmatif, ke dalamnya termasuk tunjangan sosial, pengenaan pajak progresif, tindakan-tindakan makro ekono- mis untuk menciptakan keadaan tanpa pengangguran (full-employment), satu pasar bebas sektor publik yang matang dan porsi nyata pemilikan publik dan/ atau kolektif. Kendati tindakan-tindakan politis ini tidak merubah struktur yang kapitalistik, namun tetap diharapkan, bahwa secara keseluruhan, dapat mem- pengaruhi perimbangan kekuatan antara modal dengan kerja, sehingga secara jangka panjang, juga transformatif sehingga menguntungkan kekuatan kerja. Tentu saja, harapan ini tidaklah keliru samasekali. Namun akhirnya, pemikiran sosial demokrasi ini tak pernah terpenuhi, karena neoliberalisme segera mem- bungkam eksperimen tersebut“ (Frase 2003:110 dst.)

Strategi “reformasi yang non-reformistis” ini mencoba membangun jembatan antara konsep-konsep keadilannya sosial-liberalistis dengan sosialistis.

Alasan politis dari pembedaan distribusi

Keadilan prestasi

2.2.4. Dimensi politik keadilan antara