• Tidak ada hasil yang ditemukan

9 TANTANGAN KOMUNIKASI KELUARGA DI ERA DIGITAL

5. Dimensi Situasi Komunikas

Lebih dari 30 persen remaja perempuan dan laki-laki menjawab “sering”

merasa nyaman berkomunikasi dengan ayah. Selain itu, ayah dinilai “sering”

memahami diri mereka. Di mata remaja perempuan dan laki-laki, ayah juga

“sering” tampak kesal jika pendapatnya dibantah. Hampir 40 persen remaja

perempuan menyatakan ayah “selalu” mendorong untuk mengemukakan ide, sedangkan 36.7 persen remaja laki-laki mengatakan “sering”. Lebih banyak

remaja perempuan yang menjawab “selalu” berkomunikasi dua arah dengan ayah (41.3%), dan berani mengungkapkan pendapatnya (36.9%). Sementara sebagian besar remaja laki-laki menjawab “sering” untuk kedua pertanyaan tersebut. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa lebih banyak remaja perempuan yang berbicara dengan ayah menggunakan bahasa informal dibandingkan dengan remaja laki-laki.

Pola Komunikasi Remaja dengan Ibu 1. Dimensi Topik Pembicaraan

Dilihat dari dimensi topik pembicaraan, remaja perempuan bisa dikatakan lebih terbuka kepada ibu untuk membicarakan berbagai hal dibandingkan dengan remaja laki-laki. Sebagian besar remaja perempuan mengungkapkan bahwa ibu

tawuran, narkoba, hubungan seks bebas, dan merokok (44.2%), sedangkan persentase remaja laki-laki yang menjawab “selalu” lebih kecil (37.3%). Jika ada masalah keuangan, 39.3 persen remaja perempuan akan “selalu” meminta bantuan ibu, sementara remaja laki-laki sebagian besar menjawab “sekali-sekali”. Temuan lain menunjukkan bahwa lebih banyak remaja perempuan yang “selalu” mengungkapkan isi hatinya, membicarakan masalah di sekolah, dan memberitahukan cita-citanya kepada ibu. Selain itu, lebih banyak remaja

perempuan yang mengungkapkan bahwa ibu “selalu” menanyakan siapa pacar mereka (27.7%) dibandingkan remaja laki-laki (12.7%). Penelitian ini memperlihatkan bahwa dibanding remaja laki-laki, remaja perempuan lebih terbuka mengungkapkan perasaannya kepada ibu. Diduga bahwa kesamaan jenis kelamin merupakan faktor utama keterbukaan remaja perempuan dengan ibunya.

Pembicaraan mengenai nilai ulangan, pelajaran sekolah, dan perkembangan teknologi informasi, baik remaja perempuan maupun remaja laki-laki lebih

banyak yang menyatakan “sekali-sekali” memberitahukan atau bertanya ke ibu. Remaja laki-laki bisa dikatakan lebih banyak menjawab “sekali-sekali” untuk beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan topik pembicaraan. Lebih dari 40 persen remaja perempuan mengaku “sering” menceritakan perihal teman- temannya kepada ibu, sebaliknya lebih dari 40 persen remaja laki-laki

mengatakan “sekali-sekali” saja. Demikian pula pembicaraan yang berkaitan dengan pelajaran di sekolah, lebih dari setengah remaja laki-laki menyatakan

“sekali-sekali” bertanya kepada ibu.

2. Dimensi Durasi Pembicaraan

Sehubungan dengan durasi pembicaraan remaja dengan ibu, baik remaja perempuan maupun laki-laki sebagian besar berkomunikasi cukup lama (lebih dari 30 menit). Hampir 60 persen remaja perempuan mengungkapkan “selalu” berkomunikasi dengan ibu lebih dari 15 menit, dan 30 persen “selalu” berkomunikasi dengan ibu lebih dari 30 menit saat dalam perjalanan dan melakukan kegiatan bersama. Pada remaja laki-laki, 40 persen lebih menyatakan

“sering” berkomunikasi dengan ibu lebih dari 15 menit, dan sekitar 30 persen

“sering” berkomunikasi dengan ibu lebih dari 30 menit saat dalam perjalanan dan menonton tayangan televisi. Dengan demikian, durasi pembicaraan remaja perempuan dan laki-laki dengan ibu dapat dikatakan intens dan tidak ada perbedaan yang menyolok di antara keduanya.

3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan

Dimensi frekuensi pembicaraan menunjukkan bahwa sebagian besar remaja perempuan (76.7%) dan remaja laki-laki (61.4%) menyatakan “selalu” berkomunikasi dengan ibu setiap hari. Remaja perempuan memperlihatkan kecenderungan jawaban “selalu” yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Sebanyak 56.8 persen remaja perempuan dan 36.7 persen remaja laki- laki mengungkapkan bahwa ibu selalu menyediakan waktu pada hari libur untuk berkomunikasi. Lebih dari 40 persen remaja perempuan “selalu” mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dengan ibu saat makan malam dan sebelum berangkat ke sekolah, serta hampir 40 persen “selalu” berkomunikasi dengan ibu saat sarapan. Untuk pertanyaan yang sama, 40 persen lebih remaja laki-laki

mengatakan “sering” berkomunikasi dengan ibu saat makan malam dan hampir 35 persen mengatakan “sekali-sekali” berkomunikasi saat sarapan.

4. Dimensi Media Komunikasi

Pada dimensi media komunikasi, tampak bahwa intensitas remaja perempuan untuk berhubungan dengan ibu lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Mayoritas remaja perempuan (63.1%) menyatakan “selalu” memberitahu ibu melalui telepon genggam atau media komunikasi lain jika terlambat pulang, sedangkan remaja laki-laki sebanyak 32.5 persen menjawab

“selalu”. Lebih dari 30 persenremaja perempuan mengatakan bahwa ibu “selalu”

mengingatkan agar berhati-hati menulis sesuatu di media sosial. Untuk hal yang sama (mengingatkan agar berhati-hati menulis sesuatu di media sosial), remaja laki-laki lebih banyak yang menyatakan “sekali-sekali” (34.9%). Namun demikian, remaja perempuan dan laki-laki sepakat bahwa sekalipun ibu sedang sibuk, mereka tetap dapat berkomunikasi dengan ibu melalui media komunikasi apa pun. Jika ada hal yang penting untuk disampaikan kepada orang tua, sebanyak 60 persen remaja perempuan dan 40 persen lebih remaja laki-laki memilih menyampaikan ke ibu secara langsung.

5. Dimensi Situasi Komunikasi

Situasi komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan ibu terlihat baik. Lebih dari setengah remaja perempuan dan 40 persen lebih remaja laki-laki

mengungkapkan bahwa mereka “selalu” merasa nyaman berkomunikasi dengan ibu. Lebih dari 40 persen remaja perempuan dan laki-laki menilai bahwa ibu

“selalu” memahami diri mereka. Temuan lain, hampir setengah remaja perempuan

menyatakan bahwa komunikasi dengan ibu “selalu” berlangsung dua arah,

sedangkan remaja lelaki lebih banyak yang mengatakan “sering” (45.8%). Demikian pula dalam hal keberanian mengungkapkan pendapat kepada ibu, lebih dari 50 persen remaja perempuan menjawab “selalu”, sedangkan 40 persen remaja lelaki menjawab “sering”. Hampir 40 persen remaja perempuan menyatakan

bahwa ibu “selalu” mendorong untuk mengemukakan ide, sedangkan persentase remaja lelaki yang menjawab “selalu” sebanyak 25.3 persen. Di mata remaja

perempuan, ibu hanya “sekali-sekali” tampak kesal jika pendapatnya dibantah (34.5%), sementara 38 persen remaja laki-laki mengatakan “sering”.

Pola komunikasi remaja perempuan-ayah tampaknya lebih baik dibandingkan dengan pola komunikasi remaja lelaki-ayah. Hal ini berhubungan dengan keterbukaan komunikasi antara remaja dengan orang tua. Driscoll dan Pianta (2011) mengatakan bahwa ayah melaporkan lebih dekat dengan anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Terhadap ibu, anak-anak baik perempuan maupun laki-laki relatif merasakan kedekatan. Berbeda dengan temuan Driscoll dan Pianta (2011), Barbato et al. (2009) mengungkapkan bahwa ayah melaporkan berkomunikasi lebih banyak dengan anak laki-laki dan ibu lebih banyak dengan anak perempuan ketika motif mereka untuk menjauh dari tekanan kerja dan kekhawatiran. Barbato et al. (2009) menyimpulkan bahwa orang tua lebih senang berbicara dengan anak-anak yang memiliki kesamaan jenis kelamin.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa komunikasi remaja dengan ibu lebih baik daripada komunikasi remaja dengan ayah. Sesuai dengan penelitian Heller et al. (2006), keterbukaan komunikasi remaja dengan ibu lebih tinggi daripada

remaja dengan ayah. Hal ini karena Ibu menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak-anak. Tak heran jika remaja merasa lebih nyaman bertanya kepada ibu daripada kepada ayah, terlebih pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah seksualitas. Dalam 20 tahun terakhir peran ayah tidak menghasilkan banyak perbedaan (Downie & Coates 1999). Temuan Charoenthaweesub dan Hale (2011) menguatkan bahwa remaja melaporkan kesenjangan komunikasi dengan ayah (32.6%) lebih besar daripada dengan ibu (23.6%).

Temuan ini juga membuktikan bahwa ada perbedaan cara berkomunikasi antara remaja perempuan dan remaja laki-laki dengan orang tuanya. Menurut Supriadi (2004), perempuan untuk mendapatkan kedudukan yang setara harus berjuang dengan daya upaya sendiri, bahkan menyelesaikan masalahnya sendiri. Dari sisi orang tua pun ada perbedaan dalam cara berkomunikasi dengan anak- anaknya. Hasil penelitian Barbato et al. (2009) mengungkapkan bahwa ayah

cenderung berkomunikasi dengan kasih sayang terhadap anak-anak melalui kegiatan bersama daripada menampilkan secara verbal.

Barnes dan Olson (Galvin et al. 2004) mengungkapkan bahwa keluarga

yang memiliki kohesi dan fleksibilitas tinggi, komunikasi dengan remajanya lebih baik dibandingkan keluarga yang tingkat kohesi dan fleksibilitasnya rendah. Orang tua yang berkomunikasi baik dengan remajanya melaporkan bahwa mereka mengenal teman-teman anaknya. Namun demikian, Sacks et al. (2014)

mengungkapkan bahwa komunikasi remaja dan keluarga yang baik tidak berarti menghilangkan konflik antara orang tua dan remaja. Konflik terjadi karena remaja sedang mengembangkan nalar dan keterampilan berpikir kritisnya.

Pengaruh Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga terhadap Kecerdasan Emosional dan Prestasi Belajar

Berapa banyak orang tua yang menyadari bahwa pola komunikasi remaja dengan keluarga berpengaruh terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar? Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa model pada Gambar 9 telah mencapai tingkat kesesuaian yang memadai. Model struktural yang dihasilkan memiliki

Goodness of Fit yang baik atau cocok dengan data yang dikumpulkan (Tabel 46).

Hasil penelitian membuktikan bahwa item loading untuk peubah laten pola

komunikasi remaja dengan keluarga menunjukkan kelima dimensi yang dianalisis (topik, durasi, frekuensi, media, dan situasi komunikasi) valid dan reliabel. Gambar 9 menunjukkan kontribusi (loading factor) dari masing-masing dimensi

pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Pada pola komunikasi remaja dengan keluarga, kontribusi terbesar sampai terendah berturut-turut adalah: topik pembicaraan (0.76), media komunikasi (0.74), durasi pembicaraan (0.73), situasi komunikasi (0.71); dan frekuensi pembicaraan (0.61).

0.77* 0.48* 0.71* 0.49* 0.62* 0.62* 0.32* 0.42* 0.58* 0.76* 0.90* 0.47* 0.73* 0.75* 0.44* 0.63* 0.61* 0.50* 0.74* 0.45* 0.63* 0.25* 0.71* 0.94* 0.50* 0.07 0.99*

Gambar 9 Model struktural pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar Topik Durasi Frekuensi Media Situasi Pola Komunikasi Remaja-Keluarga Prestasi Belajar Kecerdasan Emosional Kesadaran emosi Pengelolaan emosi Kemampuan memotivasi Kemampuan empati Kemampuan Membina Hubungan Prestasi Non- Akademik Prestasi Akademik

Tabel 45 Kriteria kesesuaian SEM pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar

Goodness of Fit Cutt off Value Hasil Keterangan

Root Mean Square Residual (RMR) ≤ 0.05 atau ≤ 0.1 0.040 Good Fit

Root Mean square Error of Approximation

(RMSEA) ≤ 0.08 0.048 Good Fit

Goodness of Fit (GFI) ≤ 0.9 0.99 Good Fit

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) ≤ 0.9 0.98 Good Fit

Comparative Fit Index (CFI) ≤ 0.9 1.00 Good Fit

Normed Fit Index (NFI) ≤ 0.9 0.94 Good Fit

Non-Normed Fit Index (NNFI) ≤ 0.9 0.95 Good Fit

Incremental Fit Index (IFI) ≤ 0.9 1.00 Good Fit

Relative Fit Index (RFI) ≤ 0.9 0.97 Good Fit

Hal ini berarti kebutuhan remaja untuk membicarakan berbagai topik pembicaraan dengan orang tuanya sangat tinggi. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian kualitatif Tinnfa¨lt et al. (2015) pada remaja Swedia berusia 16–17 tahun yang mengungkapkan bahwa remaja memiliki keinginan untuk berkomunikasi dengan orang tuanya tentang banyak hal, seperti perasaan, teman, dan sekolah, dan mereka ingin orang tua aktif dalam komunikasi. Dalam upaya ini, orang tua harus membantu, mendengarkan, serta memberikan dukungan dan saran kepada remaja.

Faktanya, Baxter dan Akkoor (2011) mengungkapkan bahwa remaja dan orang tua jarang membicarakan masalah seksualitas. Sebaliknya, topik persahabatan dan kegiatan sehari-hari adalah perbincangan yang sering dilakukan orang tua dan remaja. Orang tua tampaknya memberi ruang untuk membicarakan topik persahabatan dan kegiatan sehari-hari secara bebas di lingkungan terbuka.

Hasil dekomposisi efek memperlihatkan bahwa pola komunikasi remaja dengan keluarga berpengaruh langsung dan nyata terhadap kecerdasan emosional siswa sebesar 0.58 (33.6%). Peubah prestasi belajar dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung dari pola komunikasi remaja dengan keluarga dan kecerdasan emosional. Pola komunikasi remaja dengan keluarga memberikan pengaruh langsung paling besar terhadap pencapaian prestasi belajar siswa sebesar 0.63 (39.7%) ditambah pengaruh tidak langsung sebesar 0.29. Kecerdasan emosional berpengaruh langsung kepada prestasi belajar sebesar 0.50 (25.0%). Data disajikan pada Tabel 46.

Tabel 46 Hasil dekomposisi efek pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar

Peubah Total

TE DE IE

Kecerdasan Emosional ƞ1

Pola Komunikasi Remaja-Keluarga ξ1 0.58* 0.58* 0.00

Peubah TE DE IE

Prestasi Belajar ƞ2

Pola Komunikasi Remaja-Keluarga ξ1 0.92* 0.63* 0.29

Kecerdasan Emosional ƞ1 0.50 0.50 0.00

TE= Efek Total DE=Efek Langsung IE= Efek Tidak Langsung Keterangan: *berbeda nyata pada P < 0.05

Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa kontribusi terbesar hingga terendah yang dihasilkan oleh peubah kecerdasan emosional sebagai berikut: kemampuan membina hubungan (0.75); pengelolaan emosi (0.71); kemampuan memotivasi (0.62), kesadaran emosi (0.48), dan kemampuan empati (0.32). Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja akhir sudah dapat mengelola emosinya dengan benar dan mampu membina hubungan baik dengan orang lain. Temuan ini juga memperlihatkan bahwa kemampuan empati remaja masih relatif rendah dan perlu lebih dikembangkan. Hal ini dapat dipahami mengingat penelitian dilakukan di wilayah Kotamadya Bogor, sehingga karakteristik remaja yang diteliti cenderung memperlihatkan karakter remaja kota yang kurang peduli terhadap lingkungan di sekitarnya.

Gottman (1997) menemukan bahwa orang tua yang terlibat dalam pembinaan emosi, yang berfokus membahas emosi dan berkembang sesuai kemampuan memecahkan masalah, membesarkan anak-anak yang bergaul lebih baik dengan teman-temannya, memiliki masalah perilaku lebih sedikit, dan kurang rentan terhadap tindak kekerasan, mereka lebih mampu menenangkan diri, bangkit kembali dari marabahaya, dan melanjutkan dengan kegiatan produktif. Individu yang menderita keengganan bicara (bersikap diam) tidak mungkin belajar cara-cara yang produktif untuk mengatasi emosi negatif, seperti rasa takut karena dianggap bodoh. Ketika rasa takut karena dianggap bodoh membayangi kebutuhan untuk berkomunikasi, keengganan bicara pun terjadi.

Pembicaraan memperkuat hubungan keluarga melalui peningkatan kepercayaan, pengertian, dan komunikasi terbuka (Keating et al. 2013). Temuan Gottman memperlihatkan bahwa anak-anak belajar dari diskusi mengenai perasaan mereka dengan orang tuanya dan bagaimana memanfaatkan emosi secara tepat dalam situasi yang berbeda. Orientasi percakapan yang tinggi, tampaknya menciptakan lingkungan belajar yang positif bagi anak-anak sekaligus membentuk sikap memahami emosi orang lain. Di sisi lain, orientasi percakapan yang rendah juga membentuk sikap pada anak-anak bahwa mereka tidak perlu membicarakan perasaan mereka dan menyimpulkan bahwa emosi mereka tidak penting dan dapat disimpan untuk diri sendiri (Keaton & Kelly 2008). Temuan Hojatkhah et al. (2014) menguatkan bahwa keluarga dengan skor orientasi dialog

berkomunikasi satu sama lain tanpa batasan, mengungkapkan perasaan dengan mudah, berkonsultasi dalam mengambil keputusan, berkomunikasi dan berinteraksi yang tinggi, serta fleksibel.

Jumlah anak dalam satu keluarga juga menentukan perkembangan emosinya. Hasil penelitian Naghavi dan Redzuan (2012) tentang hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional mengungkapkan bahwa remaja dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota lebih sedikit cenderung menunjukkan kecerdasan emosional lebih tinggi. Lebih dari 30 persen remaja dalam penelitian ini berasal dari keluarga yang memiliki 2 atau 3 orang anak. Meskipun ada sebagian remaja yang berasal dari keluarga dengan anak lebih dari 4 orang, jumlahnya relatif sedikit. Bila orang tua meningkatkan intensitas komunikasinya dengan remaja dan mengarahkan topik pembicaraan untuk menggali dan mengembangkan emosinya, maka besar kemungkinan kecerdasan emosionalnya akan meningkat.

Berkaitan dengan peubah prestasi belajar, hasil penelitian memperlihatkan bahwa pola komunikasi remaja dengan keluarga berkontribusi lebih besar terhadap prestasi belajar daripada kecerdasan emosional. Pengaruh total pola komunikasi remaja-keluarga terhadap prestasi belajar yaitu 0.92; sedangkan pengaruh total terhadap kecerdasan emosional adalah 0.58. Hal ini berarti, jika kualitas dan kuantitas komunikasi remaja dengan keluarganya ditingkatkan, maka prestasi belajar remaja pun akan lebih baik lagi. Temuan ini sekaligus membuktikan bahwa orang tua lebih mengedepankan (memprioritaskan) pengembangan intelektual remaja dan kurang memberi perhatian serius terhadap pengembangan emosinya.

Untuk meningkatkan perilaku prososial, remaja dan orang tua harus berada dalam satu tujuan (Heller et al. 2006). Hoffman (1991) dalam Heller et al. (2006)

mengungkapkan bahwa jenis kelamin dan persepsi remaja dalam komunikasi orang tua-remaja merupakan faktor penting dalam memahami empati remaja. Ketika orang tua dan remaja berkomunikasi secara terbuka, remaja melaporkan tingkatan empati yang lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat memberikan motivasi bagi keterlibatan prososial dalam penilaian moral, pengambilan keputusan, dan perilaku. Empati juga merupakan faktor kunci yang berkaitan dengan kecerdasan emosional remaja.

Hasil penelitian Yuliawati (2008) mengungkapkan dua karakteristik yang diperlukan orang tua untuk menjadi model dan mentor kecerdasan emosional. Pertama, memiliki waktu kebersamaan yang lebih lama dengan remaja. Kedua, memiliki kualitas pribadi sebagai berikut: dapat dipercaya, memberikan kenyamanan emosional, dan dapat memahami gaya komunikasi remaja. Temuan Naghavi dan Redzuan (2012) menyimpulkan bahwa remaja yang orang tuanya konsisten mempraktikkan pembinaan emosi memiliki kesehatan fisik yang baik dan skor akademis yang lebih tinggi daripada remaja yang keluarganya tidak menawarkan bimbingan.

Kecerdasan emosional memiliki efek positif dan tampaknya peka terhadap pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, penting mempelajari bagaimana anak-anak dan remaja dapat mengembangkan kecerdasan emosional yang lebih besar. Bagi anak, interaksi antarmanusia yang paling penting adalah dengan orang tua mereka. Kehangatan dan pemantauan orang tua, serta pembinaan emosional orang tua, berdampak positif terhadap pengaturan diri anak, eksternalisasi perilaku yang

lebih rendah, harga diri yang lebih tinggi, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik, juga berkorelasi positif dengan dimensi kecerdasan emosional seperti pengetahuan dan pengertian emosi oleh anak-anak, dan regulasi emosional. Sebaliknya, praktik pengasuhan orang tua yang negatif, seperti pemberian hukuman yang keras, dapat mengakibatkan kesejahteraan emosional yang rendah, gangguan kepribadian, perilaku prososial yang rendah, kecemasan kognitif, juga terkait dengan pemahaman emosional dan regulasi emosional yang lebih rendah (Alegre 2011).

Simpulan dan Saran

Pola komunikasi remaja dengan keluarga memberikan pengaruh langsung dan nyata terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Dilihat dari kontribusinya, dimensi topik dan media komunikasi memberikan kontribusi terbesar pada pola komunikasi remaja-keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa remaja menyukai pembicaraan dengan topik yang beragam dan memanfaatkan media.

Kontribusi terbesar dari kecerdasan emosional adalah kemampuan membina hubungan dan pengelolaan emosi. Penelitian ini memperlihatkan bahwa remaja akhir sudah dapat mengelola emosinya dengan benar dan mampu membina hubungan baik dengan orang lain, namun kemampuan empatinya masih perlu dikembangkan.

Pola komunikasi remaja dengan keluarga berkontribusi lebih besar terhadap prestasi belajar daripada kecerdasan emosional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa orang tua lebih mengedepankan (memprioritaskan) pengembangan intelektual remaja dan kurang memberi perhatian serius terhadap pengembangan emosinya. Karena itu diperlukan pelatihan emosi bagi orang tua untuk mengembangkan kecerdasan emosional remaja, terutama yang berkaitan dengan kemampuan empati dan kesadaran emosi diri.

Penelitian ke depan perlu menggali lebih dalam mengenai aspek media komunikasi. Dalam penelitian ini, media komunikasi yang dimaksud adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Kenyataannya, media komunikasi saat ini juga berfungsi sebagai narasumber (sumber belajar) bagi remaja untuk mengakses pengetahuan dan informasi dalam arti yang luas.

Dokumen terkait