• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

3. Teori Pemrosesan Informas

Teori pemrosesan informasi berhubungan dengan bagaimana individu memproses informasi mengenai dunianya – bagaimana informasi masuk ke pikiran, disimpan dan ditransformasikan, dan diambil kembali untuk melakukan aktivitas kompleks seperti memecahkan masalah dan penalaran (Santrock 2003). Teori ini menekankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi-informasi yang ditemui. Dalam teori ini proses memori dan berpikir menjadi tema sentral. Secara bertahap remaja

mengembangkan kapasitas yang lebih besar untuk memproses informasi, di mana hal ini memungkinkan mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang kompleks.

Tidak seperti teori perkembangan kognitif Piaget, teori pemrosesan informasi tidak mendeskripsikan perkembangan dalam tahapan-tahapan. Perkembangan teori pemrosesan informasi lebih dipicu oleh kemajuan di dunia komputer, yang mendemonstrasikan bahwa sebuah mesin dapat melakukan operasi logis. Para psikolog kemudian bertanya-tanya, apakah operasi logis yang dilakukan oleh komputer dapat memberikan informasi tentang cara kerja pikiran manusia. Untuk menjelaskan hubungan antara kognisi atau pikiran dengan otak, para psikolog membuat analogi antara komputer dan otak – membandingkan otak manusia dengan perangkat keras komputer dan antara kognisi dengan perangkat lunak komputer. Dalam hal ini, pemrosesan informasi dapat dilihat sebagai sebuah kerangka kerja yang dipergunakan untuk memikirkan perkembangan remaja. Sebagai sebuah kerangka kerja, pandangan pemrosesan informasi meliputi gagasan-gagasan tertentu mengenai bagaimana pikiran remaja bekerja serta cara terbaik yang dapat digunakan untuk mempelajarinya (Santrock 2007).

Keluarga Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat universal (Lestari 2012). Murdock (1967), ilmuwan yang sejak awal mengkaji keluarga, menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi. Melalui survei terhadap 250 perwakilan masyarakat yang dilakukan sejak 1937, Murdock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygamous family), dan keluarga besar

(extended family). Dari jumlah tersebut terdapat 192 sampel masyarakat yang

memiliki informasi yang layak, sebanyak 47 masyarakat hanya memiliki tipe keluarga inti, 53 masyarakat termasuk tipe keluarga poligami, dan 92 masyarakat memiliki tipe keluarga besar. Berdasarkan penelitian itu, Murdock (1967) menyatakan bahwa keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal. Para anggota dari keluarga inti bukan hanya membentuk kelompok sosial, melainkan juga menjalankan empat fungsi universal dari keluarga, yaitu seksual, reproduksi, pendidikan, dan ekonomi.

Para ahli teori masa kini memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang lebih menekankan pada hubungan-hubungan keluarga ketimbang anggota-anggota perseorangan. Ahli terapi Virginia Satir membedakan sistem keluarga ke dalam dua kategori, yaitu sistem keluarga tertutup dan terbuka (Tubbs & Moss 1996). Perbedaan utama antara keduanya adalah sifat reaksi mereka terhadap perubahan dari dalam dan luar.

Dalam suatu sistem tertutup, bagian-bagian secara kaku dihubungkan atau diputuskan sekaligus. Informasi tidak mengalir antara bagian-bagian. Ketika bagian-bagian itu diputuskan, sering tampak seolah-olah bagian-bagian itu bekerja: informasi bocor ke dalam dan ke luar tapi tanpa arah. Tidak ada pembatas-pembatas (boundaries). Pada sistem terbuka bagian-bagiannya saling

berhubungan, responsif dan sensitif terhadap satu sama lain, dan memungkinkan informasi mengalir antara lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Dalam sistem tertutup, komunikasi terjadi secara tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak sebangun, mengganggu pertumbuhan, aturan-aturannya pun usang, dan orang-orang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan- aturan. Sebaliknya, dalam sistem yang terbuka, komunikasi terjadi secara langsung, spesifik, sebangun dan mendorong pertumbuhan, aturan-aturannya pun baru, dan berubah bila muncul kebutuhan (Tubbs & Moss 1996).

Satir (Tubbs & Moss 1996) menjelaskan bahwa setiap keluarga punya perangkat nilai dan pengharapan bagi anggota-anggotanya. Demikian pula pengharapan-pengharapan atas komunikasi. Ada saat-saat yang layak untuk membicarakan topik-topik tertentu, isu-isu yang tidak pernah diangkat, anggota keluarga harus didekati atau tidak didekati. Dengan kata lain, setiap keluarga memiliki pedoman mengenai aturan-aturan komunikasi yang dapat dipahami. Dalam keluarga, misalnya, percakapan pada saat makan malam mungkin dikhususkan mengenai topik-topik hangat seperti berita dan film. Problem- problem yang serius dan kemungkinan-kemungkinan perubahan dibicarakan agak malam, dan hanya dengan ayah atau ibu. Saudara yang prestasi sekolahnya buruk mungkin tidak pernah dibicarakan oleh keluarga secara terbuka. Mungkin ada seorang anggota keluarga yang informasinya sering disimpan. Suatu keluarga mungkin punya aturan untuk tidak memotong pembicaraan ayahnya ketika sedang berbicara, meskipun sang ayah menceritakan sesuatu yang telah diketahui oleh keluarganya. Aturan-aturan komunikasi itu unik bagi setiap keluarga, dan dari waktu ke waktu aturan-aturan ini terkadang harus diperbaharui.

Di antara banyak peubah yang digunakan para ahli teori untuk menjelaskan tentang keluarga, dua peubah yang penting adalah kohesi dan adaptasi. Kedua dimensi ini memengaruhi dan dipengaruhi komunikasi (Tubbs & Moss 1996). Kohesi merujuk kepada seberapa dekat keterikatan anggota-anggota keluarga. Pada satu titik ekstrem ada keluarga-keluarga yang sedemikian terikat dan terlibat secara berlebihan sehingga anggota-anggota keluarga memiliki sedikit otonomi atau sedikit kesempatan untuk mencapai kebutuhan dan tujuan pribadi (Galvin et al. 2004). Keluarga dengan tingkat kohesi yang tinggi memiliki sedikit pembatas.

Anggota-anggota keluarga berbagi segala sesuatu. Tingkat emosional dan fisik mereka cenderung tinggi. Mereka punya sedikit saja privacy, karena setiap anggota mengetahui urusan anggota keluarga lainnya. Dalam keluarga-keluarga yang tingkat kepaduannya sangat rendah, justru sebaliknya. Anggota-anggota keluarga secara fisik dan emosional terpisah, tidak terlibat, sehingga hubungan di antara mereka sedikit saja. Hanya sedikit kegiatan yang mereka lakukan bersama. Kegiatan keluarga menempati prioritas yang rendah, dan setiap anggota tampaknya punya jadwal kegiatan masing-masing.

Dimensi lain yang penting dalam komunikasi keluarga adalah adaptasi terhadap perubahan. Meskipun keluarga mengalami tekanan, cara keluarga menangani tekanan itulah yang menentukan kesehatannya. Dalam keluarga yang sehat, anggota-anggotanya tidak mengambil sikap-sikap yang berlawanan. Mereka tidak saling menyalahkan, tidak pula sibuk dengan diri mereka masing- masing. Mereka cenderung konvensional. Tubbs dan Moss (1996) memandang kemampuan beradaptasi lebih penting daripada kohesi bagi berjalannya suatu keluarga.

Konsep keluarga juga diungkapkan oleh Koerner dan Fitzpatrick. Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi keluarga dilihat berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional (psikososial), dan definisi transaksional.

- Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal-usul (family of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan

keturunan (family of procreation), dan keluarga besar (extended family).

- Definisi fungsional (psikososial). Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.

- Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.

Dari sudut pandang psikologi, selain mempertanyakan sejauh mana interaksi antaranggota keluarga dapat terlaksana tanpa hambatan, juga perlu melihat bagaimana suatu keluarga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan struktur dan perubahan lingkungan, yang selanjutnya berpengaruh pada keberadaan dan fungsi keluarga. Interaksi antaranggota keluarga sering menemui hambatan apabila tidak ada pemahaman mengenai ciri perkembangan pada anggota keluarga. Misalnya, remaja memiliki ciri perkembangan ingin merenggangkan ikatan dengan orang tua untuk melatih kemandiriannya. Apabila orang tua tidak memahami kondisi ini, berarti orang tua tidak memberikan peluang kepada remaja dan cenderung mempertahankan pola relasi yang sangat melindungi dan mengawasi secara berlebihan (Setiono 2011).

Teori Struktural-Fungsional

Salah satu teori yang melandasi studi keluarga adalah teori struktural- fungsional. Dua sosiolog yang banyak menggunakan pendekatan teori struktural- fungsional adalah Herbert Spencer dan Emile Durkheim. Namun, sosiolog yang mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20 adalah Talcott Parsons. Pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 2005).

Penerapan teori struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Menurut Parsons (Iskandar 2007), fungsi keluarga pada zaman modern, terutama dalam sosialisasi dan ketegangan manajemen untuk masing-masing anggota keluarga justru semakin terasa penting. Keluarga dalam pandangan Parsons diibaratkan sebagai hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi

lingkungan berubah. Parson tidak menganggap keluarga statis atau tidak dapat berubah. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa keluarga selalu beradaptasi secara mulus dalam menghadapi perubahan lingkungan. Kondisi ini disebut keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium).

Menurut Klein dan White (1996), keseimbangan mengarah kepada konsep

homeostatis suatu organisme, yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas

agar kelangsungan sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan. Macionis (Puspitawati 2009) menambahkan bahwa pendekatan struktural-fungsional juga menganalisis adanya penyimpangan, misalnya penyimpangan nilai-nilai budaya dan norma, kemudian memperhitungkan seberapa besar penyimpangan tersebut dapat berkontribusi pada kestabilan atau perubahan sistem sosial.

Pandangan Parson mengenai keluarga yang mampu beradaptasi dalam perubahan lingkungan dapat dipahami. Hal ini mengingat dalam teori struktural- fungsional terdapat dua aspek yang saling berkaitan, yaitu (1) aspek struktural dan (2) aspek fungsional (Megawangi 2005).

Berkaitan dengan aspek struktural, Megawangi (2005) menjelaskan bahwa keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat memengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Ketertiban sosial akan tercipta bila ada struktur atau strata dalam keluarga, di mana masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan. Setidaknya ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, yang ketiganya saling kait-mengait.

Pertama, berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya dikelompokkan menjadi tiga struktur utama, yaitu bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah, remaja, dan lain-lain. Seperti halnya dalam setiap struktur sosial dalam masyarakat, diferensiasi sosial akan selalu ada di mana masing- masing komponen atau kelompok mempunyai status. Megawangi (2005) menilai keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada individu dan tempatnya dalam sebuah sistem sosial, serta memberikan rasa memiliki. Keberadaan status sosial secara intrinsik menggambarkan adanya hubungan timbal-balik antarindividu dengan status sosial berbeda.

Kedua, konsep peran sosial menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya. Peran sosial dapat diartikan sebagai seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu. Parsons dan Bales (Megawangi 2005) membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antaranggota keluarga atau antarindividu di luar keluarga. Ketidakseimbangan antara peran instrumental dan ekspresif dalam keluarga akan membuat keluarga jadi tidak seimbang.

Ketiga, norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial. Normal sosial dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu pandangan hidup masyarakat secara umum. Namun demikian, setiap keluarga juga mempunyai norma sosial yang spesifik. Misalnya, pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggotanya.

Sedangkan yang berkaitan dengan aspek fungsional, Megawangi (2005) berpendapat bahwa aspek ini sulit dipisahkan dari aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu tidak lepas dari peran yang diharapkan. Hal ini berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut. Arti fungsi di sini dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan menjadi sebuah kesatuan. Megawangi menggarisbawahi bahwa sebuah sistem mengacu pada kegunaannya untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem-subsistem yang lain. Apabila terjadi anomali dalam sebuah subsistem, maka akan memengaruhi fungsi dari sistem tersebut secara keseluruhan.

Dalam kerangka pikir teori struktural-fungsional, Ihromi (2004) menjelaskan bahwa masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Analisis terhadap sistem ini adalah, apakah konsekuensi dari setiap bagian dari sistem untuk setiap bagian lainnya dan untuk sistem secara keseluruhan. Sistem dalam pendekatan yang disampaikan Ihromi ini berada pada lapisan individual (perkembangan kepribadian), lapisan institusional (keluarga), dan lapisan masyarakat. Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan pada hubungan antara keluarga dan masyarakat luas, hubungan-hubungan internal di antara subsistem-subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara keluarga dan kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi.

Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga juga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Chapman (Puspitawati 2006) menyatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Dengan tidak adanya peraturan, akan tumbuh atau terbentuk generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah. Chapman juga menambahkan bahwa keluarga dalam kebudayaan Barat selama 30 tahun terakhir telah mengalami perubahan yang luar biasa dan sudah kehilangan arah. Hal ini terjadi oleh adanya kebudayaan Barat yang menekankan materialisme dengan fokus pada kepemilikan benda seperti rumah dan mobil, dan lebih mencari kebahagiaan pribadi di atas segalanya. Sedangkan suara dari Timur mengarah pada kesatuan dan seirama dengan alam.

Prasyarat dalam teori struktural-fungsional mengharuskan tercapainya suatu keseimbangan sistem, baik pada tingkat masyarakat maupun keluarga. Levy (Megawangi 2005) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi:

1. Diferensiasi peran, yaitu alokasi peran atau tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga. Berdasarkan serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu kepada pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.

2. Alokasi solidaritas, yaitu meliputi distribusi relasi antaranggota keluarga berdasarkan cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya, keterikatan emosional antara seorang ibu dengan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi yang relatif terhadap relasi lainnya. Demikian pula hubungan antara bapak dengan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antaranggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

3. Alokasi ekonomi, yang menyangkut distribusi barang dan jasa antaranggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Distribusi barang-barang dan jasa dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dalam hal ini diferensiasi tugas juga ada, terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.

4. Alokasi politik, yaitu berupa distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

5. Alokasi integrasi dan ekspresi, yang meliputi cara atau teknik sosialisasi internalisasi dan pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.

Parsons dan Bales (Megawangi 2005) menyadari akan adanya kecenderungan berpindahnya beberapa fungsi keluarga ke luar rumah, namun mereka justru berargumen bahwa institusi keluarga pada zaman modern akan semakin vital fungsinya. Keduanya optimistis bahwa keluarga akan menjadi tempat di mana setiap anggota keluarga mendapatkan keintiman. Fungsi keluarga akan terspesialisasi pada fungsi emosional dan tempat menyiapkan individu untuk dapat berpartisipasi dalam proses modernisasi, sehingga keluarga menjadi agen utama dan terpenting dalam menghadapi perubahan sosial ke arah modernisasi masyarakat. Terutama melalui perannya dalam menyiapkan individu agar dapat menjadi pribadi yang siap dan matang baik secara emosional maupun instrumental.

Meskipun institusi keluarga sudah banyak mengalami perubahan fungsi, ternyata keluarga tetap hidup, dan keberadaan keluarga inti (nuclear family) tidak

pernah berkurang. Berbicara tentang institusi keluarga yang kukuh, Megawangi (2005) berpendapat bahwa hal itu menyangkut aspek pembenahan ke dalam, atau nilai-nilai yang dapat mempersatukan semua individu. Ini juga berkaitan dengan struktur keluarga dengan segala fungsinya yang dapat dipertahankan dan dijalankan oleh masing-masing individu agar tujuan keluarga sebagai kesatuan unit dapat tercapai.

Sekolah

Sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi anak-anak dan remaja. Pada saat seorang siswa lulus dari sekolah lanjutan atas, ia telah menghabiskan waktu lebih dari 10.000 jam di dalam ruang kelas. Pengaruh sekolah sekarang ini lebih kuat dibandingkan pada generasi-generasi sebelumnya karena lebih banyak individu yang lebih lama menghabiskan waktunya di sekolah. Sebagai contoh, di tahun 1900 hanya 11,4 persen dari individu berusia 14 hingga 17 tahun yang mengecap pendidikan sekolah. Sekarang ini 94 persen dari kelompok usia tersebut merupakan individu yang berada di bangku sekolah (Santrock 2003).

Anak-anak dan remaja menghabiskan waktu bertahun-tahun bersekolah sebagai anggota dari suatu masyarakat kecil di mana terdapat beberapa tugas untuk diselesaikan, orang-orang yang perlu dikenal dan mengenal diri mereka, serta peraturan yang menjelaskan dan membatasi perilaku, perasaan, dan sikap. Pengalaman yang diperoleh anak-anak dan remaja di masyarakat ini kemungkinan memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan identitasnya, keyakinan terhadap kompetensi diri sendiri, gambaran hidup dan kesempatan berkarier, hubungan-hubungan sosial, batasan mengenai hal yang benar dan salah, serta pemahaman mengenai sistem sosial di luar lingkup fungsi keluarga (Santrock 2003).

Santrock juga mengemukakan bahwa sekolah yang menghasilkan siswa berprestasi tinggi dari golongan ekonomi rendah dikaitkan tidak hanya dengan jenis kurikulum yang khusus dan jumlah waktu mengajar, namun juga dengan berbagai faktor iklim dari sekolah tersebut seperti harapan guru terhadap siswa dan pola interaksi antara guru dengan siswa. Dengan kata lain, berbagai aspek dari sekolah sebagai suatu sistem sosial berperan terhadap pencapaian prestasi siswa di sekolah. Penelitian mengenai apakah sekolah berpengaruh terhadap tingkat prestasi siswa menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut tidaklah sesuai jika ditanyakan tanpa memerhatikan sistem sekolah yang bervariasi. Sekolah bisa berbeda-beda antara satu sama lain walaupun berada pada lingkungan dan populasi yang sama.

Santrock (2007) menjelaskan pendekatan utama yang selama bertahun- tahun digunakan untuk mendidik siswa adalah pendekatan instruksi langsung (direct instruction approach), yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada guru, di

mana guru yang mengarahkan dan mengendalikan, menguasai keterampilan akademis, memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap siswa, serta memaksimalkan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar. Kendati sudah banyak ditinggalkan, hingga sekarang masih ada beberapa sekolah yang tetap menggunakan pendekatan ini. Pendekatan instruksi langsung dinilai tidak relevan bagi perkembangan anak-anak dan remaja karena menjadikan individu sebagai pembelajar yang pasif dan tidak cukup menantang mereka untuk berpikir kritis dan kreatif.

Pada 1990-an, keinginan untuk melakukan reformasi sekolah difokuskan pada pendekatan konstruktif kognitif (cognitive constructivist approach), yakni

menekankan upaya aktif dari anak untuk mengkonstruksi dan memahami pengetahuan yang dilakukan secara kognitif. Guru berperan dalam mendukung siswa ketika mereka melakukan eksplorasi dan berusaha memahami dunianya. Kini berkembang pendekatan konstruksi sosial (social constructivist approach)

pengetahuan dan pemahaman (John-Steiner & Mahn 2003 dalam Santrock 2007). Implikasinya adalah, guru memberikan banyak kesempatan kepada para siswa untuk belajar bersama guru dan teman-teman sebaya dalam menyusun pemahaman.

Dalam menjalankan proses belajar mengajar, komunikasi mewarnai semua aspek kehidupan di sekolah. Para guru mengajar dengan menggunakan media lisan, tulisan, dan lainnya seperti DVD, komputer, internet, dan bentuk-bentuk seni. Para siswa memperlihatkan pembelajaran atau hasil belajar mereka melalui media yang sama. Pengawas sekolah dan kepala sekolah juga menghabiskan

Dokumen terkait