• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUANTITATIF DAN KUALITATIF

2. Pendekatan Kualitatif

Tipe 1. Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya tinggi dan pola komunikasi dengan teman sebayanya juga tinggi.

Remaja pada kategori ini memiliki kedekatan dan keterbukaan terhadap orang tua maupun sahabat-sahabatnya. Kemampuan interpersonal mereka baik. Mereka dengan sukarela menceritakan pengalaman yang ditemuinya di sekolah baik mengenai pelajaran, guru, juga teman-temannya. Topik yang dibicarakan

Tipe 4 Perempuan 51.0% Laki-laki 22.3% Total 38.2% Tipe 1 Perempuan 10.7% Laki-laki 1.2% Total 6.5% Tipe 2 Perempuan 1.9% Laki-laki 4.8% Total 3.2% Tipe 3 Perempuan 36.4% Laki-laki 71.7% Total 52.1%

Anak Gaul Interpersonal

Baik

Interpersonal

beragam, namun untuk pembicaraan mengenai lawan jenis biasanya remaja mengungkapkannya kepada orang tua yang memiliki kesamaan jenis dengannya (remaja perempuan bercerita ke ibu dan remaja lelaki ke ayah).

Saya membicarakan semua hal termasuk masalah pribadi ke orang tua.... Lebih nyaman cerita ke mama mengenai teman laki-laki (Za, remaja perempuan, 16 tahun).

Saya cerita tentang apa saja ke orang tua. Kalau ke papa lebih sering untuk minta uang, tetapi kalau mau belanja selalu dengan mama (Gi, remaja perempuan, 17 tahun).

Remaja tipe ini berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Hal itu bukan berarti mereka tidak pernah mengalami konflik dengan orang tua, namun mereka tidak khawatir karena memiliki keyakinan bahwa orang tua dapat menerima/memahami pendapat mereka. Beberapa remaja juga mengatakan bahwa orang tua mereka sering berbagi pengalaman hidup, kisah sukses, nasihat, dan memberikan teladan yang baik di rumah.

Papa suka cerita tentang orang-orang yang sukses, sedangkan mama sharing tentang masalah kewanitaan. Orang tuaku juga sering meminta pendapatku (Gi, remaja perempuan, 17 tahun).

Papa pernah berpesan,“Jangan menyentuh perempuan. Kamu boleh

berteman asal tahu batasan-batasannya”... Kalau saya berbeda pendapat dengan orang tua, kami akan diskusikan lalu dibahas sisi positif dan negatifnya (Ak, remaja laki-laki, 16 tahun).

Papa selalu menyempatkan dirinya untuk sholat Magrib dan Isya berjamaah di rumah dengan saya dan Mama (Al, remaja laki-laki,16 tahun).

Bila ada perbedaan pendapat, orang tua saya dapat menerima. Biasanya kami berbeda pendapat saat membicarakan tentang penjurusan sekolah atau pandangan hidup (Za, remaja perempuan, 16 tahun).

Remaja Tipe 1 juga senang bergaul dan memiliki banyak teman. Mereka senang mengobrol dengan teman, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagian di antara mereka aktif di organisasi kesiswaan atau ekstrakulikuler. Pada umumnya mereka memiliki kepribadian yang terbuka.

Saya suka bergaul... (Za, remaja perempuan, 16 tahun).

Pulang sekolah komunikasi saya dengan teman-teman berlanjut lewat telepon, media sosial, atau nongkrong di kafe... (Gi, remaja perempuan, 17 tahun).

Teman dekat saya banyak, sekitar 25 orang. Saya berteman tidak saja di sekolah, tapi juga di luar sekolah. Saya suka mengobrol mengenai apa saja dengan teman-teman. Kalau di kelas saya sering jahil (Ak, remaja laki-laki, 16 tahun).

Saya biasanya hangout dengan teman-teman saat main futsal (Al, remaja laki-laki, 16 tahun).

Tipe 2. Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya tinggi, namun pola komunikasi dengan teman sebanyanya menengah-rendah.

Remaja pada kategori ini jumlahnya relatif sedikit. Mereka merasa nyaman dan terbuka dengan orang tuanya, tetapi kurang dekat dengan teman-temannya. Mereka lebih senang berkomunikasi dengan orang tua daripada bersama teman- temannya. Remaja tipe ini biasa dipanggil Anak Mama.

Saya merasa lebih dekat dengan orang tua daripada teman (Ha, remaja laki-laki, 16 tahun).

Saya selalu tanya mama mengenai masalah perempuan dan jika ingin diskusi masalah politik dengan papa (Ad, remaja perempuan, 16 tahun).

Teman dekat saya 5 orang, itupun berbeda kelas. Saya hanya berteman dengan orang-orang yang lebih pintar terutama pintar matematika, agar prestasi saya lebih bagus (Ad, remaja perempuan, 16 tahun).

Saya dekat dengan teman, tetapi merasa lebih dekat dengan orang tua (Am, remaja perempuan, 16 tahun).

Tipe 3. Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah dan pola komunikasi dengan teman sebanyanya juga menengah-rendah.

Remaja tipe ini tidak memiliki kedekatan dan kurang dapat berkomunikasi dengan orang tua maupun teman sebayanya. Kemampuan interpersonal mereka kurang baik, sehingga mereka cenderung tertutup dan menarik diri dari pergaulan. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang orang tuanya sangat sibuk dan kurang memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak.

Teman dekat saya hanya satu orang, itupun teman sejak TK. Ibu dan ayah saya bercerai, saya ikut Ibu. Sekarang Ibu sudah menikah lagi dan punya anak dari hasil pernikahannya. Tidak ada waktu untuk saya (No, remaja laki-laki, 16 tahun).

Saya hanya punya satu teman dekat. Hampir setiap hari saya pulang jam 21. Orang tua saya juga baru pulang kerja larut malam. Yang

penting saat mereka pulang saya sudah ada di rumah (Di, remaja perempuan, 16 tahun).

Orang tua saya sangat sibuk dengan urusannya, jadi saya jarang mengobrol di rumah. Kadang Papa baru pulang setelah setahun berlayar. Saking jarang ketemu Papa, waktu kecil saya tidak tahu kalau itu Papa saya. Saya memanggilnya Om (Mu, remaja perempuan, 16 tahun).

Pada umumnya remaja Tipe 3 memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan orang tuanya (sering bertengkar), sehingga mereka mencari kesenangan lain. Biasanya komunikasi berlangsung satu arah, yaitu dari orang tua ke anak saja. Remaja sulit mengungkapkan pendapatnya sendiri karena orang tua tidak mau mendengarkan. Orang tua sering marah-marah sehingga remaja merasa tertekan dan memilih menutup diri. Bagi remaja tipe ini, guru menjadi pilihan ketika mereka membutuhkan seseorang untuk berbagi perasaan.

Kadang saya mengajak papa diskusi tentang masalah politik, tetapi ujung-ujungnya malah bertengkar. Saya sering merasa tertekan dan sulit mengungkapkan pendapat sendiri (Mu, remaja perempuan, 16 tahun).

Saya jarang mengobrol dengan orang tua, saya lebih senang main games. Sehari saya main games sekitar 4-5 jam, kadang sampai jam 11 malam. Saya main games untuk mengisi waktu dan menghilangkan stres. Orang tua biasanya melarang dan menyuruh saya berhenti. Saya akan marah jika dilarang (Fa, remaja laki-laki, 17 tahun).

Saya lebih percaya pada guru daripada orang tua atau teman (Di, remaja perempuan, 16 tahun).

Saya merasa nyaman dan asyik bicara dengan guru. Kalau orang tua cenderung menuntut dan suka memerintah (Mu, remaja perempuan, 16 tahun).

Remaja Tipe 3 menganggap dirinya bukan anak gaul. Mereka tidak suka

kumpul dan mengobrol dengan teman-temannya. Sebagian berpendapat bahwa teman lebih banyak memberi pengaruh negatif daripada positif.

Saya tidak suka jalan bareng teman-teman. Saya tidak pernah curhat ke teman (Mu, remaja perempuan, 16 tahun).

Saya bukan remaja gaul. Kalau saya ketemu teman, yang saya bicarakan hanya games (Fa, remaja laki-laki, 17 tahun).

Teman-teman yang saya kenal memberi pengaruh negatif, seperti malas belajar dan mengajak merokok. Jika menolak, mereka akan

Tipe 4. Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah, namun pola komunikasi dengan teman sebayanya tinggi.

Remaja tipe ini tidak memiliki kedekatan dengan orang tuanya, sehingga mereka jarang berkomunikasi. Sebagaimana remaja Tipe 3, sebagian besar remaja Tipe 4 berasal dari keluarga yang orang tuanya sibuk (ayah-ibu bekerja atau ayah sangat sibuk). Ada pula remaja yang enggan berkomunikasi dengan orang tuanya karena merasa tidak nyaman, takut, dan tidak ingin menentang kata-kata orang tua. Sebagian remaja memilih mengalah atau diam daripada harus beradu mulut dengan orang tua.

Saya jarang berkomunikasi dengan orang tua. Mama saya dosen dan Papa saya bekerja di Cileungsi. Pulang kerja selalu malam. Kalau ada masalah pribadi, saya lebih sering mengobrol dengan Tante dan pembantu (Ni, remaja perempuan, 17 tahun).

Bila saya berbeda pendapat dengan orang tua, saya memilih diam, mendengarkan, dan mengalah (Ni, remaja perempuan, 17 tahun).

Kami tidak pernah menonton TV bersama karena semua orang sibuk. Pendapat saya kadang didengar kadang juga tidak (Fi, remaja perempuan, 17 tahun).

Saya jarang curhat ke orang tua karena merasa tidak nyaman, apalagi cerita mengenai teman laki-laki. Saya memilih menurut apa kata Mama karena tidak ingin berbeda pendapat (Ak, remaja perempuan, 16 tahun).

Saya hanya cerita kalau ditanya orang tua. Papa saya galak dan tegas. Saya lebih sering mengalah pada pendapat Papa (Ha, remaja laki-laki, 17 tahun).

Ketidaklekatan remaja Tipe 4 dengan orang tuanya membuat mereka cenderung dekat kepada teman-temannya. Bagi remaja tipe ini, lebih nyaman curhat ke teman daripada ke orang tua. Kesamaan usia, minat, dan masalah yang dihadapi merupakan beberapa alasan remaja untuk saling terkoneksi. Komunikasi dengan teman tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga berlanjut di luar sekolah. Teman yang banyak dan pergaulan yang luas membuat mereka biasa disebut Anak Gaul.

Teman bisa lebih dipercaya, juga lebih pengertian karena kami seusia (Jo, remaja laki-laki, 16 tahun).

Lebih enak cerita ke teman daripada ke orang tua karena ngobrolnya lebih nyambung (Ya, remaja laki-laki, 16 tahun).

Sahabat adalah orang yang bisa menjadi tempat untuk cerita dalam keadaan senang dan sedih (Ak, remaja perempuan, 16 tahun)

Sepulang sekolah, komunikasi saya dengan teman-teman berlanjut via bbm. Saya punya 11 teman dekat yang terdiri dari teman SMP dan SMA. Kadang kami ketemuan di tempat makan atau di rumah saya. Biasanya kami ngobrol tentang sekolah, cowok (teman laki-laki), orang tua, dan kegiatan sehari-hari (Ni, remaja perempuan, 17 tahun).

Sepulang sekolah lanjut chatting di Line. Bila bertemu di luar sekolah, biasanya di tempat makan atau di rumah teman (Fi, remaja perempuan, 17 tahun)

Biasanya percakapan dengan teman-teman di luar sekolah saya lakukan melalui media sosial, sms, bbm, dan whatsapps (Ha, remaja laki-laki, 17 tahun).

Di luar itu, ada pula remaja yang jarang bertemu orang tua karena tinggal di kota yang berbeda, namun tetap memiliki kedekatan dengan orang tuanya. Sebut saja Wil, laki-laki, 16 tahun. Orang tua Wil tinggal di Karawang, Jawa Barat, sedangkan ia bersekolah di Bogor. Meskipun hanya bertemu orang tuanya seminggu sekali, Wil tidak ada masalah komunikasi. Setiap pulang ke Karawang, ia akan cerita ke orang tuanya mengenai kegiatannya selama seminggu dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. “Kalau bicara soal otomotif dengan Papa; tapi bicara tentang pelajaran, makanan, atau orang lain, saya lebih nyaman ke

Mama,” kata Wil.

Remaja lain yang juga tinggal berjauhan dari orang tuanya adalah Fa, laki- laki, 17 tahun. Orang tuanya berada di Makassar, Sulawesi Selatan. Fa sendiri yang memilih sekolah di Bogor dengan alasan, “...Mencari pengalaman dan agar

sukses di luar daerah.” Meskipun jauh dari orang tua, Fa tetap berkomunikasi melalui telepon setiap hari dan sering kali bertatap muka melalui skype. Baginya

jarak yang terbentang jauh tidak menghalangi untuk berkomunikasi dengan orang tua.

Pembahasan

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa remaja perempuan berkomunikasi lebih aktif dengan keluarga dan teman sebayanya dibandingkan remaja laki-laki. Pada pola komunikasi remaja dengan teman sebaya, sebagian besar remaja perempuan masuk kategori tinggi, sedangkan remaja laki-laki masuk kategori sedang. Remaja yang memiliki hubungan positif dengan orang tua lebih mudah berkomunikasi, memberitahukan tentang kegiatan sehari-hari, dan mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Penelitian kualitatif yang dilakukan Tinnfält et al. (2015) pada remaja Swedia berusia 16–17 tahun mengungkapkan bahwa remaja memiliki keinginan untuk berkomunikasi dengan orang tuanya tentang banyak hal, seperti perasaan, teman, dan sekolah, dan mereka ingin orang tua aktif dalam komunikasi. Sehubungan dengan itu, orang

tua harus membantu, mendengarkan, dan memberikan dukungan dan saran kepada remaja. Temuan Waldron et al. (2014) menunjukkan bahwa orang tua menaruh perhatian yang besar pada topik pembicaraan yang berhubungan dengan etika, menghormati diri sendiri, kejujuran, tindakan yang merugikan, dan kualitas pribadi.

Pengungkapan remaja adalah prediktor terkuat pengetahuan orang tua tentang keberadaan remaja (Kerr & Stattin 2000; Stattin & Kerr 2000). Komunikasi remaja dengan orang tua yang baik dapat menjadi penyaring dalam menghadapi pengaruh lingkungan luar yang tidak terhindarkan (Puspitawati 2008). Komunikasi yang baik di rumah adalah alat paling efektif dalam mencapai hubungan dekat dan sehat antara orang tua dan remaja. Penelitian menunjukkan bahwa remaja dengan keyakinan dan kepercayaan dalam hubungan mereka dengan orang tua, memiliki pengendalian diri yang baik dan mampu mengelola diri sendiri (Armsden & Greenberg 1987). Sebaliknya, komunikasi remaja yang buruk dengan orang tua menjadi prediktor penting dari kenakalan remaja (Cernkovich & Giordiano 1987). Semakin tinggi komunikasi remaja dengan orang tua, semakin rendah pelanggaran norma (Stattin & Kerr 2000) dan kenakalan pada remaja (Kerr & Stattin 2000). Ketika hubungan orang tua-remaja ditandai dengan perilaku yang negatif, remaja mungkin kurang menginternalisasi nilai-nilai dan norma-norma orang tua (Dekovic’et al. 2004).

Penelitian Kelly et al. (2002) menunjukkan bahwa orang tua yang pendiam bukan model yang baik bagi keterampilan komunikasi yang efektif. Karena itu, komunikasi keluarga harus diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh orang tua dan anggota keluarga. Sacks et al. (2014) menyebutkan bahwa hubungan remaja

dengan orang tua yang positif ditandai dengan konflik yang rendah, tingginya tingkat dukungan, dan komunikasi yang terbuka. Remaja yang melaporkan mempunyai hubungan yang baik dengan setidaknya satu orang tua, lebih mungkin memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik, demikian pula sebaliknya. Penelitian Mahmud et al. (2011) menyimpulkan bahwa komunikasi keluarga

merupakan elemen penting dalam menanamkan rasa tanggung jawab di kalangan remaja.

Perbedaan yang sangat nyata antara pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki terhadap keluarga dan teman sebaya juga tampak pada hasil tipologi di antara keduanya. Secara keseluruhan, persentase terbesar tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya adalah Tipe 3 (52.1%). Berdasarkan gender, remaja perempuan lebih banyak masuk Tipe 4 (51.0%), sedangkan remaja laki-laki sebagian besar (71.7%) masuk Tipe 3. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja perempuan tergolong remaja gaul, yaitu remaja yang memiliki banyak teman. Hubungan remaja perempuan dengan teman-teman sebanyanya yang lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki, sesuai dengan teori persahabatan yang diungkapkan oleh Helgeson (2012). Menurut Helgeson (2012), hubungan perempuan dengan teman-temannya lebih intim daripada laki-laki dengan teman-temannya. Remaja perempuan cenderung untuk membuka diri, berinteraksi dua arah, dan menghabiskan waktu berbicara satu sama lain, sedangkan remaja laki-laki cenderung menghabiskan waktu di kelompok besar yang difokuskan pada beberapa aktivitas fisik. Jaringan sosial remaja perempuan terutama terdiri dari teman-teman, sedangkan jaringan sosial

remaja laki-laki terdiri dari teman-teman dan non-teman. Perbedaan ini dapat berkontribusi pada keintiman, yang menjadi ciri persahabatan remaja perempuan.

Melihat sifat persahabatan remaja perempuan dan laki-laki yang berbeda, maka perbedaan jenis kelamin juga memengaruhi pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan teman sebayanya. Remaja perempuan senang menghabiskan waktu berbicara dengan teman-teman mereka (McNelles & Connoly 1999). Remaja laki-laki melihat persahabatan sebagai sebuah instrumen, yakni seseorang yang dapat diajak untuk melakukan banyak aktivitas. Sebaliknya, remaja perempuan melihat persahabatan lebih emosional, yaitu seseorang yang terhubung dengan dirinya. Penekanan perempuan pada keterbukaan diri, sedangkan penekanan laki-laki pada kegiatan bersama (Helgeson 2012).

Sebuah penelitian mahasiswa di Amerika Serikat dan Rusia (Sheets & Lugar 2005) menemukan bahwa perempuan berbagi informasi lebih pribadi dengan teman-temannya dibandingkan laki-laki, dan laki-laki berbagi kegiatan lebih banyak dengan teman-temannya dibandingkan perempuan. Perbedaan utama dalam sifat persahabatan laki-laki dan perempuan adalah kegiatan merupakan fokus dari interaksi laki-laki, sedangkan percakapan adalah fokus dari interaksi perempuan. Perbedaan ini pertama kali muncul selama masa kanak-kanak kemudian berlanjut melalui masa remaja dan dewasa. Hal ini menjelaskan bahwa persahabatan perempuan lebih komunal daripada laki-laki, sehingga kegiatan bersama lebih intim pada perempuan daripada laki-laki (Helgeson 2012). Menurut Reis dan Shaver (1988), keintiman melibatkan pengungkapan diri yang terdalam. Keintiman bukanlah keadaan statis tetapi sebuah proses. Hal ini berarti bahwa untuk membangun keintiman selain memerlukan pengungkapan diri, juga dibutuhkan tanggapan dari teman terhadap keterbukaan diri.

Persahabatan yang positif dapat melindungi remaja dari penolakan oleh teman. Keterlibatan teman selama masa remaja dapat mengurangi stres sosial yang dianggap ancaman bagi remaja, serta berkontribusi terhadap hasil yang menguntungkan di kemudian hari (Masten et al. 2012). Temuan Masten et al.

(2012) membuktikan bahwa keterlibatan teman yang lebih besar dapat menyebabkan individu merasa kurang terancam ketika remaja menghadapi perlakuan sosial yang negatif.

Perempuan dan laki-laki mungkin berbeda dalam melihat seberapa penting mereka menerima fitur persahabatan, tetapi mereka sering setuju pada atribut dari sebuah hubungan yang lebih atau kurang penting. Studi yang dilakukan Burleson

et al. (1996) menanyakan sejumlah pria dan wanita untuk menilai pentingnya

keterampilan afektif (menghibur satu sama lain, membuat seseorang merasa baik tentang dirinya sendiri), dan keterampilan instrumental (menghibur satu sama lain, percakapan biasa, menyampaikan informasi) mengenai kualitas persahabatan sesama jenis. Hasilnya menunjukkan bahwa perempuan menilai aspek afektif lebih penting daripada penilaian laki-laki, dan laki-laki menilai aspek instrumental lebih penting daripada penilaian perempuan. Namun demikian, baik laki-laki maupun perempuan setuju bahwa aspek afektif persahabatan lebih penting daripada aspek instrumental persahabatan. Penelitian lain menunjukkan bahwa fitur persahabatan berhubungan dengan kepuasan bagi perempuan dan laki-laki, misalnya kesamaan persepsi terkait dengan kepuasan persahabatan (Linden- Andersen et al. 2009).

Meluasnya penggunaan komunikasi digital oleh remaja untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dalam banyak kasus dapat merusak hubungan dengan orang tua, saudara, dan anggota keluarga lain. Ada beberapa bukti bahwa media elektronik dapat meningkatkan hubungan teman sebaya dengan mengorbankan keluarga, terutama hubungan orang tua-anak. Sebuah studi video selama empat tahun yang intens pada 30 keluarga berpendapatan ganda (ibu dan bapak bekerja) menjelaskan peran teknologi dalam kehidupan keluarga moderen. Ketika orang tua pulang ke rumah di malam hari, mereka menemukan bahwa anak-anak sering begitu asyik dengan apa yang mereka lakukan. Mereka menyapa hanya sebentar, dan biasanya dengan acuh tak acuh. Setelah itu anak-anak mengabaikannya dan terus memantau berbagai elektronik dan gadget (gawai) mereka. Elektronik

multitasking telah merasuk, kadang-kadang mengorbankan interaksi tatap muka dengan keluarga, antarsaudara sekandung, dan orang tua (Subrahmanyam & Greenfield 2008).

Simpulan dan Saran

Pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya berbeda sangat nyata. Intensitas komunikasi remaja dengan teman sebaya lebih tinggi daripada dengan keluarganya menunjukkan bahwa remaja lebih dekat dan lebih terikat kepada teman-temannya. Tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya terbanyak pada Tipe 3, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah dan pola komunikasi dengan teman sebayanya juga menengah-rendah. Berdasarkan gender, sebagian besar remaja perempuan termasuk Tipe 4, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah, namun pola komunikasi dengan teman sebayanya tinggi.

Untuk penelitian ke depan, perlu digali faktor-faktor yang menyebabkan remaja merasa lebih dekat dengan teman-temannya daripada keluarganya, dan pengaruh kedekatan remaja dengan teman sebaya terhadap pola komunikasi keluarga. Penelitian juga perlu diarahkan untuk mendalami pola komunikasi remaja di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Ask.fm, serta hubungannya dengan perkembangan karakter remaja.

9 TANTANGAN KOMUNIKASI KELUARGA DI ERA

Dokumen terkait