• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Sulawesi Selatan

3.4. Dinamika Adopsi Teknologi Pertanian

Pembahasan tentang dinamika adopsi teknologi mencakup penerapan dalam penggunaan benih/bibit, pupuk (menurut jenis), dan teknologi pakan (menurut jenis) untuk komoditas peternakan. Penerapan teknologi untuk masing-masing jenis input usahatani tersebut mencakup tingkat partisipasi rumah tangga dan rata-rata penggunaan menurut jenis, komoditas dan wilayah serta dinamikanya antar waktu (1983, 1993, dan 2003) sesuai dengan ketersediaan data yang ada.

3.4.1. Adopsi Teknologi Subsektor Tanaman Pangan Teknologi Biologis (Benih)

Gambaran tingkat partisipasi penggunaan benih dan rataan tingkat penggunaanya pada tahun 1983 dan 1993 dapat disimak pada Tabel 3.4.1. Tingkat partisipasi penggunaan benih dari produksi sendiri masih relatif tinggi, secara nasional proporsi petani padi Bimas/Inmas yang menggunakan benih produksi sendiri masih sekitar 47 persen pada tahun 1983 dan 39 persen pada tahun 1993. Proporsi tersebut pada waktu yang sama untuk petani

masih relatif rendahnya adopsi teknologi penggunaan benih padi di tingkat petani. Seperti diketahui, kualitas benih padi yang direkomendasikan untuk digunakan agar diperoleh hasil produksi yang tinggi adalah benih berlabel (yang identik dengan benih dari pembelian). Oleh karena itu upaya peningkatan partisipasi petani untuk menggunakan benih unggul/berlabel masih perlu mendapat perhatian.

Tabel 3.4.1. Tingkat adopsi benih pada usahatani padi Bimas/Inmas dan padi non- Bimas/Inmas di Indonesia, 1983 dan 1993*)

1983 1993 Wilayah Pembelian (%) Produksi sendiri (%) Jumlah (kg/ha) Pembelian (%) Produksi sendiri (%) Jumlah (kg/ha) Bimas/Inmas 1. Jawa 61,4 38,6 41,66 78,0 22,0 37,31 2. Luar Jawa 36,4 63,6 40,24 39,8 60,2 35,14 3. Indonesia 53,1 46,9 41,18 61,2 38,8 36,33 Non-Bimas/Inmas 4. Jawa 39,00 61,00 43,07 t.d t.d t.d 5. Luar Jawa 19,50 80,50 38,01 15,20 84,80 36.18 6. Indonesia 21,20 78,80 39,39 15,20 84,80 36,80

Sumber : Struktur Ongkos Padi dan Palawija, 1983, 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta *) Rusastra, et al. 1998 (diolah)

Dinamika adopsi teknologi penggunaan benih padi menurut jenis perolehan maupun pola produksi tersebut tidak dapat dilihat perkembangannya pada tahun 2003, karena data tahun 2003 yang tersedia adalah partisipasi petani menurut tingkat penggunaan benih padi. Data pada Tabel 3.4.2. menunjukkan bahwa secara nasional partisipasi petani dengan tingkat penggunaan benih antara 26 – 50 Kg/Ha paling tinggi yaitu sekitar 81 persen untuk padi sawah dan 98 persen untuk padi ladang.

Apabila dibedakan menurut wilayah (provinsi), pola rataan nasional konsisten dengan yang ada di empat provinsi contoh penelitian dengan besaran partisipasi rumah tangga lebih dari 98 persen menggunakan benih padi sawah pada selang antara 26 – 50 kg/Ha/MT (Tabel 3.4.2.). Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan benih dalam usahatani padi ladang rataan nasional maupun di empat wilayah provinsi penelitian menunjukkan pola yang serupa. Dalam hal ini partisipasi rumah tangga dominan pada penggunaan benih antara 26 – 50 Kg/Ha dengan rataan partisipasi di tingkat nasional hampir 98 persen, dan di empat provinsi penelitian berkisar antara 94 – 100 persen.

Tabel 3.4.2. Partisipasi Rumah Tangga dalam Menggunakan Benih Padi menurut Tingkat Penggunaan dan Wilayah, 2003 (persen)

Penggunaan Benih (Kg/Ha) Komoditas/ Wilayah

< 26 26-50 51-75 > 75 Jumlah 1. Padi Sawah

Indonesia 0.00 81.29 18.71 0.00 100.00

Sumatera Barat 0.00 98.15 1.85 0.00 100.00 Nusa Tenggara Barat 0.00 98.55 1.45 0.00 100.00

Kalimantan Selatan 0.00 98.03 1.97 0.00 100.00 Sulawesi Selatan 0.00 99.28 0.72 0.00 100.00 2. Padi Ladang

Indonesia 0.78 97.62 1.60 0.00 100.00

Sumatera Barat 0.00 98.03 1.97 0.00 100.00 Nusa Tenggara Barat 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00 Kalimantan Selatan 0.00 93.81 6.19 0.00 100.00 Sulawesi Selatan 0.00 99.15 0.85 0.00 100.00 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)

Besaran luas tanam padi dan rataan tingkat penggunaan benih dapat disimak pada Tabel 3.4.3. Dibandingkan dengan luas tanam padi sawah, maka luas tanam padi ladang secara nasional lebih tinggi, namun demikian apabila dilihat di masing-masing provinsi terutama di empat lokasi penelitian polanya bervariasi. Untuk Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan luas tanam padi ladang lebih rendah dari pada padi sawah, hal sebaliknya untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Bervariasinya luas tanam antara padi sawah dan padi ladang di masing-masing provinsi penelitian terkait dengan ketersediaan sumberdaya lahan dan infrastruktur pertanian utamanya sarana irigasi.

Tabel 3.4.3. Luas Tanam Padi dan Rata-rata Penggunaan Benih menurut Wilayah, 2003

Padi Sawah Padi Ladang

Wilayah Luas Tanam (Ha) Rata-rata Penggunaan Benih (Kg/Ha) Luas Tanam (Ha) Rata-rata Penggunaan Benih (Kg/Ha) Nasional 10,453,084 43.68 1,132,066 41.79 Sumatera Barat 443,784 43.41 9,449 33.95 Nusa Tenggara Barat 270,589 46.38 47,057 46.93 Kalimantan Selatan 400,467 40.83 47,875 42.02 Sulawesi Selatan 735,598 44.53 4,315 44.83 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)

Pada tahun 2003, luas tanam padi sawah secara nasional mencapai 10.45 juta hektar dengan rataan penggunaan benih sebesar 43.68 kg/Ha/MT. Sementara itu, di empat provinsi penelitian luas tanam padi sawah pada tahun yang sama berkisar antara 271 ribu hektar di Provinsi Nusa Tenggara Barat sampai 736 ribu hektar di Provinsi Sulawesi Selatan. Rataan tingkat penggunaan benih padi sawah di empat provinsi penelitian berkisar antara 40.83 kg/Ha/MT di Provinsi Kalimantan Selatan sampai 46.38 kg/Ha/MT di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Tabel 3.4.3.).

Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di subsektor tanaman pangan di samping padi. Tingkat adopsi penggunaan benih jagung secara rata-rata juga masih menunjukkan tingkat adopsi teknologi yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh relatif tingginya penggunaan benih dari produksi sendiri. Pada tahun 1983 di tingkat nasional menunjukkan partisipasi rumahtangga yang menggunakan benih jagung dari produksi sendiri sebesar 57 persen dan sedikit menurun menjadi 55.6 persen pada tahun 1993. Kondisi tersebut keadaanya makin kurang baik di wilayah luar Jawa dimana proporsi petani yang menggunakan benih jagung dari produksi sendiri pada periode waktu yang sama sebesar 77 persen dan 68 persen (Tabel 3.4.4.).

Tabel 3.4.4. Tingkat adopsi benih pada jagung di Indonesia, 1983 dan 1993*) 1983 1993 Wilayah Pembelian (%) Produksi sendiri (%) Jumlah (Kg/ha) Pembelian (%) Produksi sendiri (%) Jumlah (Kg/ha 1. Jawa 50,6 49,4 26,03 56,6 43,4 24,43 2. Luar Jawa 23,1 76,9 20,89 32,3 67,7 19,75 3. Indonesia 43,0 57,0 24,37 46,4 55,6 23,03

Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija 1983 dan 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta

*) Rusastra, et al. 1998

Pada tahun 2003, secara rataan nasional maupun kondisi di empat provinsi penelitian menunjukkan pola serupa dalam partisipasi rumah tangga dalam penggunaan benih jagung, yaitu tersebar dalam penggunaan kurang dari 15 Kg/Ha dan antara 15 – 28 Kg/Ha. Di tingkat nasional, partisipasi rumahtangga dalam penggunaan benih jagung kurang dari 15 Kg/Ha sebesar 59 persen, sisanya 41 persen menggunakan benih jagung antara 15 – 28 Kg/Ha (Tabel 3.4.5.).

Dengan tingkat partisipasi penggunaan benih seperti diuraikan di atas, luas tanam jagung pada tahun 2003 secara nasional mencapai 3.6 juta hektar dengan rataan penggunaan benih sebesar 26 Kg/Ha. Di empat provinsi penelitian, luas tanam jagung paling besar adalah di Sulawesi Selatan yaitu 216 ribu hektar dengan rataan penggunaan benih sebesar 24 Kg/Ha. Dinamika rataan tingkat penggunaan benih jagung secara nasional tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1983 penggunaan benih jagung per hektar sebesar 24.37 menurun menjadi 23.03 Kg/ha dan pada tahun 2003 sebesar 25.94 Kg/ha (Tabel 3.4.4 dan Tabel 3.4.7).

Tabel 3.4.5. Partisipasi rumah tangga dalam menggunakan benih jagung dan kedelai menurut tingkat penggunaan dan wilayah, 2003 (persen)

Komoditas/

Wilayah Penggunaan Benih (Kg/Ha)

1. Jagung < 15 15-28 29-42 > 42 Jumlah

Indonesia 59.07 40.93 0 0 100

Sumatera Barat 65.45 34.55 0 0 100 Nusa Tenggara Barat 52.18 47.82 0 0 100 Kalimantan Selatan 42.65 57.35 0 0 100 Sulawesi Selatan 74.02 25.98 0 0 100

2. Kedelai < 20 20-38 57-76 > 76 Jumlah

Indonesia 21.1 78.9 0 0 100

Sumatera Barat 0 100 0 0 100

Nusa Tenggara Barat 5.04 94.96 0 0 100 Kalimantan Selatan 88.24 11.76 0 0 100 Sulawesi Selatan 34.96 65.04 0 0 100 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPW 04-S)

Kedelai merupakan salah satu komoditas unggulan di sub sektor tanaman pangan selain padi dan jagung. Oleh karena itu telahaan terhadap adopsi teknologi pada usahatani kedelai diharapkan memberikan masukan bagi pengembangan kedelai di masa datang. Dari

partisipasi rumah tangga dominan menggunakan benih kedelai antara 20 – 38 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi hampir 79 persen (Tabel 3.4.5). Pola serupa ditemukan di empat provinsi penelitian kecuali Provinsi Kalimantan Selatan dominan menggunakan benih kedelai kurang dari 20 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sekitar 88 persen.

Dinamika adopsi teknologi penggunaan benih kedelai relatif lebih baik dibanding padi dan jagung. Hal ini dapat dilihat dari relatif tingginya partisipasi rumah tangga yang menggunakan benih kedelai dari pembelian (walaupun tidak diperoleh data secara baik apakah hasil pembelian benih tersebut merupakan benih unggul berlabel atau tidak). Setidaknya kondisi tersebut mengindikasikan adanya keinginan petani untuk memperoleh benih yang lebih baik dari pada hasil produksi sendiri. Secara nasional, rataan adopsi penggunaan benih kedelai yang bersumber dari pembelian sekitar 72 persen pada tahun 1983 meningkat menjadi 81 persen di tahun 1993 (Tabel 3.4.6.) dan pada tahun 2003 partisipasi rumahtangga petani yang menggunakan benih kedelai pada tingkat penggunaan benih antara 20 -38 Kg/ha hampir 80 persen (Tabel 4.5.5.).

Tabel 3.4.6. Tingkat adopsi benih kedelai di Indonesia, 1983 dan 1993*)

1983 1993 Wilayah Pembelian (%) Produksi sendiri (%) Jumlah (Kg/Ha) Pembelian (%) Produksi sendiri (%) Jumlah (Kg/Ha) 1. Jawa 75,6 24,4 44,46 83,8 16,2 50,43 2. Luar Jawa 60,6 39,4 38,39 76,3 23,7 34,56 3. Indonesia 72,4 27,6 43,01 81,0 19,0 42,89

Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija 1983 dan 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta

*) Rusastra, et al. 1998

Pada tahun 2003 luas tanam kedelai secara nasional sekitar 596 ribu hektar. Di empat provinsi penelitian luas tanam kedelai terluas adalah di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mencapai hampir 86 ribu hektar dan terendah di Provinsi Sumatera Barat sekitar 1300 hektar (Tabel 3.4.7). Bervariasinya luas tanam kedelai (dan juga jagung) antar wilayah terkait dengan ketersediaan sumberdaya lahan di masing-masing wilayah dan tingkat kompetisi penggunaannya dengan komoditas lain utamanya padi serta ketersediaan sarana pengairan di lahan tersebut.

Tabel 3.4.7. Luas tanam dan rata-rata penggunaan benih jagung kedelai dan kedelai menurut wilayah, 2003 Jagung Kedelai Wilayah Luas Tanam (Ha) Penggunaan Benih (Kg/Ha) Luas Tanam (Ha) Penggunaan Benih (Kg/Ha) Indonesia 3,650,969 25.94 596,475 41.23 Sumatera Barat 28.90 28.90 1,304.00 58.82 Nusa Tenggara Barat 26.17 26.17 85,813.00 45.97 Kalimantan Selatan 25.84 25.84 4,424.00 26.09 Sulawesi Selatan 24.18 24.18 17,413.00 34.91 Sumber : Sensus Pertanian, 2003.

Teknologi Kimia (Pupuk)

Dinamika adopsi teknologi penggunaan pupuk menurut jenis pada tanaman padi sawah dapat disimak pada tabel 3.4.8 untuk tahun 1983 dan 1993, sedangkan keragaannya pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.4.9 sampai dengan Tabel 3.4.12. Terlihat bahwa di antara jenis pupuk yang ada, tingkat adopsi teknologi pupuk Urea yang paling tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh relatif tingginya tingkat partisipasi rumahtangga yang menggunakan pupuk Urea baik pada usahatani padi sawah pada program Bimas/Inmas maupun non-Bimas/Inmas. Pada tahun 1983 tingkat partisipasi penggunaan pupuk Urea bervariasi antara 66,5 – 87,1 persen, dan pada tahun 1993 berkisar antara 57,5 – 62,1 persen. Penurunan adopsi penggunaan pupuk Urea pada tanaman padi tersebut meningkatnya adopsi teknologi penggunaan pupuk TSP/DAP dan pupuk lainnya. Hal ini mengindikasikan kesadaran petani untuk menggunakan pupuk secara berimbang.

Tabel 3.4.8. Tingkat adopsi pemupukan usahatani padi sawah Bimas/Inmas dan non

Dokumen terkait