• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PEDESAAN: Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PEDESAAN: Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian ABSTRAK"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PEDESAAN:

Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian

Erna M. Lokollo, I.W.Rusastra, Handewi P. Saliem, Supriyati, Supena Friyatno dan Gelar S. Budhi

ABSTRAK

Dinamika sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya, sangatlah erat hubungan dan kaitannya dengan dinamika perekonomian makro nasional secara keseluruhan. Bagaimanakah perkembangan rumah tangga pertanian di Indonesia selama kurun waktu 3 dekade terakhir ini dan seberapa besar-kah perannya dalam perkembangan perekonomian makro dan bagaimanakah nanti keadaannya pada masa-masa mendatang?. Itulah yang akan dijawab dalam penelitian ini, dengan menggunakan data hasil Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 oleh BPS dan Pusdatin-DepTan. Hasil analisis terbagi dalam empat hal utama-yang berkaitan erat satu dengan lainnya, yaitu: (i) penguasaan dan pengusahaan lahan, (ii) pendapatan rumah tangga pertanian, (iii) ketenagakerjaan rumah tangga pertanian, dan (iv) adopsi teknologi pertanian. Analisis terhadap karakteristik dan tingkat kesejahteraan rumah tangga pertanian juga dilakukan untuk melengkapi dan mendapatkan gambaran utuh serta menyeluruh mengenai dinamika sosial ekonomi pedesaan Indonesia. Hasil analisis selain mengkonfirmasi secara sistematis sebahagian besar “common” dan “general knowledge” yang selama ini telah disinyalir dan diketahui umum, juga memberikan perspektif kedepan bagaimana sebenarnya yang diinginkan terjadi oleh para stakeholders. Konversi lahan pertanian tetap tinggi dan alih fungsi lahan sawah semakin mengkhawatirkan. Selama 3 dekade terakhir ini terjadi peningkatan ketimpangan distribusi lahan yang dicerminkan dari angka gini rasio yang semakin meningkat. Jawa memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari luar-Jawa. Proporsi petani kecil berlahan sempit meningkat dengan proporsi 75% dari total rumah tangga pengguna lahan. Struktur pendapatan rumah tangga di dominasi oleh pendapatan yang berasal dari sektor pertanian (50.15 persen), sedangkan sektor non-pertanian menyumbang sebesar 16.51 persen, dan kegiatan/aktivitas ekonomi lainnya menyumbang sebesar 14.96 persen terhadap total pendapatan rumah tangga. Di dalam sektor pertanian itu sendiri, peran atau pangsa sub-sektor tanaman pangan masih dominan, namun demikian peran sub-sektor perkebunan mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari hanya di bawah 5 persen menjadi tiga kali lipat-nya atau hampir mencapai 15 persen. Terjadi peningkatan peran atau share dari upah tenaga kerja/buruh, baik yang bekerja di pertanian maupun non-pertanian, yaitu dari menjadi 10.66 menjadi 24.42 persen. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian Indonesia di tahun 2003 adalah sebesar Rp. 8-13 juta per tahun. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian masih didominasi oleh sub-sektor tanaman pangan. Gambaran pekerja dan buruh pertanian mengalami perubahan dalam komposisi jender, umur, wilayah, tingkat pendidikan. Secara agregat, sebagian besar termasuk dalam kategori setengah pengangguran, meskipun yang memiliki jender laki-laki sebagian besar masuk dalam kategori bekerja dan yang wanita sebagian besar masuk dalam kategori setengah pengangguran

.

Adopsi teknologi pertanian selama 3 dekade mengalami peningkatan dan sangat bervariasi menurut komoditas , jenis teknologi maupun wilayah; namun didominasi oleh sub-sektor tanaman pangan dalam hal teknologi biologis dan kimia. Implikasi kebijakan dari hasil temuan sensus pertanian adalah pengembangan pertanian juga perlu diarahkan pada usahatani tidak berbasis lahan (non-land based agricultural development) yang akan memperkokoh fondasi diversikasi pertanian. Perluasan kesempatan kerja kearah yang sama juga diperlukan untuk menarik kelebihan atau ”excess” tenaga kerja di sektor hilir atau primer. Penataan sistem perbenihan diperlukan untuk meningkatkan adopsi teknologi sampai ke tingkat petani. Kesemuanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian.

(2)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Justifikasi

Peranan pertanian dalam perekonomian suatu negara memang sangat kompleks dan berbeda-beda untuk masing-masing negara. Secara umum dapatlah dikatakan perubahan struktur perekonomian suatu negara merupakan suatu perjalanan proses yang harus dilalui dalam pembangunan negara tersebut. Timmer (1998,2005) mengelompokkan peranan sektor pertanian dalam perekonomian bangsa ke dalam 4 tahap, yaitu: (1) tahap “getting agriculture moving”–era Mosher , (2) tahap dimana sektor pertanian telah mempunyai banyak keterkaitan dengan sektor lainnya-era Johnston-Mellor, (3) tahap dimana income dari sektor pertanian jauh tertinggal dibanding sektor non-pertanian- era Schultz, dan (4) tahap dimana sektor pertanian telah terintegrasi penuh dengan sektor lainnya termasuk didalamnya pasar tenaga kerja dan pasar modal- era Johnson Gale. Ke empat tahap ini haruslah dipahami dengan benar apabila kita ingin melihat peranan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu negara. Dalam pada itu, Hugendon (1992) membandingkan pangsa sektor pertanian dalam PDB negara-negara sedang berkembang antara tahun 1960 dan 1987 yang menurun tajam dari 50% menjadi 33%, sementara sektor industri manufaktur meningkat dari 9% menjadi 21%.

Sejak terjadinya reformasi ekonomi (1983) yang pada dasarnya telah melakukan perubahan prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri, maka telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan seperti terjadinya perubahan rasio pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terhadap PDB sektor pertanian terus menurun, yaitu 8,7% pada PELITA IV menjadi 5,5 dan 3,6% pada PELITA V dan PELITA VI (World Bank, 1994). Todaro (2000) mengemukakan bahwa struktur perekonomian suatu negara tergantung kepada beberapa faktor baik faktor ekonomi, struktur politik, kekuatan (power) dan interest group yang meliputi faktor ekonomi seperti nature of economy, struktur ekonomi, dan tingkat ketergantungan antara sektor-sektor primer, sekunder dan tersier. Sektor primer meliputi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sedangkan sektor sekunder adalah sektor manufaktur dan sektor tersier adalah sektor perdagangan, keuangan, transportasi dan jasa.

Dinamika sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya, sangatlah erat hubungan dan kaitannya dengan dinamika perekonomian makro nasional secara keseluruhan. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka peranan sektor pertanian di Indonesia, walaupun masih besar, akan mengalami kecenderungan yang makin menurun di tahun-tahun yang akan datang. Namun demikian, sektor pertanian di Indonesia, senantiasa mendapat perhatian yang besar dari Pemerintah, karena sektor tersebut adalah pemasok utama kebutuhan pangan nasional, dan sebagian besar penduduk masih berada di sektor ini. Peningkatan produksi dan produktivitas pertanian menjadi penting karena pembangunan ekonomi akan mengalami kesulitan dan stagnasi apabila tidak ditunjang oleh pembangunan pertanian itu sendiri. Perlu diingatkan bahwa penekanan pada pertumbuhan industri dengan mengesampingkan pertanian akan menyebabkan masalah neraca pembayaran negara. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan nasional sebagai akibat keberhasilan pembangunan industri akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap komoditas pertanian. Kalau produksi pertanian tidak meningkat, maka impor akan melonjak, dengan akibat timbulnya masalah neraca pembayaran (Rusastra, 1997).

Bersamaan dengan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia saat ini juga tengah berupaya dan berusaha menjawab tantangan pertama MDG’s (Millenium Development Goals), yaitu pengurangan angka kemiskinan pada tahun 2015 nanti. Dari tahun 1970-an sampai tahun 1996 terjadi penurunan angka kemiskinan dari 40 persen di tahun 1976 menjadi 11 persen di awal tahun 1996 (BPS). Tetapi adanya krisis perekonomian di tahun 1997-1998 lalu menyebabkan

(3)

angka kemiskinan bertambah kembali. Kita ketahui bahwa kantong-kantong kemiskinan itu ada di daerah pedesaan, yang mayoritas penduduknya tergantung pada pertanian.

Permasalahan yang terjadi pada sektor pertanian sampai saat ini, antara lain adalah : (1) Semakin meningkatnya RTP, sementara lahan pertanian relatif tetap, atau bahkan menurun akibat adanya konversi lahan ke non pertanian. Hal ini mengakibatkan pemilikan lahan semakin menurun; (2) Tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi semakin enggan bekerja di sektor pertanian; (3) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian; (4) Upaya-upaya peningkatan produksi masih menghadapi berbagai kendala.

Kondisi pertanian ke depan akan menghadapi permasalahan yang sama, atau bahkan permasalahan menyangkut lahan, tekonologi dan tenaga kerja akan semakin meningkat. Untuk itu diperlukan upaya-upaya terobosan kebijakan, pengembangan alsintan dan pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi.

Di Indonesia, usaha pertanian sangat didominasi oleh usahatani rumah tangga. Boleh dikatakan, seluruh produksi bahan pangan domestik dihasilkan oleh usahatani rumah tangga. Andil perusahaan pertanian korporasi yang cukup signifikan hanyalah untuk beberapa komoditas perkebunan dan peternakan seperti kelapa sawit, teh dan ayam ras. Oleh karena itu, kinerja sektor pertanian secara umum dan khsususnya keberhasilan pembangunan pertanian dalam mewujudkan tujuan mantapnya sistem ketahanan pangan nasional dan meningkatnya pendapatan petani sangat ditentukan oleh kinerja usahatani rumah tangga.

Determinan kapasitas kinerja usahatani rumah tangga adalah kualitas dan status kepemilikan aset produktif basis usahatani dan sumber pendapatan rumah tangga lainnya. Jumlah agregat dan distribusi kepemilikan dan penggunaan aset produktif tersebut juga merupakan determinan utama efisiensi, dan pertumbuhan produksi pertanian serta distribusi pendapatan di sektor pertanian dan wilayah pedesaan. Oleh karena itu, informasi dan pengetahuan yang akurat tentang evaluasi jangka panjang “state of the art” struktur kepemilikan aset, tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga pertanian sangatlah penting mengetahui keberhasilan pembangunan yang sudah diraih selama ini, serta kekuatan, tantangan dan peluang pembangunan dimasa mendatang. Untuk itu perlu dilakukan kajian komprehensif.

Data komprehensif tentang kepemilikan aset, ketenagakerjaan dan pendapatan rumah tangga pertanian dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Sensus Pertanian setiap 10 tahun. Karena ketersediaannya, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil dan Sensus Pertanian tahun-tahun 1983, 1993, dan 2003. Data deret waktu selama 20 tahun memadai untuk mengkaji perubahan struktur “state of the art” dan kecenderungan ke depan keadaan rumah tangga pertanian dan usahatani rumah tangga.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis penguasaan dan pengusahaan lahan di tingkat rumah tangga petani 2. Menganalisis ketenagakerjaan rumahtangga pertanian

3. Menganalisis sumber-sumber pendapatan rumah tangga petani

4. Menganalisis pemanfaatan teknologi di tingkat petani (penggunaan pupuk, benih, pestisida, alsintan)

(4)

II. METODA PENELITIAN

2. 1. Kerangka Pemikiran

Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan pertanian ke depan utamanya dalam hal penyediaan bahan pangan antara lain adalah jumlah penduduk yang terus bertambah, diperkirakankan mencapai 238 juta jiwa pada tahun 2030. Selain dalam jumlah, tantangan penyediaan bahan pangan juga terkait dengan pertumbuhan pendapatan, perubahan preferensi konsumen dan pola hidup masyarakat yang akan mendorong pada perubahan pola permintaan pangan dalam hal ragam, jenis dan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam kondisi demikian, tanpa upaya peningkatan produktivitas secara berkelanjutan disertai peningkatan kualitas produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen maka pertumbuhan permintaan pangan yang pesat tidak dapat dipenuhi dari produksi pertanian bahan makanan domestik. Apabila hal itu terjadi maka ketergantungan Indonesia terhadap pasar dunia dalam pemenuhan pangan penduduk merupakan permasalahan serius dalam upaya memantapkan ketahanan pangan nasional.

Permasalahan lain terkait dengan upaya peningkatan produksi bahan pangan di Indonesia adalah terjadinya stagnasi pertumbuhan produksi dan produktivitas padi secara nasional. Seperti diketahui, padi sebagai bahan baku pangan beras menempati posisi strategis dalam ekonomi pangan nasional. Posisi strategis tersebut terkait dengan kenyataan bahwa beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, usahatani padi merupakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan sebagian besar petani di daerah pedesaan, pasar beras dunia merupakan pasar yang ‘tipis’, artinya suplai beras di pasar dunia hanya merupakan ‘sisa’ dari produksi negara produsen utama padi dunia setelah negara-negara tersebut memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing. Dalam kondisi seperti itu maka apabila pemenuhan kebutuhan pangan beras Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pasar beras dunia dikawatirkan akan menyebabkan kerawanan pangan yang akan mengganggu stabilitas nasional.

Isu penanganan masalah kerawanan pangan (kelaparan) dan penghapusan kemiskinan telah menjadi isu global seperti telah disepakati dalam Millenium Development Goals (MDGs). Bersamaan dengan itu, isu mengenai perubahan dan penurunan kualitas lingkungan juga menjadi isu yang banyak diangkat dalam perdagangan komoditas termasuk komoditas pertanian (bahan pangan) di pasar dunia. Dalam hal ini, produksi pertanian dalam persaingan pasar global perlu memperhatikan proses produksi yang ramah lingkungan.

Dalam tataran domestik, pembangunan pertanian Indonesia dihadapkan pada berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi petani dan usaha pertanian di pedesaan. Beberapa perubahan yang juga menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia antara lain adalah (1) Makin kecilnya pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian per keluarga petani disebabkan ternyadinya fragmentasi dan tingginya laju konversi lahan ke penggunaan non pertanian, (2) Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja usia tua serta tidak tertariknya tenaga kerja muda untuk bekerja di sektor pertanian, (3) Ada kecenderungan menurunnya penggunaan berbagai input produksi (pupuk dan pestisida) disebabkan daya beli dan nilai tukar petani yang makin menurun, dan (4) Produktivitas tenaga kerja pertanian relatif rendah dibanding sektor non pertanian mengakibatkan pendapatan rumah tangga petani yang rendah. Berbagai permasalahan tersebut secara simultan menyebabkan kondisi petani Indonesia yang secara ekonomi kurang beruntung. Dalam hal ini di antara penduduk miskin yang ada di Indonesia, jumlah terbesar merupakan penduduk di daerah pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian.

Menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan pertanian di Indonesia seperti telah diuraikan di atas, ke depan dituntut perlunya perubahan strategi pembangunan pertanian dan pedesaan yang mampu memecahkan permasalahan tersebut. Secara umum strategi pembangunan yang perlu dikembangkan adalah pendekatan yang mengedepankan kepentingan

(5)

penduduk miskin termasuk di dalamnya rumah tangga petani (pro-poor growth strategy). Dalam kaitan tersebut, pola pemberdayaan petani dengan pendekatan partisipatif untuk menangkap kebutuhan petani sesuai dengan kapasitas sumberdaya yang ada merupakan pendekatan pembangunan pertanian dan pedesaan yang diduga akan terlanjutkan (sustainable). Bersamaan dengan itu, upaya peningkatan kualitas sumberdaya lahan melalui penerapan pupuk berimbang spesifik lokasi sesuai dengan kebutuhan diharapkan dapat menjamin kapasitas produksi sesuai dengan kaidah konservasi dan ramah lingkungan. Reforma agraria yang telah lama dijadikan wacana perlu dipertimbangkan implementasinya, dalam kerangka meningkatkan skala usahatani yang optimum dalam usaha produksi pertanian. Selain itu, untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah serta memperlancar arus distribusi produk maupun input produksi, pengembangan sarana dan prasarana dan infrastruktur pertanian (sarana irigasi, jalan, pasar, sarana telekomunikasi) menjadi prasyarat pelancar pembangunan pertanian dan pedesaan. Hal penting lain yang diharapkan dapat memicu peningkatan produksi dan produktivitas pertanian adalah pengembangan dan pemasyarakatan sistem inovasi teknologi pertanian. Akselerasi program rintisan diseminasi teknologi pertanian (Prima Tani) merupakan strategi yang diharapkan mampu mengatasi masalah transfer teknologi dan pengembangan kelembagaan agribisnis di pedesaan.

Dengan strategi pembangunan pertanian dan pedesaan seperti diuraikan di atas, ke depan diharapkan pendekatan tersebut mampu mencapai sasaran akhir dari pembangunan pertanian yaitu peningkatan kesejahteraan petani dengan mencapai ketahanan pangan yang mantap, masalah kemiskinan teratasi dan keberlajutan usahatani terjamin dengan mengedepankan masalah kelestarian sumberdaya dan ekologi pertanian. Secara diagramtis, kerangka pemikiran seperti diuraikan di atas dapat disimak pada Gambar 1.

(6)

Gambar 1. Keterkaitan antara Isu Pembangunan, Dinamika Sosial Ekonomi,

Peningkatan Produksi Pertanian dan Sasaran Akhir Pembangunan Nasional 2.2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data hasil sensus pertanian (SP) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data dan informasi yang digunakan adalah data olahan hasil SP tahun 1983, 1993 dan 2003. Selain menggunakan data tersebut sebagai data dasar, untuk mendukung analisis digunakan juga informasi terkait baik data maupun dari laporan hasil penelitian sebelumnya yang merupakan hasil survei yang dilakukan BPS maupun yang dilakukan oleh PSE-KP, seperti Panel Petani Nasional (PATANAS). Demikian pula, data dasar hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2003 serta profil rumah tangga pertanian yang telah dihasilkan oleh Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) bekerjasama dengan BPS digunakan dalam penelitian ini.

Untuk melihat aspek ketenaga kerjaan, karena data Sensus Pertanian tentang ketenaga kerjaan sangatlah terbatas maka dilengkapi dengan menggunakan data Survey Tenaga Kerja

Isu Pembangunan : Stagnasi ekonomi padi Sumber pertumbuhan baru Kemiskinan/perubahan

lingkungan

Dinamika Sosek (1973-2003): - Sosek Usahatani

- Sosek ruta pertanian - Sosek Pedesaan/Wilayah

Strategi Pembangunan Pertanian/ Pedesaan

Peningkatan Produksi Pertanian

- Sumberdaya Lahan (luas & kualitas) - Infrastruktur (irigasi/jalan/telekomunikasi) - Sistem inovasi (R&D + Extension)

- Pro-Poor Growth Strategy

Sasaran Akhir :

Ketahanan pangan

Pengentasan kemiskinan

(7)

Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS pada titik tahun yang sama dengan Sensus Pertanian.

2.3. Metoda Analisis

Secara umum data Sensus Pertanian dianalisis dengan menggunakan metoda statistik deskriptif. Komparasi antara titik tahun dilakukan sesuai dengan ketersediaan data sehingga diperoleh gambaran keragaan perubahan struktur dan indikator-indikator ekonomi pedesaan. Hal ini dilakukan agar dapat men ”assess” dan mempelajari secara tepat hasil-hasil pembangunan pertanian selama tiga dasawarsa terakhir ini.

Untuk dapat melihat dinamika sosial ekonomi pedesaan secara utuh dan melihat ke masa depan melalui alternatif-alternatif yang ada, maka digunakan metoda analisa prospektif partisipatif (participatory prospective analysis=PPA). Analisa ini menjadi penting karena dimungkinkan untuk mempertimbangkan alternatif masa depan dengan merancang tindakan saat ini yang terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara umum, penggunaan kemampuan untuk melihat ke masa depan adalah suatu proses dimana seseorang dapat lebih memahami kekuatan yang membentuk masa depan berdimensi panjang, berdasarkan pemantauan terhadap faktor-faktor kunci dan berbagai indikator tentang tren dan perkembangan yang sedang berlangsung (Bourgeois, R. 2007).

Analisis prospektif dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksplorasi, mengantisipasi perubahan melalui skenario atau sebagai alat normatif dari pendekatan normatif berorientasi pada tindakan yang dimulai dari visi terpilih mengenai masa depan dan menentukan jalur untuk mencapainya (Business Digest, 2002 dalam Bourgeois, R. 2007). Dengan demikian, analisis prospektif biasanya tidak berfokus pada optimisasi solusi, tetapi pada penyediaan berbagai macam pilihan dan tujuan bagi para pembuat keputusan dan turut merancang serangkaian alternatif ketimbang memilih alternatif terbaik di dalam suatu perangkat yang telah didefinisikan terlebih dahulu.

Tahapan yang telah dilakukan tim penelitian Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan-Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian dalam menggunakan metoda Analisa Prospektif Partisipatif (APP) adalah sebagai berikut: (1) menetapkan atau mendefinisikan batas-batas sistem terlebih dahulu, (2) mengidentifikasi variabel-variabel, (3) menseleksi dan mendefinisikan variabel-variabel utama atau kunci, (4) menganalisis pengaruh timbal balik, termasuk di dalamnya interpretasi hubungan pengaruh/kebergantungan, dan (5) membangun dan menggunakan skenario.

(8)

2.4. Cakupan Analisis dan Pemilihan Lokasi Penelitian

Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan selama tahun 1983 dan 1993 ditampilkan dalam bentuk yang sederhana, yaitu dengan cakupan: (1) Jawa, (2) Luar Jawa, dan (3) Indonesia. Sedangkan untuk tahun 2003 karena memiliki ketersediaan data yang berbeda maka ditampilkan dengan lebih detail lagi, yaitu berdasarkan sub-sektor pertanian, yaitu (i) sub-sektor tanaman pangan, (ii) sub-sektor hortikultura, (iii) sub-sektor perkebunan, dan (iv) sub-sektor peternakan. Khusus untuk mengkaji aspek teknologi, diputuskan untuk ditampilkan menurut 3 komoditas utama untuk masing-masing sub-sektor. Untuk sub-sektor tanaman pangan, komoditasnya adalah padi, jagung dan kedelai; untuk sub-sektor hortikultura, cakupan komoditasnya adalah kentang, bawang dan cabai merah; untuk sub-sektor perkebunan, cakupan komoditasnya adalah kelapa, kakao dan karet; untuk sub-sektor peternakan, cakupan komoditasnya adalah sapi, kambing/domba dan ayam buras. Demikian pula untuk melihat aspek ketenaga kerjaan, karena data Sensus Pertanian tentang ketenagakerjaan sangatlah terbatas dan belum komprehensif, maka analisis telah dilengkapi juga dengan menggunakan data dan hasil Survey Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS pada titik tahun yang sama dengan Sensus Pertanian.

Lokasi penelitian yang ditujukan untuk verifikasi dan klarifikasi data pada aspek ketenagakerjaan, pendapatan, penguasaan lahan dan penggunaan teknologi di sektor pertanian. Hal ini juga dilakukan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika sosial ekonomi pertanian (sebagai peubah kunci), termasuk wawancara dengan para stakeholders yang berkompeten di PemDa (seperti Kepala Dinas setempat yang mewakili expert/keahlian di bidangnya) untuk menggunakan alat APP (Analisa Prospektif Partisipatif). Secara purposive, lokasi penelitian adalah Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan. Format tabel dan cakupan analisis Sensus Pertanian 2003 menampilkan juga keadaan atau keragaan ke empat Provinsi tersebut di atas.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pertanian

Bahasan ini mencakup tiga hal pokok terkait dengan ekonomi lahan, yaitu: dinamika konversi lahan pertanian; dinamika distribusi penguasaan lahan; dan dinamika luas penguasaan lahan pertanian. Ketiga aspek ini akan dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi rumah tangga dengan status petani sempit akan mendorong distribusi penguasaan lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani sempit akan mendorong konversi lahan pertanian.

3.1.1. Dinamika Konversi Lahan Pertanian

Selama periode 1983-2003, dalam periode sepuluh tahun pertama konversi lahan pertanian non-perkebunan besar mencapai 1,28 juta hektar. Sebagian besar konversi lahan terjadi di Jawa (79,3%), dan dilihat dari jenis lahan, 68,3% adalah lahan sawah (Anon, 1996). Pada dasawarsa berikutnya (1993-2003), besaran konversi lahan relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1,26 juta hektar, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3%) (Tabel 4.2.1). Sejalan dengan dinamika pembangunan, nampaknya proporsi dominan konversi lahan pertanian bergeser dari Jawa ke luar Jawa, dalam hal ini Sumatera. Di Jawa sendiri menurut Nasution (2004) dalam periode 1998 – 2004 konversi lahan sawah mencapai 142 ribu hektar, atau sekitar 23,7 ribu hektar per tahun, atau sekitar 61,2% rataan konversi lahan periode 1993 – 2003 yang besarnya 38,7 ha/tahun. Jadi tampak bahwa konversi lahan pertanian produktif, khususnya di Jawa masih tetap tinggi.

(9)

Tabel 3.1.1. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia, 1983-2003 (Hektar)

Total lahan pertanian Konversi lahan Wilayah

SP 19831) SP 19932) SP 20033) 1983-1993 1993-2003 Jawa 5.422.449 4.407.029 4.019.887 -1.015.420 -387.142 Bali & Nusa

Tenggara 1.208.164 1.060.218 1.095.551 -147.946 +35.293 Sumatera 5.668.811 5.416.601 4.249.706 -252.210 -1.166.895 Sulawesi 1.637.811 1.772.444 2.184.508 +134.693 +412.064 Kalimantan 2.222.153 2.191.596 2.096.230 -30.557 -95.357 Maluku 378.662 400.339 351.970 +21.717 -48.369 Irian Jaya 166.322 175.777 142.043 +9.455 -33.734 INDONESIA 16.704.272 15.424.004 16.704.272 -1.280.268 -1.264.140

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta: 1) Sensus Pertanian Seri J3, 1983; 2) Sensus Pertanian Seri J3, 1993; 3) Sensus Pertanian Seri A3, 2003.

Tingginya konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah produktif, menambah beban pencapaian swasembada pangan (beras) nasional. Pada kondisi pilihan terbuka bagi investor, maka konversi lahan pertanian di Jawa dengan infrastruktur fisik yang baik, sulit untuk dapat dihindari. Opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi, padat teknologi dan manajemen, dengan sasaran efisiensi dan daya saing yang tinggi (Kasryno, 1996).

Kelangkaan lahan pertanian di Jawa, perlu dikompensasi dengan pengembangan lahan pertanian baru di luar Jawa. Pengembangan lahan pertanian ini secara ekonomis, dalam jangka pendek, perlu mempertimbangkan peningkatan kemampuan lahan pertanian yang telah ada dalam pemanfaatan sarana dan infrastruktur irigasi yang telah dibangun namun belum dimanfaatkan secara maksimal (Pasandaran, 1988).

Pembahasan konversi lahan pertanian, tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan neraca penggunaan lahan. BPN (2001) dalam Silalahi (2006) menunjukkan bahwa dari 191 juta hektar lahan yang tersedia di Indonesia, proporsi peruntukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah adalah 35,4% (67 juta hektar) untuk zona konservasi, dan 64,6% (123 juta hektar) untuk zona kultivasi. Dalam kenyataannya, 18,4% atau 12 juta hektar lahan di zona konversi telah dimanfaatkan, dan 57,7% atau 71 juta hektar lahan di zona kultivasi belum dimanfaatkan. Dalam konteks konversi lahan pertanian, masih terbuka luas pengembangan lahan pertanian baru, dengan luasan tidak kurang dari 71 juta hektar.

3.1.2. Distribusi Penguasaan Lahan

Dinamika distribusi penguasaan lahan pertanian selama tiga puluh tahun terakhir (1973-2003) di Indonesia memberikan beberapa informasi menarik (Tabel 4.2.2) sebagai berikut: (1) Gini rasio penguasaan lahan meningkat secara konsisten dari 0,5481 menjadi 0,7171; (2) Gini rasio di Jawa secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan di luar Jawa, di mana pada tahun 2003 yaitu 0,7227 vs. 0,5816; (3) Rumah tangga dengan luas penguasaan lahan < 0,10 hektar adalah sumber ketimpangan distribusi penguasaan lahan, khususnya di Jawa; (4) Di Jawa, ketimpangan tinggi penguasaan lahan terjadi sejak 1993, sedangkan di luar Jawa terjadi sejak 2003 (Gini rasio > 0,50, menurut Oshima, 1976).

(10)

Tabel 3.1.2. Gini Rasio Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian (Total Lahan Sawah dan Lahan Kering) di Indonesia, 1973-2003

Deskripsi Jawa Luar Jawa Indonesia

1. Tanpa luas lahan < 0,10 hektar

1973a) 0,4371 - 0,5368

1983a) 0,4557 0,4684 0,4925

1993b) 0,2810 0,3123 0,4995

2003c) 0,3001 0,4036 0,4046

1. Total rumah tangga

1973a) 0,4479 - 0,5481

1983a) 0,4901 0,4786 0,5047

1993b) 0,5588 0,4774 0,6432

2003c) 0,7227 0,5816 0,7171

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta:

a) Sensus Pertanian 1973 dan 1983 (Santoso, 1985, Sajogyo, 1988) b) Sensus Pertanian 1993 (Proses data)

c) Sensus Pertanian 2003Seri A3 (Proses data).

Distribusi penguasaan lahan menurut jenis lahan dan wilayah, selama sepuluh tahun terakhir (1993-2003), memberikan beberapa indikasi (Tabel 3.1.3) sebagai berikut: (1) di Jawa, gini rasio lahan sawah vs. Lahan kering relatif sama, dan tidak ada perbaikan selama sepuluh tahun terakhir; (2) Di luar Jawa, giri rasio lahan sawah mengalami penurunnan secara konsisten dari 0,7154 menjadi 0,4784, sedangkan untuk lahan kering relatif konstan pada tingkat 0,5700; (3) Walaupun distribusi penguasaan lahan sawah di luar Jawa mengalami perbaikan pada tahun 2003, tetapi gini rasionya mendekati garis batas (threshold level) 0,50 (Oshima, 1976); (4) Secara umum dapat dinyatakan bahwa ketimpangan distribusi penguasaan lahan sawah dan lahan kering, di Jawa dan luar Jawa adalah relatif tinggi (Gini rasio > 0,50).

Tabel 3.1.3. Gini Rasio Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian Menurut Jenis Lahan di Indonesia, 1993-2003

Deskripsi Jawa Luar Jawa Indonesia

1993 1. Tanpa luas lahan < 0,10 hektar

- Lahan sawah 0,2793 0,2357 0,4470

- Lahan kering 0,2891 0,3318 0,5167

- Total lahan 0,2809 0,3123 0,4495

2. Total rumah tangga

- Lahan sawah 0,5928 0,7154 0,8002

- Lahan kering 0,6079 0,5791 0,7089

- Total lahan 0,5580 0,4774 0,6432

2003 1. Tanpa luas lahan < 0,10 hektar

- Lahan sawah 0,2225 0,3464 0,2626

- Lahan kering 0,2601 0,4197 0,4278

- Total lahan 0,3001 0,4036 0,4046

2. Total rumah tangga

- Lahan sawah 0,6323 0,4784 0,5627

- Lahan kering 0,5544 0,5725 0,8462

- Total lahan 0,7227 0,5816 0,7171

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta : (data dalam proses) : 1) Sensus Pertanian 1993

(11)

3.1.3. Dinamika Ruta dan Luas Penguasaan Lahan

Perkembangan ruta (rumah tangga pertanian) menurut luas penguasaan lahan, 1983 - 2003, pada Tabel 3.1.4 menunjukkan bahwa: (1) Secara agregat, pada sepuluh tahun terakhir, 1993 - 2003, terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (2) Fakta empirisnya adalah ruta dengan penguasaan lahan < 0,50 dan >2,0 hektar meningkat relatif tajam, masing-masing 31,95% dan 74,95%; (3) Sementara itu, katagori dengan luas 0,50 – 0,99 hektar dan 1,00 – 1,99 hektar, hanya meningkat sebesar 5,28% dan 10,48%; (3) Hal yang serupa juga terjadi di luar Jawa, yang diwakili oleh Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.

Tabel 3.1.4. Banyak Rumah Tangga Petani Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003

Jumlah rumah tangga Propinsi Golongan luas lahan 1983 1993 2003 1983-1993 1993-2003 Jabar <0,50 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 >=2,00 1.630.281 674.801 393.820 173.595 2.305.065 544.761 242.540 90.853 2.557.823 465.297 194.910 76.317 41,39 (20,90) (38,41) (47,66) 10,97 (12,83) (19,64) (16,00) Sumsel <0,50 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 >=2,00 39.00 79.176 144.026 185.122 156.152 192.596 245.753 179.812 186.860 135.616 257.892 323.995 300,39 143,25 70,63 (2,87) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 Kalsel <0,50 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 >=2,00 85.787 67.735 72.108 53.464 143.009 92.150 69.259 35.061 180.449 98.953 87.031 77.062 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 26,18 7,38 25,66 119,79 Indonesia <0,50 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 >=2,00 6.412.246 3.671.243 2.922.294 2.168.315 10.631.887 4.348.303 3.132.145 1.601.409 14.028.589 4.578.053 3.460.406 2.801.627 65,81 18,44 7,18 (26,15) 31,95 5,28 10,48 74,95 Sumber: Sensus Pertanian 1983,1993 dan 2003, BPS, Jakarta.

Dinamika ruta, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa terakhir (1983 - 2003), memberikan sejumlah informasi penting (Tabel 3.1.5) sebagai berikut: (1) Jumlah rumah tangga petani gurem mengalami peningkatan secara konsisten, yaitu untuk katagori penguasaan lahan < 0,10 hektar dari 7,30% menjadi 17,17%, dan untuk katagori 0,10 – 0,49 hektar dari 37,21% menjadi 39,24%; (2) Sementara itu petani dengan katagori penguasaan lahan > 2,0 hektar mengalami penurunan dari 13,46% menjadi 11,27%, namun luas lahan yang dikuasai sangat besar (mendekati 50,0%), walaupun sedikit menurun dari 49,42% menjadi 46,31%; (3) Rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem untuk kedua jenis katagori, mengalami penurunan dari 0,05 hektar menjadi 0,02 hektar (untuk katagori ruta 0,01 ha) dan menurun dari 0,27 ha menjadi 0,09 ha untuk katagori ruta 0,10 – 0,49 ha; (4) Sementara itu, rataan luas penguasaan lahan petani luas (katagori ruta >2,0 ha) rataan penguasaan lahannya meningkat dari 2,80 hektar (1993) menjadi 3,26 hektar pada tahun 2003; (5) Katagori ruta dengan luas 0,50 – 0,99 hektar, rataan luas penguasaan lahannya juga mengalami peningkatan selama dua dasawarsa terakhir ini dari 0,66 hektar menjadi 1,00 ha; dan ruta dengan katagori 1,00 – 1,99 hektar, rataan luas penguasaan lahannya juga meningkat dari 1,29 hektar menjadi 1,44 hektar. Jadi secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang.

(12)

Tabel 3..1..5. Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Luas Tanah yang Dikuasai, 1983, 1993 dan 2003 1983 1993 2003 Tanah yang dikuas ai 1 2 3 1 2 3 1 2*) 3 <0,10 1.245.96 0 7,30 63.722 0,38 0,0 5 1.594.37 5 7,54 82.979 0,49 0,0 5 4.269.04 4 17,17 96.255 0,49 0,0 2 0,10 – 0,49 6.355.00 4 37,21 1.703.67 8 10,12 0,2 7 7.986.51 0 37,75 747.406 4,46 0,0 9 9.795.54 5 39,24 876.587 4,46 0,0 9 0,50 – 0,99 4.000.26 4 23,42 2.655.35 2 15,77 0,6 6 4.373.20 3 20,67 3.906.27 2 23,29 0,8 9 4.578.05 3 18,41 4.581.43 1 23,29 1,0 0 1,00 – 1,99 3.179.27 0 18,61 4.087.77 0 24,27 1,2 9 4.422.49 3 20,90 4.253.65 2 25,36 0,9 6 3.460.40 6 13,91 4.988.85 2 25,36 1,4 4 >2,00 2.298.81 8 13,46 8.331.72 6 49,47 3,6 2 2.779.39 0 13.14 7.784.77 0 46,41 2,8 0 2.801.62 7 11,27 9.130.28 7 46,41 3,2 6 17.079.3 16 100,00 16.842.2 48 100,00 0,9 9 21.155.9 71 100,00 16.774.1 70 100,00 0,7 9 24.868.6 75 100,00 19.673.4 12 100,00 0,7 9

Keterangan: 1=Jumlah rumah tangga; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=Rata-rata luas tanah yang dikuasai *) Diperoleh dengan cara mengalikan total luas lahan yang dikuasai 2003 dengan proporsi 1993.

Informasi yang lebih detail tentang perkembangan rumah tangga pertanian, rumah tangga pengguna lahan, dan rumah tangga petani kecil (penguasaan lahan <0,50 ha) dalam sepuluh tahun terakhir (1993-2003) ditampilkan pada Tabel 3.1.6 dengan narasi ringkas (Tabel 3.1.6) sebagai berikut: (1) Di Jawa, proporsi ruta pengguna lahan terhadap rumah tangga pertanian mengalami penurunan dari 99,08% menjadi 95,79%; (2) Sementara itu proporsi ruta petani kecil terhadap ruta pengguna lahan meningkat dari 69,76% menjadi 74,68%; (3) Ruta petani gurem mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ruta pertanian dan ruta pengguna lahan pertanian, yaitu 2,16% vs. 1,81% dan 1,47%; (4) Di luar Jawa juga terjadi kecenderungan yang serupa, di mana proporsi petani kecil meningkat dari 30,57% menjadi 33,68%, dan bertumbuh dengan laju 3,05%; (5) Secara agregat nasional, proporsi petani kecil meningkat dari 52,66% menjadi 56,20%, dengan pertumbuhan 2,39%.

Tabel 3.1.6. Proporsi dan Perkembangan Rumah Tangga Pengguna Lahan dan Petani Kecil (< 0,50 ha) Terhadap Total Rumah Tangga Pertanian, 1993-2003

Deskripsi Jawa Luar Jawa Indonesia

1. 1993 a. Rumah tangga pertanian 11.671 9.116 20.787 b. Rumah tangga pengguna lahan 11.564 8.954 20,518 c. Rumah tangga petani kecil 8.067 2.737 10,804 d. Proporsi ruta pengguna lahan

terhadap ruta (%) 99,08 98,22 98,71

e. Proporsi petani kecil terhadap

ruta pengguna lahan (%) 69,76 30,57 52,66 2. 2003 a. Rumah tangga pertanian 13.965 11.614 25.579

(13)

b. Rumah tangga pengguna lahan 13.377 10.979 24.355 c. Rumah tangga petani kecil 9.990 3.698 13.687 d. Proporsi ruta pengguna lahan

terhadap ruta (%) 95,79 94,53 95,22

e. Proporsi petani kecil terhadap

ruta pengguna lahan (%) 74.68 33,68 56,20 3. Petani kecil terhadap pertumbuhan (%/thn)

a. Rumah tangga pertanian 1,81 2,45 2,10

b. Rumah tangga pengguna lahan 1.47 2,06 1,73

c. Rumah tangga petani kecil 2.16 3,05 2,39

Sumber : Sensus Pertanian 1993 dan 2003. Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta (2004)

Perkembangan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan menurut jenis kegiatan, 1993-2003, memberikan beberapa informasi (Tabel 3.1.7), sebagai berikut: (1) Secara agregat, tahun 2003, rumah tangga dominan adalah ruta padi/palawija 39,09%, hortikultura 20,13%, dan perkebunan 16,61%; (2) Di luar ketiga sub sektor utama tersebut, proporsi ruta berikutnya adalah peternakan 14,05%, tanaman kehutananan 8,06%, ikan/biota di kolam air tawar/sawah 1,76%, dan ikan/biota di tambak air payau 0,36% dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan yang besarnya 46,34 juta; (3) Pertumbuhan ketiga sub sektor dominan, 1993-2003, adalah 6,32%, 0,73% dan 2,36%/tahun; (4) Keempat subsektor lainnya bertumbuh dengan laju 1,76%, 14,44%, 0,36% dan 4,22%; (5) Di Jawa, ruta yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi adalah budidaya tanaman kehutanan 13,05%, dan ruta hortikultura 7,06%; (6) Di luar Jawa, yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah ruta budidaya tanaman kehutanan 19,79%, ruta ikan/biota di tambak air payau 7,70%, ruta hortikultura 6,35%, dan ruta perkebunan 4,07%/ tahun.

Tabel 3.1.7. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Jenis Kegiatan Antara ST93 dan ST03 (000)

Uraian Jawa Luar

Jawa Indonesia 1. Sensus Pertanian 1993

a. Rumah tangga padi/palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan

d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan/perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di

kolam air tawar/sawah

g. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di tambak air payau

10.157 2.568 2.323 808 3.073 541 57 7.391 2,297 3,776 161 2.393 245 39 17.548 4.865 6.099 969 5.466 786 96 2. Sensus Pertanian 2003

a. Rumah tangga padi/palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan

d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan/perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di

kolam air tawar/sawah

g. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di tambak air payau

10.759 5.078 2.070 2.755 3.266 574 63 7.356 4.251 5.629 978 3.241 240 82 18.115 9.329 7.699 3.733 6.507 815 145 3. Rataan Pertumbuhan (%/tahun)

(14)

b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan

d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan/perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di

kolam air tawar/sawah

g. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di tambak air payau

7,06 -1,15 13,05 0,61 0,60 1,06 6,35 4,07 19,79 3,08 -0,20 7,70 6,73 2,36 14,44 1,76 0,36 4,22

(15)

3.2. Pendapatan

3.2.1. Struktur dan Dinamika Pendapatan Rumahtangga

Selama kurun waktu 1983 ke 1993, terlihat adanya penurunan peran atau pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumahtangga, yaitu dari 54.97 menjadi 50 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya peran atau pangsa dari sub-sektor tanaman pangan terhadap total pendapatan rumah tangga pertanian, yaitu dari 29.07 menjadi 19.27 persen. Namun demikian, kecuali sub-sektor peternakan, peran atau pangsa sub-sektor pertanian lainnya (perkebunan, perikanan, dan kehutanan) mengalami peningkatan pada kurun waktu tersebut. Sumber pendapatan lainnya, seperti upah terlihat menurun cukup tajam dari 25 menjadi 9.43 persen; sedangkan pangsa dari kegiatan atau usaha non-pertanian meningkat dari 10.99 menjadi 23.38 persen.

Dalam kurun waktu 1993 sampai 2003 terlihat bahwa peran atau pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumah tangga pertanian mengalami sedikit peningkatan menjadi 50.15 persen. Kita ketahui bahwa selama periode ini, perekonomian Indonesia mengalami krisis, sama seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tetapi yang dapat disimak dari tabel di atas adalah bahwa peran atau pangsa sektor pertanian tetap menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan rumah tangga. Di dalam sektor pertanian itu sendiri, peran atau pangsa sub-sektor tanaman pangan masih dominan, namun demikian peran sub-sektor perkebunan mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari hanya di bawah 5 persen menjadi tiga kali lipat-nya atau hampir mencapai 15 persen. Dari data Sensus Pertanian didapatkan juga hasil bahwa telah terjadi peningkatan peran atau share dari upah tenaga kerja/buruh, baik yang bekerja di pertanian maupun non-pertanian, yaitu dari menjadi 10.66 menjadi 24.42 persen. Dalam pada itu terjadi penurunan peran atau pangsa dari sektor non-usahatani dari 23.38 menjadi 16.51 persen dari pendapatan rumah tangga secara keseluruhan.

Pada tahun 2003, struktur pendapatan rumah tangga di dominasi oleh pendapatan yang berasal dari sektor pertanian (50.15 persen), sedangkan sektor non-pertanian menyumbang sebesar 16.51 persen, dan kegiatan/aktivitas ekonomi lainnya menyumbang sebesar 14.96 persen terhadap total pendapatan rumah tangga.

Tabel 3.2.1. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Menurut Region di Indonesia, 1983-2003 Persentase Pendapatan 19831) 19932) 20033) Sumber Pendapatan Jawa Luar Jawa Indo-nesia Jawa Luar Jawa Indo-nesia Jawa Luar Jawa Indo-nesia A. Aktivitas Usahatani 47.84 61.76 54.97 40.65 58.85 50.00 24.95 53.67 50.15 - Tnm Pangan 29.01 29.12 29.07 22.20 23.12 47.36 12.71 35.91 37.00 - Perkebunan 7.72 19.72 13.86 6.48 23.04 4.81 4.81 29.52 16.09 - Peternakan 9.41 7.79 8.58 8.35 4.81 4.52 4.52 3.16 3.90 - Perikanan 1.23 3.82 2.56 2.39 6.47 1.94 1.94 4.13 2.94 - Kehutanan 0.47 1.32 0.90 1.23 1.41 1.38 1.38 0.28 0.87 B. Aktivitas Non-Usahatani 12.65 9.41 10.99 14.08 7.58 23.38 23.38 8.52 16.30

(16)

C. Bukan Usaha 0.77 0.77 0.75 5.20 2.93 1.23 1.23 2.00 1.58 D. Buruh 30.71 19.56 25.00 26.11 18.09 9.43 9.43 4.94 7.38 E. Lainnya 8.03 8.53 8.29 13.96 12.55 13.24 15.96 11.55 14.24 TOTAL (Rp1,000 /

RumahTangga) 648 680 664 1,712 1,808 1,760 11,191 11,191 11,684

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta: 1) Series I Sensus Pertanian 1983 2) Series D Sensus Pertanian 1993 3) Series C Sensus Pertanian 2003

Apabila di lihat menurut wilayah Jawa dan luar-Jawa, maka peran atau pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumahtangga di luar-Jawa didapatkan lebih besar dari pada di Jawa. Selama satu dekade terakhir ini telah terjadi pendapatan rumahtangga di luar-Jawa menjadi lebih dari dua kali lipat dari pendapatan rumahtangga di Jawa (24.95 versus 53.67 persen). Meskipun mengalami penurunan, namun demikian peran atau pangsa pertanian masih tetap dominan dalam struktur pendapatan rumahtangga, baik di Jawa maupun di luar-Jawa.

Struktur pendapatan rumah tangga pertanian di empat propinsi contoh yang diambil pada tahun 2003 dapat diikuti pada tabel di bawah ini. Sama halnya dengan keadaan di Indonesia pada umumnya, di Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, sumber pendapatan rumah tangga yang dominan berasal dari aktivitas atau kegiatan usahatani. Walaupun tanaman pangan mendominasi kegiatan usahatani, namun di Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan terlihat bahwa aktivitas usahatani perkebunan memiliki kontribusi pangsa yang seimbang dengan aktivitas usahatani tanaman pangan. Hal ini berarti sumbangan pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari aktivitas menaman tanaman perkebunan sama besarnya dengan sumbangan pendapatan yang berasal dari tanaman pangan. Di Provinsi Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat, sumbangan aktivitas usahatani perkebunan terhadap total pendapatan rumahtangga masih lebih kecil dibandingkan sumbangan dari aktivitas tanaman pangan. Rata-rata pendapatan rumahtangga pertanian per tahun di ke empat propinsi contoh penelitian masing-masing adalah Rp 11,3 juta di Provinsi Sumatera Barat, Rp 8,6 juta di Provinsi Kalimantan Selatan, Rp 7,6 juta di Provinsi NTB; dan Rp 8,4 juta di Provinsi Sulawesi Selatan. Kecuali Provinsi Sumatera Barat, ke tiga Provinsi lainnya masih berada di bawah rata-rata pendapatan rumahtangga nasional (Rp 9,3 juta). Pendapatan rumah tangga yang terendah dari keempat propinsi contoh terdapat di Propinsi NTB yang hanya sebesar 80 persen dari pendapatan nasional Indonesia (Rp 7,6 juta).

Tabel 3.2.2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Indonesia, 2003

Rata-rata Pendapatan per RT (2003)

Sumbar Kalsel NTB Sulsel Indonesia Sumbar Kalsel NTB Sulsel Indonesia a. Aktivitas Usahatani 4.770 3.626 3.386 4.981 4.666 42,03 42,03 44,17 58,98 50,15 - Tanaman Pangan 2.153 1.469 1.821 1.703 1.792 18,97 17,03 23,76 20,17 19,26 - Tanaman Perkebunan 1.637 1.062 586 1.799 1.336 14,42 12,31 7,65 21,30 14,36 - Peternakan 516 351 469 438 338 4,55 4,07 6,12 5,19 3,63 - Perikanan 279 523 209 893 796 2,46 6,06 2,73 10,57 8,55 - Kehutanan 185 221 301 148 404 1,63 2,56 3,93 1,75 4,35

b. Usaha Non Usahatani 2.118 1.700 1.250

(17)

c. Bukan Usaha/Buruh tani 1.476 679 493

297 691 13,01 7,87 6,43 3,52 7,43

d. Buruh (non Pertanian) 1.494 1.403 1087 1.109 1.581 13,16 16,26 14,18 13,13 16,99 e. Lainnya 1.491 1.219 1449 994 1.392 13,14 14,13 18,90 11,77 14,96 Total (Rp1000/Hh) ###### 8.627 7.665 8.445 9.305 ###### ###### ###### ###### ###### Sumber: BPS, Sensus Pertanian 2003.

Pertumbuhan pendapatan rumah tangga Indonesia selama kurun waktu 1983-1993 dan 1983-1993-2003 secara rinci dapat diikuti pada Tabel 3.2.3

Pertumbuhan pendapatan rumahtangga yang disebabkan oleh pertumbuhan pendapatan dari sektor pertanian selama tahun 1993–2003 terlihat sangat pesat, yaitu sebesar 70.31 persen. Sangat pesat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada satu dekade sebelumnya, yaitu periode 1983 – 1993 yang hanya sebesar 14.11 persen. Pertumbuhan pesat di dekade terakhir ini lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan yang sangat pesat dan nyata pada sub-sektor tanaman pangan, yaitu sebesar 116.46 persen. Pertumbuhan sub-sektor tanaman pangan di satu dekade sebelumnya (1983-1993) hanyalah 7.56 persen saja.

Tabel 3.2.3. Pertumbuhan Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Menurut Region dan Aktivitas di Indonesia, 1983-2003

Persentase Pertumbuhan Pendapatan

1983-19931) 1993-20032) Aktivitas Rumah Tangga

Java Off-Java Indone-sia Java Off-Java Indone-sia A. Akt. Pertanian 12.45 15.33 14.11 107.72 66.78 70.31 - Tnman Pangan 10.21 11.11 7.56 160.12 86.14 116.46 - Perkebunan 12.20 21.12 18.70 49.19 69.31 61.21 - Peternakan 13.44 6.42 10.18 33.17 30.66 29.65 - Perikanan 41.25 35.00 36.47 54.73 29.51 33.47 - Kehutanan 60.00 17.78 28.33 79.47 2.29 2.24 B. Non-farm business 19.39 11.71 15.89 122.47 59.57 90.75 C. Non business 168.00 96.00 132.00 8.86 32.25 16.03 D. Workers (labours) 12.46 14.59 13.31 11.80 6.90 12.28 E. Others 35.96 29.14 32.36 81.17 46.97 61.40 TOTAL (Rp1,000 / Rumah Tangga) 16.42 16.59 16.51 69.74 51.90 56.39

Sumber: Diolah dari BPS, Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.

Kegiatan non-pertanian juga mengalami peningkatan selama kurun waktu 1993-2003. Ini meningkat hampir dua kali lipat (90.75 persen), sedangkan pada periode 1983-1993 hanya meningkat sebesar 15.89 persen.

Secara nominal, pendapatan rumahtangga pertanian meningkat lebih dari 50 persen selama periode 1993-2003. Pertumbuhan terlihat lebih cepat di Jawa (69.74 persen) daripada di

(18)

luar Jawa (51.90 persen). Pada dekade terakhir pertumbuhan juga lebih cepat dibandingkan dekade sebelumnya. Namun demikian sektor pertanian tetap bertahan menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga di pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Hal yang sama juga dihasilkan oleh analisis Survei Pendapatan Petani, Sensus Pertanian 2003 (2004), sebanyak 27-36 persen rumahtangga pedesaan di 6 Provinsi (Sumatera Barat, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan) menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian tanaman pangan sebagai sumber pendapatan yang utama. Namun demikian di 2 Provinsi lainnya (Sumatera Utara dan Sumatera Selatan), sub-sektor yang menjadi andalan atau sumber penghasilan utama adalah sub-sektor perkebunan.

Suatu hal yang menarik yang ditelusuri dan dianalisis dari data Sensus Pertanian 2003 adalah bahwa peran atau pangsa dari upah (sebagai tenaga kerja pertanian) menjadi meningkat dalam satu decade terakhir, karena kegiatan ber buruh meningkat di beberapa Provinsi di Indonesia ( Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat). Ada sebanyak 2–11.5 persen rumahtangga pertanian yang merupakan buruh tani dan menggantungkan pendapatannya dari semata-mata kegiatan ber buruh tani saja karena tidak memiliki lahan pertanian ((SPP, SP. -2004).

2. Sumber Pendapatan dan Status Pekerjaan Rumah Tangga Pertanian

Pada tahun 1983, sebesar 83 persen dari pendapatan rumahtangga pertanian bersumber dari sektor pertanian. Pada tahun 1993, persentase itu menurun menjadi 78 persen. Pada tahun 2003, persentase tersebut semakin menurun menjadi 69 persen. Tidak demikian halnya dengan peranan sektor non-pertanian yang semakin meningkat sepanjang waktu. Bila pada tahun 1983, peranan sektor non-pertanian adalah hanya sebesar 15 persen; maka pada tahun 1993, peranannya meningkat menjadi 20 persen. Pada tahun 2003, sektor non-pertanian menyumbang sebesar 24 persen atau kira-kira seperempat dari keseluruhan pendapatan rumahtangga pertanian di pedesaan Indonesia.

Table 3.2.4. Sumber Pendapatan dan Status Pekerjaan Rumah Tangga Pertanian Indonesia, 1983-2003 A. AGRICULTURAL SECTOR

Status Pekerjaan

1983 1993 2003

Sumber Pendapatan

Labor Self Empl Total Labor Empl Self Total Labor Self Empl Total

A. Agricultural Sector 6.29 76.41 82.70 6.87 71.56 78.46 7.38 62.09 69.47 - Food crops 4.30 60.8 65.15 4.96 46.44 51.40 4.82 36.70 41.52 - Estate crops 1.27 9.94 11.21 1.26 1.26 13.96 0.99 16.10 17.09 - Livestock 0.03 1.91 1.94 0.04 0.04 8.23 0.80 3.90 4.70 - Fisheries 0.11 2.70 2.81 0.30 0.30 3.10 0.19 2.94 3.13 - Others 0.58 1.01 1.59 0.31 0.31 1.77 0.56 2.47 3.03 B. NON-AGRICULTURAL SECTOR Status Pekerjaan 1983 1993 2003 Sumber Pendapatan

(19)

B. Non-Agric. Sector 6.29 76.41 82.70 6.87 71.56 78.46 7.38 62.09 69.47 - Agric prod process. ind. 4.30 60.8 65.15 4.96 46.44 51.40 4.82 36.70 41.52 - Other Process. ind. 1.27 9.94 11.21 1.26 1.26 13.96 0.99 16.10 17.09 - Trade 0.03 1.91 1.94 0.04 0.04 8.23 0.80 3.90 4.70 - Transport, warehouse, commun. 0.11 2.70 2.81 0.30 0.30 3.10 0.19 2.94 3.13 - Services (indiv., public, Social) 0.58 1.01 1.59 0.31 0.31 1.77 0.56 2.47 3.03 C. Income 1.74 0.00 1.74 1.41 0.00 1.41 6.04 0.00 6.04 TOTAL 15.56 84.94 100 17.08 82.92 100 23.98 76.02 100

Sumber: Diolah dari BPS, Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003

Apabila ditelusuri dari status pekerjaan, maka terlihat bahwa pada umumnya atau kebanyakan pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan yang dikategorikan sebagai bekerja sendiri (self-employment activities) dari kegiatan usahatani.

Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian Indonesia di tahun 2003 adalah sebesar Rp. 8-13 juta per tahun. Sumber terbesar berasal dari sektor pertanian, yaitu sekitar 40-72 persen, baik itu sebagai kegiatan bekerja sendiri maupun sebagi upahan dalam kegiatan usahatani. Tabel 4.3.3. menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sebanyak 69 persen dari total pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari sektor pertanian, dan 24 persen berasal dari sektor lainnya (industri, perdagangan, angkutan dllnya), sedangkan 6 persen berasal dari pendapatan lainnya (berupa pensiun, sewa lahan, bunga, dan transfer).

Peran dan pangsa kegiatan non-pertanian dalam memberikan sumbangan bagi pendapatan rumahtangga di pedesaan semakin meningkat dalam kurun 2 dekade terakhir ini. Jika pada tahun 1983, peran atau pangsa itu hanya sebesar 15 persen saja, maka pada tahun 1993 meningkat menjadi 20 persen, bahkan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24 persen. Dari tabel tersebut dapat juga dilihat bahwa pendapatan rumahtangga pertanian yang berasal dari upah tenaga kerja meningkat dengan cepat dari tahun 1993 ke tahun 2003, yaitu dari 17 menjadi 24 persen. Komponen ini salah satunya berasal dari aktivitas transfer-income dari upah tenaga kerja.

Sumber pendapatan rumah tangga pertanian di Propinsi lokasi contoh dapat diikuti pada Tabel 3.2.2 di atas tadi. Di Propinsi Sumatera Barat, 42 persen dari total pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan atau aktivitas usahatani. Hampir 20 persen dari total pendapatan rumah tangga berasal dari usaha non-pertanian. Pola yang sama juga dapat ditemui di Provinsi Kalimantan Selatan, NTB, dan Sulawesi Selatan. Namun apabila persentase di empat kegiatan selain aktivitas usahatani/pertanian tersebar merata di Provinsi Sumatera Barat, tidak demikian halnya fakta yang ditemukan di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan. Ke empat kegiatan lainnya tersebut (usaha non-usahatani, bukan usaha/buruh, buruh non-pertanian, dan lainnya) memiliki variasi persentase yang besar di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan, dimana pendapatan dari aktivitas/kegiatan buruh tani memiliki persentase terkecil, yaitu hanya sebesar 6 sampai 7

(20)

persen saja menyumbang pada pendapatan rumahtangga di kedua Provinsi tersebut diatas.

Dari Tabel 3.2.2 dapat ditelusuri pula bahwa lebih dari 50 persen sumber pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan usahatani, hampir 25 persen berasal dari kegiatan berburuh (baik buruh tani maupun non-pertanian) dan sisanya (sekitar 17-26 persen) berasal dari kegiatan non usahatani.

3.3. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian

3.3.1. Dinamika Ketersediaan Tenaga Kerja Pertanian

Dinamika tenaga kerja pertanian terkait erat dengan dinamika rumah tangga pertanian, sebelum membahas tenaga kerja dibahas dinamika rumah tangga pertanian terlebih dahulu. Rumah tangga pertanian pada dua dasa warsa terakhir cenderung meningkat, dari 18.4 juta pada tahun 1983 menjadi 25.6 pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 39 persen. Dalam periode 20 tahun tersebut, rumah tangga pertanian di luar Jawa meningkat dengan laju yang lebih besar dibandingkan dengan di Jawa, yaitu 28.4 vs 53.9 persen (Tabel 3.3.1). Hal ini antara lain disebakan karena lahan pertanian di Jawa semakin terbatas akibat pertambahan penduduk dan konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, yang dimaksud dengan tenaga kerja di Indonesia adalah penduduk yang berumur 10 tahun lebih. Namun berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 1997, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun atau lebih. Namun dalam Sensus Pertanian, masih menggunakan batasan yang lama. Tenaga kerja (manpower) terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja (labor force) terdiri dari golongan yang bekerja, golongan menganggur dan mencari pekerjaan.

Jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 83.6 juta orang, menyebar relatif sama di Jawa dan luar Jawa (Tabel 3.3.1). Sementara itu, luas wilayah Jawa jauh lebih kecil dibandingkan dengan luar Jawa, dengan demikian kepadatan tenaga kerja per luasan lahan pertanian di Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan luar Jawa. Dalam periode 20 tahun, tenaga kerja pertanian di Indonesia meningkat sekitar 26 persen, sementara peningkatan rumah tangga pertanian sebesar 39 persen. Hal ini mengindikasikan semakin kecil rata-rata tenaga kerja pertanian per rumah tangga, terutama di Jawa. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) pada tahun 1980an.

Apabila dicermati antar wilayah, nampaknya pertumbuhan tenaga kerja pertanian di luar Jawa pada periode yang sama lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa, 50 persen vs 8 persen. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan . rumah tangga pertanian di luar Jawa yang lebih tinggi. Tabel 3.3.1. Jumlah Rumah Tangga Pertanian dan Anggota Rumah Tangga Umur = 10 Tahun

(Tenaga Kerja) , 1983-2003

ART = 10 tahun ke atas Tahun/Wilayah Rumah Tangga

Pertanian L P Jumlah

1983

1. Jawa 10,880 t.a.d t.a.d 38,543

2. Luar Jawa 7,547 t.a.d t.a.d 27,978

3. Indonesia 18,427 t.a.d t.a.d 66,521

2003

1. Jawa 13.965 21,109 20,486 41,596

(21)

3. Indonesia 25.579 42,637 40,945 83,582 Pertumbuhan 1983-2003

1. Jawa 28.35 - - 7.92

2. Luar Jawa 53.89 - - 50.07

3. Indonesia 38.81 - - 25.65

Sumber : Sensus Pertanian, 1983 dan 2003, BPS

Catatan: t.a.d :tidak ada data, data tahun 1993 tidak ada

Bahasan yang lebih rinci tentang tenaga kerja pertanian Indonesia tahun 2003 ditampilkan pada Tabel 3.3.2. .Proporsi tenaga kerja pertanian di Indonesia tahun 2003 sebesar 82 persen dari total anggota rumah tangga, sementara di Jawa sebesar 84 persen dan 79 persen di luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota rumah tangga adalah tenaga kerja. Proporsi tenaga kerja pertanian di Provinsi Sumatera Barat, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan relatif sama, berkisar antara 78-80 persen. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki dan perempuan.

Tabel 3.3.2. Jumlah Anggota Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Umur = 10 Tahun (Tenaga Kerja) Pertanian, 2003 (000 orang)

Anggota Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga = 10 tahun Wilayah

Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total

Jawa 24,922 24,118 49,040 21,109 20,486 41,596 (84.70) (84.94) (84.82) Luar Jawa 26,944 25,732 52,675 21,527 20,459 41,986 (79.90) (79.51) (79.71) Sumatera Barat 1,391 1,413 2,804 1,104 1,133 2,238 (79.37) (80.18) (79.81) NTB 1,113 1,122 2,235 869 901 1,770 (78.08) (80.30) (79.19) Kalimantan Selatan 869 841 1,710 698 681 1,379 (80.32) (80.98) (80.64) Sulawesi Selatan 2,625 2,643 5,268 2,057 2,095 4,152 (78.36) (79.27) (78.82) Indonesia 51,866 49,850 101,71 6 42,637 40,945 83,582 (82.21) (82.14) (82.17)

Sumber : Sensus Pertanian 2003, BPS (dolah)

Catatan: (....) : menunjukkan proporsi terhadap Anggota Rumah Tangga

3.3.2. Dinamika Tenaga Kerja Pertanian yang bekerja di Sektor Pertanian Menurut Subsektor

Dari total tenaga kerja pertanian yang ditampilkan pada Tabel 3.3.1. ternyata tidak seluruhnya bekerja. Secara garis besar, jenis kegiatan dari tenaga kerja pertanian dibedakan

(22)

menjadi tiga kelompok yaitu petani, buruh tani dan buruh non pertanian. Pada tahun 1983, dari jumlah tenaga kerja pertanian yang bekerja, sebagian besar bekerja sebagai petani (67%), buruh tani (21%) dan buruh non pertanian sebesar 11 persen. Di Jawa pada tahun yang sama, dibandingkan dengan gambaran nasional, proporsi petani lebih kecil, sementara proporsi buruh tani lebih tinggi, hal yang sebaliknya terjadi di Luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung sektor pertanian di Jawa sudah semakin terbatas. Pada tahun 2003, secara nasional proporsi petani menurun (60%), sementara proporsi buruh tani (25%) dan buruh non pertanian (15%) meningkat. Kecenderungan yang sama juga terjadi di Jawa dan luar Jawa, namun di luar Jawa proporsi petani masih lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa, dan sebaliknya untuk proporsi buruh tani dan non pertanian.

Tabel 3.3.3. Pekerja Pertanian Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 1983-2003

Petani Buruh tani Buruh Non Pertanian Total Tahun/ Wilayah 000 orang Pangsa (%) 000 orang Pangsa (%) 000 orang Pangsa (%) 000 orang 1983 Jawa 15,032 62.57 6,115 25.45 2,879 11.98 24,026 Luar Jawa 11,503 75.56 2,177 14.30 1,544 10.14 15,224 Indonesia 26,535 67.61 8,292 21.13 4,422 11.27 39,249 2003 Jawa 17,395 54.15 9,187 28.60 5,541 17.25 32,123 Luar Jawa 17,597 68.03 5,180 20.03 3,089 11.94 25,866 Indonesia 34,992 60.34 14,367 24.77 8,631 14.88 57,990 Pertumbuhan 1983-2003 Jawa 15.720 50.237 92.463 33.70 Luar Jawa 52.977 137.942 100.065 69.90 Indonesia 31.871 73.263 95.183 47.75

Sumber : Sensus Pertanian, 1983 dan 2003

Dalam periode 20 tahun, terjadi pergeseran yang cukup signifikan, proporsi petani menurun dan buruh tani meningkat baik di Indonesia, Jawa maupun Luar Jawa. Ada gejala lain, yaitu meningkatnya proporsi buruh non pertanian di Indonesia, hal ini disebabkan karena meningkatnya proporsi buruh non pertanian di Jawa. Fenomena ini menunjukkan bahwa gi Jawa telah terjadi pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke non pertanian. Kajian-kajian Malian et.al (2004); Rusastra dan Suryadi (2004), Rusastra et.al (2005), Bappenas (2006). menunjukkan kecenderungan yang sama. Hal ini antara lain disebabkan karena semakin terbatasnya lahan pertanian, semakin terbukanya kesempatan lerja non pertanian, serta semakin meningkatnya pendidikan. Sementara di Luar Jawa, proporsi buruh non pertanian relatif tetap.

Kasus di Luar Jawa, dari provinsi contoh terlihat bahwa di Provinsi Sumatera Barat, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan jenis kegiatan petani masih dominan (77-88%) dibandingkan dengan kegiatan buruh pertanian (7-17%) dan non pertanian (4-6%), seperti terlihat pada Tabel 3.3.4. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di luar Jawa masih merupakan kesempat-an kerja utama, dan kesempatan kerja non pertanian masih terbatas. Temuan dari Rusastra, et.al (2005) juga menunjukkan hal yang sama.

Tabel 3.3.4. Anggota Rumah Tangga Umur = 10 Tahun Menurut Jenis Kegiatan, Jenis Kelamin, di Empat Provinsi Contoh Tahun 2003 (000 orang)

(23)

Jenis Kegiatan Sumatera Barat NTB Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan 1. Petani (%) 82.84 77.63 81.47 88.26 Laki-laki 1,391 1,113 869 2,625 Perempuan 1,413 1,122 841 2,643 Total 2,804 2,235 1,710 5,268 2. Buruh Pertanian (%) 11.82 17.05 12.48 7.74 Laki-laki 243 241 150 271 Perempuan 157 249 111 190 Total 400 491 262 462

3. Buruh Non Pertanian (%)

5.35 5.31 6.05 4.00

Laki-laki 126 121 104 187

Perempuan 55 33 23 52

Total 181 153 127 239

Sumber : Sensus Pertanian 2003, BPS.

Apabila diperinci menurut jenis kelamin, terlihat bahwa pada semua jenis kegiatan dan di semua wilayah, pekerja laki-laki lebih besar dibandingkan dengan pekerja perempuan. Sementara jumlah tenaga kerja laki-laki dan perempuan relatif sama. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi kerja perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini diduga terkait dengan budaya di daerah-daerah tertentu, dimana perempuan diposisikan bukan sebagai angkatan kerja.

Oleh karena ada keterbatasan data Sensus Pertanian, untuk membahas penyerapan tenaga kerja menurut sub sektor dan komoditas maka digunakan data dari Tabel O 1971-2000. Tabel I-O hanya dapat memberikan gambaran penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional. Pada sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan dengan kisaran 75-91 persen (Tabel 3.3.5.). Dalam periode 1971-2000 menunjukkan gejala penurunan, dari 91 persen pada tahun 1971 menjadi 75 persen pada tahun 2000, namun masih dominan dibandingkan dengan sub sektor lainnya. Penyerapan tenaga kerja yang berkembang adalah subsektor perkebunan dan peternakan, sementara penyerapan tenaga kerja subsektor lainnya masih relatif kecil.

Tabel 3.3.5. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian Menurut Sub Sektor , 1971- 2000 (Persen) Subsektor 1971 1980 1990 2000 Tanaman pangan 91.44 82.05 75.96 74.76 Tanaman perkebunan 4.63 9.7 10.51 11.67 Tanaman lainnya 0.11 0.39 0.61 0.65 Peternakan 1.23 4.05 8.05 8.08 Perikanan 2.12 2.77 3.13 3.27 Kehutanan 0.48 1.04 1.73 1.57

Total Tenaga Kerja (000 oang) 26,474 37,260 41,039 40,971 Sumber: Tabel I-O 1971 – 2000, dalam Malian et. al, 2004 (diolah)

Distribusi penyerapan tenaga kerja menurut komoditas pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan ditampilkan pada Tabel 3.3.6 dan 3.3.7. Pada subsektor tanaman pangan, pada periode 1971-2000 3 komoditas utama yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah padi,

(24)

umbi-umbian, sayuran dan buah-buahan. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas padi meningkat, dari 31 persen pada tahun 1971 menjadi 36 persen pada 1980, sementara pada periode tahun 1980-2000 relatif tetap. Pada komoditas umbi-umbian, proporsi cenderung menurun dari 24 persen pada tahun 1971 menjadi 11 persen pada periode 1980-2000. Secara umum, penyerapan tenaga kerja pada komoditas palawija (jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) cenderung menurun tajam pada periode 1971-1980, yaitu dari 36 persen menjadi 22 persen, dan terjadi peningkatan pada tahun 1990, dan akhir-akhir ini cenderung terjadi penurunan lagi. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas sayuran dan buah-buahan pada periode yang sama cenderung meningkat (29% pda tahun 1971 menajdi sekitar 35 persen pada periode 1980-2000).

Tabel 3.3.6. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Komoditas pada Subsektor Tanaman Pangan 1971 – 2000 (Persen) Sektor 1971 1980 1990 2000 Padi 30.94 36.32 36.11 36.96 Tanaman kacang-kacangan 7.09 0.54 7.01 7.43 Jagung 4.36 10.33 10.40 7.57 Tanaman umbi-umbian 24.60 11.26 11.23 11.69

Sayur-sayuran dan buah-buahan 29.00 34.73 34.74 35.78

Tanaman bahan makanan lain 4.01 6.82 0.51 0.57

Total (000Jiwa) 24,207 30,572 31,174 30,631

Sumber: Tabel I-O 1971 – 2000, dalam Malian et. al, 2004 (diolah).

Pada subsektor perkebunan, pada awal tahun 1970an komoditas yang menyerap tenaga kerja relatif besar (masing-masing sekitar 20% dari total tenaga kerja di subsektor perkebunan) adalah kelapa, karet, tembakau. Dalam perkembangannya, penyerapan tenaga kerja pada ketiga komoditas tersebut cenderung menurun. Penyerapan tenaga kerja tahun 2000 pada subsektor perkebunan relatif merata pada komoditas tebu, kelapa, kelapa sawit, kopi, tembakau, karet, sementara utntuk komoditas lain masih relatif rendah (kurang dari 10%).

Tabel 3.3.7. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Komoditas pada Subsektor Perkebunan 1971 – 2000 (Persen) Sektor 1971 1980 1990 2000 Karet 19.78 9.04 12.14 11.23 Tebu 10.75 15.79 18.93 17.21 Kelapa 21.22 14.31 15.81 15.26 Kelapa Sawit 3.63 7.52 8.81 13.30 Tembakau 19.16 17.42 14.43 12.89 Kopi 9.79 15.17 13.05 13.25 The 8.92 7.10 6.79 5.69 Cengkeh 1.66 9.73 5.29 5.99

Hasil tanaman serat 0.48 1.91 1.65 0.79

Tanaman perkebunan lainnya 4.61 2.01 3.08 4.39

Total (000Jiwa) 1,225 3,614 4,314 4,781

(25)

3.3.3 Dinamika Pekerja Pertanian menurut Umur, Tingkat Pendidikan dan Jam Kerja

Pada periode tahun 1982-2003 golongan umur pekerja pertanian di wilayah pedesaan mengalami perubahan, pada tahun 1982 pekerja pertanian didominasi pekerja pada golongan umur di bawah 30 tahun dengan pangsa sekitar 38 persen, dan pangsa pekerja usia lanjut mencapai sekitar 7 persen atau sebesar 2.3 juta orang (Tabel 3.3.8.). Perkembangan selama 10 tahun, masih memberikan gambaran yang relatif sama, namun ada kecenderungan menurunnya pangsa pekerja usia muda dan meningkatnya pangsa pekerja usia lanjut.

Pada tahun 2003, pekerja pertanian didominasi pekerja berumur 30-44 tahun yang mencapai 36 persen, sementara pekerja golongan usia muda menurun menjadi 27 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa tenaga kerja usia muda mulai kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. Dan jumlah pekerja pertanian usia lanjut dalam periode 20 tahun terakhir meningkat menjadi 4.2 juta orang atau pangsanya mencapai 11 persen.

Tabel 3.3.8. Jumlah Pekerja Pertanian di Wilayah Pedesaan Indonesia Berdasarkan Golongan Umur (000 Orang), 1982 – 2003.

Gol. Umur 1982 1993 2003 10 – 29 11,776 13,241 10,074 (38.23) (35.07) (27.09) 30 - 44 9,743 13,437 13,651 (31.63) (35.59) (36.72) 45 - 59 6,988 7,588 9,212 (22.69) (20.10) (24.78) 60 + 2,293 3,493 4,245 (7.44) (9.25) (11.42) T o t a l (000 Orang) 30,799 37,759 37,181

Sumber: Sakernas, BPS dalam Malian et. al, 2004 (diolah). Catatan: (...) : menunjukkan proporsi terhadap total

Dari data Sensus Pertanian tahun 2003, di Indonesia pekerja pertanian (petani) sebagian besar berumur 25-44 tahun, dan proporsi tenaga kerja usia lanjut (>60 tahun) sekitar 13 persen, dengan jumlah pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja perempuan (Tabel 3.3.9.). Gambaran pekerja pertanian di Jawa dan Luar Jawa agak berbeda, proporsi tenaga kerja usia lanjut (>60 tahun) di Jawa lebih tinggi dibandingkan Luar Jawa (18% vs 9.8%).

Tabel 3.3.9. Anggota Rumah Tangga sebagai Petani Menurut Golongan Umur, Tahun 2003 Golongan Umur (Tahun)

Wilayah/Jenis Kelamin 10-24 25-44 45-60 >60 Total (000 orang) Sumatera Barat Laki-laki 9.1 42.7 34.8 13.4 619 Perempuan 5.6 32.7 54.2 7.5 584 Total 5.6 32.4 54.0 8.0 1,581 NTB

Gambar

Tabel 3.1.6.  Proporsi dan Perkembangan Rumah Tangga Pengguna Lahan dan Petani Kecil (&lt;
Tabel 3.1.7.  Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Jenis  Kegiatan Antara ST93 dan ST03 (000)
Tabel 3.2.1.  Struktur Pendapatan Rumah Tangga Menurut Region di Indonesia, 1983-2003  Persentase Pendapatan  1983 1) 1993 2) 2003 3)Sumber  Pendapatan  Jawa  Luar  Jawa
Table 3.2.4.  Sumber Pendapatan dan Status Pekerjaan Rumah Tangga Pertanian Indonesia, 1983-2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

4 Deni Kamaludin Yusup Model Upaya Hukum Penyelesain Sengketa Ekonmi Syariah (Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 56/PK/Ag/201 1) Jurnal/ 2014

Masalah pada Mega Florist Bandar Lampung itu sendiri yaitu belum terdapat sistem untuk memasarkan penyewaan bunga papan, dan pemasarannya masih menggunakan brosur,

ataupun menghasilkan suatu produk yang memiliki fungsi praktis lainnya [6]. Berdasarkan definisi kedua jenis penelitian diatas, maka penelitian tentang aplikasi pencarian

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang diperoleh dari penyebaran angket, analisis data, dan pengujian hipotesis penelitian dapat ditarik kesimpulan secara umum

Pengaruh dari variabel Harga CPO, Inflasi, BI Rate dan Kurs terhadap IHSG dengan uji VECM menghasilkan.. Untuk jangka pendek CPO dan BI Rate berpengaruh positif

Then the liquidity risk in a positive and significant effect on the sample period of the crisis, whereas the normal sample period of liquidity risk is not significant but it

Secara umum, baik berdasarkan hasil dari angket maupun wawancara yang dilakukan, minat mahasiswa terhadap bidang otomotif mempengaruhi ketertarikan mahasiswa konsentrasi

Analisis aplikasi sejenis merupakan analisis yang akan membahas mengenai aplikasi yang menjadi acuan dalam pembangunan sebuah aplikasi. Dalam aplikasi sejenis akan dibahas