• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA KEMATANGAN EMOSI DAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

LANDASAN TEORI

D. DINAMIKA KEMATANGAN EMOSI DAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

Kehidupan perkawinan akan berjalan dengan baik, apabila sepasang suami isteri telah matang secara psikologis. Walgito (2004) berpendapat bahwa suami dan isteri diharapkan memiliki emosi yang matang, sehingga emosinya akan lebih stabil, mandiri, menyadari akan tanggung jawabnya sebagai isteri dan suami serta memiliki tujuan dan arah hidup yang lebih jelas. Dengan demikian, jelaslah bahwa kematangan emosi sangat diperlukan oleh setiap individu dari pasangan suami isteri. Individu dengan emosi yang matang, diharapkan mampu mengelola emosi dengan baik, dan belajar untuk mendapatkan solusi positif dalam menghadapi suatu masalah. Dengan kata lain bahwa individu yang mampu mengambil solusi positif dan mampu mengontrol kemarahan akan meredakan konflik yang terjadi dan meminimalisir terjadinya keretakan rumah tangga sekaligus dapat memupuk kesetiaan dalam rumah tangga.

Individu dengan kematangan emosi tinggi, ia akan memiliki emosi yang stabil dan tidak bersifat impulsif. Individu tersebut akan dapat mengontrol emosinya dan mengekspresikan emosi dengan tepat yang dapat diterima pasangannya dengan baik (Walgito, 2004). Dengan demikian, saat individu mendapatkan stimulus yang kurang baik atau tidak diharapkan,

individu tersebut tidak langsung merespon dengan amarah, melainkan ia akan mengontrol emosinya, berpikir dahulu sebelum bertindak sehingga respon dari individu dengan kematangan emosi ini akan dapat diterima orang lain dengan baik dan tidak menimbulkan persoalan baru. Seperti dalam hubungan suami isteri ketika terjadi konflik, pihak yang memiliki kematangan emosi ia akan cenderung untuk lebih dapat mengelola emosinya dengan baik sehingga ekspresi emosi yang ditunjukkan akan lebih dapat diterima oleh pasangannya dengan baik, hal ini akan menjadikan pasangan merasa lebih dihargai dan dihormati sebagai pasangan yang di cintai bukan pasangan sebagai pelampiasan amarah.

Disamping itu, individu dengan kematangan emosi tinggi, ia juga memiliki penerimaan diri dan orang lain yang baik dan obyektif (Walgito, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kematangan emosi akan mampu menerima keadaan diri dan pasangan, sehingga tidak menuntut diri atau pasangan menjadi sempurna. Saat individu mampu menerima keadaan pasangan dengan apa adanya, individu tersebut telah mencintai dengan tulus dan tidak menuntut pasangannya menjadi seperti orang lain. Dengan demikian tidak ada alasan untuk seorang yang memiliki kematangan emosi akan berlaku tidak setia karena ia telah menerima keadaan pasangan dan dirinya sendiri apa adanya.

Hal lain yang menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan emosi tinggi adalah individu tersebut memiliki tanggung jawab yang baik, serta memiliki kemampuan untuk menerima konsekuensi dari perilakunya

(Khairani, 2013). Individu yang bertanggung jawab, ia akan menepati janji atau komitmen yang telah dikatakan dan disepakati serta dipercayakan pada pasangannya. Ia juga mampu dan berani menerima segala konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa individu itu setia dengan bertanggung jawab atas semua perbuatan yang ia ucapkan dan lakukan.

Individu yang memiliki emosi dengan kematangan tinggi memiliki ciri tidak mudah tersinggung dan mampu menerima kritikan dan masukan dari orang lain (Khairani, 2013). Saat individu memiliki kematangan emosi, ia cenderung mampu mengakui kesalahan yang telah ia perbuat dan mengakui kekurangan dari dalam dirinya. Sehingga, apabila pasangannya menegurnya ia tidak akan berkecil hati dan marah melainkan menerima masukan dan mempertimbangkan dengan akal sehat untuk memperbaikinya. Persoalan kecil dalam rumah tangga yang sering terjadi akan menjadikan salah satu pasangan melakukan perselingkuhan (Hastuti, 2001). Dengan demikian, apabila pasangan suami isteri mampu menerima masukan kritikan dan tidak mudah tersinggung, persoalan-persoalan kecil dalam rumah tangga dapat diminimalisir, dan menjadikan pasangan suami isteri cenderung untuk berlaku setia.

Lain halnya dengan individu yang memiliki kematangan emosi rendah, ia akan memiliki emosi yang tidak stabil dan bersifat impulsif. Individu tersebut kurang mampu mengontrol emosinya dan mengekspresikan emosi dengan kurang tepat (Walgito, 2004). Dengan demikian, saat individu

mendapatkan stimulus yang kurang baik atau tidak diharapkan, individu tersebut cenderung langsung merespon dengan amarah, karena kurang mampu mengontrol emosinya. Individu cenderung bertindak sebelum berpikir, sehingga respon dari individu dengan kematangan emosi rendah ini kurang dapat diterima orang lain dengan baik dan memungkinkan timbulnya persoalan baru. Seperti dalam hubungan suami isteri ketika terjadi konflik, pihak yang memiliki kematangan emosi rendah ia akan cenderung kurang mampu mengelola emosinya dengan baik sehingga ekspresi emosi yang ditunjukkan kurang dapat diterima dengan baik oleh pasangan. Hal ini akan menjadikan pasangan merasa kurang dihargai dan dihormati, sehingga pasangan merasa hanya sebagai pasangan untuk pelampiasan amarah.

Disamping itu, individu dengan kematangan emosi rendah, ia cenderung memiliki penerimaan diri dan orang lain yang kurang baik (Walgito, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kematangan emosi rendah, cenderung kurang mampu menerima keadaan diri dan pasangan, sehingga individu menuntut diri atau pasangan menjadi seperti yang diharapkan. Saat individu kurang mampu menerima keadaan pasangan dengan apa adanya, individu tersebut mencintai dengan kurang tulus karena menuntut pasangannya menjadi seperti yang ia harapkan. Sehingga dapat diartikan bahwa individu tidak mencintai pasangan dengan apa adanya, karena individu tersebut tidak mampu menerima keadaan pasangan.

Hal lain yang menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan emosi rendah adalah individu tersebut memiliki tanggung jawab yang kurang

baik, serta tidak memiliki kemampuan untuk menerima konsekuensi dari perilakunya (Khairani, 2013). Individu yang kurang bertanggung jawab, ia akan cenderung mudah mengingkari menepati janji atau komitmen yang telah dikatakan dan disepakati serta dipercayakan pada pasangannya. Ia juga cenderung kurang mampu dan berani menerima segala konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa individu itu kurang memiliki nilai setia, karena kurang bertanggung jawab atas semua perbuatan yang ia ucapkan dan lakukan.

Individu yang memiliki emosi dengan kematangan rendah memiliki ciri yang cenderung mudah tersinggung dan kurang mampu menerima kritikan dan masukan dari orang lain (Finkelor, 2004). Saat individu memiliki kematangan emosi rendah, ia akan cenderung tidak mau mengakui kesalahan yang telah ia perbuat dan tidak kekurangan dari dalam dirinya. Sehingga, apabila pasangannya menegurnya ia akan berkecil hati dan marah karena kurang mampu menerima masukan dan tidak dapat mempertimbangkan dengan akal sehat untuk memperbaikinya. Persoalan kecil dalam rumah tangga yang sering terjadi akan menjadikan salah satu pasangan melakukan perselingkuhan (Hastuti, 2001). Dengan demikian, apabila pasangan suami isteri kurang mampu menerima masukan kritikan dan mudah tersinggung, persoalan-persoalan kecil dalam rumah tangga dimungkinkan dapat meluas dan menjadikan pasangan suami isteri cenderung untuk berlaku tidak setia.

emosi yang tinggi dalam diri pasangan suami isteri akan membuat individu tersebut mencapai kepuasan emosional dan menumbuhkan kepedulian terhadap komitmen dalam perkawinan sehingga terbentuklah sikap setia dari individu terhadap pasangannya. Sedangkan kematangan emosi yang rendah dalam diri pasangan suami isteri akan membuat individu tersebut mengalami kendala dalam pencapaian kepuasan emosional dalam perkawinan sehingga terbentuklah sikap kesetiaan yang rendah dari individu terhadap pasangannya.

E. SKEMA HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN

Dokumen terkait