• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

Martina Andhika Swasti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 132 pasang suami isteri, yang terdiri dari 66 subjek perempuan dan 66 subjek laki-laki yang telah menikah dengan usia perkawinan diatas 5 tahun, serta berdomisili di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teknik SPSS (Statistical Product & Service Solution) versi 22.0 untuk menganalisis data penelitian. Skala kematangan emosi yang digunakan dengan jumlah 28 item memiliki reliabilitas sebesar 0,866 dan skala kesetiaan perkawinan dengan jumlah 35 item memiliki reliabilitas sebesar 0,910. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi

Product Moment Spearman. Analisis data mengindikasikan adanya korelasi positif antara

kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan. Hasil analisis dari kedua variabel menunjukkan skor korelasi 0,647 pada taraf signifikansi 0,01 dan probabilitas sebesar 0,000 (p<0,01). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri.

(2)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL MATURITY AND MARITAL FIDELITY IN THE SPOUSES

Martina Andhika Swasti

ABSTRACT

This research aimed to determine whether there was a relationship between the emotional maturity with marital fidelity in the spouse. The hypothesis of this study is that there is a positive relationship between emotional maturity with marital fidelity in the spouse. Subjects in this study were 132 couple of husband and wife, which consisted of 66 female subjects and 66 male subjects who were married and the marriage age above 5 years old, and living in Yogyakarta. This study used a technique SPSS (Statistical Product and Service Solution) version 22.0 for analyzing research data. Emotional maturity scale used by 28 item has a reliability of 0.866 and marital fidelity scale used the 35 items has a reliability of 0.910. The method of data analysis was the Spearman Product Moment Correlation analysis method. Analysis of the data indicates a positive correlation between the emotional maturity to marital fidelity. The results of the analysis variables was shown correlation score of 0.647 at a significance level of 0.01 and a probability of 0.000 (p <0.01). That shows there is a positive and significant relationship between emotional maturity and marital fidelity on the spouses.

(3)

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Martina Andhika Swasti NIM : 119114143

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Martina Andhika Swasti NIM : 119114143

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)

PURSETUJUAN PEMBIMBING

HTIBT}NGAN AIYTARA KBNfiATANGAN EMOSI I}NNGAN

KE$ETIAAN

Pffi

PADA PASAIIIGAN SUAMI

I$TEnI

SKRIPfII

ts+

h*\

a

,6,:"-,h

B

ffi"f

1191141n,

,*#

-CA

#-j

',f;"*S

tr/d

z4d

'u,

*'l

il"xm

Pembimbing Stripsr, a-?

/ y'/- (/ -/

/,tt--

/^/,-.f // .a tt

(6)

HALAMAN PNNGESAHAN SKruPSI

SKRIPSI

HIIB{INGAIIT ANTARA KIMATA}{GAN EtrTOSI I}NNGAI\T

KESETIAAN PERKAWINAN PAI}A PASANGAN SUAMI ISTfiRX

Dipersiapkan dan ditulis oleh .

Illnrfima Andhika Swasti

NIM : 119114143

Telah dipertahankan di depan Fanitia Penguji

Padatanggal

2g

JAl,l ?016

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susulnan Panitia Penguji

Narna Lengkap

Penguji

I

: Carolus Wijoyo Adinugroho, tuf.Psi. Psiliolog

Penguji 2 : Dra" L" Pratidnnnanastlti, MS. Penguji 3 : C. Sisrva l44dyatmoko, M.Psi

Tanda tangan

#

Yogyakarta,09

FtB

1016

Fakultas Psikologi

Univ,ersitas Sanata Dharma

iii

o

tfY

,'*

fl'
(7)

iv

MOTTO

“ Berhentilah mengubah jati diri dan keaslianmu demi orang lain,

karena tak seorangpun mampu mengambil peranmu

dengan lebih baik dari pada dirimu.

Maka jadilah dirimu sendiri, karena kamulah yang terbaik”

(8)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan hasil usaha dan karyaku ini untuk :

♥Keluarga Kudus Tuhan Yesus, sumber harapan dan kekuatanku

♥ Ayah dan Ibuku tercinta, yang selalu mendukung dan mendoakanku, sehat selalu ya Amin

♥Adek-adekku dari yang paling kecil sampe yang paling gedhe, yang

kadang nakal dan kadang baek padaku :D

♥Keluarga besarku yang ga bisa disebutin satu-satu

♥Sahabat sebotolku “SeKaRat”, sahabatku dirumah n dikampus, yang

sudah mewarnai hari2ku

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagran karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Desember 2015

Penulis.

Martina Andhika Swasti

(10)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

Martina Andhika Swasti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 132 pasang suami isteri, yang terdiri dari 66 subjek perempuan dan 66 subjek laki-laki yang telah menikah dengan usia perkawinan diatas 5 tahun, serta berdomisili di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teknik SPSS (Statistical Product & Service Solution) versi 22.0 untuk menganalisis data penelitian. Skala kematangan emosi yang digunakan dengan jumlah 28 item memiliki reliabilitas sebesar 0,866 dan skala kesetiaan perkawinan dengan jumlah 35 item memiliki reliabilitas sebesar 0,910. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi

Product Moment Spearman. Analisis data mengindikasikan adanya korelasi positif antara

kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan. Hasil analisis dari kedua variabel menunjukkan skor korelasi 0,647 pada taraf signifikansi 0,01 dan probabilitas sebesar 0,000 (p<0,01). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri.

(11)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL MATURITY AND MARITAL FIDELITY IN THE SPOUSES

Martina Andhika Swasti

ABSTRACT

This research aimed to determine whether there was a relationship between the emotional maturity with marital fidelity in the spouse. The hypothesis of this study is that there is a positive relationship between emotional maturity with marital fidelity in the spouse. Subjects in this study were 132 couple of husband and wife, which consisted of 66 female subjects and 66 male subjects who were married and the marriage age above 5 years old, and living in Yogyakarta. This study used a technique SPSS (Statistical Product and Service Solution) version 22.0 for analyzing research data. Emotional maturity scale used by 28 item has a reliability of 0.866 and marital fidelity scale used the 35 items has a reliability of 0.910. The method of data analysis was the Spearman Product Moment Correlation analysis method. Analysis of the data indicates a positive correlation between the emotional maturity to marital fidelity. The results of the analysis variables was shown correlation score of 0.647 at a significance level of 0.01 and a probability of 0.000 (p <0.01). That shows there is a positive and significant relationship between emotional maturity and marital fidelity on the spouses.

(12)

LEMBAR PERNYATh,]TN PERSE TUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama

: Martina Andhika Swasti Nomor Mahasiswa : I 19

ll4l43

Demi pengemb angan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharmakarya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN

KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

beserta perangkatyang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

hak untuk

menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

rjin

dari

saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 05 Desember 2015

Yang menyatakan,

(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat,

rahmat serta penyertaanNya yang telah dilimpahkan sehingga penulisan skripsi

yang disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas

Sanata Dharma ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini tidaklah sedikit sumbang saran dan bimbingan

yang penulis peroleh dari berbagai pihak, baik berupa sumbangan moral maupun

material. Hal ini penulis sadari bahwa tanpa adanya bantuan tersebut, penulisan

skripsi ini tidak akan berhasil dengan lancar.

Melalui halaman ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ungkapan

terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berkenan

memberikan bantuan berupa bimbingan atau pendampingan yang sangat berharga

hingga terselesaikannya skripsi ini tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih ini

penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyantoro, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Carolus Wijoyo Adinugroho, M.Psi, Psi., selaku dosen Pembimbing

Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik, yang telah meluangkan

banyak waktu untuk memberikan bimbingan, masukan, kritikan, saran yang

membangun, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Ibu Dra. L Pratidarmanastiti, MS dan Bapak C Siswa Widyatmoko, M.Psi.

(14)

xi skripsi saya menjadi lebih baik.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah membimbing penulis

selama studi di Fakultas Psikologi ini.

5. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Psikologi, yang selalu mendukung dengan

memberikan pelayanan yang terbaik.

6. Kedua orangtuaku yang tercinta Bapak Athanasius Supardi, dan Ibu

Chatarina Siena Sarmi, terimakasih atas segala doa dan dukungan moral

maupun materil yang diberikan. Partner In Crime-ku Louren, terimakasih

selalu ada buat aku, bahkan disaat terburukku. Adikku Dyan, Cherry, Teddy

yang nakal-nakal. Lica, Putri, Chaterine, Sita yang lucu-lucu dan

menggemaskan. Mbah putriku simbah Mitro, dan simbah Adhi, tante-tande

dan om-omku. Dan Seluruh saudaraku yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu, terima kasih telah menyayangi dan mencintaiku dengan cara yang

luar biasa.

7. Sahabatku yang seiya sekata sejak dalam kandungan Ibu, Sekar si Lele dan

Ratna si Gajah. Sahabatku dirumah Nopik dan Desti, sahabatku di Kampus

Sunyahh, Vhirlis, Pipit. Mbak Regina yang bantuin aku banyak banget.

Sahabat seperjuangan mengejar S.Psi saudara sekandungnya pak Adi saat

perang melawan skripsweet ilis, iyah, nizam, mbak fitri, agnez, mandana,

tika, pudar, oliv, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu. Terima kasih telah memberikan dukungan yang luar biasa selama

menjalani studi di Fakultas Psikologi.

(15)

menduakan kalian dengan studiku. Teman-teman OMK Pojok yang gtla dan

seru banget. Para tetanggayang memberikan motivasi untukku agar skripsiku cepat selesai.

9.

Semua pihak yangtelah membantu segala proses pengerjaan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kasih memberikan berkat yang sesuai dengan

arnal dan perbuatan mereka.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan

dan kesalahan, oleh sebab

itu

dengan segala kerendahan hati, penulis mohon

sumbang saran dan kritikannya demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi yang sederhana

ini

dapat bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 5 Desemb er 2Al5

Swasti Penulis.

(16)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI (3 DOSEN) ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

(17)

xiv

1. Pengertian Perkawinan ... 8

2. Periode Perkawinan ... 10

B. Kematangan Emosi ... 11

1. Pengertian Kematangan Emosi ... 11

2. Ciri Kematangan Emosi ... 15

3. Aspek Kematangan Emosi ... 17

4. Dampak Kematangan Emosi ... 19

C. Kesetiaan ... 22

1. Pengertian Kesetiaan ... 22

2. Aspek Kesetiaan ... 22

3. Faktor Kesetiaan... 26

D. Dinamika Hubungan Kematangan Emosi dan Kesetiaan Perkawinan pada Pasangan Suami Isteri ... 29

E. Skema Kematangan Emosi dan Kesetiaan Perkawinan pada Pasangan Suami Isteri... 35

F. Hipotesis ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Identifikasi Variabel ... 37

C. Definisi Operasional ... 37

D. Subjek Penelitian ... 39

(18)

xv

F. Alat Pengumpulan Data ... 42

G. Validitas dan Reliabilitas ... 45

H. Metode Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Persiapan Penelitian ... 48

B. Pelaksanaan Penelitian ... 50

C. Deskripsi Subjek ... 51

D. Hasil Penelitian ... 53

E. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(19)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Item Kematangan Emosi Favorabel dan Unfavorabel ... 43

Tabel 2 Blue Print Skala Kematangan Emosi (Sebelum Uji Coba) ... 43

Tabel 3 Skor Item Kesetiaan Perkawinan Favorabel dan Unfavorabel ... 44

Tabel 4 Blue Print Skala Kesetiaan Perkawinan (Sebelum Uji Coba) ... 45

Tabel 5 Sebaran Item Skala Kematangan Emosi (Setelah Uji Coba) ... 49

Tabel 6 Sebaran Item Skala Kesetiaan Perkawinan (Setelah Uji Coba) ... 50

Tabel 7 Deskripsi Subjek ... 53

Tabel 8 Hasil Analisis Deskriptif ... 53

Tabel 9 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov ... 54

Tabel 10 Hasil Uji Linearitas ... 55

Tabel 11 Hasil Uji Korelasi ... 56

(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Kematangan Emosi dan Kesetiaan Perkawinan Try Out

... 69

Lampiran 2 Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Kematangan Emosi Try Out ... 81

Lampiran 3 Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Kesetiaan Perkawinan Try Out ... 83

Lampiran 4 Hasil Reliabilitas setelah Seleksi Item Skala Kematangan Emosi Try Out ... 85

Lampiran 5 Hasil Reliabilitas setelah Seleksi Item Skala Kesetiaan Perkawinan Try Out ... 86

Lampiran 6 Skala Penelitian Kematangan Emosi dan Kesetiaan Perkawinan ... 88

Lampiran 7 Hasil Uji Asumsi Normalitas ... 96

Lampiran 8 Hasil Uji Asumsi Linearitas ... 96

Lampiran 9 Hasil Uji Hipotesis Korelasi ... 97

(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komitmen emosional dan sah secara hukum dari dua individu untuk

saling berbagi kedekatan secara fisik dan emosional, berbagi bermacam

tugas serta pendapatan ekonomi disebut dengan perkawinan (Olson dan De

Frain, 2006). Tujuan individu melakukan perkawinan adalah sebagai upaya

untuk menumbuhkembangkan kesatuan pasangan suami dan isteri dalam

mencapai kebahagiaan dalam sebuah hubungan.

Kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga sering dikaitkan

dengan hal kesetiaan. Kesetiaan memiliki arti sebagai individu yang dapat

dipercaya, dapat diandalkan, menepati janjinya, memiliki keteguhan hati,

patuh, dan memiliki ketaatan (Piet Go & Maramis, 1990). Individu yang

setia, ia memiliki kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu atas dasar

cinta, bukan karena kewajiban, dan individu akan bersedia melibatkan diri

dengan pasangannya. Individu tidak merasa kehilangan jati diri dan

kepribadiannya, namun individu dapat merasakan suatu kebahagiaan.

Bertolak dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam

perkawinan, fakta lapangan menunjukkan sebuah permasalahan yang

ditemukan dalam hubungan pasangan suami isteri adalah banyak yang

(22)

dilakukan oleh individu yang telah menikah, dengan individu lain

yang bukan pasangannya yah sah secara humum dan agama (Singh, Pal, &

Kunwar, 2009). Mualim (Petugas Pengadilan Agama Tulungagung)

mengungkapkan ada 200 hingga 250 kasus perceraian yang diproses

Pengadilan Agama Tulungagung setiap bulannya, kebanyakan gugatan

dengan alasan perselingkuhan. (Wordpress, 7 Januari 2007, Data selingkuh

di Indonesia). Humas Pengadilan Agama Kota Makassar, Anas Malik MH mengungkapkan sebanyak 90% perkara cerai (di PA Kota Makassar)

disebabkan karena gugatan selingkuh. (Kompasiana, 6 November 2014, Di

Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam)

Hal ini dapat dijelaskan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hastuti, dkk (2001) mendapatkan hasil bahwa seseorang melakukan

perselingkuhan karena dipicu oleh kejenuhan yang disebabkan karena

konflik yang hampir setiap hari. Mengulas tentang menghadapi konflik,

seperti yang telah dikemukakan oleh Burney (dalam Anderson, 2006),

individu yang memiliki emosi matang, ia cenderung dapat mengontrol

kemarahan dengan baik dan belajar untuk mendapatkan solusi positif

dalam menghadapi suatu masalah. Dengan kata lain bahwa individu yang

mampu mengambil solusi positif dan mampu mengontrol kemarahan akan

meredakan konflik yang terjadi sehingga dapat meminimalisir terjadinya

keretakan rumah tangga sekaligus dapat memupuk kesetiaan dalam rumah

tangga.

(23)

ditekankan dalam kesetiaan hubungan seksual. Namun, Goldberg melihat

sisi kesetiaan dalam dinamika tersendiri, kesetiaan menyangkut keteguhan

individu dalam memegang janjinya untuk mencintai, menghormati,

menyayangi dan menempatkan pasangannya diatas segala sesuatu. Setia

antara pasangan suami isteri merupakan satu kunci yang menjadikan suatu

hubungan perkawinan menjadi langgeng. Kesetiaan adalah kepercayaan

yang mencakup dalam semua bidang tidak hanya dalam hal seksualitas,

melainkan semua hal yang mengenai hati dan tubuh pasangannya. Individu

yang setia pada pasangannya berarti saling memberikan kepercayaan satu

sama lain, menepati janji atau komitmen yang telah menjadi kesepakatan

bersama (Cloud & Townsend, 2002). Sepasang suami isteri yang setia,

memiliki beberapa dampak positif, salah satunya berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan keturunannya. Disamping itu, pasangan

suami isteri yang setia memiliki keuntungan yakni terhindar dari penyakit

menular seks yang apabila bercinta dengan pasangan yang berbeda atau

berganti-ganti bisa memicu penularan penyakit melalui alat kelamin

(merdeka.com).

Cloud dan Townsend (2002) memaparkan faktor yang membentuk

kesetiaan yakni faktor komitmen, empati, kejujuran, dan pengampunan.

Disamping itu, Sari (2008) melakukan penelitian dan menemukan beberapa

faktor yang mempengaruhi kesetiaan dalam rumah tangga yakni religiusitas,

kematangan emosi, komitmen, dan komunikasi. Beberapa peneliti telah

(24)

religiusitas, komitmen dan komunikasi dalam keluarga. Seperti penelitian

mengenai komunikasi dalam kesetiaan, Dewi dan Sudhana (2013)

melakukan penelitian dan mendapatkan hasil bahwa komunikasi

interpersonal pasutri berkorelasi positif dengan keharmonisan dalam

pernikahan. Artinya bahwa salah satu faktor yang menyebabkan

keharmonisan dalam pernikahan adalah komunikasi interpersonal pada

pasangan suami isteri. Penelitian mengenai religiusitas, dilakukan oleh

Herawati (2009) yang mendapatkan hasil bahwa religiusitas mempengaruhi

komitmen dalam perkawinan. Sedangkan Budi Prianto, dkk (2003) dalam

penelitiannya mendapatkan hasil bahwa komitmen sangat berperan dalam

hubungan perkawinan, sebab rendahnya komitmen perkawinan individu

menyebabkan individu memiliki kecenderungan untuk bercerai.

Dalam menyikapi faktor yang membentuk perilaku setia terhadap

pasangan, seorang psikiater dan psikoterapis bernama Terruwe,

memberikan penjelasan bahwa kehidupan cinta yang lengkap dari pasangan

suami isteri mencakup berbagai hal, meliputi semua tingkat emosi. Oleh

sebab itu perkawinan hendaknya mendapatkan sebuah pencapaian dalam

berbagai tingkat emosional. Cinta yang diharapkan oleh individu terhadap

pasangannya adalah cinta yang emosional, dengan arti lain individu

haruslah mencintai pasangannya dengan seluruh emosinya, dan dengan

ungkapan emosinya juga (Yuwana, & Maramis, 1990).

(25)

tepat akan menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Dengan demikian,

individu haruslah mampu mengontrol, mengedalikan, serta mengarahkan

emosinya secara tepat terhadap pasangannya. Kemampuan mengontrol,

mengendalikan, dan mengarahkan emosi secara tepat disebut dengan

kematangan emosi (Walgito, 2004). Kematangan emosi berisi ketrampilan

emosi yang meliputi kesadaran diri, mengidentifikasi, mengelola, dan

mengungkapkan perasaan, mengontrol dorongan hati, serta mampu

mengatasi kecemasan. Individu yang mampu mengendalikan dorongan

hati serta mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan, individu

tersebut mampu mengendalikan emosinya, dan mampu mengambil

keputusan yang tepat dahulu, kemudian mengidentifikasi perilaku

alternatif serta konsekuensi dari perilakuknya tersebut, hal ini

dikemukakan oleh Goleman (2003). Faktor yang menyebabkan

kematangan emosi yakni faktor usia, semakin bertambah usia individu

maka semakin tinggi tingkat kematangan emosi individu tersebut (Walgito,

2004). Selain faktor usia, penyebab kematangan emosi lainnya yakni

faktor lingkungan, pengalaman, dan individu itu sendiri (dalam Widowati

P.C, 2009).

Semenjak awal perkawinan, individu yang memiliki kematangan

emosi cenderung lebih mampu menerima perbedaan yang ada diantara

mereka sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik (Adhim, 2002).

Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Nuryoto

(26)

sumbangan sebesar 31,20 % terhadap penerimaan diri. Artinya bahwa

individu dengan kematangan emosi cenderung memiliki kemampuan

dalam penerimaan diri. Sedangkan Paramitasari & Alfian (2012)

melakukan pemelitian mengenai kematangan emosi dan mendapatkan

hasil bahwa individu dengan kematangan emosi akan memiliki

kecenderungan untuk memaafkan. Senada dengan pendapat Burney (2001),

dalam Anderson (2006) individu yang memiliki emosi matang, ia

cenderung dapat mengontrol kemarahan dengan baik dan belajar untuk

mendapatkan solusi positif dalam menghadapi suatu masalah. Hal inilah,

yang menjadi dasar peneliti untuk melakukan sebuah penelitian dengan

menghubungkan variabel kematangan emosi dengan kesetiaan

perkawinan.

Berdasarkan uraian diatas, sejauh pengetahuan peneliti, peneliti belum

menemukan penelitian yang mendalam mengenai hubungan antara

kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami

isteri. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh apakah ada

hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada

(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka

rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada

hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada

pasangan suami isteri ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami

isteri.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi perkembangan,

psikologi keluarga, dan psikologi sosial, yang terkait dengan

kematangan emosi dan relasi interpersonal pasangan suami isteri.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan bagi para

suami isteri dan bagi para calon suami isteri, mengenai pentingnya

kematangan emosi dalam berumah tangga, yang berkaitan dengan

(28)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah bersatunya dua orang mejadi sepasang suami dan

isteri, paparan dikemukakan oleh Hornby (Walgito, 2004). Hal ini senada

dengan sebuah pendapat yang mengemukakan bahwa perkawinan merupakan

persatuan dari dua kepribadian yang berbeda, terdiri atas individu wanita dan

pria yang menjadi sepasang suami isteri dan memiliki tujuan untuk

membentuk bahtera rumah tangga yang bahagia sejahtera baik lahir maupun

batin (Walgito, 2004). Dalam Undang -Undang Perkawinan No. 1 pasal 7

Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin

antara seorang wanita dan pria sebagai pasangan suami isteri dengan tujuan

untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Di Indonesia, hukum perkawinan nasional menganut asas

monogami. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) Udang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa pada azasnya dalam sebuah

perkawinan seorang pria hanya dapat mempunyai seorang isteri. Seorang

wanita juga hanya boleh mempunyai seorang isteri. Webster (2015)

menambahkan penjelasan, bahwa perkawinan merupakan sebuah lembaga

dimana individu pria dan wanita bersatu dalam sebuah kemandirian yang sah

(29)

sebuah keluarga. Disamping itu, Hart dan Hart (1998) mengemukakan

pengertian dari perkawinan adalah sebuah lembaga yang mempersatukan dua

individu dengan kepribadian yang berbeda.

Lebih jauh, Tukan Johan (1990) merumuskan beberapa pendapat dari

para filsuf mengenai pengertian dari perkawinan yakni :

a. Perkawinan merupakan partnership manusiawi, sepasang pria dan wanita

dengan segala kepribadiannya dalam ikatan perkawinan memiliki derajat

yang sama. Pasangan suami isteri bekerja sama dalam suka dan duka dalam

membangun rumah tangga.

b.Perkawinan merupakan lembaga politico-social, keluarga merupakan unit

terkecil dalam masyarakat. Kesejahteraan suatu negara akan terlihat konkrit

saat dalam institusi terkecil atau keluarga tersebut juga memperoleh

kesejahteraan.

c. Perkawinan merupakan sebuah karier, perkawinan dilihat sebagai suatu

proses pasangan untuk mencapai kebahagiaan. Saat kedua individu bekerja

dan memperoleh kesejahteraan dalam rumah tangganya, maka salah satu

aspek kebahagiaan dalam keluarga telah tercapai.

d.Perkawinan merupakan cara hidup yang khusus, perkawinan dilihat sebagai

bentuk khusus dimana kedua individu antara pria dan wanita menjalani

proses kebersamaan sebagai sahabat, pacar, tunangan dan ikatan pernikahan

yang kemudian hidup bersama untuk saling mengasihi, memiliki keturunan,

mendidik dan membesarkan anak dengan penuh tanggung jawab.

(30)

baik individu wanita maupun pria saling menghargai pasangannya sebagai

subjek bukan sebagai objek. Termasuk dalam kehidupan seksual perkawinan,

hal ini bersifat sosial yang terarah pada pasangannya.

f. Perkawinan merupakan sebuah ikatan metafisis, sepasang manusia yang telah

dipersatukan terdiri dari mistik dan spiritual. Persatuan mereka tidak hanya

bersifat badaniah melainkan menuju dalam persatuan spiritual.

Berdasarkan pemaparan mengenai perkawinan tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang monogam dari

dua individu laki-laki dan perempuan menjadi sepasang suami isteri yang sah

secara hukum dan agama.

2. Periode dalam Perkawinan

Dalam sebuah perkawinan, Ruben (1986) mengemukakan tiga periode

dalam usia perkawinan, meliputi :

a. Periode tahun pertama (Early Years)

Masa ini mencakup kurang lebih selama sepuluh tahun pertama usia perkawinan. Periode ini terdiri dari dua masa, masa yang pertama adalah

fase perkenalan awal atau disebut dengan istilah Initial Acquaintance

Phase, dimana pasangan suami isteri saling berusaha untuk mengenal satu sama lain. Masa yang kedua yakni fase menetap atau disebut dengan

istilah Setting in Phase, dimana pasangan suami isteri telah mengenal dan

mulai mengatur peran masing-masing dalam kehidupan rumah tangga

(31)

b. Periode tahun pertengahan (Middle Years)

Masa ini berkisar antara tahun ke-10 hingga tahun ke-30 usia perkawinan. Periode ini terdiri dari dua masa, masa yang pertama jika

pasangan suami isteri memiliki anak, maka terisi dengan fase anak atau

disebut dengan istilah Child full Phase. Dan pada periode ini diakhiri

dengan fase kembali bersama, atau disebut dengan Us Again Phase,

dimana masa ini anak telah tumbuh deasa dan kemudian meninggalkan

rumah.

c. Periode tahun matang (Mature Years)

Masa ini dimulai pada tahun ke-30 usia perkawinan. Masa ini

merupakan masa dimana pasangan suami isteri menua bersama, dan

mulai merencanakan pensiun. Dalam masa ini, akan menjadi tahun dari

hidup sendiri dengan pasangan seperti pada masa awal usia perkawinan.

B. KEMATANGAN EMOSI

1. Pengertian Kematangan Emosi

Pengertian Emosi menurut Goleman (2003), merujuk pada suatu

perasaan dan pikiran yang khas, keadaan biologis dan psikologis dalam

suatu rangkaian kecenderungan untuk berperilaku. Penggunaan istilah

kematangan menunjukkan adanya suatu proses untuk menjadi matang

(Skinner, 1977). Menjadi matang memiliki arti adanya usaha untuk

meningkatkan dan memperbaiki sesuatu. Individu yang dianggap telah

(32)

sangat dimungkinkan memiliki taraf kematangan yang berbeda antara

waktu yang lalu dengan waktu yang akan datang (Jersild dkk, 1978).

Hurlock (2004) mengemukakan bahwa individu yang matang

emosinya memiliki pengendalian diri yang baik, mampu

mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan

yang dihadapinya, sehingga individu lebih mampu menyesuaikan diri

karena dapat menerima keadaan orang lain dan memberikan reaksi yang

tepat, sesuai dengan situasi yang terjadi. Individu dapat dikatakan telah

mencapai kematangan emosi apabila individu tersebut tidak

“meledakkan” emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan

cara-cara yang lebih dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Hal yang

menunjukkan kematangan emosi lain adalah bahwa individu mampu

menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara

emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir seperti anak kecil atau orang

yang tidak matang secara emosi.

Dalam kamus psikologi yang ditulis oleh Kartono (1999)

memaparkan bahwa kematangan emosi adalah suatu kondisi dalam diri

individu yang telah mencapai kedewasaan secara emosional dan tidak

menunjukkan sifat kekanak-kanakan. Sedangkan Budiarjo (1991)

menyatakan bahwa kematangan emosi adalah kecenderungan individu

untuk merespon segala sesuatu yang terjadi dengan emosi yang matang

(33)

Menurut Rice (2004), suatu keadaan dimana individu dapat

mengubah dalam menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang

sulit diubah, dan individu tersebut memiliki kebijaksanaan untuk

menghargai suatu perbedaan disebut dengan kematangan emosi. Senada

dengan penjelasan sebelumnya, Cole (1983), mengatakan bahwa emosi

yang matang memiliki berbagai kemampuan yang harus dipenuhi yaitu :

kemampuan untuk mengungkapkan dan menerima emosi dengan baik,

menunjukkan perilaku kesetiaan, menghargai orang lain secara nyata,

menilai harapan dan inspirasi, menunjukkan rasa empati terhadap orang

lain, mengurangi hal yang bersifat emosional, serta toleransi dan

menghormati orang lain.

Disamping itu Chaplin (2002), mengatakan bahwa kematangan

emosi merupakan suatu keadaan dimana individu telah mencapai tingkat

kedewasaan dari tahapan perkembangan emosional dengan kemampuan

mengontrol dan mengendalikan emosinya, dan individu tersebut tidak

menampilkan pola emosional yang sering dilakukan oleh anak-anak.

Meichati menambahkan, kematangan emosional merupakan keadaan

seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional,

baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan matangnya

emosi maka individu dapat bertindak tepat dan wajar sesuai dengan

situasi dan kondisi (1983).

Kematangan emosi berisi ketrampilan emosi yang meliputi

(34)

perasaan, mengontrol dorongan hati, dan menunda pemuasan serta

mampu mengatasi kecemasan. Individu yang mampu mengendalikan

dorongan hati serta mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan,

individu tersebut mampu mengendalikan emosinya, dan mampu

mengambil keputusan yang tepat dahulu, kemudian mengidentifikasi

perilaku alternatif serta konsekuensi dari perilakuknya tersebut, hal ini

dikemukakan oleh Goleman (2003).

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa kematangan emosi merupakan

suatu keadaan atau kondisi dimana individu telah berada dalam tingkat

kedewasaan dalam tahap perkembangan emosinya. Individu tersebut

telah mampu mengendalikan dan mengelola emosinya, sehingga mampu

mengungkapkan emosinya dengan tepat dengan tidak melakukan

tindakan yang dilakukan oleh anak-anak dan dapat diterima secara

sosial. Dalam konteks kehidupan perkawinan, kematangan emosi

memiliki arti yang senada, yakni merupakan suatu keadaan atau kondisi

dimana pasangan telah berada dalam tingkat kedewasaan perkembangan

emosinya. Pasangan suami isteri telah mampu mengendalikan dan

mengelola emosinya, dan mampu mengungkapkan emosi secara tepat

yang dapat diterima oleh diri dan pasangan dengan baik.

2. Ciri - ciri Kematangan Emosi

(35)

 Individu memiliki kemampuan untuk merespon secara beragam

dari faktor diluar diri individu tersebut

 Individu memiliki kemampuan untuk membentuk perilaku

konstruktif dan dapat mengarahkan tekanan emosi ke arah yang

lebih positif

 Individu memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan dan

mencari penyelesaian atas masalah dengan cara yang kreatif dan

dapat diterima dengan baik oleh orang lain

 Individu memiliki kemampuan untuk mengakui kesalahan serta

menerima konsekuensi dari perilakunya.

b. Ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito (2004) adalah :

 Memiliki penerimaan diri dan orang lain yang baik dan obyektif

 Memiliki emosi yang stabil, tidak bersifat impulsif dan hanya

merespon stimulus yang tertuju pada dirinya.

 Individu dapat mengontrol emosinya dan mengekspresikan emosi

dengan tepat yang dapat diterima orang lain dengan baik

 Memiliki tanggung jawab yang baik, dan menghadapi suatu

masalah dengan penuh pengertian

c. Ciri-ciri kematangan emosi menurut Finkelor (2004) adalah :

 Individu mampu mengambil keputusan yang paling benar dan

penting serta penuh dengan tanggung jawab

 Individu mampu mengambil keputusan berdasarkan fakta dan

(36)

 Individu konsekuen dan mampu melaksanakan keputusan yang

telah diambilnya

 Individu mampu menilai kembali keputusannya atau perlu

merubahnya dengan dasar pertimbangan yang matang

 Individu tidak mudah tersinggung dan mampu menerima masukan

dari orang lain

Berdasarkan pemaparan mengenai ciri-ciri kematangan emosi dari

para ahli, peneliti merumuskan beberapa ciri-ciri kematangan emosi.

Ciri-ciri kematangan emosi menurut peneliti adalah :

 Individu memiliki emosi yang stabil dan tidak bersifat impulsif.

Individu tersebut dapat mengontrol emosinya dan mengekspresikan

emosi dengan tepat yang dapat diterima orang lain dengan baik.

 Individu memiliki penerimaan diri dan orang lain yang baik dan

obyektif, dengan demikian individu akan mampu menerima

kritikan atau masukan dari orang lain dan tidak mudah tersinggung

 Individu memiliki kemampuan untuk menerima konsekuensi dari

perilakunya.

 Individu memiliki tanggung jawab yang baik, serta berani

mengakui kesalahan dan membela yang benar.

Dalam kehidupan perkawinan, pasangan dengan kematangan

emosi akan memiliki ciri-ciri seperti, pasangan suami isteri memiliki

emosi yang stabil dan tidak bersifat impulsif. Suami dan isteri dapat

(37)

dapat diterima oleh pasangan dengan baik. Suami dan isteri juga

memiliki penerimaan diri dan pasangan yang baik dan obyektif, serta

memiliki kemampuan untuk menerima konsekuensi dari perilakunya.

Disamping itu, pasangan suami isteri yang memiliki emosi matang

memiliki ciri seperti tidak mudah tersinggung dan mampu menerima

kritikan dan masukan dari pasangan. Pasangan suami isteri juga

memiliki tanggung jawab yang baik, serta berani mengakui kesalahan

dan membela yang benar.

3. Aspek - aspek Kematangan Emosi

Kematangan emosi menurut Hurlock (2004) terdiri dalam berbagai

aspek diantaranya :

a. Tidak meluapkan emosi yang meledak ledak terhadap individu

lain, namun mampu mengekspresikan emosi dengan wajar dan

tepat sehingga dapat diterima dengan baik oleh individu lain.

b.Sebelum meluapkan emosi, individu mampu melihat situasi dan

kondisi secara kritis terlebih dahulu, tidak seperti anak-anak atau

individu yang tidak matang emosinya yang bereaksi sebelum

berpikir.

c. Individu mampu memberikan reaksi emosi secara stabil, emosi

tidak mudah berubah-ubah dalam waktu yang singkat.

Disamping itu, peneliti merumuskan aspek kematangan emosi

berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi yang telah dijelaskan

(38)

a. Kontrol Emosi

Bagaimana individu dapat mengontrol perilakunya atas

emosi yang sedang dialaminya. Individu yang mampu

mengontrol emosinya, akan mampu menunjukan perilaku yang

sesuai dengan perkembangan emosinya. Dalam konteks

perkawinan, pasangan yang memiliki kontrol emosi yang baik,

akan lebih menunjukkan perilaku yang sesuai dengan tahap

perkembangan emosinya. Individu mampu memberikan reaksi

emosi secara stabil, emosi tidak mudah berubah-ubah dalam

waktu yang singkat. Dengan demikian luapan emosi yang

terkontrol akan dapat diterima dan direspon dengan baik oleh

pasangan (Hurlock, 2004).

b. Tanggung Jawab

Individu yang memiliki kematangan emosi, akan dapat

bertanggungjawab atas segala hal yang telah dilakukannya, dan

menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Dalam

kehidpan suami isteri, pasangan yang memiliki kematangan

emosi akan bertanggung jawab atas segala hal yang telah

dilakukan terhadap pasangannya (Finkelor, 2004).

c. Pengambilan Keputusan

Individu yang memiliki kematangan emosi, akan dapat

mengambil keputusan dengan tepat dan penuh pertimbangan

(39)

memiliki kematangan emosi, akan mampu mengambil keputusan

dengan tepat dan penuh pertimbangan tanpa merugikan diri

pasangan (Khairani, 2013).

d. Penerimaan Diri

Individu yang memiliki kematangan emosi, akan mampu

menerima keadaaan dirinya dan orang lain apa adanya. Dalam

kehidupan berumah tangga, pasangan suami isteri dengan emosi

yang matang, akan memiliki penerimaan diri dan penerimaan

diri pasangan yang baik, apa adanya (Walgito, 2004).

4. Dampak Kematangan Emosi

Individu dengan emosi yang matang akan memiliki atau mengalami

beberapa hal, seperti :

a.Memiliki pikiran yang rasional

Individu yang memiliki emosi matang akan dapat berpikir

secara rasional tidak hanya berdasarkan pemikiran emosional

dan bersifat terburu-buru dalam pengambilan keputusan.

(Hurlock, 1999)

b.Memiliki penerimaan diri secara sosial

Individu yang memiliki emosi matang akan dapat diterima

oleh masyarakat karena individu tersebut dapat dengan mudah

menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya (Hurlock,

(40)

c.Mampu menerima perbedaan

Individu yang memiliki kematangan emosi cenderung lebih

mampu menerima perbedaan yang ada diantara mereka sehingga

dapat meminimalisir terjadinya konflik (Adhim, 2002).

d.Mampu mengontrol kemarahan

Individu yang memiliki emosi matang, ia cenderung dapat

mengontrol kemarahan dengan baik dan belajar untuk

mendapatkan solusi positif dalam menghadapi suatu masalah

(Burney, dalam Anderson 2006).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat menyimpulkan dampak

dari individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki

pikiran yang rasional, penerimaan diri secara sosial, mampu

menerima perbedaan serta mampu mengontrol kemarahannya.

C. KESETIAAN

1. Pengertian Kesetiaan

Setia merupakan suatu perilaku berulang yang kemudian menjadi

sebuah kebiasaan dan berujung pada sifat dengan memiliki bentuk yang

cenderung menetap (Warren, 2009). Setia pada pasangan berarti

masing-masing dari individu dapat diandalkan untuk saling menepati

janji atau komitmen yang telah dikatakan dan disepakati serta

dipercayakan oleh pasangan. Kesetiaan memiliki arti keteguhan yang

(41)

kesetiaan merupakan kepercayaan yang bukan hanya dalam hal seks

namun dalam semua hal yang menyangkut hati, perasaan dan tubuh

pasangan. Pasangan suami isteri yang setia, ia akan dapat dipercaya dan

diandalkan tidak hanya secara fisik namun juga secara emosional. Hal

ini didukung oleh pendapat Goldberg (dalam Sadarjoen, 2005) yang

mengatakan bahwa kesetiaan memiliki dampak yang menunjukkan

kasih, kehormatan, dan menempatkan pasangannya diatas orang lain.

Kesetiaan berarti berpegang teguh pada janji dan dapat

diandalkan pada diri pasangan atau tugas yang telah diterima oleh

pasangan tersebut. Kesetiaan memiliki kekhasan pada pasangan yang

telah dipilih atau selibat dalam ikatan perkawinan dapat disebut dengan

istilah monogam (Piet Go, 1990). Tanggung jawab dalam sebuah

perkawinan monogam memiliki makna sebagai sebuah dampak atau

konsekuensi yang terbentuk dari nilai-nilai. Pernikahan yang monogam

berarti dalam keluarga tersebut hanya terdaat satu isteri dan satu suami,

beserta anak-anak. Monogam juga dapat diartikan bahwa suami isteri

dituntut untuk saling setia sampai mati, perkawinan tersebut tidak dapat

tergantikan ataupun diceraikan (Tukan,1990).

Dalam buku karangan Tukan (1990), seorang filsuf Perancis

bernama Gabriel Marcel mengungkapkan bahwa kesetiaan terdiri dari

dua macam yakni kesetiaan tingkat tinggi dan tingkat rendah. Dalam

tingkat kesetiaan rendah, pasangan suami isteri saling setia berdasarkan

(42)

atau dengan kata lain demi kepentingan anak-anak. Sedangkan tingkat

kesetiaan tinggi, memiliki arti bahwa pasangan suami dan siteri saling

setia satu dengan yang lain karena berlandaskan sebagai pribadi yang

tercipta untuk pribadi lain yakni pasangannya yang sah.

Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti dapat mengambil

kesimpulan bahwa kesetiaan merupakan suatu sifat yang berulang

dalam hal saling menghormati, memberikan kasih sayang,

menempatkan pasangannya diatas orang lain, berpegang teguh pada

janjinya, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, dan terlibat secara fisik

dan emosional hanya kepada pasangannya yang sah.

2. Aspek Kesetiaan

Dari beberapa definisi mengenai kesetiaan, peneliti merumuskan

kesetiaan dalam beberapa aspek, seperti dibawah ini :

a.Saling menghormati

Sikap saling menghormati antara suami dan isteri, dapat terlihat

melalui sikap, ucapan, dan perbuatan yang baik dan tidak

merendahkan pihak pasangan (Goldberg, dalam Saradjoen 2005).

Suami maupun isteri yang hormat akan berusaha untuk tidak

mengatakan atau melakukan sesuatu yang memalukan bagi

pasangannya. Disamping itu, suami dan isteri juga harus mengerti

dan menghargai pasangannya. Suami dan Isteri bersedia

(43)

tidak boleh berlaku kasar kepada pasangannya (Wright, 1974).

b.Saling menerima pasangan

Penerimaan merupakan sikap positif, yang ditandai dengan

adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual

tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin,

2000). Sikap saling menerima pasangan, menunjukkan bahwa

individu mampu menerima dengan apa adanya, baik kekurangan

maupun kelebihan dari pasangan. Hal ini juga didukung dengan

pernyataan Roger (dalam Sutikno, 1993), yang menyatakan

mengatakan bahwa penerimaan merupakan dasar bagi setiap orang

untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik

ataupun buruk.

Hal ini mencakup kelebihan dan kekurangan secara lahir dan

batin. Secara lahir dapat terlihat dari fisik pasangan, dan batin dari

kepribadian pasangan yang terwujudkan dalam tutur kata, dan sikap

perilaku. Dengan demikian, dapat dikatakan seorang suami atau isteri

yang dapat menerima keadaan pasangan dengan apa adanya, ia tidak

akan menuntut pasangannya menjadi orang lain melainkan seperti

dirinya sendri apa adanya.

c. Saling memberikan kasih sayang

Kasih sayang adalah reaksi emosional terhadap seseorang,

binatang, maupun benda. Hal itu menunjukkan perhatian yang hangat,

(44)

2011). Kasih sayang dalam psikologi disebut juga dengan istilah

afeksi. Kasih sayang sering digunakan sebagai bentuk hubungan

antara dua orang atau lebih yang lebih dari rasa simpati atau

persahabatan. Bentuk kasih sayang yang paling sederhana adalah

memberikan ucapan terima kasih dan menyatakan permohonan maaf

kepada pasangan (KWI – BKKBN, 1993). Contoh lain dari wujud kasih sayang terhadap pasangan disini adalah ketika suami

memberikan sentuhan lembut terhadap isterinya, mencium keningnya,

menggandeng tangannya saat berjalan bersama, dan ucapan hangat

dan mesra, serta hal lain yang romantis.

d.Menempatkan pasangan diatas orang lain

Menempatkan pasangan diatas orang lain, juga memiliki arti

bahwa individu lebih memprioritaskan pasangan dari pada orang lain.

Hal ini bukan berarti bahwa individu mementingkan kepentingan

pasangannya sebagai individu, melainkan memprioritaskan pasangan

sebagai hubungan yang baik dalam perkawinan (Goldberg, dalam

Saradjoen 2005). Hal ini didukung oleh salah satu model manajemen

konflik dalam perkawinan yang dikemukakan oleh Thomas dan

Killman (dalam Byadgi, 2011) adalah obliging style, dimana seseorang

yang menggunakan gaya manajemen konflik ini, ia akan berusaha

untuk mementingkan kepentingan pasangan di atas kepentingan diri

sendiri.

(45)

Berpegang teguh pada janji, dapat dijelaskan dengan sikap

bahwa seseorang yang tidak akan mengingkari janjinya, melainkan

menepatinya dan berusaha untuk selalu mempertahankan janji yang

telah diikrarkan. Dalam kehidupan perkawinan, seorang suami dan

isteri yang telah berjanji akan sehidup semati, ia akan berusaha untuk

selalu teguh dengan janjinya (Warren, 2005).

f.Dapat dipercaya dan diandalkan

Henrich dan Henrich (Rempel, dkk, 1985) mengemukakan bahwa kepercayaan merupakan salah satu kualitas dalam hubungan intim yang seringkali dikaitkan dengan cinta dan janji yang merupakan dasar hubungan ideal. Konsep trust atau kepercayaan, sebagai dasar individu untuk memutuskan sebuah komitmen dalam hubungan

suami isteri. Disamping itu, saling percaya dan dapat dipercaya

merupakan sebuah hubungan timbal balik yang menjadikan sebuah

kunci kesetiaan dalam rumah tangga (Warren, 2005). Dalam

kepercayaan ini terdapat nilai kejujuran dan keterbukaan. Individu

suami maupun isteri yang selalu terbuka dan jujur dalam segala hal

akan menjadikan pribadi yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan.

g.Terlibat secara fisik dan emosi hanya dengan pasangan sah

Keterlibatan secara fisik dan emosi dari individu hanya terhadap

pasangannya yang sah secara hukum dan agama. Keterlibatan secara

fisik dan emosi, antara suami dan isteri dalam hal ini didasari atas

(46)

kombinasi antara keintiman, gairah dan komitmen. Keintiman

(intimacy) adalah aspek emosional cinta yang meliputi perilaku saling

berbagi, berkomunikasi dan mendukung; yang merupakan rasa selalu

ingin berdekatan dan berhubungan. Gairah (passion) adalah aspek

motivasional yang terdiri atas ketertarikan fisik dan bersifat romantis

dalam konteks seksualitas. Serta komitmen merupakan aspek kognitif

dan berisi keputusan yang berkaitan dengan perhatian terhadap

pasangan.

3. Faktor Kesetiaan

a.Faktor yang memepengaruhi individu dalam hal kesetiaan perkawinan menurut Walgito (2000) adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang terdiri atas :

1) Kebutuhan fisiologis, kebutuhuan yang diperlukan untuk

mempertahankan eksistensinya sebagai manusia, dalam hal ini

misalnya kebutuhan seksualitas.

2) Kebutuhan psikologis, kebutuhan yang diperlukan seperti

kebutuhan akan merasakan kasih sayang, dan kebutuhan akan

rasa aman.

3) Sikap saling, antara pasangan suami isteri, suami dan isteri telah

menjadi suatu kesatuan yang sah, agar masing-masing

memperoleh pemenuhan kebutuhan dalam berbagai kebutuhan

(47)

menghargai, menghormati, berkorban, menyayangi, dst.

4) Sikap toleransi, invidivu isteri dan suami yang memiliki

kematangan emosi dan kematangan cara berpikir dapat

diharapkan individu tersebut memiliki sikap toleransi, saling

menerima dan saling memberi dan tidak banyak menuntut.

5) Kematangan pikiran dan emosi, dalam ikatan perkawinan

pasangan suami isteri dituntut untuk memiliki kematangan

emosi dan pikiran, agar pasangan suami isteri dapat melihat

persoalan yang mungkin akan dan sedang terjadi dalam rumah

tangga secara objektif antara emosi dan pikiran.

6) Sikap kepercayaan, setiap isteri dan setiap suami yang telah

menjadi satu kesatuan yang sah, kepercayaan menjadi dasar

sebuah perkawinan agar terhindar dari konflik yang

menimbulkan keretakan rumah tangga.

7) Kebutuhan akan religiusitas, religiusitas akan memberikan

bimbingan dan tuntunan bagi orang yang mengimaninya.

Individu haruslah menyadari bahwa manusia merupakan

makhluk dengan kemampuan yang terbatas, sehingga individu

akan mampu menhadapi setiap persoalan yang dihadapinya dan

menyadari bahwa perkawinan yang telah dipersatukan tidak

dapat diceraikan oleh manusia.

(48)

Townsend (2002) adalah :

1) Faktor kedewasaan, pasangan suami isteri saling memberi dan

menerima kasih sayang, dapat bertanggung jawab, menjunjung

tinggi nilai kejujuran, mampu menghadapi persoalan dan

kegagalan dengan cara yang tepat dan dapat diterima oleh

pasangan dengan baik.

2) Faktor komitmen, pasangan suami isteri memiliki keterikatan

terhadap janji dalam hubungan perkawinannya.

3) Faktor empati, individu memandang melalui pihak yang

berlawanan yakni pihak pasangannya sendiri, fokus dalam

perilaku dan dampak perilaku dari dan oleh pasangannya.

4) Faktor kejujuran, pasangan suami isteri berupaya untuk saling

bersikap jujur dan terbuka, tidak menyembunyikan kebohongan.

5) Faktor pengampunan, pasangan suami isteri memiliki rasa dan

sikap saling mengampuni karena individu menyadari bahwa

setiap manusia pasti pernah melakukan suatu kesalahan, tinggal

bagaimana upaya individu tersebut untuk menebus kesalahan

agar diampuni.

Berdasarkan paparan diatas, peneliti merumuskan beberapa

faktor yang membentuk pasangan menjadi setia adalah adanya faktor

komitmen, yakni keterikatan pasangan suami isteri dalam janji

perkawinan. Faktor lain yakni adanya faktor kejujuran dan

(49)

kepercayaan pada tiap individu sehingga dasar kepercayaan

menjadikan individu setia terhadap pasangannya.

D. DINAMIKA KEMATANGAN EMOSI DAN KESETIAAN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTERI

Kehidupan perkawinan akan berjalan dengan baik, apabila sepasang

suami isteri telah matang secara psikologis. Walgito (2004) berpendapat

bahwa suami dan isteri diharapkan memiliki emosi yang matang, sehingga

emosinya akan lebih stabil, mandiri, menyadari akan tanggung jawabnya

sebagai isteri dan suami serta memiliki tujuan dan arah hidup yang lebih jelas.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kematangan emosi sangat diperlukan oleh

setiap individu dari pasangan suami isteri. Individu dengan emosi yang

matang, diharapkan mampu mengelola emosi dengan baik, dan belajar untuk

mendapatkan solusi positif dalam menghadapi suatu masalah. Dengan kata

lain bahwa individu yang mampu mengambil solusi positif dan mampu

mengontrol kemarahan akan meredakan konflik yang terjadi dan

meminimalisir terjadinya keretakan rumah tangga sekaligus dapat memupuk

kesetiaan dalam rumah tangga.

Individu dengan kematangan emosi tinggi, ia akan memiliki emosi

yang stabil dan tidak bersifat impulsif. Individu tersebut akan dapat

mengontrol emosinya dan mengekspresikan emosi dengan tepat yang dapat

diterima pasangannya dengan baik (Walgito, 2004). Dengan demikian, saat

(50)

individu tersebut tidak langsung merespon dengan amarah, melainkan ia

akan mengontrol emosinya, berpikir dahulu sebelum bertindak sehingga

respon dari individu dengan kematangan emosi ini akan dapat diterima orang

lain dengan baik dan tidak menimbulkan persoalan baru. Seperti dalam

hubungan suami isteri ketika terjadi konflik, pihak yang memiliki

kematangan emosi ia akan cenderung untuk lebih dapat mengelola emosinya

dengan baik sehingga ekspresi emosi yang ditunjukkan akan lebih dapat

diterima oleh pasangannya dengan baik, hal ini akan menjadikan pasangan

merasa lebih dihargai dan dihormati sebagai pasangan yang di cintai bukan

pasangan sebagai pelampiasan amarah.

Disamping itu, individu dengan kematangan emosi tinggi, ia juga

memiliki penerimaan diri dan orang lain yang baik dan obyektif (Walgito,

2004). Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kematangan emosi akan

mampu menerima keadaan diri dan pasangan, sehingga tidak menuntut diri

atau pasangan menjadi sempurna. Saat individu mampu menerima keadaan

pasangan dengan apa adanya, individu tersebut telah mencintai dengan tulus

dan tidak menuntut pasangannya menjadi seperti orang lain. Dengan

demikian tidak ada alasan untuk seorang yang memiliki kematangan emosi

akan berlaku tidak setia karena ia telah menerima keadaan pasangan dan

dirinya sendiri apa adanya.

Hal lain yang menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan

emosi tinggi adalah individu tersebut memiliki tanggung jawab yang baik,

(51)

(Khairani, 2013). Individu yang bertanggung jawab, ia akan menepati janji

atau komitmen yang telah dikatakan dan disepakati serta dipercayakan pada

pasangannya. Ia juga mampu dan berani menerima segala konsekuensi atas

perbuatan yang ia lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa individu itu setia

dengan bertanggung jawab atas semua perbuatan yang ia ucapkan dan

lakukan.

Individu yang memiliki emosi dengan kematangan tinggi memiliki

ciri tidak mudah tersinggung dan mampu menerima kritikan dan masukan

dari orang lain (Khairani, 2013). Saat individu memiliki kematangan emosi,

ia cenderung mampu mengakui kesalahan yang telah ia perbuat dan

mengakui kekurangan dari dalam dirinya. Sehingga, apabila pasangannya

menegurnya ia tidak akan berkecil hati dan marah melainkan menerima

masukan dan mempertimbangkan dengan akal sehat untuk memperbaikinya.

Persoalan kecil dalam rumah tangga yang sering terjadi akan menjadikan

salah satu pasangan melakukan perselingkuhan (Hastuti, 2001). Dengan

demikian, apabila pasangan suami isteri mampu menerima masukan kritikan

dan tidak mudah tersinggung, persoalan-persoalan kecil dalam rumah tangga

dapat diminimalisir, dan menjadikan pasangan suami isteri cenderung untuk

berlaku setia.

Lain halnya dengan individu yang memiliki kematangan emosi

rendah, ia akan memiliki emosi yang tidak stabil dan bersifat impulsif.

Individu tersebut kurang mampu mengontrol emosinya dan mengekspresikan

(52)

mendapatkan stimulus yang kurang baik atau tidak diharapkan, individu

tersebut cenderung langsung merespon dengan amarah, karena kurang

mampu mengontrol emosinya. Individu cenderung bertindak sebelum

berpikir, sehingga respon dari individu dengan kematangan emosi rendah ini

kurang dapat diterima orang lain dengan baik dan memungkinkan timbulnya

persoalan baru. Seperti dalam hubungan suami isteri ketika terjadi konflik,

pihak yang memiliki kematangan emosi rendah ia akan cenderung kurang

mampu mengelola emosinya dengan baik sehingga ekspresi emosi yang

ditunjukkan kurang dapat diterima dengan baik oleh pasangan. Hal ini akan

menjadikan pasangan merasa kurang dihargai dan dihormati, sehingga

pasangan merasa hanya sebagai pasangan untuk pelampiasan amarah.

Disamping itu, individu dengan kematangan emosi rendah, ia

cenderung memiliki penerimaan diri dan orang lain yang kurang baik

(Walgito, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kematangan

emosi rendah, cenderung kurang mampu menerima keadaan diri dan

pasangan, sehingga individu menuntut diri atau pasangan menjadi seperti

yang diharapkan. Saat individu kurang mampu menerima keadaan pasangan

dengan apa adanya, individu tersebut mencintai dengan kurang tulus karena

menuntut pasangannya menjadi seperti yang ia harapkan. Sehingga dapat

diartikan bahwa individu tidak mencintai pasangan dengan apa adanya,

karena individu tersebut tidak mampu menerima keadaan pasangan.

Hal lain yang menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan

(53)

baik, serta tidak memiliki kemampuan untuk menerima konsekuensi dari

perilakunya (Khairani, 2013). Individu yang kurang bertanggung jawab, ia

akan cenderung mudah mengingkari menepati janji atau komitmen yang

telah dikatakan dan disepakati serta dipercayakan pada pasangannya. Ia juga

cenderung kurang mampu dan berani menerima segala konsekuensi atas

perbuatan yang ia lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa individu itu kurang

memiliki nilai setia, karena kurang bertanggung jawab atas semua perbuatan

yang ia ucapkan dan lakukan.

Individu yang memiliki emosi dengan kematangan rendah memiliki

ciri yang cenderung mudah tersinggung dan kurang mampu menerima

kritikan dan masukan dari orang lain (Finkelor, 2004). Saat individu

memiliki kematangan emosi rendah, ia akan cenderung tidak mau mengakui

kesalahan yang telah ia perbuat dan tidak kekurangan dari dalam dirinya.

Sehingga, apabila pasangannya menegurnya ia akan berkecil hati dan marah

karena kurang mampu menerima masukan dan tidak dapat

mempertimbangkan dengan akal sehat untuk memperbaikinya. Persoalan

kecil dalam rumah tangga yang sering terjadi akan menjadikan salah satu

pasangan melakukan perselingkuhan (Hastuti, 2001). Dengan demikian,

apabila pasangan suami isteri kurang mampu menerima masukan kritikan

dan mudah tersinggung, persoalan-persoalan kecil dalam rumah tangga

dimungkinkan dapat meluas dan menjadikan pasangan suami isteri

cenderung untuk berlaku tidak setia.

(54)

emosi yang tinggi dalam diri pasangan suami isteri akan membuat individu

tersebut mencapai kepuasan emosional dan menumbuhkan kepedulian

terhadap komitmen dalam perkawinan sehingga terbentuklah sikap setia dari

individu terhadap pasangannya. Sedangkan kematangan emosi yang rendah

dalam diri pasangan suami isteri akan membuat individu tersebut mengalami

kendala dalam pencapaian kepuasan emosional dalam perkawinan sehingga

terbentuklah sikap kesetiaan yang rendah dari individu terhadap

pasangannya.

(55)

F. HIPOTESIS

(56)

Ada hubungan yang positif antara kematangan emosi dengan kesetiaan

(57)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara kematangan emosi dengan

kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri ini menggunakan jenis

penelitian korelasi untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara kedua

variabel, yakni variabel kematangan emosi dengan variabel kesetiaan

perkawinan.

B.Identifikasi Variabel

Variabel merupakan sebuah gejala yang dijadikan target peneliti untuk

diamati. Variabel tersebut dijadikan sebagai sebuah atribut dari individu, yang

memiliki variasi satu dengan lainnya dalam sebuah kelompok (Sugiyono,

2002). Dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti adalah :

1. Variabel Independen : Kematangan Emosi

2. Variabel Dependen : Kesetiaan

C. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan batasan dari variabel - variabel penelitian

yang berhubungan dengan realitas yang akan diukur sekaligus sebagai

manifestasi dari berbagai hal yang akan diamati (Kerlinger, 2002). Definisi

(58)

1. Kematangan Emosi

Dalam penelitian ini kematangan emosi diukur dalam 4 aspek besar

yakni aspek kontrol emosi, tanggung jawab, penerimaan diri, serta

pengambilan keputusan. Berdasarkan keempat aspek besar tersebut akan

digunakan untuk mengukur tingkat kematangan emosi pada suami isteri

dengan menggunakan skala kematangan emosi. Semakin tinggi data

skor dari keempat aspek dalam pasangan suami isteri, maka semakin

tinggi pula tingkat kematangan emosi pasangan tersebut.

2. Kesetiaan

Dalam penelitian ini kesetiaan perkawinan diukur dalam beberapa

aspek kesetiaan, meliputi: saling menghormati, menerima pasangan,

memberikan kasih sayang, menempatkan pasangannya diatas orang lain,

berpegang teguh pada janjinya, dapat dipercaya dan dapat diandalkan,

dan terlibat secara fisik dan emosional hanya kepada pasangannya yang

sah. Berdasarkan ketujuh aspek tersebut akan digunakan untuk

mengukur tingkat kesetiaan pada suami isteri dengan menggunakan

skala kesetiaan. Semakin tinggi data skor dari ketujuh aspek dalam

pasangan suami isteri, maka semakin tinggi pula tingkat kesetiaan pada

(59)

D. Subjek Penelitian 1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian yang berada

dalam lingkungan penelitian (Azwar, 2005). Populasi pada penelitian ini

memiliki beberapa karakteristik, antara lain pasangan suami isteri yang

menikah secara monogam sah hukum dan agama dan bertempat tinggal

di Provinsi Yogyakarta, pasangan masih hidup dan tinggal bersama,

serta dengan usia perkawinan diat

Gambar

Tabel 1
Tabel 3  Skor Item Kesetiaan Perkawinan
Tabel 4
Tabel 5 Sebaran Item Skala Kematangan Emosi
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

1) Pasal 160 ayat (3) KUHAP saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan). 2) Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi

Beberapa orang tua sangat percaya ajaran kejawen karena mereka menganggap hal tersebut merupakan suatu hal yang sakral yang diturunkan dari nenek moyang mereka, yang terkadang

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

503.M3/BLB/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Panitia dan Pejabat Pengadaan Barang/Jasa pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi

Thesis is Submitted as Partial of the Requirement for a Bachelor Degree in Management Department-Faculty of Economics.

Dari 1 g α-selulosa yang digunakan dalam proses isolasi melalui proses hidrolisis dan didialisis selama 8 hari dengan menggunakan membran dialisis hanya diperoleh

Karena siswa kurang memahami konsep segi tiga dan siswa tidak dapat mengerjakan soal-soalnya untuk membantu dan meningkatkan prestasi siswa dalam belajar