• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Bab III. Tinjauan Umum tentang Otonomi Daerah di Indonesia

C. Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Kondisi pemerintahan daerah yang ada sekarang pada dasarnya terbentuk

melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Oleh sebab itu tidaklah bijak jika

kita meninggalkan aspek histories tersebut dalam kajian ini.

Mengutip pendapat Sarundjajang, paradigma pemerintahan daerah di

Indonesia selama ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Paradigma Pertama antara

kurun waktu tahun 1903-1922 ditandai dengan adanya pengakuan Pemerintahan

Daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Paradigma Kedua antara kurun

waktu tahun 1922-1942 Desentralisasi Versi Kolonial. Paradigma Ketiga antara

kurun waktu tahun 1942-1959, merupakan pase pencarian bentuk desentralisasi

menuju demokrasi. Paradigma Keempat antara kurun waktu tahun 1959-1974,

merupakan masa dimana terjadinya desentralisasi yang dipaksakan. Paradigma

Kelima – ORBA – ketika masa berlakunya UU No.15 Tahun 1974 tentang Otonomi

Terbatas dan kecenderungan Sentralistik dalam pelaksanaannya. Paradigma Keenam

direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang oleh Sarundjajang disebut-sebut

sebagai arus balik kekuasaan pusat ke daerah.46

Berdasarkan sejarah, perkembangan otonomi daerah di Indonesia secara garis

besar bisa dibagi menjadi empat periode, antara lain; Periode I, Periode Kolonial,

Periode II, Periode Kemerdekaan (ORLA), Periode III, Periode ORBA, Periode IV,

Periode Reformasi (sekarang).

Lahirnya ‘Reglement’ (Staatsblad 1855 No. 2) yang mengatur tentang

pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda bukanlah atas dasar

asas desentralisasi seperti yang kita kenal sekarang ini, yaitu memberikan hak otonom

pada daerah-daerah koloni saat itu. Namun, selajur dengan politik penjajahan pada

umumnya, pemerintah Kolonial semula hanya melaksanakan asas dekonsentrasi.

Dengan begitu, pengaturan tentang sistem politik daerah masa itu masih bersifat

sentralisasi, sehingga peranan pemerintahan Pangreh Praja atau sering disebut sebagai

Pamong Praja memegang posisi yang sangat menentukan.47

Otonomi masa kolonial berlandaskan pada hukum adat yang secara yuridis

mencapai titik kulminasinya setelah ditetapkan politik etis (etische politic) atau

“Politik Balas Budi” yang dicanangkan oleh orang-orang Belanda yang progresif,

sebagai reaksi terhadap Culture Stetsel yang berdampak pada timbulnya pemerasan

46

S. H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 4

47

tenaga rakyat Indonesia dalam peristiwa penanaman paksa tanaman keras (culture)

yang memberikan kerugian begitu besar bagi pemerintahan Belanda.48

Oleh sebab itulah, Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan dalam

ketatanegaraannya dengan menjalankan sistem pemerintahan yang lebih intensif dan

disemangati dengan tujuan pokok untuk mengimbangi gerakan kebangsaan yang

dipelopori oleh kaum cendikiawan bangsa Indonesia, dimana mereka adalah para

orang Hindia Belanda terpelajar hasil didikan Sekolah Belanda. Ketika itu pemerintah

Belanda menempatkan beberapa cendikiawan Hindia Belanda tersebut kebeberapa

instansi pemerintahan lokal di beberapa daerah untuk menjadi pejabat setempat. Yang

tanpa disadari oleh mereka sebenarnya hal tersebut menjadi senjata boomerang bagi

Belanda.

Decentralisatiewet 1903 adalah produk kemudian yang dihasil Belanda

berkaitan dengan sistem pemerintahan daerahnya. Berdasarkan kebijakan ini bisa

diartikan bahwa Belanda mencoba mendasarkan pemerintahan daerahnya atas asas

desentralisasi yang tentunya versi kolonial. Sejak diberlakukannya UU Desentralisasi

yang ada saat itu, wilayah Hindia Belanda terlihat terbagi menjadi dua jenis otonomi

daerah, yaitu yang berdasarkan pada hukum asli Indonesia dan otonomi daerah yang

berdasarkan Decentralisatiewet 1903.

Pada prinsipnya jauh sebelum Penjajah menguasai kepulauan Indonesia

sebagai wilayah administratif, kerajaan lama di Indonesia masih memiliki wewenang

administratif dalam memerintah wilayah teritorial yang berada di bawah pengaruh

48

B. Hestu Handoyo, Otonomi Daerah : Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1998), Cet. Ke-1, h. 46

kekuasaan mereka. Namun, pemerintah kerajaan-kerajaan tersebut tetap terikat oleh

sebuah perjanjian yang selanjutnya disebut “Kontrak Politik”.

Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi kedalam tiga teritori

kekuasaan militer, yaitu Sumatra berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan

Angkatan Darat (KPAD) yang berada di Bukit Tinggi. Kemudian Jawa yang

berkedudukan di Jakarta. Sedangkan kepulauan selebihnya berada di bawah

kekuasaan Kepala Pasukan Angkatan Laut di Makasar.49

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa pada zaman kolonial (Jepang)

implementasi dari asas desentralisasi kaitannya dengan otonomi daerah tidak

memunculkan “daerah otonom”. Para kolonialis (Jepang) bahkan kerap kali

mengeluarkan kebijakan deviasi yang menyesatkan untuk menyelubungi sikap

jajahan atas nama pemerintah daerah menurut versinya masing-masing. Masih

menurut Sujatmo, bahwa selama kependudukan Jepang, pengaturan asas

desentralisasi semakin kabur.

Pada prinsipnya kebijakan dan aturan yang diambil atau diterapkan oleh

pejajah hanyalah bersifat kamuflase. Mereka sengaja mengeluarkan peraturan

perundang-undangan yang terus menyudutkan bangsa Indonesia demi

melanggengkan kekuasaan di Indonesia. Kaum kolonial memasang ikatan yang

menjerat hak warga Indonesia pada setiap sendi kehidupan bernegara.

Pada era berikutnya yaitu pada masa kemerdekaan (Orde Lama) dimana

kekuasan berada ditangan Soekarno, paling tidak terdapat beberapa kali perubahan

49

Sujatmo, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, (Jakarta : Ghalia Inodonesia, 1984), Cet. Ke-2, h. 138-139

kebijakan tentang pengaturan daerah-daerah dalam sistem pemerintahan kita kala itu.

Di mulai dengan UU No.1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, maka

Indonesia telah mengawali komitmennya tentang arti negara kesatuan dalam format

negara-bangsa. Karena UU ini masih bersifat sederhana dan minim penjabarannya,

selang tiga tahun kemudian lahirlah UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan

Daerah.

UU No.22 tahun 1948 tersebut merupakan penghapusan perbedaan antara

pemerintahan di pulau Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura. Namun sangat

disayangkan, UU tersebut dianggap gagal dalam pemberlakuannya karena instabilitas

politik nasional yang disebabkan Agresi Militer Belanda di tahun yang sama.50

Seiring berubahnya politik-kekuasaan negara dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat, ada satu hal yang menarik dari proses

pergantian peraturan pemerintahan daerah. Sementara issue federalistik Indonesia

bergulir, proses untuk kembali kepada semangat UUD 1945, terbitlah UU Negara

Indonesia Timur No.44 tahun 1950.

Tepat setelah sistem politik negara kembali berdasarkan UUD 1945 yang

selaras dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka asas federalisme yang baru seumur

jagung, kandas sudah. Efeknya dari hal tersebut adalah lahirnya kebijakan berupa

Penetapan Presiden yang tertuang dalam UU No.6 tahun 1959 yang disusul dengan

PenPres No.5 tahun 1960 setahun kemudian. Namun, kedua UU tersebut sangat

50

Inu Kencana Syafie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1996), Cet. Ke-1, h. 10

menonjolkan sifat sentralistik dari kepemimpinan Soekarno yang otoritarian dengan

Demokrasi Terpimpinnya.51

Soekarno di penghujung kekuasaannya mengganti kebijakannya kembali

dengan mengeluarkan UU No.18 tahun 1965 untuk mengatur lebih lanjut permasalah

otonomi daerah. Namun integritas isi UU tersebut secara substantif tidak memiliki

nilai lebih dari peraturan-peraturan sebelumnya. Kendati terdapat sedikit perubahan

dalam hal bentuk dan susunan pemerintahan daerah serta wewenangnya.52 Dalam

pengaplikasiannya UU ini terbentur kasus G 30 S/PKI yang terjadi di tahun yang

sama.53

Kemudian pada masa Orde Baru , pemberlakuan UU No.5 tahun 1974

mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang

aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan

dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat;

2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang

nyata dan bertanggungjawab;

3. Asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama-sama dengan asas

dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi

pelaksanaan asas tugas pembantuan;

51

H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 107-108

52

H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, h. 112

53

B. Hestu Cipto Hardoyo, Otonomi Daerah dan Urusan-urusan Rumah tangga; Daerah-daerah Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 1998), Cet. Ke-1, h. 61

4. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian

dengan tujuan, disamping aspek pendemokrasian;

5. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan

dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan

pembinaan politik dan kesatuan bangsa.54

Asas desentralisasi yang coba diterapkan pada prinsipnya adalah sentralisasi

yang dibungkus dengan dekonsentrasi. Sehingga prinsip-prinsip “otonomi yang riil

dan seluas-luasnya” diganti oleh UU No.5 tahun 1974 menjadi prinsip-prinsip

“otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”. Sementara itu dalam penjelasan UU

tersebut dijelaskan bahwa istilah “seluas-luasnya” dianggap dapat membahayakan

keutuhan negara kesatuan.55

Banyak kalangan yang menilai bahwa penerapan otonomi daerah di Indonesia

semakin memasung kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya secara mandiri

dan bersahaja. Terkesan daerah diperas hasil sumber dayanya untuk kepentingan

pemerintah pusat. Lebih jauh lagi , UU No.5 tahun 1974 – menekankan konsentrasi

daerah untuk mewujudkan pembangunan berskala global. Pemerintah melalui UU

54

Sujatmo, Otonomi Yang Nyata dan Bertanggungjawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), Cet. Ke-2, h. 11

55

H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 143

tersebut menekankan bahwa prinsip “otonomi lebih merupakan kewajiban bukan

hak”.56

Dengan satu kebijakan tersebut, Seoharto bersama rezim orde barunya

“memelihara” dan “mengupayakan” kesejahteraan daerah-saerah di seluruh pelosok

nusantara. Padahal, dinamika problematika daerah sudah “gerah dan jemu” dengan

aturan tersebut, sehingga munculnya berbagai permasalahan yang semakin kompleks,

tidak sebatas ekonomi pembangunan saja, bahkan ikut tercerabutnya daya nalar

kehidupan sosial budaya masyarakat selaku manusia beradab.

Dalam tiga dekade tersebut, pembahasan otonomi daerah bisa dibilang hanya

berkutat pada satu “cara main” saja yang sifatnya sempit sementara permasalahan

akibat ketimpangan pusat dan daerah begitu beragam. Sangat jelas sekali, mandulnya

efektifitas kinerja daerah dan jajaran pemerintahannya disebabkan oleh

sentralistiknya pemerintahan Orde Baru dalam memperhatikan dan memperdulikan

nasib daerah-daerah di Indonesia.

Kemudian bebicara tentang era reformasi yang ditandai dengan lengsernya

Seoharto dari tampuk kursi kekuasaannya selama 32 tahun pada 1998. Beralihnya

kepemimpinan ketangan Bj. Habibie, pelaksanaan otonomi belum mendapatkan titik

cerah, bahakan pada masanya terjadi peristiwa referendum bagi rakyat Timor-Timur

untuk memilih antara tetap atau lepas dari NKRI. Ide dan proses referendum tersebut

pun menjadi polemik bangsa yang menjadi perhatian banyak kalangan.

56

“Bercerainya” Timor-Timur dari kekuasaan Indonesia, juga terjadi pada masa

kekuasaan Bj. Habibie. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No.22 tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, yang dilengkapi dengan UU No.25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.57 Kemudian keduanya direvisi

menjadi UU No.32 dan 33 tahun 2004 yang sampai detik ini dipakai oleh pemerintah

dalam mengatur pemerintahan daerah.

Dokumen terkait