• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Daerah Di Indonesia : Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Otonomi Daerah Di Indonesia : Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

(Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok )

Oleh

(2)

Alahamdulillah

Segala puji dan syukur

Ku panjatkan untuk Allah

Terimakasih dan cintaku yang dalam

Untuk Bapak dan Ibuku yang sangat ku sayangi

Sayangku untuk seluruh kakak dan keponakanku

Semoga kesuksesan akan selalu bersama mereka

Untuk seluruh dosenku yang ku banggakan

Semoga seluruh dosenku selalu berada dalam rahmat Allah

Untuk seluruh sahabatku yang telah memotivasiku demi kesuksesanku

Dan untuk dia yang ku damba menjadi pendampingku

Ya Allah sayangilah mereka

Lindungilah mereka

(3)

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

(Studi Daerah Kotamadya Depok )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar

Sarjana Ushuluddin

Oleh

FIKHAN HARUSI

NIM: 0033218870

Di bawah bimbingan

Drs. Agus Nugraha, M.A. NIP. 150 299 478

Jurusan Akidah Filsafat/Pemikiran Politik Islam

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Otonomi Daerah di Indonesia (Studi Daerah

Kotamadya Depok) telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 15 Oktober 2008, Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program

Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 15 Oktober 2008

Ketua Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M. Fils

NIP. 150 262 447

Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.

Anggota

Drs. Idris Thaha, MSi M. Zaki Mubarok, MSi

Dr. Sirojudin Aly, M.A.

150 318 684

Dra. Haniah Hanafie, M.Si.

(5)

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

(Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok )

Oleh

(6)

Alahamdulillah

Segala puji dan syukur

Ku panjatkan untuk Allah

Terimakasih dan cintaku yang dalam

Untuk Bapak dan Ibuku yang sangat ku sayangi

Sayangku untuk seluruh kakak dan keponakanku

Semoga kesuksesan akan selalu bersama mereka

Untuk seluruh dosenku yang ku banggakan

Semoga seluruh dosenku selalu berada dalam rahmat Allah

Untuk seluruh sahabatku yang telah memotivasiku demi kesuksesanku

Dan untuk dia yang ku damba menjadi pendampingku

Ya Allah sayangilah mereka

Lindungilah mereka

(7)

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

(Studi Daerah Kotamadya Depok )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar

Sarjana Ushuluddin

Oleh

FIKHAN HARUSI

NIM: 0033218870

Di bawah bimbingan

Drs. Agus Nugraha, M.A. NIP. 150 299 478

Jurusan Akidah Filsafat/Pemikiran Politik Islam

(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Otonomi Daerah di Indonesia (Studi Daerah

Kotamadya Depok) telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 15 Oktober 2008, Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program

Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 15 Oktober 2008

Ketua Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M. Fils

NIP. 150 262 447

Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.

Anggota

Drs. Idris Thaha, MSi M. Zaki Mubarok, MSi

Dr. Sirojudin Aly, M.A.

150 318 684

Dra. Haniah Hanafie, M.Si.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas anugerah

dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Sholawat dan

salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai pembimbing umat

menuju alam yang dipenuhi taufik dan hidayah Allah SWT.

Alhamdulillah penulis dapat meneyelesaikan skripsi ini yang berjudul:

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (STUDI KASUS DAERAH KOTAMADYA

DEPOK ).

Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih kepada yang

terhormat:

1. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., dan Bapak Dr. Hamid Nasuh, M.A., sebagai

Dekan dan Pudek Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta..

2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils., sebagai Kepala Jurusan Akidah

Filsafat/Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A., sebagai

Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta..

3. Bapak Drs. Agus Nugraha, MA, sebagai Dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat

(10)

4. Seluruh dosen-dosen yang telah mentransfer ilmu dan pengetahuan, serta

membangun kerangka berpikir penulis selama mengikuti perkuliahan sejak

semester I hingga saat ini.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memotivasi, mendorong dan membantu

penulis baik dari segi moril maupun materil. Seluruh Kakak dan keponakan

tercinta yang telah membantu penulis sebagai sumber motivasi dalam penulisan

skripsi ini.

6. Seluruh kawan-kawan jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan tahun 2000,

Jamaluddin S.Sos, Lyus Oktari S.Sos, Umar Hadi S.Sos. Dan rekan-rekan guru

Madrasah Aliyah (MA) Islamiyah dan SMP Islamiyah, A. Sujai S.Pd, Fahrurrozi

S.Hi, Sodikin, Darmawan. Rekan-rekan FRIMA, FOSMIS, IKAMA, IRMA,

FORSA (sepakbola). Mereka adalah kawan-kawan penulis yang selalu

memberikan dorongan dan masukan-masukan yang berarti berupa ide-ide dalam

penulisan skripsi ini. Serta Adinda Zuhairia yang selalu sabar dalam memberikan

motivasi kepada penulis.

Semoga seluruh amal baik mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari

Allah SWT. Dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa, semoga Allah

SWT senantiasa memberikan barakah, taufik dan hidayahnya kepada kita semua.

Amin.

Jakarta, Juli 2008

(11)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

Bab I. Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

Bab II. Gambaran Umum tentang Otonomi Daerah... 12

A. Sejarah Singkat tentang Kota Depok... 12

B. Letak Geografis Kota Depok ... 16

C. Terbentuknya Depok sebagai Kota Administratif ... 20

D. Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya ... 24

Bab III. Tinjauan Umum tentang Otonomi Daerah di Indonesia ... 29

A. Konsep Otonomi Daerah... 29

B. Dasar Penerapannya ... 37

C. Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ... 40

(12)

Bab IV. Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Kota Depok Terhadap

Kemajuan Pembangunan ... 50

A. Manajemen Pemerintahan... 50

A.1. Kemasyarakatan………... 53

A.2. Ekonomi... 55

A.3. Politik... 58

Bab V. Penutup ... 62

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian

direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 menyentak semua wilayah Indonesia. Ibarat

sebuah “Kran Air” yang baru dibuka, gaung Otonomi Daerah (Otda) merambah ke

semua wilayah. Tidak terkecuali sebuah kota kecil namun padat penduduk, yakni

Depok. Semua daerah seakan-akan berlomba dalam menata wilayahnya. Entah itu

penataan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau Intenal Managementnya.1

Otonomi daerah sebagai sebuah konsep dasar bermakna bahwa pemerintah

dalam hal ini pemerintah pusat memberikan/menyerahkan kewenangannya kepada

pemerintah yang ada di daerah-daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya

secara mandiri tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat dalam menanganinya.

UU Otda memberikan kekuasaan penuh kepada daerah untuk mengelola

daerahnya dengan baik, pemerintah tidak lagi bersifat sentralistik akan tetapi

desentralistik.2 Otonomi penuh berarti tidak adanya wewenang pemerintah pusat di

daerah Kabupaten maupun Kota kecuali dalam bidang keuangan dan moneter,

pertahanan keamanan, peradilan, politik luar negeri dan agama. Dengan demikian

1

Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), Cet. Ke-1, h. 34

2Desentralistik

adalah penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom (kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(14)

masing-masing daerah ditantang untuk kreatif dalam menentukan langkah-langkah

dan kebijakan-kebijakan ysng diambil demi membangun kehidupan masyarakat

seperti apa yang mereka cita-citakan.

Dengan adanya Otda persoalan tidaklah sebatas penyerahan kekuasaan saja

akan tetapi kesiapan dan kesanggupan dari wilayah yang diberi wewenang tersebut

merupakan poin penting dari sukses atau tidaknya pelaksanaan Otda di Indonesia.

Sebab daerah-daerah yang memperoleh hak otonom, dengan adanya hal tersebut

artinya dituntut untuk bisa mandiri yang tentunya bagi daerah-daerah yang kurang

siap dengan adanya Otda bukan saja mengemban tugas berat selain itu juga harus

pandai mensiasati segala permasalahan yang ada agar mereka mampu mandiri. Jika

tidak, tidak menutup kemungkinan mereka akan terpuruk lantaran tujuan pelaksanaan

dari Otda tidak mampu mereka realisasikan.

Salah satu penunjang keberhasilan dari Otda adalah terletak pada sejauhmana

pemerintah daerah mampu berupaya untuk mengembangkan potensi yang ada agar

bisa optimal demi kemajuan daerah mereka. Pemda dituntut untuk professional,

pandai dan juga arief dengan harapan segala kebijakan yang diambil sejalan dengan

maksud dan tujuan yang ingin diupayakan.

Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya pada dasarnya tidak terlepas dari

besarnya aspirasi masyarakat, tuntutan Depok menjadi Kotamadya semakin

maksimum lantaran hal yan gsatu ini (aspirasi masyarakat). Di sisi lain Pemda

Kabupaten Bogor bersama Pemda Propinsi Jawa Barat memperhatikan

(15)

Memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam SK DPRD

Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994, Nomor 135/SK,DPRD/03/1994 tentang Persetujuan

Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi

Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep,Dewan.06/DPRD/1997 tentang Persetujuan

Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok maka pembentukan Kota Depok

sebagai wilayah Administratif baru ditetapkan berdasarkan UU No.15 Tahun 1999

tentang Pembentukan Kotamadya Daeah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April

1999. Tanggal 27 April 1999 Depok resmi menjadi Kotamadya berbarengan dengan

pelantikan Pejabat Wali Kotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok, Drs. H. Badrul

Kamal.

Sebagai daerah yang memperoleh hak otonomi Depok tentunya mengalami

apa yang dijelaskan di atas bahkan mungkin lebih berat, bayangkan wilayah yang

sebelumnya amat bergantung kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah Propinsi Jawa

Barat, kini mau tidak mau harus mencoba mandiri.3 Adalah tugas yang tidak ringan

bagi Pemkot Depok untuk bisa – paling tidak berupaya agar Depok mampu terus

berjalan walaupun harus terseok-seok.

Proses Otda (Otonomi Daerah) yang harus dijalani oleh Pemkot Depok

tidaklah mudah, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Pemkot Depok

untuk mengarah pada yang namanya perbaikan. Perbaikan kedalam harus dilakukan

oleh Pemkot Depok dikarenakan disana-sini masih banyak kekurangan. Hal-hal

seperti ; SDM aparatur pemerintahan Kota Depok yang minim dan kurangnya tenaga

3

(16)

professional adalah salah satu bentuk pekerjaan rumah (PR) Pemkot Depok. disaat

akan melakukan pembenahan Pemkot Depok pun terbebani oleh benturan dana,

lantaran pemerintah pusat tidak memiliki dana awal. Dana hanya diberikan oleh

tingkat Kabupaten dan Propinsi. Yang tidak kalah pentingnya juga Depok lahir

ditengah puncak krisis multidimensi (Tahun 1999). Di sinilah kemudian pemerintah

daerah Kota Depok diuji sejauhmana kinerja mereka dalam menghadapi tugas berat

yang harus mereka emban. Sebagai orang nomor satu di Depok sosok Badrul Kamal

adalah orang yang paling berat bebannya lantaran harus membawa Depok kepada

arah perbaikan sehingga Depok bisa berkembang dan mengalami kemajuan. Sukses

atau tidaknya proses Otda yang harus dilalui Kota Depok dan berkembang atau

tidaknya Depok saat itu, sedikit banyak tergantung pada sosok Badrul Kamal yang

mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan Kota Depok. Lantaran bukan saja

kepemimpinannya mampu membuat Depok tetap eksis namun juga

kepemimpinannya mampu membawa perubahan bagi Kota Depok kepada arah yang

lebih maju. Lahirnya Depok seperti sekarang ini adalah sebuah pertanyaan tersendiri

bagi penulis.

Pemberdayaan SDM adalah proses peningkatan pengetahuan, keterampilan

dan kapasitas dari semua penduduk suatu masyarakat. Dilihat dari segi ekonomi,

pemberdayaan SDM dapat digambarkan sebagai akumulasi modal manusia. Dilihat

dari segi politik, pengembangan atau pemberdayaan SDM adalah mempersiapkan

(17)

penuh rasa tanggung jawab akan pentingnya proses politik dan kehidupan berbangsa

dan bernegara.

Pasca reformasi seperti sekarang ini, pembangunan SDM sebagai pilar

pembangunan amat relevan. Bagi daerah-daerah tertentu mungkin menjadi sangat

relevan. Hal ini terjadi lantaran tidak semua daerah memiliki kualitas SDM yang

cukup baik. Sebagai salah satu contoh Depok, minimnya SDM yang memadai

menjadi persoalan bagi Pemkot Depok masa pemerintahan Badrul Kamal, terlalu

sedikitnya SDM yang secara administrasi mampu memenuhi persyaratan untuk

menjadi Kepal Dinas menyebabkan beberapa dinas hanya diisi oleh pejabat

sementara atau pejabat yang menjalankan tugas sebagai Kepala Dinas.4

Di sisi lain, pembangunan disegala bidang kehidupan berbangsa dan

bernegara termasuk di dalamnya pembangunan daerah, tentunya memerlukan peran

aktif masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis,

kedaulatan rakyat adalah hal yang mutlak. Karena itu rakyat bukan saja objek

melainkan juga sebagai subjek dari pembangunan. Ini artinya rakyat haruslah

diikutsertakan dalam proses pembangunan, mulai dari formulasi kebijakan,

implementasi kebijakan hingga ke tahap evaluasi kebijakan.5

Untuk merealisasikan itu semua, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dalam

bernegara, sehingga tercipta masyarakat yang maju dan cerdas serta berdedikasi

tinggi dan tercipta Good Government sebagai struktur utama dalam bernegara.

4

Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), Cet. Ke-2, h. 103

5

(18)

Mewujudkan kesadaran yang tinggi dalam bernegara dan menciptakan

masyarakat yang cerdas serta berdedikasi tinggi bisa ditempuh melalui jalur

pendidikan. Hal pemenuhan pendidikan adalah merupakan tanggung jawab Negara.

Ini sejalan dengan amandemen UUD 1945 yang ke-empat pasal 31 ayat 1-5, yang

berbunyi :

a. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan

b. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

c. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan UU

d. Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran dan pendapatan negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung

tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia6

Pasal di atas begitu jelas mengamanatkan kepada negara akan hal pemenuhan

hak rakyat dalam memperoleh pendidikan. Ini semestinya menjadi dasar yang kuat

bagi terciptanya kualitas SDM yang baik, mengingat pembangunan dibidang

pendidikan merupakan faktor utama bagi terciptanya mutu SDM yang berkualitas.

Sementara itu, dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, urusan

pendidikan juga diserahkan kepada daerah. Ini berarti daerah memiliki wewenang

penuh dalam mengelola pendidikan yang ada di daerahnya, baik pendidikan dasar

maupun pendidikan tinggi.7

6

Heru Santoso, (ed), Sari Pendidikan Pancasila ; Dan UUD 1945 Setelah Perubahannya, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), Cet. Ke-1, h. 128

7

(19)

Di sisi lain bicara tentang Depok, keadaannya tempo dulu berbeda dengan

Depok yang sekarang. Julukan Depok sebagai tempat jin buang anak lantaran hampir

seluruh wilayahnya diselimuti oleh hutan belantara perlahan mulai hilang mengingat

semenjak Universitas UI dipindahkan ke Depok, perlahan namun pasti wajah Depok

saat ini telah berubah terutama di sepanjang jalan Margonda yang sekarang menjadi

pusat perkembangan dan juga merupakan lambing kemajuan Depok.

Betapa pesatnya pertumbuhan Depok, saat ini hampir tidak ada sejengkal

tanahpun yang dibiarkan “menganggur”. Setiap sentimeter lahan Margonda telah

menjadi lahan kegiatan ekonomi dan membuatnya sebagai pusat pertumbuhan Kota

Depok. sebagai kota baru – ditilik dari formulasi kelahirannya (27 April 1999),

dinamika ekonomi kota Depok sangat mengejutkan. Tahun 1998 atau setahun

sebelum berstatus kota, pertumbuhan ekonomi Depok mengalami minus.

Berdasarkan data Biro Statiska Kota Depok 1998-2000 menunjukan, tahun

1998 pertumbuhan sektor primer yang mengandalkan pertanian -28,96 persen,

sekunder (industri pengolahan, listrik, gas, air minum, bangunan dan konstruksi)

-38,79 persen, sektor tersier -14,89 persen. Hal ini tidak terlepas dari krisis politik dan

ekonomi nasional, serta krisis ekonomi di kawasan Asia. Hal ini yang menjadi faktor

tidak berkembangnya potensi ekonomi Depok adalah statusnya yang berada dalam

bayang-bayang Kabupaten Bogor.8

Geliat Kota Depok mulai tampak pada tahun pertama setelah Depok berstatus

Kotamadya. Seluruh sektor perekonomian menggeliat dan berpacu membangun Kota

8

(20)

Depok. Ini ditandai dengan naiknya sektor primer seperti pertanian yang tadinya

minus dua digit, mengalami pertumbuhan positif mencapai 2,67 persen. Sektor

sekunder pun mengalami pertumbuhan 0,4 persen. Bidang industri pengolahan

memperlihatkan hal yang positif dengan meningkat menjadi 0.08 persen, sedangkan

listrik dan air minum serta bangunan dan konstruksi masing-masing mengalami

pertumbuhan 4,18 persen dan 0,26 persen.9

Pada masa transisi pertumbuhan itu bisa dibaca sebagai indikator sangat

positif bagi pondasi ekonomi lokal yang kokoh. Hal yang prestisius adalah

pertumbuhan ekonomi lokal Depok melampaui PDRB Jawa Barat yang sebesar 1,22

persen dan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Indonesia yang hanya mencapai 0,79

persen.

Begitu kontrasnya gambaran Kota Depok di atas dan keadaan riilnya saat ini

bila dibandingkan Depok tempo dulu, mengindikasikan bahwa Depok mengalami

perubahan dan perbaikan. Ini seolah-olah menjadi indikator positif yang tak bisa

dipisahkan dari perubahan status Depok menjadi Kotamadya. Oleh karena itu penulis

merasa perlu untuk mendahulukan penelitian mengenai Otonomi Daerah di

Indonesia, yang menitik beratkan pada pelaksanaannya di Daerah Kotamadya Depok.

Pemilihan Kotamadya Depok sebagai tempat penelitian karena Depok secara

geografis merupakan daerah penyangga Ibu Kota Negara (DKI Jakarta) yang juga

daerah penghubung antara DKI Jakarta dan Jawa Barat. Selain itu Depok juga

memiliki beberapa potensi daerah yang bisa dijadikan anadalan seperti SDA, sektor

9

(21)

perekonomian khususnya dibidang perdagangan dan jasa, serta sektor industri

lainnya.

Selain alasan objektif di atas, alasan subjektif adalah penulis sendiri kelahiran

Depok. dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat berguna bagi masyarakat

Depok, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota Depok dalam menjalankan roda

pemerintahan. Adapun judul skripsi yang coba penulis angkat adalah “Otonomi

Daerah di Indonesia (Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok )”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam karya ini lebih terarah, maka penulis membatasi dan

memfokuskan kajian seputar penerapan Otonomi Daerah di Kota Depok dan

implikasinya terhadap kemajuan pembangunan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

a.Untuk mengetahui secara umum bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah

Depok

b.Untuk mengetahui sejauhmana Otonomi Daerah Depok berimplikasi

(22)

Sementara di sisi lain kegunaan penelitian ini diharapkan memberikan

kontribusi positif, baik secara akademis maupun non akademis. Selain itu sebagai

syarat untuk memperoleh gelar S.I, dengan karya tulis ini juga penulis berharap

semoga dapat bermanfaat bagi sarana menambah pengetahuan dalam mempelajari

Otonomi Daerah. Karya tulis ini penulis harapkan juga bermanfaat bagi jurusan

Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin & Filsafat tempat dimana penulis

menimba ilmu.

D. Metode Penelitian

Adapun metode yang akan digunakan penulis adalah Library Research (studi

pustaka) dengan berusaha mencari dan mengumpulkan data-data di perpustakaan

yang sesuai dengan pembahasan. Selain itu juga penulis akan menggunakan

media-media seperti; surat kabar, majalah, bulletin dan sumber lainnya yang berkaitan

dengan pembahasan sebagai bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan.

Adapun analisa yang akan penulis gunakan dalam karya tulis ini

menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu suatu pendekatan dengan

mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang berkaitan dengan tema dimaksud

serta menganalisanya. Sehingga data yang ada/yang diperoleh baik melalui peraturan

daerah maupun referensi lain, agar diperoleh suatu jawaban yang pasti tentang hal

(23)

Untuk aturan penulisan, penulis berlandaskan pada Buku Pedoman Akademik

FUF Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarts

Press Tahun 2005/2006

E. Sistematika Penulisan

Dalam hal sistematika penulisan , penulis membagi pembahasan menjadi lima

bab, yang disusun sebagai berikut :

Bab I adalah Pendahuluan, yang berisikan : Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode

Penelitian dan Teknik Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

Bab II adalah Gambaran Umum Tentang Kota Depok, yang meliputi : Sejarah

Singkat Tentang Kota Depok, Letak Geografis Kota Depok, Terbentuknya Depok

Sebagai Kota Administratif, Terbentuknya Depok Sebagai Kotamadya.

Bab III adalah Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah di Indonesia, yang

meliputi : Konsep Otonomi Daerah, Dasar Penerapannya, dan Dinamika Pelaksanaan

Otonomi Daerah di Indonesia.

BAB IV adalah Impliksi Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Depok, yang

meliputi : Manajemen Pemerintahan, Kemasyarakatan, Ekonomi, Politik,

(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA DEPOK

A. Sejarah Singkat Tentang Kota Depok

Kota Depok tempo dulu tak lebih sebuah dusun terpencil di tengah hutan

belantara. Baru pada 18 Mei 1696 ketika seorang pejabat tinggi VOC bernama

Cornelis Chasteelien membeli areal tanah seluas 1.244 hektar (Depok dan sedikit

wilayah Batavia Selatan), wajah Depok perlahan berubah menjadi sebuah wilayah

yang bukan saja layak huni namun juga berubah menjadi sebuah Kota baru yang

dilihat dari segi pembangunan tergolong mengalami kemajuan. Melihat Depok

dengan wajahnya sekarang tentu sangat jauh berbeda dengan keadaannya tempo yang

dijuluki tempat jin buang anak.

Tahun 1871 pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk

pemerintahan keresidenan sendiri dan diakui hingga 1942. Saat itu Depok diperintah

oleh seorang Presiden (sic) (Cornelis Chasteelien) sebagai Badan Pemerintahan

Tertinggi. Di bawahnya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan

dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Komutir atau Menteri Lumbung.10 Dari

sinilah kemudian Cornelis disebut-sebut sebagai cikal-bakal Kota Depok. Lebih jauh

bagaimana cerita sejarah tentang Kota Depok secara sekilas dapat kita lihat dari

penjelasan berikut :

10

(25)

“…Maka hoetan jang laen disabelah timoer soengei karoekoet sampai pada soengei besar, anak koe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanja boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan teoroen-temoeroennja tijada sekali-kali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe…dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja…”.11

Penggalan kalimat di atas (dengan ejaan Van Ophuijsen) merupakan hasil

terjemahan Bahasa Belanda Kuno yang diambil dari isi Surat wasiat Cornelis

Chastelein kepada anaknya Anthony Chastelein tertanggal 14 Maret 1714.

Cornelis Chastelein adalah seorang Tuan tanah eks pegawai (pejabat) VOC

(Verenigde Oost – indische Companigne). Sebagai anak bungsu, Cornelis mengikuti

jejak ayahnya bekerja di VOC. Kedatangannya ke tanah Batavia (sekarang Jakarta)

menumpang kapal uap yang saat itu memakan waktu kurang lebih tujuh bulan dengan

melaui Tanjung Harapan, ujung selatan Benua Afrika.

Saat dirinya aktif sebagai pegawai VOC, karier Cornelis ternyata cepat

menanjak, makanya tak heran jika kemudian ia dipercaya menjadi anggota Real

Ordinair atau Pejabat Pengadilan di VOC. Namun, kemudian ia pun lebih memilih

hengkang dari VOC lantaran melihat pratek-praktek kecurangan dan kebobrokan

ditubuh VOC. Dekadensi moral serta korupsi disegala bidang lapisan pihak-pihak

Kompeni Belanda bertentangan dengan hati nurani penginjil ini. Sebagai agamawan

panatik Cornelis tidak senang melihat dan menghadapi keadaan tersebut, maka ia

tetap bersikukuh untuk keluar dari VOC. Saat itu Gubernur Jendral VOC dipindah

tugaskan dari J. Champhuys ketangan Willem Van Outhorn, tiga bulan sebelum

Cornelis resmi mengundurkan diri.

11

(26)

Cornelis Chastelein disebut-sebut sebagai penganut poligami, sedikitnya dua

gadis pribumi dinikahi selain Chatarina Van Vaalberg. Meskipun tidak ada catatan

mengenai siapa kedua perempuan tersebut, akan tetapi tercatat nama anak-anak

Chastelein dari hasil perkawinannya tersebut, yaitu Maria Chastelein yang diakuinya

sebagai anak dihadapan notaries, dan seorang lagi bernama Chatarina Van Batavia.12

Akhir abad 17 atau tepatnya pada tanggal 18 Mei 1696, Chastelein membeli

beberapa bidang tanah di Batavia dan sekitarnya (Sic). Disebut-sebut daerah seperti

Jatinegara, Kampung Melayu, Pejambon, Mampang dan Depok menjadi hak milik

Chastelein. Depok sendiri dibelinya seharga 700 ringgit dengan status tanah partikelir

atau swasta yang lepas dari kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda. Daerah otonomi

Chastelein itu kemudian dikenal dengan sebutan Het Gemeente Bestuur Van Het

particuliere Land Depok.13

Sebagai seorang meneer (Tuan tanah) saat itu ia menguasai tanah seluas 1.244

hektar, ini setara dengan kira-kira enam wilayah kecamatan pada zaman sekarang.

Untuk menggarap wilayahnya tersebut, Chastelein kemudian mendatangkan para

pekerja dari banyak wilayah, tercatat daerah Bali, Makasar, NTT, Maluku, Ternate,

kei, Jawa, Batavia (Betawi), Pulau Rote, dan Filipina adalah wilayah-wilayah asal

para pekerja tersebut. Semua berjumlah 120 orang (sumber lainnya menyebutkan 150

orang).

12

Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), h. 16

13

(27)

Latarbelakangnya yang dikenal sebagai penganut Protestan yang taat, atas

permintaan ayahnya ia menyebarkan agama Kristen kepada para pekerjanya

(budaknya). Chastelein membagi para pekerjanya menjadi 12 Fam (nama

keluarga/marga). Fam itu antara lain; Soedira, Leander, Laurens, Jonathans, Loen,

Tholense, Samuel, Joseph, Bacas, Jakob, Isakh, dan Zadokh. Untuk Fam yang

disebutkan terakhir yaitu Fam Zadokh kini sudah tidak ada lagi. Hilangnya Fam ini

disinyalir keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki yang mewarisi nama Fam

Zadokh.

Status Cornelis sebagai penguasa tanah partikelir memungkinnya mengatur

pemerintahan sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah Belanda. Tak heran

jika kemudian para pekerjanya saat itu mendapat hak yang sama dengan warga

Belanda, termasuk dalam bidang pendidikan. Untuk menggerakkan roda

pemerintahannya Chastelein memberlakukan sistem cukai kepada warganya, yang

tidak lain adalah para pekerjanya. Besarnya cukai yang diterapkan Chastelein adalah

20% dari hasil panen para pekerjannya.

Pada tanggal 28 Juni 1714, Cornelis Chastelein tutup usia. Namun sebelum

itu, tepatnya tanggal 13 Maret 1714 ia sempat menulis surat wasiat yang di dalamnya

antara lain berisi dan menjelaskan bahwa ia menghapus status budak para pekerjanya

dan memerdekakan mereka. Bukan hanya itu, setiap keluarga berhak mendapatkan 16

ringgit. Hartanya 300 kerbau, dua perangkat gamelan berlapis emas, 60 tombak

perak, juga dihibahkan Chastelein kepada para eks pekerjanya. Ia pun mewariskan

(28)

Tahun 1715 Anthony, putra Cornelis Chastelein meninggal. Pada 1871

pemerintah Hindia Belanda memutuskan Depok menjadi wilayah otonomi sendiri.

Pada tanggal 4 Agustus 1952 pemerintah Indonesia mengambil alih tanah partikelir

yang dikuasai 12 Fam dan keluarga Chastelein setelah adanya perjanjian pelepasan

hak dengan pimpinan Gemeente Bestuur Depok. Pemerintah Indonesia memberikan

ganti rugi sebesar Rp. 229.261,26. Peralihan hak milik tanah partikelir tersebut

ketangan pemerintah Indonesia menjadi tanda berakhirnya perjalanan keluarga

Chastelein.14 Kendati demikian nama Chastelein dan sejarah hidupnya disebut-sebut

terkait dan merupakan cikal-bakal dari lahirnya Kota Depok.15

Perkembangan pesat Kota Depok mulai tampak pada tahun 1976. Sebagai

daerah penyangga Jakarta, lahan-lahan Depok mulai dibangun perumahan dan

berkembang terus yang pada akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah Pusat membentuk

Depok menjadi Kota Administratif (Kotif). Tanggal 18 Maret 1982 Depok resmi

menjadi Kotif yang saat itu diresmikan oleh Mentri Dalam Negeri Bapak H. Amir

Machmud. Depok pun semakin menggeliat setelah statusnya kembali berubah yang

tadinya Kotif (Kota Administratif) menjadi Kotamadya (Kota) sesuai dengan UU

No.15 tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok.

Bagaimana terbentuknya Depok menjadi Kotif dan Kodya akan dapat kita lihat pada

pembahasan selanjutnya.

14

Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), h. 20

15

(29)

B. Letak Geografis Kota Depok

Secara geografis Depok terletak pada koordinat 6 19’00’’ Lintang Selatan

dan 106 43’00’’ - 106 55’30’’ Bujur Timur. Bentang alam Depok dari Selatan ke

Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan

elevasi antara 50-140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang

dari 15 persen. Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat,

mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 Km2 (sumber lain menyatakan 207.006

Km2).16

Berdasarkan letak geografis, Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan

satu Propinsi. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat (sekarang

Kecamatan Pamulang) Kabupaten Tangerang dan masuk wilayah Daerah Khusus

Ibukota Jakarta. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede - Kota

Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri - Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan berbatasan

dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede - Kabupaten Bogor.

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur,

Kabupaten Bogor.17 Ibukota Kota Depok sebagai pusat pemerintahan, berkedudukan

di Kecamatan Pancoran Mas.

Tahun 2002 Kota Depok yang terdiri dari 6 Kecamatan dan 63 Kelurahan

memiliki 779 RW dan 3.909 RT. Hampir sebagian besar kelurahan di Kota Depok

16Kota Depok Dalam Angka 2002,

(Depok : BPS-Depok, 2003), h. vi

17

(30)

sudah terklasifikasi sebagai Swasembada, yakni 53 kelurahan dan 10 kelurahan dalam

klasifikasi Swakarya.

Secara tofografis Kota Depok merupakan dataran landai dengan rata-rata

ketinggian 121 meter dari permukaan laut dan merupakan daerah resapan air bagi

DKI Jakarta. Ini tentu saja dalam penataan pembangunannya perlu dikendalikan dan

direncanakan, sehingga tidak mengancam ketersediaan air bagi DKI Jakarta.

Disamping itu, kondisi tanah wilayah Kota Depok terdiri dari tanah darat dan tanah

persawahan dimana sebagian besar tanah darat yang ada oleh Pemda sekarang

dijadikan areal pemukiman. Secara rinci penggunaan lahan Depok adalah sebagai

berikut : Pemukiman ± 10.968 hektar, Pertanian ± 4.653 hektar, Industri ± 344 hektar,

Rawa/Setu ± 91 hektar, dan lain-lain ± 3.973 hektar.18

Dari segi sosial kependudukan, perkembangan Kota Depok diikuti pula

dengan peningkatan jumlah penduduk yang cepat. Pada tahun 1990 Kota

Administratif Depok berpenduduk 271.134 jiwa dan pada tahun 2000 menjadi

1.143.403 jiwa, tahun 2001 1.204.687 jiwa dan meningkat lagi pada tahun 2002

menjadi 1.247.233 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 3,53 persen per tahun.

Dimana jumlah penduduk laki-laki sekitar 630.935 jiwa dan jumlah penduduk

perempuan sekitar 616.298 jiwa dengan rasio jenis kelamin 102. Penduduk berumur

10 tahun keatas yang bekerja di Kota Depok sebesar 498.893 jiwa sedangkan yang

mencari pekerjaan sebesar 109.258 jiwa.19

18

Eman Sutriadi dkk, Profil Penyelenggara Kota Depok Jawa Barat – Indonesia, (Depok : Yayasan Bakti Insan Persada, 2004), h. xiv

19Kota Depok Dalam Angka 2002,

(31)

Tahun 2002/2003 di Kota Depok terdapat sebanyak 328 SD, dengan jumlah

murid 119.372 orang dan jumlah guru sekitar 4.109 orang. SLTP berjumlah 125

sekolah dengan jumlah murid 40.423 orang dan jumlah guru 2.040 orang. Ditingkat

SLTA terdapat 96 Sekolah dengan jumlah murid dan guru masing-masing 33.656

orang dan 1.345 orang. Masih pada tahun yang sama, di Kota Depok terdapat 7

Rumah Sakit, 26 Puskesmas, 4 Puskesmas Pembantu. Jumlah dokter praktek sekitar

165 orang dengan rincian 113 dokter umum, 23 dokter gigi, 29 dokter spesialis.

Sementara dalam hal sarana ibadah, di kota Depok terdapat 502 masjid, 196 langgar,

833 musholla, 130 gereja, 5 vihara dan 8 pura.20

Secara goegrafis Depok pada dasarnya berpotensi untuk meju, mengingat

posisinya yang berbatasan langsung dengan pusat pereknomian nasional sekaligus

Ibukota Negara yaitu DKI Jakarta. Letaknya yang strategis tersebut menempatkan

Depok sebagai pintu gerbang (pintu gerbang antara DKI dan Jawa Barat) bagi warga

Jakarta yang ingin ke wilayah Jawa Barat ataupun sebaliknya melalui jalur selatan.

Namun keunggulan ini tidak akan berarti apa-apa bila pemerintah Kota Depok tidak

mampu memanfaatkan secara maksimal.21

Selain itu Depok yang tergolong wilayah termuda di Jawa Barat memiliki

potensi yang dapat dijadikan modal untuk pembangunan yang mengarah pada

perbaikan/kemajuan. Sektor-sektor seperti pertanian, industri, perdagangan,

perhubungan dan komunikasi, serta keuangan dan koperasi adalah aset penting bagi

20Kota Depok Dalam Angka, h. vii 21

(32)

Depok sebagai modal pembangunan, tinggal sejauhmana Depok dalam hal ini Pemda

dapat mengelola dengan baik sehingga bisa menjadi salah satu sumber bagi PAD

(Pendapatan Asli Daerah) yang nantinya bermanfaat bagi pembangunan daerah.

Kedudukan Depok yang strategis tidak menutup kemungkinan menjadi daya tarik

bagi para investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan modalnya di Depok,

yang bila dilihat dari sektor ekonomi hal ini sangat menguntungkan. Ini artinya,

kemajuan atau pembangunan kearah yang lebih baik bukanlah sebuah hal yang

mustahil atau tidak mungkin bisa dicapai oleh Pemda Depok selaku pengelola daerah.

C. Terbentuknya Depok sebagai Kota Administratif

Dekade tahun 1970-an Depok masih berbentuk Kecamatan yang masuk

wilayah Kabupaten Bogor - Jawa Barat. Tahun 1976, permukiman warga mulai

dibangun dan berkembang. Pemerintah Propinsi Jawa Barat selaku Pemda yang

membawahi Kecamatan Depok tentu mengawasi apa yang terjadi di Depok.

Sejalan dengan perkembangan pemukiman yang terjadi di daerah Depok,

Propinsi Jawa Barat (Pemda) kemudian mengajukan usulan peningkatan Kecamatan

Depok menjadi Kota Administratif Depok. Bak gayung bersambut, Pemerintah Pusat

terinspirasi untuk menjadikan Depok sebagai daerah hinterland atau daerah

pendukung dan penyangga Ibukota Jakarta. Saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan

Intruksi No. 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Terpadu yang meliputi

Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang disingkat Jabotabek.22

22

(33)

Usulan menjadikan Depok sebuah Kota Administratif akhirnya terwujud

setelah pemerintah mengeluarkan PP No. 41 Tahun 1981 tentang Pembentukan Kota

Administratif.23 Tanggal 18 Maret 1982 peresmian perubahan status itupun dilakukan

oleh Menteri Dalam Negeri yang saat itu dijabat Amir Machmud.

Depok sejak saat itu resmi menjadi wilayah Administratif yang membawahi

tiga Kecamatan dengan luas areal 6.794 hektar. Ketiga Kecamatan itu antara lain ;

Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sukmajaya. Wilayah itu

kemudian ditambah dengan empat desa dari Kecamatan Cimanggis, dan dua desa dari

Kecamatan Cibinong.

Bila dispesipikasi ketiga Kecamatan tersebut terbagi dua puluh desa, dengan

pembagian sebagai berikut :

1. Kecamatan Pancoran Mas, meliputi :

a. Desa Depok

b. Desa Depok Jaya

c. Desa Pancoran Mas

d. Desa Mampang

e. Desa Rangkapan Jaya

f. Desa Rangkapan Jaya Baru

2. Kecamatan Sukmajaya, meliputi :

a. Desa Abadijaya

b. Desa Mekarjaya

23

(34)

c. Desa Baktijaya

d. Desa Sukmajaya

e. Desa Sukamaju

f. Desa Cisalak

g. Desa Kelurahan Kalibaru

h. Desa Kalimulya

i. Desa Jatimulya

j. Desa Kelurahan Cibinong

3. Kecamatan Beji, meliputi :

a. Desa Beji

b. Desa Beji Timur

c. Desa Kemirimuka

d. Desa Pondok Cina

e. Desa Kukusan

f. Desa Tanah Baru

Secara Administratif Depok berbatasan dengan :

1. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Jagakarsa Propinsi

DKI Jakarta

2. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede

Kabupaten Bogor

3. Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Sawangan Kabupaten

(35)

4. Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Cimanggis

Kabupaten Bogor.24

Depok menjadi wilayah Administratif selama tujuh belas tahun. Dalam kurun

waktu yang cukup panjang itu, Depok mengalami enam kali pergantian walikota,

adalah sebagai berikut:

1. Drs. Moch. Rukasah Suradimadja (1982-1984)

2. Drs. H. M. I. Tamdjid (1984-1988)

3. Drs. H. Abdul Wachyan (1988-1991)

4. Drs. H. Moch. Masduki (1991-1992)

5. Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996)

6. Drs. H Badrul Kamal (1997-1999)

Dilihat dari priodesasi kepemimpinan di atas mengisyaratkan begitu

demokratisnya kehidupan politik di Depok saat itu. Ini bisa dilihat dari tidak adanya

pemimpin (walikota) yang menjabat dalam tempo yang sangat lama atau menjadi

penguasa tunggal, hal yang berbeda terbalik bila kita lihat pada tataran politik

nasional dimana Soeharto menjadi penguasa selama 32 tahun.

Selama tujuh belas tahun keenam walikota tersebut mengawal dan

mengupayakan pembangunan bagi Depok dengan segala keterbatasannya, mengingat

posisinya yang masih di bawah bayang-bayang Kabupaten Bogor. Ketergantungan

Depok terhadap kebijakan yang datangnya dari atas dalam hal ini Kabupaten Bogor

24

(36)

sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi telah menyulitkan

Depok untuk berkembang. Ditambah lagi lemahnya perhatian Pemerintah Kabupaten

mengingat Depok terlalu jauh dari pusat pemerintahan kota Bogor. Belum lagi

ditambah adanya kewajiban menyetor uang kepada Pemerintah Kabupaten dan

Propinsi yang pemanfaatannya tergantung kepada kebijakan keduanya, semakin

membuat Depok tak berkutik. Bayangkan bila PAD Depok yang hanya sebesar Rp.

11,4 miliar saat itu masih harus berbagi dengan Kabupaten Bogor dan

penggunaannya masih diatur oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Ini jelas

menggambarkan bahwa pertumbuhan Depok sangat tergantung pada kebijakan

Pemerintah Kabupaten Bogor.25

D. Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya

Terbentuknya Depok menjadi Kota seperti sekarang ini pada dasarnya tidak

terlepas dari pesatnya perkembangan dan tuntutan masyarakatnya yang mendesak

agar Depok menjadi sebuah Kotamadya. Disisi lain Pemda Bogor bersama Pemda

Propinsi Jawa Barat juga memperhatikan perkembangan tersebut yang kemudian

mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Kemudian dengan memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang

dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bogor Nomor 135/SK,DPRD/03/1994

25

(37)

tepatnya 16 Mei 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat

II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep,

Dewan DPRD.06/DPRD/1997 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah

Tingkat II Depok, maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah Administratif

baru ditetapkan berdasarkan UU No. 15 Tahun 1999, tentang Pembentukan

Kotamadya Daerah Tingkat II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999.26

Pada tanggal 27 April akhirnya Depok resmi menjadi Kotamadya yang proses

peresmiannya berbarengan dengan pelantikan Drs. H. Badrul Kamal sebagai Pejabat

Wali Kota Madya Daerah Tingkat II Depok yang pertama, pada waktu itu beliau

menjabat Walikota Administratif Depok.

Akibat statusnya yang berubah, wilayah Depok diperluas ke Kabupaten Bogor

lainnya. Depok yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga Kecamatan, yaitu;

Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sukmajaya. Kemudian

diperluas (dimekarkan) menjadi enam Kecamatan, dimana wilayah Kecamatan Limo,

Kecamatan Cimanggis, dan Kecamatan Sawangan masuk kewilayah Kotamadya

Depok. Ditambah beberapa desa yang masuk wilayah Kecamatan Bojong Gede

diantaranya ; Desa Bojong Pondok Terong, Ratujaya, Pondok Jaya, Cipayung, dan

Cipayung Jaya. Dengan demikian, setelah statusnya berubah menjadi Kotamadya,

wilayah Depok terdiri dari enam Kecamatan, enam puluh tiga Kelurahan, 772 RW,

26

(38)

3.850 RT serta 218.095 Rumah Tangga, dengan luas wilayah sekitar 207.006 Km2.27

Dari pejelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perubahan status yang

terjadi pada Kota Depok melalui jalan yang panjang. Proses yang terjadi pun

menuntut kesabaran dan penantian yang tidak sebentar. Banyak energi yang terkuras

disini, mungkin karena itu pulalah Depok semakin mematangkan diri dalam

menghadapi perubahan status Kota yang tadinya Kotif menjadi Kotamadya (Kota).

Proses politiknya yang terbilang berbelit-belit kemungkinan disebabkan oleh

proses birokrasi yang berlaku di Indonesia. Banyaknya tahapan yang mesti dilalui

menyebabkan proses perubahan itupun menjadi lama. Maka tak heran bila kemudian

Badrul Kamal selaku walikota Administratif Depok saat itu bersama tokoh

masyarakat yang ada harus berpeluh keringat menggapainya. Badrul pun kemudian

aktif melobi Gubernur Jawa Barat dan Pemda Bogor serta DPRD Bogor, sementara

para tokoh berusaha meyakinkan DPR dan eksekitif (pemerintah). Akhirnya

perjuangan pun mendapatkan hasil maksimal setelah Mendagri Syarwan Hamid

menetapkan peningkatan status Depok bersama sejumlah daerah lainnya. Pengesahan

Depok menjadi Kotamadya yang kemudian disebut Kota dilaksanakan di Plaza

Departemen Dalam Negeri pada tanggal 27 April 1999.28

Kemudian berdasarkan UU No. 15 tahun 1999 wilayah Kota Depok meliputi

wilayah Administratif Depok yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya

ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, yaitu :

27

Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa, h. 9

28

(39)

1. Kecamatan Cimanggis, meliputi :

a. Kelurahan Cilangkap

b. Desa Pasir Gunung Selatan

c. Desa Tugu

d. Desa Mekarsari

e. Desa Cisalak Pasar

f. Desa Curug

g. Desa Hajarmukti

h. Desa Sukatani

i. Desa Sukamaju Baru

j. Desa Jatijajar

k. Desa Tapos

l. Desa Cimpaeun

m. Desa Luwinanggung

2. Kecamatan Sawangan, meliputi :

a. Desa Sawangan

b. Desa Sawangan Baru

c. Desa Cinangka

d. Desa Kedaung

e. Desa Serua

f. Desa Pondok Petir

(40)

h. Desa Bojongsari

i. Desa Bojongsari Baru

j. Desa Duren Seribu

k. Desa Duren Mekar

l. Desa Pengasinan

m. Desa Bedahan

n. Desa Pasir Putih

3. Kecamatan Limo, meliputi :

a. Desa Limo

b. Desa Meruyung

c. Desa Cinere

d. Desa Gandul

e. Desa Pangkalan Jati

f. Desa Pangkalan Jati Baru

g. Desa Kerukut

h. Desa Grogol

Selain mendapatkan tambahan tiga Kecamatan seperti yang telah disebutkan

di atas, Depok mendapatkan tambahan lima desa yang semula masuk wilayah

Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Lima desa tersebut adalah Cipayung

(41)

kedalam wilayah Kecamatan Pancoran Mas. Kini, setelah lima tahun lebih berjalan,

status desa tersebut meningkat menjadi kelurahan.29

Dari penjelasan di atas jelaslah kiranya bahwa terbentuknya Kota Depok tidak

lepas dari kebijakan yang sifatnya skala nasional. Dimana pada saat yang bersamaan

dan sesudahnya (tahun-tahun berikutnya) hampir semua daerah menuntut

diberlakukannya hak otonom di daerah mereka.

Sebagai sebuah kesimpulan sementara dapat penulis nyatakan bahwa

perubahan status Depok dari kedudukan sebagai kota administrative yang disingkat

Kotif menjadi kotamadya atau yang sering juga disebut kota, Depok menuju kepada

arah pembangunan yang positif. Sebagai buktinya dapat kita lihat bagaimana

pembangunan di sepanjang jalan margonda.

29

(42)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

A. Konsep Otonomi Daerah

Ketika bola reformasi bergulir dan ketika sistem politik Negara berubah

secara mendasar serta dalam rangka menghadapi tuntutan globalisasi yang syarat

akan berbagai perubahan, tidak ada cara lain bagi pemerintah daerah untuk tetap

survive, eksis pada abad 21 ini. Selain harus berbenah diri mereka juga (Pemda) harus

akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan. Daerah harus mampu

menyerasikan gerak langkah organisasi Pemda dengan tuntutan organisasi dan

manajemen masa depan.

Tuntutan reformasi yang diusung oleh masyarakat dimana mahasiswa berada

pada barisan terdepan menuntut dilakukannya reformasi total sebagai koreksi

terhadap berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan masa Orde Baru.

Isu-isu demokratisasi pemerintahan ternyata bukan hanya mampu melengserkan

rezim Soeharto namun juga berimbas pada terbukanya “Kran Air” yang selama ini

tersumbat atau bahkan sengaja disumbat.

Kebebasan berpendapat dan beraspirasi seakan-akan tak mau lagi dikekang,

sehingga terkesan reformasi telah “menetaskan benih-benih kebablasan” mengingat

begitu pariatifnya masyarakat memaknai arti reformasi dan kebebasan itu sendiri.

Terlepas dari fenomena sejarah tersebut, bergulirnya era reformasi yang

(43)

pandang para aparatur pemerintahan kita akan bagaimana jalannya pemerintahan

selama ini. Terutama hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang selama

ini bersifat sentralistik.

Gagasan Otonomi pun semakin mendapat perhatian dan menjadi bahasan

yang cukup menyita perhatian. Hal ini semakin diperkuat dengan banyaknya tuntutan

yang datangnya dari daerah yang menginginkan wilayahnya mendapat hak otonom.

Bergesernya sistem sentralistik menjadi desentralisasi disebut-sebut sebagai arus

balik kekuasaan pusat ke daerah.30

Dalam Kamus Ilmiah Populer kata “Otonom” berarti “badan” (Daerah) yang

mendapat hak otonomi. Sementara “Otonomi” sendiri mengandung arti mengurus diri

(rumah tangga) sendiri ; pelaksanaan pemerintahan sendiri.31

Dalam literature Belanda “Otonomi” searti dengan Zelfregering yang berarti

pemerintahan sendiri, yang oleh Van Vollenhoven dibagi menjadi Zelfwetgeving

(membuat undang-undang sendiri), Zelfuitvoering (melaksanakan sendiri),

Zelfrechtspraak (mengadili sendiri), dan Zelfpolitie (memerintah sendiri).

Otonomi atau Autonomy berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu;

autos” yang berarti “sendiri/self” dan “nomous” yang berarti “hukum atau

peraturan” yag berarti : memberi aturan sendiri pemerintahan sendiri; atau hak untuk

30

S. H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Dearah, (Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999), h. 2

31

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 1994)

3

(44)

memerintah sendiri.32 Secara etimologi otonomi adalah kemampuan untuk membuat

keputusan sendiri tentang apa yang hendak dilakukan terlepas dari pengaruh orang

lain, atau mengungkapkan apa yang ingin diperbuat.33

Secara terminology, otonomi berarti : perasaan bebas;34 sering pula digunakan

untuk menyebut; hak untuk menentukan sendiri dalam kebebasan moral dan

pemikiran religius; atau hak memerintah sendiri (Self Government) bagian dari suatu

kota, negara atau bangsa.35

Dalam konteks pendidikan, otonomi dapat diartikan ; hak untuk mengatur dan

mengelola sendiri secara bebas dan bertanggungjawab akan manajemen pendidikan

yang dilaksanakan.

Sementara itu dalam konteks otonomi daerah, otonomi yaitu memberikan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara

proporsional, yang diwujudkan dengan Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan

Sumber Daya Nasional serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai

dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan

serta potensi dan keaneka ragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka

NKRI.36 Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, Otonomi Daerah berarti

self government atau condition of living under one’s own lows. Artinya Otonomi

4

Baca John Sinclair (Ed), Collins COBUIL English Language Dictionary, Cet. 6, (London : Collins, 1990), h. 85

34

Baca Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 2, Terj. Tim Redaksi, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 16

35

Reece, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 16

36

(45)

Daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self

government yang diatur dan diurus oleh own laws.37 Dapat diartikan juga bahwa

Otonomi Daerah adalah “Hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku”. Sedangkan Daerah Otonom adalah “Kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI (Negara

Kesatuan Republik Indonesia) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.38

Berangkat dari pemahaman di atas, maka pada hakekatnya otonomi daerah

adalah:

1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah

2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus rumah tangga sendiri,

daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar

batas-batas wilayahnya

3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah

tangga daerah lain

4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain baik secara vertikal

maupun horizontal karena daerah memiliki actual independence39

37

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan, h. 33

38

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan, h. 27

39Actual Independence

(46)

Adapun maksud dan tujuan otonomi daerah sebagai salah satu bentuk

desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan

bangsa secara keseluruhan. melalui pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian

tugas atau wewenang oleh pusat ke daerah diharapkan upaya pemerintah

mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, lebih adil dan lebih makmur akan

mudah terealisasikan. Dalam konteks ke Indonesiaan maksud dan tujuan pemberian

otonomi daerah secara tegas telah digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada

pembangunan. Pembangunan disini maksudnya pembangunan dalam arti luas yang

meliputi segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dari sinilah muncul semacam

kewajiban bagi daerah untuk ikut melancarkan pembangunan sebagai sarana bagi

tercapainya kesejahteraan rakyat, yang diterima dan dilaksanakan dengan penuh

tanggung jawab

Tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidak-tidaknya meliputi empat

aspek sebagai berikut ; aspek politik, aspek manajemen pemerintahan, aspek

kemasyarakatan, dan aspek ekonomi pembangunan.40

Aspek politik maksudnya untuk mengikutsertakan, menyalurkan aspirasi dan

inspirasi masyarakat di lapisan bawah baik untuk kepentingan daerah maupun untuk

kepentingan nasional dalam rangka proses pembangunan demokratisasi. Aspek

manajemen pemerintahan maksudnya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

penyelenggaraan pemerintahan, terlebih pada pemberian pelayanan terhadap

masyarakat yang salah satu upayanya dengan memperluas jenis-jenis pelayanan di

40

(47)

berbagai bidang kebutuhan masyarakat. Aspek kemasyarakatan maksudnya, untuk

meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat di daerah

sehingga tidak terlalu bergantung pada pemberian pemerintah (pusat). Salah satu cara

yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan pemberdayaan (empowerment) pada

masyarakat. Aspek ekonomi pembangunan maksudnya, untuk melancarkan

pelaksanaan program pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, daerah mempunyai hak-hak berupa

mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya (pemerintahannya), memilih

pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, mengatur

pajak daerah dan retribusi daerah, mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerahnya, mendapatkan

sumber-sumber pendapatan yang berada di daerah, dan mendapatkan hak-hak lainnya yang

diatur dalam perundang-undangan.41

Adapun kewajiban-kewajiban daerah yang berkaitan dengan penyelenggaraan

otonomi meliputi ; melindungi masyarakat, menjaga persatuan-kesatuan dan

kerukunan nasional serta keutuhan NKRI; meningkatkan kualitas hidup masyarakat;

mengembangkan kehidupan demokrasi; mewujudkan keadilan dan pemerataan;

meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; menyediakan fasilitas pelayanan

kesehatan; menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

mengembangkan sistem jaminan sosial; menyusun perencanaan dan tata ruang

41

(48)

daerah; mengembangkan sumber produktif daerah; melestarikan lingkungan hidup;

mengelola administrasi kependudukan; melestarikan nilai-nilai sosial budaya;

menentukan dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

kewenangannya; kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Dalam menyelenggarakan pemerintahan di era otonomi daerah seperti

sekarang ini, pada prinsipnya berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan

Negara, yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas

kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas

akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas.42

Selain itu, kaitannya dengan lancarnya roda pemerintahan, dalam

penyelenggaraannya, pemerintah menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan

tugas perbantuan yang tentunya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku Asas desentralisasi adalah penyerahan kewenangan pemerintahan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom (kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat)

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pusat ke

daerah dalam hal ini kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu. Adapun asas tugas perbantuan adalah penugasan

dari pemerintah (Pusat) kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan provinsi

42

(49)

kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada

desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam menyelenggarakan pemerintahan

daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas perbantuan.

Otonomi daerah yang merupakan pemberian hak otonomi kepada daerah,

memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memperhatikan aspek

demokratis, keadilan, pemerataan, potensi, dan keanekaragaman daerah.

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan

bertanggung jawab.

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada

kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan

otonomi yang terbatas.

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara

sehingga tetap terjaga hubungan antara pusat dan daerah secara serasi dan

seimbang.

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian

daerah otonom sehingga tidak ada lagi wilayah administrasi di dalam

pemerintahan kabupaten atau kota.

f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan fungsi legislatif

(50)

g. Pelaksanaan otonomi daerah harus berdasarkan Kriteria eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan

antarsusunan pemerintah.43

B. Dasar Penerapannya

Otonomi daerah merupakan salah satu pilar penyelenggaraan demokrasi.

Formulasi kebijakan Otda yang mengacu pada prinsip-prinsip good and clean

governance, aspiratif, berkeadilan dan menghargai pluralisme merupakan instrument

penting bagi tujuan-tujua nasional untuk memajukan daerah, mensejahterakan

masyarakatnya, serta menguatkan integrasi nasional.

Meskipun banyak kekurangan disana-sini, kebijakan Otda pada era reformasi

sekarang ini yang dilaksanakan oleh pemerintah 5 tahun belakang pada prinsipnya

mengacu pada UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi

UU No.32 dan UU No.33 tahun 2004.

Menurut UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud

dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.44

Selaras dengan Peraturan Perundang-undangan di atas, terdapat pula Peraturan

Perundangan-undangan lainnya sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah, antara

lain sebagai berikut :

1. Pasal 18 UUD 1945

43

Wiyono dan Isworo, Kewarganegaraan, h. 22

44

(51)

Menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan di bagi atas

Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu

mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.

2. Pasal 18A UUD 1945

Menyatakan bahwa hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten dan Kota atau antara Provinsi dan

Kabupaten dan Kota, diatur undang-undang dengan memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah.

3. Pasal 18B UUD 1945

Menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang.45

4. UU No.8 tahun 2005

Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.3 tahun 2005

tentang Perubahan atas UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

menjadi Undang-undang

5. Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam

Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

45

(52)

Dari pemaparan di atas dapat kita nyatakan bahwa otonomi daerah merupakan

kemandirian daerah untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan

melaksanakan pembangunan di daerah

Kemandirian disini maksudnya adalah kemampuan daerah untuk mengelola

dan mengembangkan potensi, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya

manusia. Ini tentunya harus dilakukan secara optimal tanpa bergantung pada daerah

lain dalam kerangka NKRI. Oleh. Karena itu, pelaksanaan otonomi daerah hendaknya

mendorong dan memberdayakan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat,

menumbuhkan peranserta masyarakat dan kreatifitas masyarakat, dan

mengembangkan peran dan fungsi DPRD.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,

yaitu ; adanya kemampuan dibidang ekonomi yang cukup memadai, adanya sumber

daya manusia yang handal, memiliki sumber daya alam yang memadai, adanya

dukungan dibidang pertahanan dan keamanan daerah. Hal-hal ini penting untuk

diperhatikan karena sejatinya otonomi daerah memberikan kesempatan pada

daerah-daerah untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki sebagai kesinambungan

pembangunan nasional.

Otonomi bukan sekedar pelimpahan wewenang yang karenanya justru daerah

otonom menjadi terpuruk akibat kurang siapnya daerah lantaran aspek-aspek di atas

kurang diperhatikan

Disamping itu, kurang, siapnya mental pemerintah daerah dan masyarakatnya

(53)

secara keseluruhan akan memunculkan berbagai permasalahan yang justru malah

membebani masyarakat di daerah.

C. Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Kondisi pemerintahan daerah yang ada sekarang pada dasarnya terbentuk

melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Oleh sebab itu tidaklah bijak jika

kita meninggalkan aspek histories tersebut dalam kajian ini.

Mengutip pendapat Sarundjajang, paradigma pemerintahan daerah di

Indonesia selama ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Paradigma Pertama antara

kurun waktu tahun 1903-1922 ditandai dengan adanya pengakuan Pemerintahan

Daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Paradigma Kedua antara kurun

waktu tahun 1922-1942 Desentralisasi Versi Kolonial. Paradigma Ketiga antara

kurun waktu tahun 1942-1959, merupakan pase pencarian bentuk desentralisasi

menuju demokrasi. Paradigma Keempat antara kurun waktu tahun 1959-1974,

merupakan masa dimana terjadinya desentralisasi yang dipaksakan. Paradigma

Kelima – ORBA – ketika masa berlakunya UU No.15 Tahun 1974 tentang Otonomi

Terbatas dan kecenderungan Sentralistik dalam pelaksanaannya. Paradigma Keenam

Gambar

Tabel 1. Table Perkembangan APBD 2000-2006
Tabel 1. Table Perkembangan APBD 2000-2006

Referensi

Dokumen terkait

Maka daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri didalam membiayai kegiatan pemerintahanan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi

1 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

 Desentralisasi: penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem NKRI...  Daerah otonom

1) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi

Kewenangan Propinsi sesuai dengan kedudukannya sebagai daerah otonom meliputi penyelenggaraan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat Lintas Kabupaten/Kota dan

Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

Dari pendapat beberapa akhli dan kebijakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa otonomi daerah adalah wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengelola