• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Pengelolaan Wakaf di Mesir

BAB 3 AL-AZHAR ASY-SYARI<F DAN SUMBER

A. Dinamika Pengelolaan Wakaf di Mesir

W

akaf telah memainkan peranan yang penting dalam menggerakkan roda perekonomian dan memenuhi kebutuhan masyarakat Mesir. Hal ini karena wakaf dikelola secara profesional dan dikembangkan secara produktif. Perintis wakaf pertama kali di Mesir adalah seorang hakim di era Hisyam bin Abdul Malik, bernama Taubah bin Namir al-Had}rami yang menjadi hakim pada tahun 115 H. Ia mewakafkan tanahnya untuk dibangun bendungan dan manfaatnya dikembangkan secara produktif untuk kepentingan umat.1 Wakaf yang dirintis oleh Taubah ini perkembangannya sangat pesat, terutama pada masa kekuasaan Daulah Mamluk (1250-1517). Pada era kejayaan Mamluk, wakaf telah berkembang pesat dan dibarengi dengan pemanfaatannya yang sangat luas untuk menghidupi berbagai layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, penyediaan makanan dan air, serta digunakan untuk kuburan. Contoh utama wakaf di era Mamluk ini adalah Rumah Sakit yang dibangun

1 Abdul Aziz Muh}ammad As-Sanawi, al-Azhar, Ja>mi‘an wa Ja>mi‘atan, op.cit, hlm. 83.

oleh al-Mans}ur Qalawun yang mampu memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat Mesir selama beberapa abad.2

Kesuksesan ini dilanjutkan oleh Muh}ammad Ali Pasya, yang berusaha menertibkan harta wakaf dengan menjaga, mengawasi dan mengarahkan harta wakaf untuk kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf. Kemudian ia menerapkan sentralisasi sistem wakaf dengan membentuk “Diwa>n al-Auqa>f” pada tahun 1891 M yang berwenang mengatur dan mengurusi harta wakaf, serta membuat perencanaan untuk mengelola wakaf secara produktif. Perkembangan berikutnya, pada tanggal 20 Nopember 1913, Diwa>n al-Auqa>f berubah menjadi Departemen Wakaf, sehingga masalah wakaf di Mesir ditangani langsung oleh Kementerian Wakaf (Wiza>rah al-Auqa>f).3 Konsekuensinya, beberapa aset wakaf yang selama ini dikelola oleh naz}ir beralih dan dikuasai oleh negara. Namun tidak lama kemudian terjadi konflik antara Inggris yang saat itu menduduki Mesir dengan Khedive Ismail Pas}a yang berpangkal pada Kementerian Wakaf, karena Inggris mencoba memanfaatkan Kementerian Wakaf sebagai media bagi formulasi kebijakan-kebijakannya. Akhirnya Taufik Pas}a, pengganti Ismail Pas}a membubarkan Kementerian Wakaf, dan menggantinya dengan Kementerian Administrasi Umum yang bertanggung jawab secara langsung kepadanya.

Setelah Kementerian Wakaf dibubarkan, terjadi kontroversi mengenai siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol sistem wakaf di Mesir. Hal inilah yang mendorong upaya menghidupkan kembali Kementerian Wakaf. Pada masa pemerintahan Monarki Konstitusional (1923-1952), Raja Fuad menghidupkan kembali Kementerian Wakaf dalam pengaturan wakaf. Hal ini sesuai dengan pasal 153 Undang-undang Tahun 1923, yang memberikan otoritas kepada raja atas institusi keagamaan dan memberikan otoritas kepada Kementerian Wakaf untuk mengawasi para naz}ir. Kondisi ini juga diperkuat

2 Akramah Sa’id S}abri, al-Waqf al-Isla>mi, bain an-Naz}riyyah wa at-Tatbi>q, Amman: Da>r an-Nafa>is, 2008, hlm. 69.

3 Muh}ammad Abu> Zahrah, Muhad}ara>t fi al-Waqf, op.cit, hlm. 28-29.

dengan perintah yang dikeluarkan oleh Kabinet Kerajaan kepada Menteri Wakaf pada bulan Agustus 1948, yang menegaskan agar administrasi wakaf ditangani oleh Kementerian Wakaf dan kerajaan. Berdasarkan hal ini, wakaf beralih tangan dan selanjutnya pengaturan wakaf berada di bawah kendali kerajaan sejak saat itu sampai tahun 1949.

Di era ini terjadi polemik mengenai wakaf ahli antara kaum modernis dengan para penentangnya di Mesir. Kaum modernis berargumen bahwa wakaf ahli tidak mempunyai basis religius apa pun, dan selanjutnya dapat direformasi menurut tuntutan situasi modern. Garda depan dari sayap modernis adalah Muh}ammad Ali ‘Alluba Pas}a dari Partai Konstitusional Liberal, yang pernah satu periode menjabat dalam Kementerian Wakaf. Dalam suatu draf Undang-undang yang diajukan ke parlemen pada 1927, ‘Alluba Pas}a mengusulkan bahwa di masa depan wakaf ahli harus bersifat temporer dan maksimal 30 tahun.

Memang pada awalnya di Mesir banyak terdapat wakaf ahli dan wakaf khairi. Praktiknya, dalam wakaf ahli, wa>kif boleh mewakafkan kepada keluarganya, ia boleh menarik kembali harta yang ia wakafkan maupun mengubah peruntukannya, tetapi tidak boleh menarik wakaf bagi dirinya sendiri. Sedangkan dalam wakaf khairi, wa>kif mewakafkan hartanya untuk kepentingan kebaikan umum, ia tidak boleh menarik kembali dan tidak boleh mengubah peruntukannya.

Dalam polemik ini, kaum modernis menghadapi tantangan yang datang dari dua kelompok, yaitu ulama salaf dan bangsawan kerajaan. Salah satu di antara ulama yang tidak sependapat dengan kaum modernis adalah Syaikh Muh}ammad Bakhit, seorang ulama berpengaruh yang tinggal di Iskandariyah. Syaikh Bakhit menolak klaim bahwa wakaf ahli tidak mempunyai basis religius apa pun, sehingga berbahaya secara ekonomi. Dia menjelaskan betapa besarnya peran wakaf ahli dalam mengurangi kemiskinan, memajukan pendidikan dan layanan kesehatan. Bahkan apabila aset keluarga tidak diwakafkan maka akan banyak properti yang jatuh ke tangan

kreditur dari luar negeri atau menjadi rebutan oleh ahli warisnya. Kelompok yang pro wakaf ahli kemudian membentuk panitia Ad Hoc untuk perwakafan dan majelis agama guna mengajukan rancangan Undang-undang kepada Kementerian Wakaf agar mengakomodir wakaf ahli, namun usaha ini tidak berhasil.4

Upaya memodernisasi wakaf berhasil dengan terbitnya Undang-undang No. 48 Tahun 1946 tentang hukum wakaf yang meliputi terjadinya wakaf dan syarat-syarat wakaf. Ada dua hal penting dalam Undang-undang tersebut: pertama, batasan wakaf ahli untuk jangka waktu 60 tahun, sedangkan wakaf khairi dapat dipatenkan secara permanen. Kedua, Undang-undang No. 48 ini juga mengatur tentang sistem administrasi pengelolaan wakaf. Sebelum terbitnya Undang-undang No. 48 ini, banyak aset wakaf yang tidak terdata dan tidak diketahui peruntukannya, sehingga kondisi ini menyulitkan Kementerian Wakaf dalam memberdayakan harta wakaf. Oleh karena itu terbitnya Undang-undang ini menjadi solusi yang tepat dalam pendataan aset wakaf, ditunjang dengan terbitnya Peraturan Menteri Wakaf No. 19 Tahun 1946 yang merupakan petunjuk teknis pelaksanaan Undang-undang No. 48 Tahun 1946.

Dalam melakukan sosialisasi awal pelaksanaan Undang-undang No. 48 ini, Kementerian Wakaf melalui penyuluh wakaf menganjurkan kepada umat Islam di Mesir untuk mewakafkan hartanya untuk masjid, rumah sakit, sekolah, atau wakaf untuk kebaikan lainnya. Sedangkan untuk mengalihkan wakaf ahli menjadi wakaf khairi, Kementerian Wakaf menerapkan beberapa strategi: pertama, pemberlakuan jangka waktu 60 tahun untuk wakaf ahli. Kedua, Kementerian Wakaf memberikan wewenang kepada wa>kif untuk menentukan naz}ir yang memenuhi syarat mengelola harta wakafnya. Ketiga, jika naz}ir tidak ditemukan dalam kriteria kedua di atas, Kementerian Wakaf memperbolehkan kepada keturunan atau kerabat dari wa>kif untuk menjadi naz}ir. Keempat, jika masih belum ditemukan naz}ir yang memenuhi syarat, maka Menteri Wakaf boleh menunjuk siapa saja yang memenuhi syarat untuk menjadi naz}ir.

4 Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, op.cit, hlm. 33.

Posisi wakaf khairi semakin kuat dengan terbitnya Undang-undang No. 180 tahun 1952 tentang penghapusan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya. Itu artinya bahwa wakaf yang tidak digunakan untuk tujuan berderma (wakaf khairy) tidak diakui oleh pemerintah. Pengaruh Undang-undang ini sangat besar bagi perkembangan wakaf khairi, karena pengertian wakaf yang diakui oleh Undang-undang adalah wakaf dalam perspektif wakaf khairi dan mayoritas ulama Mesir ketika membicarakan wakaf selalu merujuk kepada wakaf khairi. Tidak ada lagi pembicaraan tentang wakaf ahli, kecuali ketika membahas aspek kesejarahan wakaf.

Kondisi ini dipertegas dengan terbitnya Undang-undang No. 247 tahun 1952 yang mengatur tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban pembelanjaan harta wakaf. Pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh naz}ir harus bertujuan untuk kebaikan dan mengutamakan kepentingan sosial. Artinya bahwa manfaat wakaf harus untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. Selain itu, Undang-undang No. 247 ini juga mengatur tentang bolehnya Kementerian Wakaf untuk menyalurkan hasil wakaf dengan persetujuan Majlis Tinggi Wakaf, baik sebagian atau semuanya apabila wa>kif tidak menentukan mauqu>f ‘alaihnya.5

Masa depan wakaf ahli semakin suram dengan lahirnya Reformasi Hukum Agraria, yang menetapkan bahwa semua wakaf yang tidak bertujuan untuk kepentingan umum dianggap tidak sah. Oleh karena itu, penghapusan wakaf ahli diklaim berdasarkan prinsip syari’ah, sebagaimana bisa dijumpai dalam aksi-aksi nyata di era Gamal Abdul Nasser. Ketika wakaf ahli dihapuskan, semuanya beralih dan berada dalam kekuasaan Kementerian Wakaf. Bahkan Menteri Wakaf memiliki keleluasaan dalam memanfaatkan hasil wakaf, tanpa harus mengikuti apa

5 Mali>h}ah Muh}ammad Razaq, At-Tat}awwur al-Mu’assasi li Qit}a>’ al-Awqa>f fi> al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah; Dira>sah H}a>lah Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah, Kuwait: Kementerian Wakaf Kuwait, 2006, hlm, 127-131.

yang telah diamanatkan oleh sang wa>kif. Ironisnya lagi, UU. No. 247 Tahun 1953 juga melucuti hak wa>kif untuk menunjuk secara khusus siapa yang pantas menjadi naz}ir bagi wakafnya. Selain tantangan yang dihadapi oleh wakaf ahli, wakaf pertanian pun mengalami hal yang serupa dengan ditetapkannya Undang-undang Agraria pada 18 Juli 1957. Menurut Undang-Undang-undang ini, seluruh wakaf ladang pertanian dialihkan kepada Komite Reformasi Agraria (Land Reform) yang akan didistribusikan menurut ketetapan reformasi agraria.

Setelah terbitnya beberapa Undang-undang yang menitikberatkan pada polemik wakaf khairi dan wakaf ahli, pemerintah Mesir menerbitkan Undang-undang yang lebih fokus pada penataan dan pemberdayaan wakaf di Mesir, di antaranya: pertama, Undang-undang No. 577 Tahun 1954 yang mengatur tentang pencabutan kepemilikan harta tidak bergerak (tanah, apartemen dan lain sebagainya), untuk manfaat dan kepentingan umum.

Kedua, Undang-undang No. 20 Tahun 1957 yang berisi tentang peraturan mengenai lembaga perekonomian wakaf. Di dalamnya juga dibahas tentang pelaksanaan yang berkenaan dengan penggantian tanah wakaf yang digunakan untuk pertanian.

Ketiga, Undang-undang No. 30 Tahun 1957 yang beberapa isinya merevisi dan meluruskan ketentuan hukum yang terdapat dalam UU. No. 247 Tahun 1953. Selain itu, Undang-undang No. 30 ini juga menyebutkan tentang ketentuan yang berkenaan dengan pendirian rumah sakit umum di kota Cairo yang dibiayai dari hasil wakaf.

Keempat, Undang-undang No. 152 Tahun 1957 yang mengatur tentang istibda>l (tukar guling) wakaf tanah pertanian yang digunakan untuk kemaslahatan umum. Undang-undang ini disyahkan guna memberi legitimasi nasionalisasi tanah-tanah wakaf pertanian berdasarkan reformasi tanah. Dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa lembaga perekonomian yang diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1957 mempunyai wewenang untuk mengembangkan hasil wakaf tanah pertanian dan meningkatkan perekonomian umat.

Kelima, Undang-undang No. 122 Tahun 1958 yang mengatur tentang perhatian Kementerian Wakaf terhadap pengelolaan tanah wakaf yang habis waktunya, sedangkan mauqu>f ‘alaihnya tinggal di luar negeri. Undang-undang ini kemudian disempurnakan lagi dengan terbitnya Undang-undang No. 02 Tahun 1960.

Keenam, Undang-undang No. 272 Tahun 1959 yang mengatur tentang pembatasan administrasi wakaf. Kemudian disusul dengan terbitnya Undang-undang No. 308 Tahun 1959 yang menyempurnakan Undang-undang No. 272, serta mengatur tentang struktur dan tata kerja Kementerian Wakaf.

Ketujuh, Undang-undang No. 55 Tahun 1960 yang mengatur tentang wakaf harta benda yang bersifat sementara. Kemudian disusul dengan terbitnya Undang-undang No. 264 Tahun 1960 yang mengatur tentang istibda>l wakaf pertanian yang digunakan untuk kepentingan umum.

Kedelapan, Undang-undang No. 44 Tahun 1962 yang mengatur tentang penyerahan dalam pengelolaan harta wakaf oleh Kementerian Wakaf kepada lembaga sosial, agar manfaatnya digunakan untuk kemaslah}atan umum. Undang-undang No. 44 ini diperkuat dengan terbitnya Undang-undang No. 61 Tahun 1963 yang menerangkan tentang kriteria lembaga sosial yang berhak untuk mengelola harta wakaf.

Kesembilan, Undang-undang No. 80 Tahun 1971 yang mengatur tentang pembentukan Badan Wakaf Mesir yang khusus menangani masalah wakaf dan pengembangannya, beserta struktur, tugas, tanggung jawab dan wewenangnya.

Dengan terbitnya beberapa perundang-undangan di atas, Kementerian Wakaf semakin kuat dan pemerintah juga berusaha menertibkan tanah wakaf dan harta wakaf lainnya dengan menjaga, mengawasi dan mengarahkan harta wakaf untuk kepentingan publik. Pemerintah kemudian menetapkan Perundang-undangan yang relevan dengan situasi dan kondisi, dengan tetap berlandaskan syari’ah. Pada tahun 1971 terbit Undang-undang No. 80 yang menjadi inspirasi dibentuknya suatu Badan Wakaf yang khusus menangani permasalahan

wakaf dan pengembangannya. Badan Wakaf yang dimaksud dalam UU. ini kemudian dibentuk secara resmi melalui SK Presiden Mesir pada tanggal 12 Sya’ban 1392 H (20 September 1972), yang bertanggung jawab dalam melakukan kerja sama dan memberdayakan wakaf, sesuai dengan amanat undang-undang dan program Kementerian Wakaf.

Tugas Badan Wakaf ini adalah mengkoordinir dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf, serta semua kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Selain itu, Badan Wakaf ini juga berhak menguasai pengelolaan wakaf dan memiliki wewenang untuk membelanjakan wakaf dengan sebaik-baiknya, di mana pengembangannya sesuai dengan Undang-undang No. 80 Tahun 1971. Selanjutnya, badan ini mempunyai wewenang untuk membuat perencanaan, mendistribusikan hasil wakaf setiap bulan dengan diikuti kegiatan yang bermanfaat di daerah, membangun dan mengembangkan lembaga wakaf, serta membuat laporan dan menginformasikan hasil kerjanya kepada publik.

Dalam buku Qawa>ni>n al-Waqf wa al-H{ikr wa al-Qara>ra>t at-Tanfi>z\iyyah, yang disusun oleh Tim Kementerian Wakaf Mesir, disebutkan bahwa kepengurusan Badan Wakaf Mesir terdiri dari:6 Ketua Badan; Direktur Umum; Direktur Umum Bidang Harta Benda dan Pengembangan; Direktur Umum Bidang Teknik; Direktur Umum Bidang Pertanian; Wakil Kementerian Bidang Pertanian; Wakil Kementerian Bidang Kependudukan; Wakil Kementerian Bidang Ekonomi; Wakil Kementerian Bidang Perwakafan; Penasehat dari Majelis Pengadilan Tinggi yang dipilih oleh Majelis; dan seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh Menteri Perwakafan.

Menurut Uswatun H}asanah (1997: 92-93), Badan Wakaf tersebut bisa membentuk beberapa komisi untuk memenuhi sebagian wewenangnya. Selain itu, untuk memperlancar

6 Tim Kementerian Wakaf Mesir Qawa>ni>n al-Waqf wa al-H}ikr wa al-Qara>ra>t at-Tanfi>z\iyyah, Mesir: Badan Wakaf Mesir, 2004, hlm. 163-164

kegiatannya Badan Wakaf ini boleh mengundang orang-orang yang bersedia membantu, baik pegawai yang bekerja dalam Badan Wakaf ini sendiri, maupun para ahli atau profesional selain orang-orang yang terdaftar dalam kepengurusan Badan Wakaf ini. Ketua Badan Wakaf dan Direktur Umum dapat mengeluarkan ketentuan, walaupun ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan dibatasi oleh ketetapan Kementerian Wakaf. Ketua Badan Wakaf dalam hal ini sebagai penguasa yang mengawasi dan menjalankan urusan-urusan Badan Wakaf tersebut. Ketua Badan juga dapat mengusulkan aturan umum yang sedang berjalan dan mengambil tindakan yang lazim dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada untuk mencaai tujuan yang telah ditentukan.

Wakaf yang dikelola oleh Badan Wakaf mesir terdiri dari: a) harta benda yang dikhususkan oleh pemerintah untuk anggaran umum; b) barang yang menjadi jaminan hutang; c) hibah, wasiat dan sedekah; d) dokumen, uang atau harta yang harus dibelanjakan dan segala sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan Undang-undang No. 80 Tahun 1971; dan e) hasil yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan harta wakaf.

Badan Wakaf Mesir ini mempunyai wewenang untuk mengganti atau menukar serta menjual setelah melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terkait: a) terhadap pemilik harta benda tidak bergerak yang di dalamnya ada bagian untuk kepentingan umum; b) terhadap penyewa tanah kosong atau tanah berpenghuni tempat mereka mendirikan bangunan di atas tanah itu lebih dari lima belas tahun; c) terhadap penyewa tanah pertanian yang areanya tidak menyatu, setiap area tidak lebih dari tiga faddan (12.602,49 M2); d) melakukan perundingan dengan pemerintah daerah, lembaga masyarakat, perusahaan-perusahaan, dan bank-bank di mana Badan Wakaf tersebut memiliki saham; e) dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, Badan Wakaf harus mengelola harta wakaf dan mengembangkannya dengan baik untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu Badan Wakaf harus berpegang pada ketetapan-ketetapan Menteri Perwakafan.

Sejak saat itu pemanfaatan wakaf telah memberikan kontribusi bagi pengembangan perekonomian di Mesir. Beberapa contoh mengenai hubungan yang sinergis antara wakaf dengan perekonomian di Mesir adalah bahwa pengelola wakaf menitipkan hasil harta wakaf khairi di Bank Islam, sehingga pemanfaatannya semakin berkembang. Selain itu, Kementerian Wakaf membentuk bank-bank Islam, bekerja sama dengan pabrik gula, perseroan rumah sakit Islam, perseroan yang bergerak dalam pelestarian hewan, bank perumahan, perseroan bangunan dan lainnya. Kementerian Wakaf juga memanfaatkan tanah-tanah kosong dan selanjutnya dikelola secara produktif yakni mendirikan lembaga-lembaga perekonomian yang bekerjasama dengan perusahaan besi dan baja. Kementerian Wakaf membeli saham perusahaan serta obligasi perusahaan-perusahaan penting tersebut.

Menurut Hasan Abdullah Ami>n, sebagaimana dikutip oleh Uswatun H}asanah, hasil dari pengelolaan secara produktif ini dimanfaatkan untuk: a) kepentingan karitas dengan membantu kehidupan masyarakat, seperti fakir miskin, anak yatim, dan para pedagang kecil; b) untuk menjaga kesehatan yakni dengan mendirikan rumah sakit, maupun penyediaan obat-obatan bagi masyarakat; c) untuk mendirikan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan lembaga-lembaga pendidikan; dan untuk mengembangkan kegiatan kebudayaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.