• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

2. Ciri-Ciri Masa Remaja

Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyebutkan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah :

a. Masa Peralihan

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap ketahapan berikutnya.

b. Masa Pubertas

Masa ini ditandai dengan adanya perubahan biologis pada bentuk badan, tinggi badan, berat badan serta tercapainya kematangan seksual. Selain perubahan fisik, terjadi juga perubahan secara psikososial dan kognitif.

c. Masa Krisis

Tugas utama remaja adalah menghadapi masa krisis dari identitas vs kebingungan identitas. Apabila remaja mengalami kebingungan identitas maka akan menghambat tercapainya kedewasaan secara psikologis.

d. Masa Ambang Dewasa

Kecenderungan remaja gelisah ketika mendekati usia dewasa. e. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan

Streotipe dari lingkungan yang memperngaruhi konsep diri remaja dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri, sehingga menimbulkan ketakutan.

f. Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik

Remaja memandang dirinya dan orang lain seperti apa yang diharapkannya bukan seperti kenyataanya.

g. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa

Remaja semakin mendekati usia kematangan yang sah, sehingga remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja menurut Havinghurs dalam Yusuf (2011) adalah sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya b. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita

c. Menerima keadaan fisik

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya

e. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi

f. Memilih dan mempersiapkan karier atau pekerjaan g. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga h. Mengembangkan keterampilan

i. Mencapai tingkah laku yang bertanggungjawab secara sosial

D. DINAMIKA VARIABEL

Stres adalah keadaan individu ketika menghadapi beban atau situasi mengancam yang melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya (Lazarus dalam Carver dan Smith, 2010). Dalam merespon stres dibutuhkan usaha-usaha yang disebut strategi coping. Strategi coping adalah usaha yang dilakukan seseorang dalam meregulasi kognitif, emosi atau perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal tertentu yang dinilai sebagai beban yang melebihi sumber daya dari orang tersebut (Lazarus dan Folkman dalam Hoeman, 2008).

Secara umum strategi coping bersifat adaptif dan maladaptif. Svenbjorndottir dan Thorsteinsson (2008) menyatakan strategi coping adaptif melibatkan emosi dan masalah seperti mengubah situasi atau mengolah masalah, menyesuaikan atau mengkontrol emosi. Strategi

coping maladaptif berfokus pada emosi dan tidak berfokus pada masalah.

strategi coping yang termasuk strategi coping yang bersifat adaptif dan strategi coping yang bersifat maladaptif. Strategi coping yang bersifat adaptif meliputi stoicism/distraksi, mencari dukungan sosial dan self-care. Strategi coping yang bersifat maladaptif meliputi ruminasi dan acting-out. Setiap orang aktif memilih strategi untuk menghadapi stres (Welten, Iloyd, Dunn, dan Hammer, 2009). Lazarus dan Folkman (dalam Brannon dan Feist, 2013) menyatakan seseorang memilih dan menggunakan strategi coping dengan bergantung sumber yang tersedia dari lingkungan.

Geldard dan Geldard (2010) menyatakan kualitas dan kekuatan yang mempengaruhi atau mendorong individu dalam memilih dan menggunakan coping disebut sumber coping. Sumber coping tersebut di antaranya adalah optimisme, harga diri, hardiness, sense of coherence, self

efficacy, dan dukungan sosial (Adler, Repetti, Taylor, dan Seeman dalam

Taylor dan Stanton, 2007; Folkman et al dalam Brannon dan Feist, 2013; Fryor dalam Hoeman, 2008; serta Geldard dan Geldard, 2010).

Individu optimis mempunyai ekspektasi positif terhadap sesuatu hal (Scheier dan Carver dalam Hoeman 2008) dan lebih merasa didukung secara sosial serta mengalami tingkat depresi rendah dibandingkan dengan individu pesimis (Scheier dan Carver (dalam Morton et all 2014). Individu optimis lebih mampu untuk menyelesaikan permasalahan, membuat rencana atau mengelola secara lebih efektif permasalahan yang dihadapinya (Van Dinter, Dochy dan Segers dalam Morton, 2014).

Individu pesimis cenderung mempunyai ekspektasi rendah, merasa gagal dan mempunyai tingkat kecemasan yang tinggi (Coving dalam Bembenutty, 2011). Oleh karena itu, individu optimis ketika berhadapan dengan stres lebih memilih untuk mengatasi peristiwa atau langsung mengubah situasi menjadi lebih baik, sedangkan individu pesimis tidak berusaha untuk menyelesaikan situasi stres. Demikian diasumsikan bahwa individu yang optimis akan mempunyai skor yang tinggi pada strategi

coping yang bersifat adaptif yaitu stoicism, self care, dan mencari

dukungan sosial. Individu yang pesimis diprediksi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat maladaptif yaitu ruminasi, dan acting out.

Maddi (dalam Kardun, Knezevic, dan Krapic, 2012) menjelaskan bahwa individu dengan hardiness yang tinggi terlibat secara aktif dalam menghadapi peristiwa di kehidupannya, baik peristiwa positif atau negatif. Di sisi lain, individu yang mempunyai hardiness rendah lebih cenderung untuk menarik diri dari situasi kehidupannya, mempersepsikan bahwa situasi tersebut merupakan ancaman dan tidak berusaha mengatasi atau menyelesaikan situasi tersebut. Kobasa dan Pucceti (dalam Thomasson et al, 2015) menyatakan bahwa individu yang mempunyai hardiness tinggi lebih mampu menghadapi stres karena mereka mempersepsikan stresor sebagai tantangan yang harus dihadapi. Individu dengan hardiness yang tinggi juga mau terlibat dalam situasi apapun, sehingga lebih mampu mencari dukungan sosial dibandingkan dengan individu yang mempunyai

hardiness rendah. Oleh karena itu diasumsikan bahwa individu yang mempunyai hardiness tinggi mempunyai skor yang tinggi pada strategi

coping adaptif yaitu stoicism, mencari dukungan sosial dan self care.

Individu yang mempunyai hardiness rendah mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping maladaptif yaitu acting out dan ruminasi.

Individu yang memiliki self efficacy tinggi percaya terhadap kemampuannya sendiri untuk melakukan atau menyelesaikan segala sesuatu. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi mampu melakukan coping efektif dalam menghadapi situasi atau stresor (Hoeman, 2008). Van Dinter, Dochy dan Segers (dalam Morton, 2014) menyatakan bahwa individu yang mempunyai self efficacy tinggi mampu menyelesaikan permasalahan, membuat perencanaan atau mengelola secara lebih efektif serta mempunyai ekspektasi lebih positif. Individu dengan self efficacy yang rendah ketika menghadapi stres (misal: stres akibat pekerjaan rumah) akan cenderung melakukan prokrastinasi dan memiliki pemikiran dan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri/ ruminasi (Burka, Schraw, Wadkins, Olafson dalam Bembenutty, 2011). Oleh karena itu diasumsikan bahwa individu yang memiliki self efficacy tinggi mempunyai skor tinggi pada strategi coping yang bersifat adaptif yaitu stoicism, mencari dukungan sosial dan self care, sedangkan individu yang memiliki self efficacy rendah diprediksi mempunyai skor tinggi pada strategi coping yang bersifat maladaptif yaitu acting out dan ruminasi.

Rosenberg (dalam Rosenberg, Morris, dan Owens, 2001) menyatakan bahwa individu dengan harga diri tinggi bersikap menghargai dirinya dan merasa layak, bangga dan puas terhadap dirinya. Individu dengan harga diri rendah bersikap tidak menghargai dirinya, merasa bersalah, lemah dan merasa tidak berguna. Fairburn et al (dalam Bardone, Abramson, Vohs, dan Hatherton, 2000) menyatakan bahwa individu dengan harga diri rendah diasosiasikan dengan ketidakpuasan diri misalnya perilaku diet. Lebih lanjut, individu yang mempunyai harga diri rendah lebih ruminatif dibandingkan dengan individu yang mempunya harga diri tinggi (Neff, Vonk dalam Hill, 2011). Kuster, Orth dan Meier (2012) juga menyatakan bahwa individu yang mempunyai harga diri tinggi ketika berhadapan dengan situasi stres merasa kompeten dan percaya diri untuk menghadapi situasi tersebut. Oleh karena itu diasumsikan bahwa individu yang mempunyai harga diri tinggi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat adaptif yaitu stoicism, mencari dukungan sosial dan self care. Sedangkan individu yang mempunyai harga diri rendah diprediksi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat maladaptif yaitu acting out dan ruminasi.

Individu dengan sense of coherence (SOC) kuat ketika berhadapan dengan stresor akan termotivasi untuk melakukan coping, mengatasi stresor, menghadapi stressor, percaya bahwa hal tersebut adalah tantangan. Sebaliknya individu dengan sense of coherence lemah ketika berhadapan dengan stres akan kurang termotivasi untuk mengatasi, menghadapi stresor

serta mengganggap bahwa stresor tersebut adalah ancaman (Antonovsky dalam Hoeman 2008). Individu dengan sense of coherence kuat mampu menghadapi stres karena individu tersebut mampu memahami peristiwa dan menemukan makna didalam setiap peristiwa yang dialami (Antonovsky dalam Tedeschi dan Calhoun, 2004). Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa individu yang mempunyai sense of coherence tinggi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat adaptif yaitu stoicism, mencari dukungan sosial dan self care. Sedangkan individu yang mempunyai sense of coherence rendah diprediksi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat maladaptif yaitu acting out dan ruminasi.

Selanjutnya Hoeman (2008)mengungkapkan individu yang merasa menerima dukungan sosial akan menerima banyak dorongan dan nasehat kearah yang lebih baik atau sehat. Dukungan sosial juga memberikan penyangga bagi seseorang untuk menghadapi stres. Nolem dan Larson (dalam Tedeschi dan Calhoun, 2004) menyatakan individu dengan dukungan sosial rendah adalah orang yang melakukan coping ruminatif, karena individu tersebut merasa tidak nyaman untuk bercerita kepada orang lain. Lebih lanjut, Bolger, Zuckerner, dan Kessler (dalam Taylor et al, 2004) menyatakan bahwa dukungan sosial sering diasosiasikan dengan distres yang rendah karena individu mengekspresikan kebutuhannya kepada orang lain. Oleh karena itu diasumsikan bahwa individu yang mempunyai dukungan sosial tinggi diprediksi mempunyai skor yang tinggi

pada strategi coping yang bersifat adaptif yaitu stoicism, mencari dukungan sosial dan self care. Sedangkan individu yang mempunyai dukungan sosial rendah diprediksi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat maladaptif yaitu acting out dan ruminasi.

Berdasarkan uraian di atas diasumsikan bahwa sumber coping berkorelasi dengan strategi coping. Individu yang mempunyai sumber

coping (self esteem, hardiness, sense of coherence, self efficacy,

optimisme dan dukungan sosial) yang tinggi diprediksi mempunyai skor yang tinggi pada strategi coping yang bersifat adaptif (stoicsm, mencari dukungan sosial dan self care).

Dokumen terkait