• Tidak ada hasil yang ditemukan

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d1h9.

ooxanthellae ooxanthellae pada gan menggunakan ada akuarium n berbeda nyata itas zooxanthellae ooxanthellae pada

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lam dapat dilihat pada gam

Sum

Gambar 52. N s

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m lampu fluorescent ber berbeda nyata dengan dilihat pada gambar

p densitas zooxanthellae pada saat d2h1 dengan menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pad ata dengan perlakuan lampu incandescent dan b

ampu flourescent. Grafik hasil uji BNT densita

ambar 52 yang diolah dari lampiran 8.

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d2h1.

p densitas zooxanthellae pada saat d2h9 dengan menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pad

erbeda nyata dengan perlakuan lampu incandes

an kontrol. Grafik hasil uji BNT densitas zooxa r 53 yang diolah dari lampiran 8.

gan menggunakan ada akuarium n berbeda nyata itas zooxanthellae ooxanthellae pada gan menggunakan ada perlakuan descent dan xanthellae dapat

Sum

Gambar 53. N s

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lam biologis anemon pada Grafik hasil uji BNT d diolah dari lampiran

Sum

Gambar 54. N s

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d2h9.

p densitas zooxanthellae pada saat d3h1 dengan menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pad ata dengan perlakuan lampu incandescent dan b

ampu flourescent. Hal ini terjadi karena perbed

da akuarium kontrol dengan anemon pada akua T densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gam an 8.

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d3h1.

ooxanthellae pada gan menggunakan ada akuarium n berbeda nyata edaan ritme uarium 1 dan 2. ambar 54 yang ooxanthellae pada

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m Grafik hasil uji BNT d diolah dari lampiran

Sum

Gambar 55. N s

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lam biologis anemon pada hasil uji BNT densitas dari lampiran 8.

p densitas zooxanthellae pada saat d3h9 dengan menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak be T densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gam an 8.

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d3h9.

p densitas zooxanthellae pada saat d4h1 dengan menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pad ata dengan perlakuan lampu incandescent dan b

ampu flourescent. Hal ini terjadi karena perbed

da akuarium 3 dengan anemon pada akuarium itas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar 56

gan menggunakan berbeda nyata. ambar 55 yang ooxanthellae pada gan menggunakan ada akuarium n berbeda nyata edaan ritme m 1 dan 2. Grafik 56 yang diolah

Su

Gambar 56. N s

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lam dapat dilihat pada gam

Sum

Gambar 57. N s

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m

Sumber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d4h1.

p densitas zooxanthellae pada saat d4h9 dengan menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pad ata dengan perlakuan lampu incandescent dan b ampu flourescent. Grafik hasil uji BNT densita

ambar 57 yang diolah dari lampiran 8.

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d4h9.

p densitas zooxanthellae pada saat d5h1 dengan menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak be

ooxanthellae pada gan menggunakan ada akuarium n berbeda nyata itas zooxanthellae ooxanthellae pada gan menggunakan berbeda nyata.

Grafik hasil uji BNT d diolah dari lampiran

Sum

Gambar 58. N s

Hasil uji terhadap uji BNT ( P<0,05 ) m cahaya matahari berbe nyata dengan perlakua zooxanthellae dapat d

Sum

Gambar 59.

T densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gam an 8.

umber : diolah dari lampiran 8.

Nilai rata-rata dan standard error densitas zoo setiap perlakuan saat d5h1.

p densitas zooxanthellae pada saat d5h9 dengan menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pad rbeda nyata dengan perlakuan lampu incandesc

kuan lampu flourescent. Grafik hasil uji BNT d t dilihat pada gambar 59 yang diolah dari lamp

umber : diolah dari lampiran 8.

. Nilai rata-rata dan standard error densitas zo pada setiap perlakuan saat d5h9.

ambar 58 yang

ooxanthellae pada

gan menggunakan ada perlakuan

escent dan berbeda

densitas mpiran 8.

4.2. Pembahasan.

Pembelahan mitosis pada zooxanthellae memiliki pola tertentu yang menggambarkan ritme biologis. Proses ini biasanya berlangsung dengan pola yang sama secara alami. Dalam penelitan ini didapatkan pola pembelahan mitosis yang cenderung sama pada individu dengan perlakuan lampu incandescent dan cahaya matahari. Sedangkan individu dengan perlakuan lampu flourescent

memiliki pola pembelahan mitosis yang berbeda. Hal ini dapat saja terjadi karena seperti telah diketahui bahwa faktor-faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, dan nutrien bekerja secara bersamaan di alam untuk mengontrol pembelahan mitosis seperti yang telah dikemukakan oleh Williamson in Zamani ( 1995 ). Perbedaan lokasi pengambilan anemon akan mempengaruhi pola mitotik indeks

zooxanthellae karena faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut sedikit atau banyak juga akan berbeda sehingga faktor yang mempengaruhi pola pembelahan mitosis juga akan berbeda.

Berubahnya kondisi lingkungan secara drastis akan memberikan kejutan pada anemon. Kondisi ini mengakibatkan anemon mengalami stress dan kehilangan kendali atas pembelahan sel zooxanthellae. Dalam kondisi ini pembelahan mitosis dapat terjadi dengan cepat sehingga mitotik indeks zooxanthelae tinggi. Berubahnya pola pembelahan mitosis ini dapat teramati pada permulaan

pemberian perlakuan seperti yang teramati pada akuarium 1 dan 2. Pada kedua akuarium tersebut terjadi peningkatan pembelahan mitosis pada d1h1 atau pada 1 jam setelah diberikan perlakuan. Pada akuarium 1 terjadi peningkatan

pembelahan mitosis sebesar 77,27%. Pada akuarium 2 terjadi peningkatan pembelahan mitosis sebesar 39,7%. Perubahan pada pembelahan mitosis ini terjadi sebelum anemon mengalami bleaching. Oleh karena itu perubahan pola pembelahan mitosis zooxanthellae dapat dijadikan sebagai tanda awal yang mengindikasikan terjadinya stress pada anemon atau perubahan kondisi dalam lingkungan seperti yang telah dikemukakan oleh Zamani ( 1995 ).

Meningkatnya pembelahan mitosis akan menambah jumlah sel atau densitas zooxanthellae dalam lapisan gastroderm anemon. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan jumlah densitas yang berkurang atau berbanding terbalik dengan mitotik indeks. Densitas yang berkurang drastis ini teramati pada anemon di akuarium 1 dan 2, sedangkan densitas zooxanthellae anemon pada akuarium 3 berfluktuasi selaras dengan pola mitotik indeksnya. Hal ini terjadi karena pembelahan mitosis mempengaruhi densitas zooxanthellae di dalam lapisan gastroderm. Pada saat jumlah zooxanthellae di dalam lapisan gastroderm berkurang dan mengancam kelangsungan hidup populasi, maka zooxanthellae akan melakukan reproduksi ( dalam hal ini pembelahan mitosis ). Hal ini dilakukan zooxanthellae sebagai upaya untuk mempertahankan populasinya di dalam lapisan gastroderm.

Berkurangnya sel zooxanthellae dalam jaringan gastroderm anemon dapat saja terjadi. Hal ini mungkin diakibatkan dari matinya sel zooxanthellae seperti yang penulis amati. Pada saat penghitungan sel yang melakukan pembelahan mitosis, penulis menemukan banyaknya sel zooxanthellae yang rusak bahkan pada saat sedang melakukan pembelahan mitosis. Sesuai dengan pernyataan Suharsono dan Brown in Zamani ( 1995 ) yang mengemukakan bahwa ada beberapa

kemungkinan yang dapat mengakibatkan berkurangnya densitas zooxanthellae didalam lapisan gastroderm, diantaranya yaitu : lepasnya zooxanthellae ke dalam

coelenteron; zooxanthellae mati pada saat proses pembelahan berlangsung seperti

yang penulis temukan pada saat pengambilan data mitotik indeks dengan menggunakan mikroskop atau mati setelah selesai melakukan pembelahan; kemungkinan zooxanthellae mengeluarkan substansi yang bersifat racun bagi anemon sehingga memaksa anemon mengeluarkan zooxanthellae dari dalam tubuhnya; dan zooxanthellae keluar dari tubuh anemon ke lingkungan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa faktor-faktor lingkungan bekerja secara bersamaan di alam mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Faktor-faktor tersebut secara alami akan mengakibatkan makhluk hidup menyesuaikan diri dan memiliki pola tertentu yang menggambarkan ritme biologisnya.

Pemberian perlakuan dalam penelitian ini mempengaruhi ritme biologis anemon, dalam hal ini mitotik indeks zooxanthellae yang secara langsung juga

mempengaruhi densitas zooxanthellae di dalam lapisan gastroderm. Hal ini dapat teramati pada saat lampu dinyalakan dan dipadamkan. Lampu dinyalakan pada pukul 08.00 WIB dan dipadamkan pada pukul 17.00 WIB sedangkan matahari terbit pukul 06.00 WIB dan terbenam pukul18.00 WIB. Matahari terbit dengan intensitas cahaya kecil dan perlahan-lahan intensitasnya semakin besar, dan sebaliknya pada saat terbenam intensitasnya akan semakin kecil. Aktifitas kehidupan anemon pada akuarium 3 berjalan dengan terbit dan terbenamnya matahari sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi ritme biologis. Sedangkan anemon pada akuarium 1 dan 2 mendapatkan cahaya dari saat dinyalakan sampai dengan dipadamkan dengan intensitas konstan sehingga ritme biologisnya juga

akan berbeda dengan anemon pada akuarium 3. Selain itu pada saat lampu dinyalakan dan dipadamkan terjadi perubahan yang drastis didalam lingkungan akuarium 1 dan 2 sehingga anemon mendapatkan kejutan.

Perlakuan yang diberikan juga mempengaruhi anemon secara morfologi. Pada penelitian ini teramati perubahan ketebalan lapisan gastroderm bila dibandingkan dengan lapisan ektoderm yang terdapat di tentakel anemon. Meningkatnya rasio ketebalan gastroderm terhadap ektoderm sampai dengan 16,67% pada akuarium 1 dan 14,07% pada akuarium 2 teramati pada d3. Pada akhir penelitian rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm kembali menurun. Sedangkan rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium 3 cenderung mengalami penurunan dari saat d-1 sampai dengan d5.

Perubahan ketebalan lapisan gastroderm dapat terjadi akibat dari perlakuan yang diberikan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa berubahnya kondisi lingkungan akan menyebabkan anemon terkejut. Jika kondisi ini berlangsung terus menerus akan mengakibatkan anemon berada dalam kondisi stress. Dalam penelitian ini kondisi stress mengakibatkan menurunnya densitas zooxanthellae di lapisan gastroderm. Berkurangnya jumlah zooxanthellae dalam lapisan

gastroderm mengakibatkan bayak ruang yang kosong di dalam vakuola anemon. Hal ini menjelaskan mengapa lapisan gastroderm menipis. Namun dalam

penelitian yang dilakukan oleh Zamani ( 1995 ) pada perlakuan tembaga dan suhu yang diberikan pada anemon ( H. malu ) mengakibatkan penyusutan ukuran zooxanthellae dan bertambahnya ukuran vakuola. Perubahan ukuran

zooxanthellae dan vakuola ini pada akhirnya merubah ketebalan lapisan

( 1984 ) in Zamani ( 1995 ) bahwa koral yang mengalami bleaching akan mengeluarkan mucus, gangguan pada lapisan gastroderm, dan gangguan pada vakuola yang di dalamnya terdapat zooxanthellae. Namun belum diketahui lebih lanjut apakah ketebalan lapisan gastroderm bertambah dan ketebalan ektoderm tetap atau ketebalan gastroderm tetap dan ketebalan ektoderm bertambah. Dalam kondisi normal, anemon menghasilkan mucus sebagai perangkap partikel dan alat untuk mengangkut air ke dalam tubuhnya ( Cervino, 2004 ).

Mucus digunakan untuk memerangkap makanan dan partikel organik kemudian

dibawa ke mulut dengan menggunakan silia. Selain itu mucus juga digunakan sebagai alat untuk membersihkan diri dari kotoran yang menutupi permukaan tubuhnya.

Produksi mucus yang berlebihan merupakan ciri-ciri terjadinya stress pada anemon seperti yang dikemukakan oleh Cervino, ( 2004 ). Dalam penelitian ini produksi mucus yang berlebihan teramati pada akuarium 1 dan 2. Produksi mucus

berlebihan di akuarium 1 teramati pada hari ke dua sampai dengan hari ke tiga, yaitu pada saat individu ke satu stress dan akhirnya ditemukan mati pada hari ke tiga. Produksi mucus berlebihan di akuarium 2 teramati pada hari ke tiga. Mucus

berlebihan dan kental juga dilepaskan pada hari ke tujuh ketika anemon di akuarium 2 mengalami stress dan bleaching. Selain sebagai tanda awal stress

lingkungan, Cervino ( 2004 ) juga mengemukakan bahwa air tawar, udara terbuka, paparan sianida dan terjadinya bleaching juga dapat memicu produksi mucus yang berlebihan.

Bleaching adalah memucatnya warna karang ( Thieberger et al., 1995 ).

bersimbiosis di dalam jaringan seperti yang terjadi di dalam penelitian ini.

Bleaching terjadi pada individu di ketiga akuarium, namun individu di akuarium

3 relatif lebih berwarna bila dibandingkan dengan individu akuarium 2 yang mengalami bleaching hebat dan individu akuarium 1. Rata-rata densitas

zooxanthellae pada individu akuarium 1 sebelum diberikan perlakuan sebesar 9,3 x104 /cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h2 sebesar 3,5 x104 / cm2 atau berkurang sebesar 62,37%. Rata-rata densitas zooxanthellae pada individu akuarium 2 sebelum diberikan perlakuan sebesar 5,4 x 104 /cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h2 sebesar 1,3 x 104 / cm2 atau berkurang sebesar 75,9%. Rata-rata densitas zooxanthellae pada individu akuarium 3 sebelum diberikan perlakuan sebesar 12,8 x 104/cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h2 sebesar 9,3 x 104/ cm2 atau berkurang sebesar 27,3%. Selain produksi mucus yang berlebihan, bleaching juga merupakan ciri-ciri

stress pada anemon. Selama peristiwa bleaching, karang kehilangan 60-90% dari

jumlah zooxanthellaenya dan yang tersisa kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya ( Westmacott et al.,2000 ). Hal ini dapat menjelaskan

menyusutnya ukuran tubuh anemon. Ukuran tubuh anemon menyusut karena kekurangan energi sebagai akibat dari berkurangnya suplai energi yang diterima dari zooxanthellae. Seperti diketahui bahwa zooxanthellae menyumbang sekitar 98% kebutuhan energi bagi koral (Davies, 1984 in Zamani, 1995 ). Hal ini juga menjelaskan lepasnya mucus yang berlebihan pada saat anemon mengalami

bleaching. Produksi mucus pada saat bleaching ini merupakan cara untuk

Anemon yang berada dalam kondisi stress akan melakukan adaptasi untuk mengurangi atau menghilangkan stress. Kecepatan untuk pulih dari kondisi stress pada tiap individu anemon berbeda-beda seperti yang teramati dalam penelitian ini. Individu anemon di akuarium 1 relatif lebih cepat pulih dari stress daripada individu anemon di akuarium 2. Individu anemon akuarium 1 dapat dikatakan berhasil melakukan adaptasi kecuali individu yang mati. Anemon yang dapat beradaptasi ini berhasil kembali dalam keadaan homeostatis sehingga dapat bertahan sampai dengan hari ke-26 walaupun dalam kondisi bleaching berat. Berbeda dengan individu anemon di akuarium 1, anemon di akuarium 2 relatif lebih lambat dalam melakukan adaptsi sehingga lebih lama pulih dari kondisi stress. Stress yang dialami oleh anemon di akuarium 2 berlanjut sampai melewati periode 5 hari pengamatan. Stress yang dialami lebih berat dengan bleaching

hebat dan produksi mucus yang berlebihan sehingga mengakibatkan air di dalam akuarium menjadi sangat keruh. Karena tidak mampu mengatasi keadaan stress, anemon di akuarium 2 ditemukan mati pada hari ke-7 dan dua lainnya mati pada hari ke-8. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarwono ( 1992 ) bahwa koral yang berada dalam kondisi stress akan melakukan adaptasi. Jika biota berhasil melakukan adaptasi, maka biota ini akan kembali dalam keadaan homeostatis. Namun bila biota tidak berhasil melakukan adaptasi, maka biota ini akan mengalami stress kembali dengan kemungkinan stress yang bertambah besar.

5.1. Kesimpulan Akuarium 1 A B C Gambar 60.

Ditinjau dari keter anemon ( H. malu ), m ( gambar 60 ), kesim berikut :

Rasio ketebalan ga 1 dan 2 memperlihatk sedangkan rasio keteb

Dokumen terkait