• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM

A. Organ Perseroan Terbatas

3. Direksi

Menurut Pasal 1 angka 5 UUPT,

Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Dari ketentuan pasal ini dapat dilihat bahwa direksi-lah yang melakukan kepengurusan perseroan sehari-hari.

Keberadaan direksi di dalam suatu organ perseroan merupakan suatu keharusan dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi. Hal ini dikarenakan perseroan merupakan artificial person yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan anggota direksi sebagai natural person.60

Dewan direksi (boards of directors) dapat terdiri dari satu atau beberapa orang direktur. Apabila direksi lebih dari satu orang direktur, maka salah satunya menjadi Direktur Utama atau Presiden Direktur dan yang lainnya menjadi direktur atau wakil direktur.61

Seorang direktur harus mengetahui dan memberikan arahan terhadap pengaturan operasional perusahaan, keuangan dan program strategis, dan harus memiliki pengetahuan umum mengenai sumber tenaga kerja serta cara berbisnis.

60

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 203 61

Pasal 92 ayat (3) UUPT menentukan bahwa direksi perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota direksi atau lebih.

Sebuah Direktur harus melakukan hal ini dan semua tugas mereka dengan itikad baik dan dengan tingkat kepedulian yang biasa digunakan orang bijaksana dalam posisi yang sama dan dalam kondisi yang sama.62

1. Tugas Direksi

Seorang direksi wajib menjalankan fungsi pengurusan perusahaan dengan itikad baik, dan dengan cara yang cukup meyakinkan untuk kepentingan korporasi dan dengan kehati-hatian selayaknya seseorang yang penuh dengan kehati-hatian (the ordinarily prudent person) biasanya gunakan dalam posisi yang sama dan dalam kondisi yang sama.63

Secara umum, tugas direksi dapat dibagi menjadi dua kategori: duty of care dan duty of loyalty. Duty of loyalty yang dimaksud dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yaitu sebagai tugas 'fair dealing'. Sedangkan duty of care berkaitan dengan kualitas pengambilan keputusan oleh direktur, pemegang saham pengendali, dan pejabat senior sementara duty of loyalty melibatkan penilaian terhadap kepantasan transaksi tertentu.64

Di Amerika Serikat, tugas perawatan (duty of care) mensyaratkan direktur untuk menginformasikan semua informasi material yang tersedia sebelum membuat keputusan bisnis dan bertindak dengan itikad baik untuk membuat keputusan yang

62

Lihat Alexander Loos, (ed.), Director’s Liability: A Worldwide Review, (Netherland: Kluwer Law International, 2006), hal 98. Lihat juga Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law, (Westbury: The Foundation Press, 1989), hal 211

63

Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law, (Westbury: The Foundation Press, 1989), hal 211 64

bijaksana, penuh pertimbangan dan informasi. Good faith atau itikad baik berarti bahwa direktur harus bertindak dan mengambil keputusan demi kepentingan terbaik korporasi.65

Sedangkan duty of loyalty mensyaratkan bahwa direksi harus bertindak untuk kepentingan korporasi, bukan kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga. Jika seorang direktur memiliki kepentingan pribadi dalam masalah ini, harus diungkapkan sepenuhnya dan direksi tidak boleh ikut dalam pemungutan suara pada atau berpartisipasi dalam diskusi tentang masalah ini.66

P.P.S. Gogna67, mengkategorikan tugas direksi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:

1) Duty of good faith: Ini merupakan tugas penting dari direksi untuk bertindak dengan itikad baik. Tugas ini mengharuskan direktur harus bertindak jujur dan untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham. Bahkan, semua cara harus diarahkan mereka untuk keuntungan perusahaan, bukannya melakukan kesepakatan rahasia yang menghasilkan keuntungan pribadi dengan perusahaan. Jika direksi melakukan sesuatu untuk keuntungannya sendiri, dia harus bertanggung jawab untuk itu. Contohnya, ketika seorang direksi diinstruksikan untuk membeli sejumlah property untuk perusahaan, dan dia membeli benda yang sama untuk dirinya sendiri dan kemudian menjualnya ke perusahaan

65

Alexander Loos, ed., Op. Cit., hal 99 66

Ibid. 67

Lihat, P.P.S. Gogna, A Textbook of Company Law, (New Delhi: S. Chand & Company Ltd, 2007), hal 263

dengan mengambil keuntungan, dia wajib menjelaskan keuntungan yang diperolehnya dari tindakan itu.

Namun, perlu dicatat, direktur hanya dimintakan pertanggungjawabannya dalam hal terjadinya keuntungan pribadi tersebut pada saat dia mendapatkan keuntungan itu dengan menggunakan posisinya sebagai direktur perusahaan. Jika, seorang direktur melakukan tindakan itu, namun tidak dalam menggunakan posisinya sebagai direktur, maka dia tidak akan dimintakan pertanggungjawabannya atas keuntungan yang didapatnya dari penjualan kembali properti tersebut.

2) Duty of reasonable care: ini merupakan tugas penting lainnya bagi direktur. Seorang direktur harus menjalankan fungsinya dengan reasonable care. Dengan demikian, direktur harus menjalankan tugasnya dengan due diligence dan kehati-hatian. Standar kehati-hatian, skill dan diligence yang diharapkan dari seorang direktur sama dengan yang diharapkan dari orang biasa yang menjalankan hal tersebut. Namun, standar itu bervariasi, tergantung pada (a) jenis usaha perusahaan, (b) kinerja perusahaan yang dibagi kepada direksi dan pejabat lain di perusahaan, dan (c) kebiasaan umum dan praktek bisnis.

Jika direktur gagal menjalankan due care dan skill dalam tugas-tugasnya, mereka ada dianggap lalai. Namun mereka tidak diharapkan menjalankan tugasnya melebihi kemampuan mereka sendiri, cukup sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya saja. Mereka juga tidak dapat diminta pertanggungjawabannya terhadap errors of judgment.

Hukum mensyaratkan seorang direktur harus bertindak secara jujur dan tidak ceroboh. Dengan demikian, sepanjang seorang direktur jujur dan penuh kehati- hatian, dia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dikarenakan dia bodoh dan kurang dalam penilaian (ignorant and lacking in judgment).

3) Duty to attend the board meeting: setiap direktur harus menghadiri rapat dewan. Namun, perlu dicatat bahwa seorang direktur tidak terikat untuk harus menghadiri semua rapat dewan, walaupun dia memiliki kewajiban untuk menghadirinya, dalam hal, dia cukup mampu melakukannya. Namun jika tanpa izin dari dewan, dia tidak menghadiri pertemuan tiga kali berturut-turut atau tidak menghadiri semua pertemuan berturut-turut selama tiga bulan, mana yang terlama, maka jabatannya akan dianggap kosong sejak tanggal pertama kali direktur itu tidak menghadiri pertemuan.

Dalam hal ketidakhadirannya dikarenakan ketidaksengajaan seperti direktur sakit atau sesuatu yang diluar dari kendalinya, maka jabatannya tidak dianggap kosong karena alasan ini. Dengan demikian, seorang direktur diwajibkan untuk menghadiri rapat apabila ingin menghindari situasi ini.

4) Duty not to delegate: direktur ditunjuk oleh pemegang saham dikarenakan kemampuan, kompetensi dan integritas mereka. Ditambah lagi, pemegang saham memercayai mereka. Oleh karena itu direktur dalam menjalankan tugas mereka harus secara langsung dan tidak diwakilkan kepada orang lain.

Namun, peraturan ini tidak bersifat kaku. Direktur boleh mewakilkan fungsi mereka kepada orang lain dalam kasus-kasus berikut ini:

(a) Mereka dapat mendelegasikan fungsi mereka sejauh yang diizinkan peraturan perusahaan atau anggaran dasar perusahaan.

(b) Mereka juga dapat mendelegasikan tugas-tugas tertentu, dengan mempertimbangkan urgensi bisnis, dan dapat dialihkan kepada pejabat lainnya.

Kasus pendelegasian tersebut diizinkan sejauh terdapat distribusi kerja yang wajar antara semua direktur dengan pejabat lainnya di dalam perusahaan.

5) Duty to disclose interest: terkadang, seorang direktur bersangkutan atau termasuk dalam perjanjian atau peraturan yang dibuat dan ditandatangani atas nama perusahaan. Di sejumlah kasus, merupakan tugas direktur untuk mengungkapkan keterkaitan ini di dalam pertemuan dewan direksi. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik antara kepentingan pribadi direktur dan kewajibannya terhadap perusahaan. Sejumlah permasalahan muncul ketika seorang direktur secara pribadi tertarik untuk melakukan transaksi dengan perusahaan. Dalam hal kepentingan pribadi, direktur cenderung untuk lebih memilih kepentingan pribadinya. Dengan demikian, agar direktur dapat menjalankan tugasnya dengan tepat, merupakan hal yang penting bahwa dia harus tertarik atau mengungkapkan ketertarikannya kepada perusahaan.

Direksi harus menjalankan fungsi perusahaan, harus melaksanakan hal-hal tersebut di atas. Namun, dalam menjalankan tugasnya, direksi terkadang melakukan

beberapa pelanggaran. Janet Dine68, melalui bukunya yang berjudul Company Law, memberikan kategori-kategori perilaku yang telah diidentifikasi sebagai kasus yang paling sering menyebabkan direksi akan melanggar tugas pokok yaitu:

1. penyalahgunaan aset perusahaan;

2. menempatkan diri ke dalam situasi yang mengakibatkan konflik tanggung jawab dan konflik kepentingan; dan

3. menggunakan kekuasaan yang diberikan untuk suatu tujuan untuk mencapai yang lain;

4. menyebabkan perusahaan untuk bertindak ultra vires.

2. Tanggung jawab Pribadi

Direksi sebagai pengurus perseroan, memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanah yang diberikan perseroan (fiduciary duties). Dengan adanya kewajiban tersebut, direksi wajib melaksanakan pengurusan perseroan dengan sebaik-baiknya. Pengurusan itu dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan perseroan saja, tidak boleh untuk kepentingan pribadi. Selain itu, direksi juga wajib menjalankan pengurusan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan (duty of care)69.

Merupakan hal yang wajar bagi direksi untuk bertanggung jawab atas kelalaian dalam adanya penipuan atau kepentingan pribadi. Aturan hukum yang ada sangat jelas menunjukkan bahwa seorang direksi diharapkan untuk menjalankan perusahaan

68

Janet Dine, Company Law, (London: The Macmillan Press Ltd., 1991), hal 183 69

Munir Fuady di dalam bukunya yang berjudul Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law & Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 51, menyatakan bahwa duty of care direksi, antara lain:

1) Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik (good faith), dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati,

2) Kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional.

dengan kehati-hatian (due care) selayaknya seorang pengemudi yang harus berhati- hati pada saat mengemudikan mobilnya.70

Apabila anggota direksi menyalahgunakan kedudukannya sebagai pemegang amanah perseroan atau apabila bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan kerugian, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 97 ayat (3) UUPT menentukan bahwa setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas dalam mengurus perseroan.71 Sedangkan apabila anggota direksi terdiri dari 2 orang atau lebih, menurut Pasal 97 ayat (4) UUPT, tanggung jawab secara pribadi tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.

Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith72 yang dipercayakan padanya dalam menjalan

70

Detlev F. Vagts, Op. Cit., hal 209 71

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal 222 72

Di Indonesia, tindakan yang bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang beritikad baik masih belum jelas. Namun, secara implisit, pada Pasal 92 ayat (1) UUPT, yang menyebutkan bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Yahya Harahap menyatakan di dalam bukunya berjudul Hukum Perseroan Terbatas (hal 374- 376) bahwa makna itikad baik dalam konteks pelaksanaan pengurusan perseroan oleh anggota direksi dalam praktik dan doktrin hukum memiliki jangkauan luas, antara lain sebagai berikut:

1) Wajib dipercaya (fiduciary duty)

Setiap anggota direksi “wajib dipercaya” dalam melaksanakan tanggung jawab pengurusan perseroan. Itu berarti bahwa, setiap anggota direksi selamanya “dapat dipercaya” (must always

bonafide) serta selamanya harus “jujur” (must always be honested)

korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty. dihubungkan dengan identification theory dalam wacana common law, kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat:

i) tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka,

ii) bukan merupakan penipuan yang dilakukan terhadap perusahaan,

iii) dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi.

Apabila anggota direksi dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan pengurusan itu, tujuannya tidak wajar, tindakan pengurusan demikian dikategorikan sebagai pengurusan yang dilakukan dengan itikad buruk.

Dalam rangka pengurusan perseroan dengan tujuan yang wajar, termasuk kewajiban memperhatikan kepentingan karyawan, seperti halnya memperhatikan kepentingan pemegang saham.

3) Wajib untuk menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty)

Ini berarti bahwa patuh dan taat terhadap hukum dalam arti luas dan terhadap peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar perseroan dalam arti sempit.

4) Wajib loyal terhadap perusahaan (loyalty duty)

Makna loyalty duty sama dengan good faith duty, yaitu loyal dan terpercaya mengurus perseroan, dan oleh karena itu, hubungan yang paling utama antara anggota direksi dan perseroan yaitu kepercayaan (trust) berdasar loyalitas.

5) Wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conflict of interest)

Ruang lingkup kewajiban anggota direksi menghindari benturan kepentingan dalam melaksanakan pengurusan perseroan, meliputi: a) kewajiban untuk tidak mempergunakan uang dan kekayaan (money and property) perseroan untuk kepentingan pribadinya, b) mempergunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi, c) tidak mempergunakan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi, d) tidak menaham atau mengambil sebagian dari keuntungan perusahaan untuk kepentingan pribadi, e) dilarang melakukan transaksi dengan perseroan, f) larang bersaing dengan perseroan.

Sedangkan di dalam Black’s Law Dictionary, good faith diartikan sebagai

A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.

Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.73

Direksi sebagai orang yang bertugas untuk memberikan arahan dan mengelola perusahaan, memiliki tanggung jawab untuk tidak menjalankan perusahaan dengan cara yang berbahaya dan melanggar hukum. Ketika direksi dan pejabat perusahaan dengan sengaja membawa perusaaan ke arah tindak pidana, maka mereka tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana. Ketika mereka membuat atau menganjurkan etos atau budaya yang konduktif atau toleran terhadap sesuatu yang melanggar hukum, atau dengan sengaja menutup mata terhadap kegiatan-kegitan yang tidak jelas hukumnya, maka mereka harus dimintakan pertanggungjawabannya.74

Namun, direktur juga memperoleh perlindungan terhadap tanggung jawab yang diembannya. Terdapat perlindungan khusus yang diberikan kepada direksi dalam hal dia telah melakukan itikad baik sehubungan dengan kelalaian, kesalahan, pelanggaran kewajiban atau pelanggaran kepercayaan. Berikut merupakan hal-hal yang dapat meringankan direktur dari tanggung jawabnya secara keseluruhan ataupun sebagian, yaitu:75

73

Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Pertanggungjawaban Pidana (Corporate Crime Liability) PT.

Lapindo Brantas dalam Tindak Pidana Lingkungan (Studi Kasus Semburan Lumpur Banjar Panji I Sidoarjo), http://www.sokonagoro.com/12-pertanggungjawaban-pidana-corporate-crime-liability.html, diakses tanggal 26 Mei 2011

74

James Gobert, Maurice Punch, Rethinking Corporate Crime, (London: LexisNexis Butterworths Tolley, 2003), hal 268

75

1) direktur itu bertindak secara jujur, 2) direktur itu bertindak secara wajar,

3) direktur itu, dengan mempertimbangkan semua keadaan, cukup tepat untuk dimaafkan.

Hal tersebut di atas dapat dilihat dari Pasal 97 ayat (5) yang menyatakan bahwa apabila anggota direksi dapat membuktikan hal-hal tersebut di bawah ini, maka anggota direksi tidak harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian ataupun tindak pidana yang terjadi. Isi dari Pasal 97 ayat (5) UUPT tersebut yaitu:

1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun ttidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

B. Prinsip Fiduciary Duty bagi Direksi dalam Menjalankan Pengurusan

Dokumen terkait