• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Direksi Terkait Prinsip Business Judgment Rule Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Direksi Terkait Prinsip Business Judgment Rule Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKSI TERKAIT

PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE TERHADAP TINDAK

PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

TESIS

OLEH:

FADLIELAH HASANAH

097005012/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKSI TERKAIT PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE TERHADAP TINDAK PIDANA

LINGKUNGAN HIDUP

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FADLIELAH HASANAH 097005012/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKSI TERKAIT PRINSIP BUSINESS JUDGMENT

RULE TERHADAP TINDAK PIDANA

LINGKUNGAN HIDUP

Nama Mahasiswa : Fadlielah Hasanah

Nomor Pokok : 097005012

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Dr. M. Hamdan, SH, MH) K e t u a

(Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. M. Hamdan SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum N. Sirait SH, MLI 2. Dr. Mahmul Siregar SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi SH, MH

(5)

ABSTRAK

Pentingnya lingkungan hidup bagi manusia mengharuskan manusia untuk mengelola lingkungan hidup dengan baik dan benar, sehingga kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi dapat terjamin. Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya pembangunan, dan sering kali pembangunan itulah yang menyebabkan lingkungan hidup menjadi rusak. Pembangunan ini dapat berupa perusahaan-perusahaan yang bersifat perseroan terbatas.

Direksi sebagai organ perseroan terbatas yang bertugas sebagai pengurus sehari-hari perseroan, berkewajiban untuk membuat keputusan yang tepat, penuh kehati-hatian dan beritikad baik dalam melaksanakan tugasnya. Namun, selalu ada kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan setelah keputusan dibuat, meskipun pada awalnya keputusan itu dapat diterima. Hal-hal yang tidak diharapkan itu bisa saja berupa kerugian ataupun tindak pidana bagi korporasi.

Oleh sebab itu, dibentuklah suatu prinsip yang dikenal dengan business judgment rule, yang sering digunakan untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Prinsip ini bertujuan untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.

Dalam tesis ini, permasalahan yang dibahas yaitu mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana direksi terkait prinsip business judgment rule yang dapat dijadikan alasan pengecualian hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

Adapun metode yang dipakai untuk pengumpulan data dalam tesis ini yaitu penelitian pustaka, yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku karya ilmiah, perundang-undangan dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait.

Dari hasil tesis ini dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana direksi, khususnya terkait tindak pidana lingkungan hidup, masih jauh dari yang diharapkan, dikarenakan tidak adanya perlindungan yang dapat diberikan kepada direksi yang telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian.

Berdasarkan uraian di atas diharapkan pembuatan peraturan yang secara tegas mengatur tentang tanggung jawab perusahaan, baik badan usaha itu sendiri, maupun organ-organ di dalamnya, dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga, tidak terjadi kekeliruan dalam penentuan siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal terjadi tindak pidana lingkungan hidup.

Kata kunci:

(6)

ABSTRACT

The importance of the environment for humans requires them to manage the environment properly, so the survival of human beings from generation to generation can be guaranteed. Human life is inseparable from the development, construction and often that is what causes the environment to be damaged. The development may include limited liability companies.

Board of Directors as an organ of Limited Liability Company served as a board member, is obliged to make the right decision, full of prudence and good faith in performing their duties. However, there is always the possibility of things that are not expected after the decision was made, although at first the decision was acceptable. Things are not expected it could have been a loss or a criminal act for the corporation.

Thus, created a principle known as the Business Judgment Rule, which is often used to ensure justice for the directors who have in good faith. This principle intended to achieve justice, especially for the directors of a limited company in making a business decision.

In this thesis, which discussed the issue of how the criminal liability of directors related to the principle of business judgment rule that can justify an exception to the environment criminal law.

The method used for collecting data in this thesis is the research library, which is done by collecting data from scientific papers, legislation and other documents related.

From the results of this thesis can be concluded that the criminal liability of directors, particularly related to environmental crime, is still far from expected, due to the lack of protection may granted to directors who have been carrying out their duties in good faith and prudently.

Based on the above description, legislator is expected to make a rule that firmly regulates the liabilities of companies whether business entity itself, or the organs within it, in environmental management. So, there was no error in determining who should be responsible in case of environmental crime.

Key Words:

(7)

DAFTAR SINGKATAN

AD : Anggaran Dasar

B3 : Bahan Berbahaya dan Beracun CSR : Corporate Social Responsibility EPI : Environmental Performance Index GCG : Good Corporate Governance

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham RUU : Rancangan Undang-Undang

UNCED : United Nations Conference on Environment and Development UUD : Undang-Undang Dasar

UUPPLH : Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah Swt., berkat rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Direksi terkait Prinsip Business Judgment Rule terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang Penulis miliki.

Dalam penyelesaian tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga selaku dosen penguji; 4. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH selaku pembimbing utama yang telah

(9)

menyelesaikan perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI dan Bapak Dr. Mahmul Siregar SH, M.Hum selaku dosen pembimbing yang penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini;

7. Para Guru Besar dan semua Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan;

8. Seluruh staff sekretariat Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan informasinya yang diberikan kepada Penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan sehingga pembuatan tesis;

(10)

waktunya untuk mendengarkan keluh kesah Penulis selama ini, sehingga Penulis dapat menyelesaikan program studi ini dengan baik;

10. Teman-teman kuliah di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, teman-teman seangkatan 2009/2010 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terutama Silvia Devie, Maria, Risda, Pak Asmanuddin, Cahaya, Pak Elman dan teman-teman lainnya Reza, Elvin, Amir, Miranda, Li Pei Jung dan juga rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi pada Penulis sehingga tesis ini dapat selesai.

Akhir kata Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan segala masukan serta saran untuk penyempurnaan tesis ini Penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA DIRI

Nama : Fadlielah Hasanah

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 19 Desember 1987 Alamat : Jl. Karya Setuju No. 51 Medan Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Deli Maju, Medan (1993-1999) 2. SLTP Negeri 7 Medan (1999-2002) 3. SMA Sutomo 2 Medan (2002-2005)

4. S-1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan (2005-2009)

5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan (2009-2011)

Medan, Juni 2011 Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………. ii

DAFTAR SINGKATAN ……….. iii

KATA PENGANTAR ………. iii

RIWAYAT HIDUP ……… vii

DAFTAR ISI ……… viii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan …….……… 19

C. Tujuan Penelitian ……… 19

D. Manfaat Penelitian ……….. 20

E. Keaslian Penelitian ………. 21

F. Kerangka Teori dan Konsep ……… 22

1. Kerangka Teori ……… 22

2. Konsep ……… 26

G. Metode Penelitian ……… 31

1. Jenis dan Sifat Penelitian ……… 31

(13)

3. Sumber dan Bahan Hukum ………. 33

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ………. 34

5. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum … 34 H. Sistematika Penulisan ………. 35

BAB II PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS ……… 38

A. Organ Perseroan Terbatas ……… 38

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) …………. 39

2. Dewan Komisaris ... 42

3. Direksi ………. 45

i. Tugas Direksi ..……….. 46

ii. Tanggung Jawab Pribadi ……… 51

B. Prinsip Fiduciary Duty bagi Direksi dalam Menjalankan Pengurusan Perseroan Terbatas ………… 55

C. Doktrin Ultra Vires bagi Direksi dalam Menjalankan Pengurusan Perseroan Terbatas ………. 60

D. Prinsip Derivative Action dalam UUPT ……….. 61

(14)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DI BIDANG

LINGKUNGAN HIDUP …..……… 71

A. Lingkungan Hidup dalam UUPPLH ……….. 71 B. Sanksi Pidana dalam UUPPLH ………. 73 C. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

UUPPLH ………. 83 D. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Pasal 116

UUPPLH ……… 90

BAB IV PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DALAM

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI SEBAGAI

ALASAN PENGECUALIAN HUKUM DALAM

PENJATUHAN PIDANA ………..……… 94

A. Pertanggungjawaban Pidana Direksi dalam Tindak Pidana Lingkungan ……….... 94 B. Alasan Pengecualian Hukum bagi Direksi atas

Penjatuhan Pidana ……….. 99 C. Prinsip Business Judgment Rule sebagai Alasan

(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 115

A. Kesimpulan ....……… 115 B. Saran ……….. 118

(16)

ABSTRAK

Pentingnya lingkungan hidup bagi manusia mengharuskan manusia untuk mengelola lingkungan hidup dengan baik dan benar, sehingga kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi dapat terjamin. Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya pembangunan, dan sering kali pembangunan itulah yang menyebabkan lingkungan hidup menjadi rusak. Pembangunan ini dapat berupa perusahaan-perusahaan yang bersifat perseroan terbatas.

Direksi sebagai organ perseroan terbatas yang bertugas sebagai pengurus sehari-hari perseroan, berkewajiban untuk membuat keputusan yang tepat, penuh kehati-hatian dan beritikad baik dalam melaksanakan tugasnya. Namun, selalu ada kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan setelah keputusan dibuat, meskipun pada awalnya keputusan itu dapat diterima. Hal-hal yang tidak diharapkan itu bisa saja berupa kerugian ataupun tindak pidana bagi korporasi.

Oleh sebab itu, dibentuklah suatu prinsip yang dikenal dengan business judgment rule, yang sering digunakan untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Prinsip ini bertujuan untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.

Dalam tesis ini, permasalahan yang dibahas yaitu mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana direksi terkait prinsip business judgment rule yang dapat dijadikan alasan pengecualian hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

Adapun metode yang dipakai untuk pengumpulan data dalam tesis ini yaitu penelitian pustaka, yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku karya ilmiah, perundang-undangan dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait.

Dari hasil tesis ini dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana direksi, khususnya terkait tindak pidana lingkungan hidup, masih jauh dari yang diharapkan, dikarenakan tidak adanya perlindungan yang dapat diberikan kepada direksi yang telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian.

Berdasarkan uraian di atas diharapkan pembuatan peraturan yang secara tegas mengatur tentang tanggung jawab perusahaan, baik badan usaha itu sendiri, maupun organ-organ di dalamnya, dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga, tidak terjadi kekeliruan dalam penentuan siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal terjadi tindak pidana lingkungan hidup.

Kata kunci:

(17)

ABSTRACT

The importance of the environment for humans requires them to manage the environment properly, so the survival of human beings from generation to generation can be guaranteed. Human life is inseparable from the development, construction and often that is what causes the environment to be damaged. The development may include limited liability companies.

Board of Directors as an organ of Limited Liability Company served as a board member, is obliged to make the right decision, full of prudence and good faith in performing their duties. However, there is always the possibility of things that are not expected after the decision was made, although at first the decision was acceptable. Things are not expected it could have been a loss or a criminal act for the corporation.

Thus, created a principle known as the Business Judgment Rule, which is often used to ensure justice for the directors who have in good faith. This principle intended to achieve justice, especially for the directors of a limited company in making a business decision.

In this thesis, which discussed the issue of how the criminal liability of directors related to the principle of business judgment rule that can justify an exception to the environment criminal law.

The method used for collecting data in this thesis is the research library, which is done by collecting data from scientific papers, legislation and other documents related.

From the results of this thesis can be concluded that the criminal liability of directors, particularly related to environmental crime, is still far from expected, due to the lack of protection may granted to directors who have been carrying out their duties in good faith and prudently.

Based on the above description, legislator is expected to make a rule that firmly regulates the liabilities of companies whether business entity itself, or the organs within it, in environmental management. So, there was no error in determining who should be responsible in case of environmental crime.

Key Words:

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat dan bangsa yang ada di dunia. Hal ini dikarenakan lingkungan hidup merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya. Alam yang indah dan lestari merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia yang ada di dalamnya. Lingkungan yang indah dan lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan keselamatan manusia. Begitu pula sebaliknya, lingkungan yang rusak dan terancam punah, akan membawa pengaruh buruk bagi kehidupan manusia.

Pentingnya lingkungan hidup bagi manusia mengharuskan manusia untuk mengelola lingkungan dengan benar, sehingga kelangsungan hidup manusia sekarang dan generasi mendatang terjamin. Dengan demikian diharapkan agar kehidupan dan lingkungan dalam suasana yang baik dan menyenangkan tetap dimiliki. Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan untuk mendapat lingkungan yang baik dan menyenangkan tersebut, seperti merubah sifat dalam memandang dan memperlakukan alam sebagai hal bukan sebagai sumber kekayaan yang bisa dieksploitasi, kapan dan dimana saja.

(19)

seringkali pembangunan itulah yang menyebabkan lingkungan hidup menjadi rusak. Hessel mengatakan bahwa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Emil Salim yang mengatakan bahwa penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah industri, aktivitas industri telah menghasilkan kotoran limbah ampas industri yang sangat serius mencemarkan lingkungan.1

Dengan demikian perlu diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Pelaksanaan ini harus dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.

Kondisi lingkungan hidup yang sangat penting bagi kehidupan manusia merupakan isu utama bagi semua negara dewasa ini. Sehingga diselenggarakan beberapa forum konferensi internasional yang membahas pembangunan dan dampaknya terhadap lingkungan hidup, antara lain:

1. Konferensi Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Swedia tentang Lingkungan Hidup Manusia menjadi tonggak bagi bangsa-bangsa untuk membangun komitmen pada pelestarian lingkungan hidup, dan sejak itu masalah lingkungan hidup menjadi perhatian internasional.2

2. Konferensi Rio de Jeneiro yang dilaksanakan pada tanggal 21 Desember 1990 dalam rangka pelaksanaan resolusi sidang umum PBB No. 45/211, dan

1

Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004), hal 1

(20)

keputusan No. 46 tanggal 13 April 1992. Konferensi ini dikenal dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), yang

menggariskan prinsip-prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.3

3. Program kerja The Commission on Crime Prevention and Criminal Justice yang dilaksanakan pada tahun 1992-1996. Atas dasar program kerja ini, diselenggarakan kongres ke 9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para pelaku yang diselenggarakan di Cairo 29 April 1995 menjadikan lingkungan hidup sebagai salah satu agenda utama.

Di Indonesia, pembahasan mengenai lingkungan hidup dan pembangunannya dapat dilihat melalui:

1. Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 (TAP MPR Nomor IV Tahun 1999) digariskan bahwa pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi, meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.4

2. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang merupakan pembaruan dari

3

Henny Damaryanti, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana

Lingkungan Hidup, (Semarang: Tesis, Universitas Diponegoro, 2002), hal. 2

4

(21)

undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pengaturan mengenai pengelolaan lingkungan hidup tersebut telah diatur, namun tetap saja Indonesia berada di peringkat 134 dari 163 negara di dunia, dengan nilai: 44,6. Peringkat Indonesia ini turun dibandingkan dengan Environmental Performance Index (EPI) 2008 atau Indeks Kinerja Lingkungan 2008, dua tahun lalu

Indonesia berada di peringkat 102 dari 149 negara di dunia dengan indeks: 66,2 (dari kemungkinan 100). Survey ini dilakukan dan disusun oleh tim ahli lingkungan di Yale University dan Columbia University dalam EPI 2010. Survey ini dilakukan terhadap seluruh negara di dunia untuk mengetahui peringkat negara-negara di dunia dalam memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.5

Menurut EPI, Indonesia mendapat nilai tinggi di kategori pertanian (di peringkat 41) dan biodiversitas dan habitat (di peringkat 75). Kinerja biodiversitas lebih didukung dalam upaya pelestarian kawasan lindung laut (di peringkat 36), namun dukuangan dari sektor Kehutanan kecil. Kinerja kehutanan Indonesia dinilai paling buruk, yaitu di peringkat 160 yang merupakan nomor empat dari bawah, dengan nilai: 18.9. Buruknya nilai kategori kehutanan ini dikarenakan indikator untuk penutupan vegetasi hutan dinilai buruk dan hanya menduduki peringkat: 145. Selain itu, kinerja Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim tergolong tidak mengesankan, karena berada di peringkat 107. Indonesia juga dinilai masih lemah

5

(22)

dalam pengendalian polusi berupa pelepasan karbon dalam penyediaan listrik yang berada pada peringkat 121 dan polusi (partikel) udara kota yang berada pada peringkat 141.6

Survey yang dilaksanakan EPI tersebut menegaskan kembali pemikiran Emil Salim bahwa penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah industri. Aktivitas industri menghasilkan kotoran limbah ampas industri serta polusi yang sangat serius mencemarkan lingkungan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa industri, sebagai bentuk pembangunan suatu negara, merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas manusia.

Persoalan lingkungan akibat pembangunan dan industrialisasi tidak hanya melanda kehidupan negara per negara, tetapi juga merupakan persoalan internasional (antar bangsa). Bahkan dianggap sebagai salah satu isu penting dalam proses globalisasi, yang merupakan proses saling ketergantungan antar bangsa yang semakin meningkat akibat perkembangan teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern.7

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi ini, memberikan peluang akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan atau badan hukum atau korporasi transnasional. Peran korporasi semakin dirasakan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Kemudian, pemerintah melalui

6 Ibid. 7

(23)

peraturan-peraturan juga memberikan kemudahan-kemudahan dalam berusaha dan fasilitas lainnya terhadap korporasi.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah kepada korporasi menjadikan korporasi berkembang ke dalam skala yang sangat besar. Kehadiran korporasi banyak memberikan arti yang besar bagi dunia dan memberikan kontribusi bagi perkembangan suatu negara, terutama dalam bidang ekonomi, misalnya pemasukan negara dalam bentuk pajak maupun devisa, sehingga dampak korporasi tampak sangat positif.8

Dampak yang diberikan korporasi terhadap lingkungan hidup dapat berupa dampak positif maupun dampak negatif. Adapun dampak negatif dari korporasi di antaranya pencemaran, pengurasan sumber daya alam, persaingan secara curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, menghasilkan produk-produk yang membahayakan pemakainya, serta penipuan terhadap konsumen.9 Seringkali demi penghematan investasi dan pengurangan biaya produksi, korporasi tidak mempunyai fasilitas pengolah limbah industri, sehingga limbah atau sisa-sisa dari usaha industri dibuang secara bebas ke dalam sungai.10

Perkembangan industri juga menimbulkan produk sampingan, yaitu pencemaran air sungai dan laut akibat dari pembuangan limbah industri, pencemaran udara akibat dari peningkatan kadar dioxide dari cerobong-cerobong asap pabrik dan

8

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologi Dan Pertanggungjawaban Korporasi

Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing Cet. 2, 2004), hal. 1

9 Ibid. 10

(24)

pembakaran minyak oleh kendaraan bermotor, serta kerusakan lingkungan alam oleh hasil indusri berupa barang-barang kimia, seperti pestisida yang mempengaruhi kesehatan rakyat.11 Luasnya dan cenderung bertahan lamanya dampak negatif yang diciptakan korporasi ini, menjadikan perlunya hukum sebagai instrument pengatur dan pengayom masyarakat luas serta memberikan perhatian dan pengaturan terhadap aktivitas korporasi.12

Meningkatnya kegiatan industri beserta dengan perkembangan teknologi menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat. Hal ini tentu menuntut perlindungan lingkungan hidup untuk mendapat perhatian hukum.13 Beberapa peranan yang diharapkan pada korporasi di dalam proses modernisasi atau pembangunan, diantaranya memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup,14 dan saat korporasi tidak memenuhi kewajiban tersebut, korporasi dan agen-agennya dapat dibuat bertanggung jawab atas pelanggaran dari hukum lingkungan.15

Pertanggungjawaban pidana korporasi pertama kali diterapkan oleh negara-negara common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, dikarenakan sejarah revolusi industri yang terjadi lebih dahulu pada negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan yang semula untuk menghukum korporasi, pengakuan

11

Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Mutiara, 1983), hal 3 12

Setiyono, Loc. Cit. 13

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta: PT Sofmedia, 2009), hal 28

14

Ibid., hal 27 15

(25)

terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh pengadilan Inggris mulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan. Beberapa alasan keengganan menghukum tersebut, antara lain: korporasi merupakan subyek hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires (bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila melanggar Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea (niat untuk melakukan kejahatan) serta siapa yang harus hadir dalam persidangan secara pribadi. Akhirnya, itu semua menjadi hambatan untuk menghukum korporasi dengan sanksi yang setimpal.16

Menurut KUHP Indonesia, korporasi bukan merupakan subyek hukum pidana, ini berarti korporasi tidak dapat dipidana sehingga kejahatan yang dilakukan oleh korporasi bukan merupakan kejahatan menurut hukum pidana umum. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila KUHP yang berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918 hingga sekarang, hanya mengenal orang perseorangan yang bisa menjadi pelaku tindak pidana. Hal itu dipertegas dengan adanya ketentuan Pasal 59 KUHP yang berbunyi: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.” Ketentuan Pasal 59 KUHP tersebut jelas

16

(26)

maksudnya bahwa hanya pengurus atau komisarisnya yang dianggap sebagai subyek hukum (subyek tindak pidana) dan bukan perusahaannya (korporasi).17

Akan tetapi dalam perkembangannya, baik dalam perundang-undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi yang memuat ketentuan pidana di dalamnya, sebagian besar telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana. Bahkan, dalam Penjelasan Umum Buku I Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP 1999-2000 dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, maka subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person), tetapi juga mencakup manusia hukum (jurisical person) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula

dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau pengurusnya saja.18

Perkembangan hukum pidana di Indonesia mengenai pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dilangsungkan melalui tiga sistem pertanggungjawaban korporasi, yaitu:19

1. pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab;

17

Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, (Malang: PT Bayumedia, 2006), hal 222 18

Ibid. 19

(27)

2. korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab, dan 3. korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Disejajarkannya kata pelaku dan korporasi, memiliki makna bahwa keduanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri, bukan alternatif. Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat perbuatan individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Sedangkan kepada korporasi lebih ditujukan untuk 'mengganti' kerugian yang ditimbulkan. Kedua wujud pertanggungjawaban tersebut dalam kerangka menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan.20

Pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana diterapkan di berbagai negara pada masa yang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada latar belakang sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap-tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada ujungnya ada suatu kesamaan pandangan, yaitu perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, telah mendorong pemikiran bahwa subyek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah saja (natural persoon), tetapi juga meliputi korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.21

Adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana, sudah mendunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penyelenggaraan konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of Corporation di Atena pada

20

Lihat Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdictions, Makalah di OECD Anti-Corrupstion Unit, Paris, tanggal 4 Oktober 2000

21

(28)

tanggal 31 Juli hingga 6 Agustus tahun 1994. Hasilnya antara lain Finlandia yang semula tidak mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.22

Pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana juga dapat ditemukan di dalam sistem hukum Inggris dan Australia. Meskipun pengakuan ini awalnya masih ragu-ragu, tetapi sekarang hukum Inggris dan Australia telah mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, sekalipun tidak untuk semua kejahatan. Menurut Gillies, korporasi atau perusahaan adalah orang atau manusia dalam mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dapat dilakukan oleh manusia sehingga diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak dan dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan.23

Tidak hanya Inggris dan Australia, Amerika Serikat yang merupakan keluarga common law, juga telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana. Indikasi

ini sehubungan dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh agennya, yaitu dengan ketentuan bahwa 1) perbuatan yang dilakukan itu berada dalam lingkup pekerjaannya; 2) perbuatan itu untuk kepentingan korporasi. Penggabungan konsep antara pertanggungjawaban perdata dan pidana itu dapat mengobati pemikiran para sarjana hukum yang telah

22

Ibid., hal 204 23

(29)

lama merasa terganggu dengan adanya pendikotomian antara kedua konsep pertanggungjawaban tersebut.24

Di Indonesia, permasalahan mengenai hukuman dan pertanggungjawaban terhadap kolektivitas dapat dilihat di dalam hukum adat Indonesia, bahkan telah dikenal sejak tahun 1988. Menurut penelitian yang pernah dilakukan J.E. Sahetapy, di beberapa daerah di kepulauan Indonesia, sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, dikenakan kewajiban membayar denda atau kerugian kepada pihak keluarga dari orang dibunuh atau kecurian. Jadi pidana terhadap koletivitas atau untuk masa kini korporasi bukanlah suatu yang baru bagi orang Indonesia.”25

Saat ini, pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP, ataupun perundang-undangan administrasi yang memuat ketentuan pidana di dalamnya. Akan tetapi, tetap saja terlihat masih ada ketidaktuntatasan pembentuk undang-undang (kebijakan formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana. Hal itu tidak sejalan dengan ide bahwa subyek hukum pidana tidak lagi dibatasi pada manusia alamiah saja.26 Adapun ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan suatu korporasi dianggap harus bertanggung jawab, ataupun bagaimana cara menentukan pertanggungjawabannya.

24

John C. Coffe, Corporate Criminal Responsibility, (1983) dalam Sanford H Kadish (ed.),

Encyclopedia of Crime and Justice, (New York: The Free Press, Volume 1), hal 253

25

Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 42

26

(30)

Contoh ketentuan yang menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:27

1. Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15)

2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984, tentang Pos (Pasal 19 ayat (3)).

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Pasal 5 ayat (3)). 4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Pasal 20).

5. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 4 ayat (1)).

6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 116).

Tidak adanya pengaturan di dalam hukum pidana umum (KUHP) Indonesia mengenai prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) mengakibatkan kebijakan formulasi yang menyangkut subyek tindak pidana korporasi tidak berlaku secara umum. Kebijakan ini terbatas dan hanya berlaku terhadap beberapa undangan khusus di luar KUHP. Salah satunya diatur dalam perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Konsekuensi yuridis dengan tidak diaturnya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam Buku I KUHP (sebagai ketentuan

27

(31)

umum hukum pidana) yaitu pengaturannya dalam undang-undang di luar KUHP menjadi sangat beraneka ragam.28

Adanya pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang ditandai dengan penyusunan Rancangan KUHP, melalui Pasal 47 Rancangan KUHP menyatakan secara tegas bahwa: “korporasi merupakan subyek tindak pidana”. Ketentuan ini menunjukkan adanya upaya untuk menjangkau pertanggungjawaban pidana korporasi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan telah menunjukkan adanya akses perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi untuk memperoleh keadilan, yakni penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan.29

Korporasi sebagai artificial person, memerlukan manusia dalam melaksanakan kegiatannya. Manusia itu haruslah seseorang yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan atas nama korporasi tersebut. Oleh sebab itu, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi harus memenuhi semua unsur-unsur atau syarat-syarat berikut:30

1. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commision31 maupun ommision32) dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang di dalam struktur

28

Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa Media, 2009), hal 75

29

Ibid., hal 114-115 30

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 2007), hal 117 – 124

31

Menurut Topo Santoso, Hukum Pidana 1, http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/ HUKUMPIDANA1.pdf, diakses tanggal 6 Juni 2011.

Delik Komisi yaitu melanggar larangan dengan perbuatan aktif.

(32)

organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya. Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat diberlakukan dalam hal tindak pidana:

a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasar secara formal menjalankan pengurusan korporasi, dan/atau

b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan: 1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan

pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi, atau

2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana disebut di atas untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi.

c. Diperintahkan oleh mereka yang tersebut dalam huruf ‘a’ dan ‘b’ di atas, agar dilakukan oleh orang lain.

32

Topo Santoso, Loc. Cit.

Delik Omisi yaitu melakukan delik dengan perbuatan pasif. Delik omisi ini dapat dibagi menjadi:

a)Delik Omisi murni, yaitu melanggar perintah dengan tidak berbuat, Contohnya:

1. Pasal 164 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa mengetahui ada sesuatu pemufakatan untuk kejahatan … sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan tentang itu kepada … dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan dengan pidana penjara …”

2. Pasal 224 KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

(1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; (2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. b) Delik Omisi tak murni, yaitu melanggar larangan dengan tidak berbuat,

Contohnya:

Pasal 194 KUHP, yang berbunyi

(1) Barang siapa dengan sengaja menimbulkan bahaya bagi lalu lintas umum yang digerakkan oleh tenaga uap atau berkekuatan mesin lain di jalan kereta api atau trem, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(33)

2. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Kegiatan tersebut berupa kegiatan intra vires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya.

3. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Artinya, apabila tindak pidana itu tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah di dalam korporasi tersebut, sehingga karena itu personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana.

4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Manfaat dapat berupa keuntungan finansial atau non finansial atau dapat menghindarkan/mengurangi kerugian finansial maupun non finansial bagi korporasi.

5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Di Indonesia, melalui Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa di dalam Perseroan Terbatas terdapat organ-organ perseroan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.33 Kedudukan dan posisi ketiga organ perseroan tersebut sejajar. RUPS bukan merupakan badan tertinggi di dalam suatu perseroan setelahnya dewan komisaris ataupun dewan direksi, ataupun sebaliknya.34

Para anggota direksi sebagai salah satu organ vital dalam pengelolaan perseroan atau perusahaan, mempunyai kedudukan dan kewenangan dalam menjalankan pengurusan perseroan dan mempunyai kapasitas dalam mewakili perseroan. Dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pengurus perseroan, direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan penuh dengan tanggung jawab, serta menerapkan prinsip-prinsip wajib dipercaya (fiduciary duty), wajib

33

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 34

(34)

melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar (duty to act for a proper purpose), wajib patuh menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty), wajib loyal terhadap perseroan (loyalty duty), wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conflict of interest), wajib seksama dan berhati-hati melaksanakan pengurusan (the

duty of the due care), dan wajib melaksanakan pengurusan secara tekun dan cakap

(duty to be diligent and skill).35

Besarnya kedudukan dan kewenangan para anggota direksi mengakibatkan direksi memiliki tanggung jawab yang besar pula. Pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada direksi yaitu anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang dialami perseroan, dan dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka diterapkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng (hoofdelijk en gezamenlijk aansprakelijk, jointly and severally liable).36

Pembebanan pertanggungjawaban terhadap direksi atau pengurus korporasi harus dibuktikan dengan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Dalam hal ini pengurus korporasi harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.

Prinsip penting lainnya yang harus diterapkan direksi dalam menjalankan

tugasnya sebagai pengelola dan pengurus perusahaan, yaitu business judgment rule.

35

Lihat, Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 371-381

36

(35)

Prinsip ini merupakan sebuah doktrin yang diterapkan untuk melindungi direksi atas

setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan, selama hal itu dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik. Prinsip ini diterapkan terhadap pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka.37

Berikut merupakan contoh kasus tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan. Misalnya, pencemaran dan kerusakan alam akibat eksploitasi PT. Lapindo di Sidoarjo, atau limbah industri domestik, sampah dan polusi udara yang ada di sekeliling kita.38 Kasus pencemaran lingkungan di sekitar Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya mengakibatkan dampak timbulnya penyakit-penyakit aneh yang diderita masyarakat di Teluk Buyat.39 Kasus pencemaran air sungai Krio akibat buangan limbah B3 (cair) yang dilakukan oleh PT. Everbright. Kasus pencemaran air sungai Cimahi akibat buangan limbah cair oleh PT. Cladiatex Lestari Parahyangan (PT. Gladitex).

Dalam kasus-kasus tersebut di atas, korporasi telah melakukan tindak pidana dan yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana lingkungan tersebut yaitu korporasi, dan direksi. Direksi sebagai pemimpin perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana tersebut. Namun, dalam hal seorang direksi telah melakukan dan menjalankan tugasnya sesuai dengan good faith, sebagaimana

37

Bandingkan dengan Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal. 234, bandingkan juga dengan John A. Humbach, Director Liability for Corporate Crime: Lawyers as Safe Haven?, http://www.nyls.edu/user_files/1/3/4/17/49/1108/Humbach.pdf, Vol. 55, Nov. 2011, diakses tanggal 26 Mei 2011

38

Muhammad Topan Op. Cit., hal. 107 39

(36)

dalam business judgment rule, yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana lingkungan itu dapat dijadikan sebagai alasan pengecualian hukum terhadap direksi tersebut?

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, permasalahan di dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prinsip business judgment rule di dalam pertanggungjawaban korporasi?

2. Bagaimana ketentuan pertanggungjawaban pidana direksi menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH)?

3. Bagaimana prinsip business judgment rule dalam pertanggungjawaban pidana direksi dapat dijadikan alasan pengecualian hukum dalam penjatuhan pidana?

C. Tujuan Penelitian

Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini yang menitikberatkan antara ketentuan prinsip business judgment rule terhadap tanggung jawab direksi dan tindak pidana lingkungan hidup, maka tujuan penelitian ini adalah:

(37)

2. Untuk mengetahui serta menjelaskan mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana direksi menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH).

3. Untuk mengetahui serta menjelaskan mengenai penerapan prinsip business judgment rule sebagai alasan pengecualian hukum dalam pengaturan tindak

pidana.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun teoritis.

Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademisi di bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan hukum bisnis, serta menambah khasanah kajian di bidang lingkungan hidup.

(38)

berkaitan dengan tindak pidana korporasi, khususnya terhadap tindak pidana lingkungan hidup, serta menerapkan prinsip business judgment rule dalam pertanggungjawaban pidana direksi.

Dengan demikian manfaat penelitian ini, yaitu:

1. Diketahuinya prinsip business judgment rule di dalam pertanggungjawaban korporasi.

2. Diketahuinya ketentuan pertanggungjawaban pidana direksi menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH).

3. Diketahuinya prinsip business judgment rule sebagai alasan pengecualian hukum dalam pengaturan tindak pidana.

E. Keaslian Penelitian

(39)

nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Konsep dari prinsip business judgment rule, berasal dari Amerika, bertujuan untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan usaha oleh direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka, para anggota direksi, telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan perseroan.40

Dalam Black’s Law Dictionary, business judgment rule adalah41 “rule immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within

power of corporation and authority of management where there is reasonable basis

to indicate that transaction was made with due care and in good faith”.

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat diketahui bahwa business judgment rule melindungi direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik.42

40

Lipton dalam Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi & Komisaris (Jakarta: PT ForumSahabat, 2008), hal. 57

41

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul. Minn: West Group, 6th ed, 1999), hal. 200

42

(40)

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan.43 Menurut Sauer terdapat tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu: a. Sifat melawan hukum (unrecht); b. Kesalahan (schuld); dan c. Pidana (straf).44 Tiga persoalan dalam hukum pidana tersebut menyangkut pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang aktivitasnya dijalankan oleh para pengurus seperti manajer maupun direksi korporasi. Tiga persoalan yang dimaksud yaitu perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan pidana.45

Hukum Pidana mengenal alasan pengecualian hukum yang merupakan alasan untuk menghilangkan atau menghapus pidana. Hal ini terkait pada ikhwal alasan-alasan yang meniadakan pidana yang ketentuannya diatur dalam Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Alasan peniadaan pidana ini tercipta dikarenakan adanya bahaya atau kemungkinan nyata penjatuhan pidana secara tidak benar khususnya bekaitan dengan adanya suatu kekhilafan yang dapat dimaafkan sekalipun dalam penetapan pidana hal itu tidak akan menjadi persoalan besar, mengingat luasnya ruang gerak (room for manoeuvre) hakim.46

Alasan pengecualian hukum tersebut mengimplikasikan bahwa setiap kali perlu dilakukan koreksi berdasarkan ukuran kelayakan dan bahwa terkadang dapat dirumuskan suatu ukuran atau tingkat kesalahan minimum baik dari sejarah

43

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal. 86 44

Sauer dalam Sudarto, Ibid., hal. 62 45

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia

(Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 4

46

(41)

undangan maupun penafsiran (yang pantas) dari ketentuan perundang-undangan.47

Dalam hukum perusahaan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengelolaan dan pengurusan suatu perusahaan merupakan tugas dan tanggung jawab anggota direksi dari perusahaan tersebut. Tugas dan tanggung jawab direksi tersebut mengakibatkan direksi harus bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan perusahaan. Terkadang direksi harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang tidak dia lakukan. Untuk itulah dibuat prinsip business judgment rule.

Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi seorang

direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dimana perintah-perintah yang ditujukan kepada Dewan Direksi, atau terhadap keputusan-keputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan kepada keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat keputusan.48

Pengaturan mengenai prinsip business judgment rule ini diatur dalam Pasal 97 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas49, pasal ini menganut prinsip penegakan tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap setiap anggota direksi atas kesalahan dan kelalaian pengurusan yang dijalankan anggota direksi yang lain. Namun penerapan prinsip itu dapat disingkirkan oleh

47

Ibid., hal 280 48

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya,

Http://bismar.wordpress.com/2009/06/Kejahatan-Korporasi-Dan-Pertanggungjawabannya.Pdf, Diakses Tanggal 13 Februari 2009

49

(42)

anggota direksi yang tidak ikut melakukan kesalahan dan kelalaian, apabila anggota direksi yang bersangkutan “dapat membuktikan” hal berikut:50

a. Kerugian perseroan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,

b. Telah melakukan dan menjalankkan pengurusan perseroan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar,

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian perseroan, dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Menurut penjelasan pasal 97 ayat (5) huruf d UUPT, yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian”, termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian antara lain melalui forum rapat direksi.

Untuk menilai apakah direksi melakukan pengawasan yang cukup terhadap kegiatan-kegiatan (operasional) korporasi dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup, dapat dilihat dari51:

a. Partisipasi direksi di dalam penciptaan dan persetujuan atas rencana bisnis korporasi yang ada kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup;

b. Partisipasi aktif di bidang manajemen, khususnya menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan B3;

50

Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 386 51

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Lingkungan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009

(43)

c. Melakukan pengawasan terhadap fasilitas-fasilitas korporasi secara berulang-ulang;

d. Mengambil tindakan terhadap karyawan/bawahan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan lingkungan hidup;

e. Menunjuk/mengangkat individu yang memiliki kualitas dan kemampuan untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup korporasi;

f. Menunjuk/mengangkat konsultan yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan secara berkala;

g. Permintaan untuk mendapatkan perangkat/instrumen guna membantu manajemen maupun operasional korporasi dalam menaati hukum lingkungan; h. Meminta laporasn secara berkala kepada penanggungjawab pengelolaan

lingkungan korporasi yang menyangkut pencegahan dan perbaikan;

i. Meminta kepada manajemen korporasi untuk menerapkan program yang dapat meminimalisir kesalahan karyawan dan melaksanakan program penyuluhan; j. Menyediakan cadangan ganti kerugian yang memadai dalam tanggung jawab

korporasi terhadap kemungkinan kerugian lingkungan;

k. Direksi korporasi yang peka terhadap masalah lingkungan harus menguji ganti rugi yang memadai, mencakup tanggung jawab lingkungan secara khusus; l. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kebijakan tanggung jawab

direksi dan pejabat, sehingga dari aspek komersil perusahaan ansuransi dapat memberi dana yang memadai.

Apabila direksi telah mengambil/melakukan langkah-langkah tersebut, maka tanggung jawab lingkungan direksi dapat berkurang. Tindakan direksi tersebut setidak-tidaknya hanya dapat dikategorikan sebagai kealpaan (neglience) bukan kesengajaan.

2. Konsep

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan di dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka konseptual sebagaimana yang terdapat di bawah ini.

(44)

alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

b. Tindak Pidana Lingkungan Hidup, yaitu tindakan mencemarkan atau merusak lingkungan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 115 UUPPLH. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

c. Pertanggungjawaban Pidana, yaitu kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya itu.

d. Alasan Pengecualian Hukum, yaitu alasan penghapusan pidana yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu: alasan pemaaf yang merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan dari si pelaku/terdakwa, dan alasan pembenar yang merupakan alasan menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan.

(45)

f. Perusahaan, yaitu Perseroan Terbatas, yang juga disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 40 tahun 2009 serta peraturan pelaksanaannya

g. Business Judgment Rule, yaitu perlindungan terhadap direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik. Hal ini diatur di dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT No. 40 tahun 2007, yang berbunyi:

a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;

d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

(46)

perundang-undangan (statutory duty), wajib loyal terhadap perseroan (loyalty duty)

i. Fiduciary Duty, yaitu setiap anggota direksi “wajib dipercaya” dalam melaksanakan tanggung jawab pengurusan perseroan. Seperti yang disebutkan di dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT No. 40 tahun 2007, yang berbunyi:

“Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”.

Dan Pasal 98 ayat (1), yang berbunyi:

“Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”.

j. Corporate Opportunity, yaitu prinsip yang menyatakan pengurus wajib melakukan tindakan yang menguntungkan perusahaan, tidak boleh mengambil keuntungan untuk diri sendiri. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 97 ayat (2) yang berbunyi:

“Pengurusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”

Dan juga Pasal 99 ayat (1) yang berbunyi:

“Anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila:

a. terjadi perkara di Pengadilan dengan anggota Direski yang bersangkutan; atau

(47)

k. Ultra Vires, yaitu perbuatan direksi yang melampaui kewenangan yang diatur di dalam Anggaran Dasar. Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (3), yang berbunyi:

“Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

Selain itu prinsip ini juga diatur dalam Pasal 114 ayat (3) yang berbunyi:

“Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

l. Self Dealing, yaitu prinsip yang menyatakan direksi tidak boleh melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri. Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (5) huruf c yang berbunyi:

“Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

(48)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif.52 Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan masalah “Pertanggungjawaban Pidana Direksi terkait Prinsip Business Judgment Rule terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup”.

2. Pendekatan Masalah

Tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).53

Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat perhatian utama dalam penelitian ini ialah

52

Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan istilah doktrinal, yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam perundang-undangan (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process).

Ronny Hanitijo Soemitro dalam bukunya berjudul Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, menyebutkan: Penelitian Hukum Normatif Atau Penelitian Hukum Doktrinal Dibedakan Atas: 1) Penelitian Inventarisasi Hukum Positif, 2) Penelitian Terhadap Asas-Asas Hukum, 3) Penelitian Untuk Menemukan Hukum In Concreto, 4) Penelitian Terhadap Sistematik Hukum, 5) Penelitian Terhadap Taraf Sinkronisasi Vertikal Dan Horizontal.

Sedangkan menurut Soerdjono Soekanto, penelitian hukum normatif mencakup: a. penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. penelitian terhadap sistematika hukum; c. penelitian sejarah hukum;

d. penelitian perbandingan hukum. 53

(49)

kebijakan dalam menetapkan dan merumuskan tindak pidana berikut pertanggungjawabannya di dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian, penelitian ini menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan kegunaan dari metode penelitian hukum normatif, yaitu untuk mengetahui dan mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu.54

Pendekatan perundang-undangan, konseptual dan komparatif dipandang perlu untuk pendalaman, di samping sebagai pelengkap pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan perundang-undangan diperlukan untuk memperoleh gambaran mengenai aplikasi pertanggungjawaban direksi terhadap tindak pidana lingkungan hidup, yang didasarkan pada kebijakan legislatif.

Pendekatan konseptual digunakan dalam rangka untuk lebih memahami mengenai adanya prinsip business judgment rule bagi direksi dalam pertanggungjawabannya. Sehingga dalam melakukan pertanggungjawabannya direksi tetap mendapatkan perlindungan hukum. Penelitian ini juga melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana direksi terkait prinsip business judgment rule terhadap tindak pidana lingkungan hidup dapat teridentifikasi. Selanjutnya penelitian ini juga melakukan pendekatan komparatif. Pendekatan komparatif ini dimaksudkan untuk melakukan kajian terhadap asas-asas

54

(50)

dan norma-norma yang berkaitan dengan upaya dan strategi dalam pertanggungjawaban direksi, termasuk di dalamnya instrumen-instrumen internasional.

3. Sumber dan Bahan Hukum

Penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan yang bersumber dari perpustakaan dan dokumen pemerintah. Adapun sumber dan bahan hukum yang dimaksud diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer, terdiri dari:

(a) Norma atau kaedah dasar, yaitu alinea keempat pembukaan UUD 1945; (b) Peraturan dasar, yaitu Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 H ayat (1), serta Pasal

33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;

(c) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korporasi terutama pelanggaran terhadap tindak pidana lingkungan hidup serta bentuk tanggung jawab yang harus diberikan oleh direksi dan prinsip-prinsip yang dapat membela direksi.

b) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum;

(51)

Filsafat dan lainnya yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian.

Surat kabar, majalah mingguan juga menjadi sumber bahan bagi penulisan tesis ini. Sepanjang surat kabar dan majalah tersebut memuat informasi yang relevan dengan pertanggungjawaban pidana direksi serta penerapan prinsip business judgment rule terhadap tindak pidana lingkungan hidup.55

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan penelitian diperoleh dengan penelitian kepustakaan. Bahan-bahan dikumpulkan dan dicatat menjadi kutipan langsung, ikhtisar dan analisis. Bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi dan mengoleksi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana direksi terkait prinsip business judgment rule terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Bahan hukum yang diperoleh dengan menggunakan penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, kemudian diuraikan dan dihubungkan dengan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

55

(52)

Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deskriptif-analisis, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pola kecenderungan dalam penanganan pertanggungjawaban direksi terkait prinsip business judgment rule terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Sehingga kemudian dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum dalam penyusunan perundang-undangan perseroan terbatas dan lingkungan hidup secara tepat.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN

(53)

BAB II : PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS

Dalam bab ini diuraikan tentang organ-organ yang terdapat di perseroan terbatas, serta prinsip-prinsip dan doktrin yang harus dilakukan direksi dalam menjalankan pengurusan korporasi. Prinsip dan doktrin yang diuraikan di bab ini yaitu prinsip fiduciary duty, doktrin ultra vires, prinsip derivative action, dan prinsip business judgment rule.

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

Pada bab ini diuraikan mengenai bagaimana pengertian dan tujuan dari lingkungan hidup menurut Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bagaimana ketentuan sanksi pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut, serta menguraikan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dan bagaimana pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 116 UUPPLH.

(54)

Pada bab ini dijelaskan mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana direksi dalam tindak pidana lingkungan. Apakah ada alasan pengecualian hukuman bagi direksi yang dijatuhi pidana atasnya. Serta bagaimana prinsip business judgment rule dijadikan sebagai alasan pengecualian hukum bagi direksi dalam penjatuhan pidana.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(55)

BAB II

PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS

A. Organ-organ Perseroan Terbatas

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT, Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang dikualifikasi sebagai tersangka/terdakwa maka yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, adalah: Orang yang

Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang dikualifikasi sebagai tersangka/terdakwa maka yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, adalah: orang yang

Hasil penelitian mengenai latar belakang pentingnya penerapan pidana terhadap korporasi yang meiakukan TPLH (Tindak Pidana Lingkungan Hidup) di KIM, berangkat dari alasan

Pengertian tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, jadi dalam arti luas hal

Sedangkan pengertian dari tindak pidana seperti dalam Pasal 170 KUHP tersebut adalah suatu tindak pidana yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup (Membahas Putusan Hakim P.N. Manado Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mdo) Tesis :

rumah sakit), maka yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah pengurus.. Perumusan ketentuan pidana lingkungan hidup sebagaimana

Apabila terjadi pencemaran lingkungan terkait dengan limbah rumah sakit maka pertanggungjawaban pengurus rumah sakit terkait dengan tindak pidana lingkungan hidup