• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disabilitas Fisik

TINJAUAN PUSTAKA

A. Disabilitas Fisik

Disabilitas adalah sebuah istilah yang berarti pelemahan, pembatasan aktivitas dan pelarangan partisipasi (WHO, 2013). The International Classification of Functioning Disability and Health (ICF) mengategorisasikan permasalahan keberfungsian manusia dalam tiga area yang saling berhubungan: 1) Impairment adalah permasalahan dalam fungsi tubuh atau perubahan dalam struktur tubuh, seperti kebutaan, 2) pembatasan aktivitas adalah kesulitan dalam melakukan aktivitas, seperti berjalan atau makan, dan 3) pelarangan partisipasi adalah permasalahan dengan keterlibatan dalam aspek kehidupan, seperti diskriminasi dalam pekerjaan dan transportasi (WHO, 2011). Melihat pengertian diatas, bisa disimpulkan bahwa disabilitas bukan hanya meliputi keterbatasan fungsi tubuh, namun juga respon dari lingkungan yang menghambat fungsi individu secara sosial ataupun okupasional.

Di Indonesia, dalam UU RI nomor 4 tahun 1997, penyandang disabilitas dibedakan dalam tiga kategori, yaitu 1) penyandang disabilitas fisik, 2) penyandang disabilitas mental, dan 3) penyandang disabilitas fisik dan mental. Berdasarkan kategorinya, penyandang disabilitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas fisik. Disabilitas fisik

adalah seuatu kondisi yang secara permanen mencegah individu untuk mengendalikan pergerakan tubuh secara normal (Parenting Child Health,

2014). Contohnya adalah disabilitas sensoris seperti kebutaan, tuli, bisu dan disabilitas fisik lainnya seberti cerebral palsy, kerusakan sumsum tulang belakang, dan kehilangan fungsi salah satu anggota tubuh seperti tangan dan kaki.

Focal point dalam penanganan permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia ditangani oleh Kementerian Sosial, yang mana tugas-tugasnya lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial, seperti proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Irwanto, 2010).

B. Stigma

Salah satu definisi paling awal dari stigma diajukan oleh Goffman (1963) yang mendeskripsikan stigma sebagai sebuah atribut yang meragukan kualitas individu target stigma, membuat target stigma dari individu biasa menjadi seseorang yang tidak bisa berfungsi secara normal. Menurut Ali dkk (2012), stigma adalah sebuah proses dimana kelompok tertentu dimarginalkan dan dikurangi nilainya oleh lingkungan sosial karena nilai, karakterisitik, dan praktiknya berbeda dari kelompok budaya yang dominan. Stigma tidak muncul semata-mata karena adanya atribut pada individu. Atribut negatif pada suatu kelompok harus diberikan oleh kelompok orang yang memiliki kuasa sebagai sesuatu yang tidak diinginkan.

Ada berbagai model pendekatan yang berusaha menjelaskan terbentuknya stigma (Boyle, 2010). Pendekatan klasik Affect-Behavior-Cognition (ABC)

theory of attitudes dianggap yang paling relevan dengan penelitian ini. Pendekatan inimemandang bahwa stigma terbentuk atas adanya prasangka (elemen afektif), stereotipe (elemen kognitif), dan diskriminasi (elemen perilaku) (Stier & Hinshaw, 2007)

Gambar 1. Affect-Behavior-Cognition Theory of Attitude

Sumber: Stier & Hinshaw (2007)

Stereotipe adalah evaluasi atau respon kognitif terhadap kelompok sosial dan anggota kelompoknya yang didasarkan informasi yang terbatas. Prasangka adalah atribut konseptual yang diasosiasikan dengan suatu kelompok dan anggota kelompoknya. Diskriminasi merupakan perilaku menghindar, hostilitas, dan menolak untuk memberi bantuan. Meskipun prasangka dan stereotiope berakar dari sebuah mekanisme memertahankan diri, namun fungsinya di lingkungan sosial yang modern sangatlah kompleks dan dampaknya lebih sering merugikan (Amodio, 2014).

Individu memroses informasi yang berkaitan dengan stigma kepada kelompok tertentu melalui dua level, yaitu level eksplisit dan level implisit.

Stereotipe (Elemen Kognitif) Prasangka (Elemen Afektif) Diskriminasi (Elemen Perilaku) Stigma (Attitudes)

1. Stigma Eksplisit

Stigma eksplisit adalah stigma yang dilakukan secara sadar dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior, 2014) yang mana pengukurannya biasanya menggunakan skala self-report dan survei. Contoh dari stigma eksplisit antara lain perasaan yang dingin kepada penyandang disabilitas, keengganan berinteraksi dengan penyandang disabilitas, menganggap bahwa penyandang disabilitas merupakan individu yang rapuh dan merupakan objek amal, merasa takut atau gugup bahkan jijik kepada penyandang disabilitas, serta menolak memberi pertolongan, menjauh, mengindar, bahkan menghina penyandang disabilitas.

Sejauh ini, hasil penelitian stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas menghasilkan penemuan yang variatif. Beberapa menemukan angka stigma yang rendah (Wahl dkk, 2012; Hsu dkk, 2015) dan beberapa menemukan angka stigma yang tinggi (Durand-Zaleski dkk, 2012; Girma dkk, 2013; Werner dkk, 2015; Werner, 2015). Penelitian juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki frekuensi interaksi yang tinggi dengan individu penyandang disabilitas (Boyle dkk, 2010; Goreczny dkk, 2011; Corrigan dkk, 2012; Waqas dkk, 2014) dan individu yang memiliki latar belakang pendidikan yang memadai (Corrigan dkk, 2012; Deka, 2013) menunjukan stigma eksplisit yang rendah. Kontak dengan

penyandang disabilitas diyakini menghasilkan sikap yang lebih positif, tidak hanya dengan individu yang memiliki kontak, namun kepada kelompok penyandang disabilitas secara umum (Lowder, 2007; Ferrara, 2015).

Sayangnya, penelitian stigma ekpslisit yang menggunakan self-reported quiestionnaire sebagai alat ukurnya dipertanyakan validitasnya. Di era modern yang menjunjung persamaan hak bagi semua manusia seperti sekarang, pengungkapan stigma secara eksplisit kepada penyandang disabilitas menjadi hal yang tabu untuk dilakukan (Alterado, 2013). Faktor

social desireability, dimana individu termotivasi untuk memunculkan respon yang dipercaya dapat diterima secara social, membuat para peneliti di bidang sikap memertanyakan apakah pengukuran stigma eksplisit benar-benar sudah menggambarkan sikap individu terhadap penyandang disabilitas (Wilson & Scior, 201). Bukan hanya lemahnya alat ukur di level eksplisit, namun bias juga bisa saja terjadi pada level individu, dimana motivasi untuk bersikap positif terhadap penyandang disabilitas tidak menjamin bahwa individu akan merespon tanpa bias juga terhadap penyandang disabilitas (Devine & Plant, 2002). Jadi, penelitian stigma eksplisit berbasis self-repport tidak bisa mengukur stigma bila individu tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa ia memiliki stigma, atau individu tidak ingin mengungkapkan stigma yang dimiliki.

Selain pengukuran terhadap stigma eksplisit, dalam tiga dekade terakhir mulai muncul berbagai alat pengukuran stigma implisit tanpa meliputi proses introspeksi partisipan (Bar-Anan & Nosek, 2014). Stigma implisit adalah stigma yang tidak dapat dikendalikan secara sadar (Wilson & Scior, 2014) seperti kontak mata dan bahasa tubuh. Penelitian terkait stigma implisit didasarkan pada ketidakmampuan pengukuran stigma eksplisit dengan cara self-reported dalam memrediksi perilaku (Nosek dkk, 2011). Greenwald dan Banaji (dalam Nosek & Hansen, 2008) menyatakan bahwa pengukuran implisit lebih menjanjikan sebuah gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran individu dibandingkan apa yang individu laporkan. Nyatanya, partisipan dalam penelitian implisit menunjukan hasil yang lebih negatif dari sikap eksplisitnya (Burkhardt & Haney, 2012). Pengukuran stigma implisit, yang dilakukan diluar kesadaran subyek, menampilkan landasan yang lebih akurat untuk mendeskripsikan nilai dan perilaku dan menjadi prediktor yang lebih baik terhadap perilaku (Aaberg, 2012).

Dokumen terkait