• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KESEGERAAN FEEDBACK BIAS IMPLIS (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH KESEGERAAN FEEDBACK BIAS IMPLIS (1)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Disusun Oleh: Diah Deir Zahrani

NIM. 125120300111015

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

PENGARUH KESEGERAAN F EEDBACK BIAS IMPLISIT TERHADAP STIGMA EKSPLISIT KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

SKRIPSI

Disusun Oleh: Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing

Pembimbing I

Cleoputri Al Yusainy, Ph.D. NIP. 19760823 200812 2 002

Pembimbing II

Ika Herani S. Psi, M. Si. NIP. 19770628 200812 2 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Psikologi

(3)

Malang, 4 Maret 2016 Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Darsono Wisadirana, M. S NIP. 19561227 198312 1 001

SKRIPSI

PENGARUH KESEGERAAN F EEDBACK BIAS IMPLISIT TERHADAP STIGMA EKSPLISIT KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Disusun Oleh: Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana pada tanggal 4 Februari 2016

Tim Penguji Pembimbing I

Cleoputri Al Yusainy, Ph.D. NIP. 19760823 200812 2 002

Pembimbing II

Ika Herani S. Psi, M. Si. NIP. 19770628 200812 2 002 Anggota Penguji I

Faizah S.Psi, M.Psi NIP. 19801220 201504 2 001

Anggota Penguji II

(4)

Nama: Diah Deir Zahrani

NIM: 125120300111015

Menyatakan dengan kesungguhan bahwa skripsi berjudul PENGARUH

KESEGERAAN FEEDBACK BIAS IMPLISIT TERHADAP STIGMA EKSPLISIT

KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK adalah benar-benar karya saya

sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut diberi tanda kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa penyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Malang, 4 Maret 2016 Yang membuat pernyataan,

(5)

Skripsi ini dipersembahkan kepada pihak-pihak yang membantu masa studi saya selama tiga setengah tahun untuk mendapatkan gelar Sarjana. Menuliskan nama mereka pada halaman ini adalah salah satu cara yang terpikirkan untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

1. Ayah, Ibu, dan adik laki-laki saya, yang terus mengingatkan akan kehangatan rumah, membuat saya teringat bahwa tujuan saya pergi 800 km dari rumah adalah untuk mereka yang ada di Bogor

2. Cleoputri Al-Yusainy, Ph.D, yang dari awal pertemuan kelas psikiatri sampai saat ujian kompre selalu menginspirasi saya untuk terus belajar. Beliau juga adalah orang yang bisa dikatakan sebagai mastermind dari skripsi ini

3. Ika Herani S.Psi, M.Si, yang mengajarkan kebaikan hati dan kebijaksanaan pada sekelompok anak yang sering lupa diri. Seorang ibu dengan kesibukan segudang namun tetap selalu tersenyum saat membimbing

4. Wahyu Wicaksono, Ph.D, yang senantiasa ada untuk membantu kami dan terus menyemangati kami untuk belajar dan mengabdi

(6)

saya temui. Mengajarkan saya politik halus tetap dibutuhkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan

7. Gawan Srengenge, butuh halaman lebih untuk menjabarkan semua kontribusinya pada saya selama setahun terakhir

8. Fitryanda Akpewila, teman yang bertemu karena dipaksa namun berakhir istimewa. Tanpa dia mungkin skripsi saya tidak akan rampung secepat ini. Dia adalah norma dan sumber disiplin saya. Salah satu orang yang saya syukuri keberadaannya.

9. Andina Ayu Talitasari, Dian Wahyu Hastari, dan Ilma Hanifah, teman seperjuangan dari semester 1, berawal dari tempat yang sama, sekarang mengambil jalan yang berbeda, namun terus saling menyemangati tanpa henti

10.Rinanda Rizky, Fitra Hermawandhika, Susmita Elva, Melita Gusti, Anantha Mutiara, Veronika Btari, Dian Lestari, Dian Safitri, Diandra Febriswari, teman-teman research group Placebo yang berjuang bersama, dan tanpa lelah saling mendukung dan membantu sampai hari ujian

11.Teman-teman miXth Event Organizer angkatan 2012-2013 yang setia meramaikan Sempro dan Ujian saya, terima kasih untuk keceriannya (cc: Samsul, Ninda, Ata, Rere, Ayin, Agis, Lala, Tyas, Fanny, Wicak, Fani, Am, Oza, Tito, Suri, Rama, Radit, Reza, Candika, dan Cody) 12.Teman-teman asisten praktikum, yang setia membackup saya ketika

(7)

Gawan, Gita, Kartika, Linata, Mia, Reza, Nisrina, Nopri, Sam, Riza, Rizka, Roys, Tiffany, dan Vania)

(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabillitas fisik, yang dibuat untuk memenuhi sebagian syarat memeroleh gelar Sarjana Psikologi. Feedback bias implisit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian informasi hasil pengukuran terkait seperti apa pandangan partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik di level implisit. Sikap yang ditunjukkan partisipan di level implisit merupakan bentuk sikap yang sifatnya otomatis dan tidak disadari, jadi hasil pengukuran di level implisit akan menunjukkan angka yang bebas dari social desirability.

Penelitian tentang sikap implisit berkembang seiring dengan munculnya berbagai variasi alat ukur dan kemajuan teknologi. Salah satu alat yang paling sering digunakan dalam dunia penelitia selama 30 tahun terakhir, yang juga digunakan pada penelitian ini adalah Single Category-Implicit Association Test

(SC-IAT).

Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa pihak yang telah berkontribusi pada penelitian ini:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Darsono Wisadirana, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(9)

dosen pembimbig skripsi. Terima kasih atas pengarahan, bimbingan, dan waktu yang telah diberikan selama proses pembuatan skripsi ini

4. Ibu Unita Werdi Rahajeng, M.Psi untuk pengarahan dan solusi yang sangat membantu saat ujian dan revisi, serta yang telah bersedia mengikutsertakan mahasiswaanya sebagai partisipan dalam penelitian paying ini. Ibu Faizah S.Psi, M.Psi yang juga selaku dosen penguji, terima kasih atas waktu dan bimbingannya selama revisi.

5. Mas Ignatius Ryan S.Psi dan Mas Bima Pusaka S, S.Psi, sebagai mentor dalam research group yang senantiasa membantu proses penulisan, pengambilan dan pengolahan data, sampai pelatihan presentasi

6. Teman-teman research group Placebo, Fitryanda Akpewila, Anantha Mutiara, Veronika Btari, Melita Gusti, Fitra Hermawandhika, Rinanda Rizky, Susmita Elva, Dian Lestari, Dian Safitri, dan Diandra Febriswari, yang telah saling bahu membahu selama proses penelitiam

7. Aninda Putri Sitorus yang sudah bersedia meluangkan lima jam waktunya yang berharga untuk jadi eksperimenter

8. Mahasiswa Psikologi angkatan 2015 yang telah bersedia menjadi partisipan peneitian

9. Serta seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian dan penulisan skripsi ini namun tidak bisa disebutkan satu persatu.

(10)

pembaca pada umumnya.

Malang, 4 Maret 2016

(11)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Orisinalitas ... iii

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat ... 8

E. Penelitian Terdahulu ... 8

F. Kekhasan Penelitian ... 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Disabilitas Fisik ... 12

B. Stigma... 13

C. Feedback Bias Implisit ... 17

D. Kerangka Berpikir ... 20

E. Hipotesis Penelitian ... 21

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 22

A. Desain Penelitian ... 22

B. Definisi Operasional ... 24

C. Partisipan ... 25

D. Instrumen Penelitian ... 26

(12)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Gambaran Umum Partisipan ... 36

B. Analisis Pendahuluan ... 37

C. Uji Hipotesis 1 ... 39

D. Uji Hipotesis 2 ... 40

E. Analisis Tambahan ... 41

F. Pembahasan Pengujian Hipotesis ... 42

G. Pembahasan Analisis Tambahan ... 46

H. Kekhasan Penelitian ... 48

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. Kesimpulan ... 50

B. Saran ... 51

(13)

Tabel Halaman

Tabel 1. Kategorisasi D-Score dan Interpretasinya ... 25

Tabel 2. Stimulus atribut untuk tiga elemen dalam Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) ... 27

Tabel 3. Struktur Single Category Implicit Association Test (SC-IAT; Karpinsky dan Steinman, 2006) ... 28

Tabel 4. Ringkasan hasil Pilot Study ... 33

Tabel 5.Data demografis partisipan ... 36

Tabel 6.Properti psikometri stigma eksplisit dan stigma implisit ... 38

Tabel 7.Properti psikometri stigma eksplisit dan implisit berdasarkan kondisi eksperimen ... 39

Tabel 8. Korelasi antara stigma eksplisit dan stigma implisit... 40

(14)

Gambar Halaman Gambar 1. Affect-Behavior-Cognition Theory of Attitude ... 14 Gambar 2. Proses Self Control dalam Feedback Loop Theory... 18 Gambar 3 Kerangka Berpikir ... 20 Gambar 4Grand Design penelitian Reduksi Stigma kepada Penyandang

Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit ... 22 Gambar 5 Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit

(15)

Lampiran Halaman

1. Social Distance Scale dan Feeling Thermometer ... 58

2. Lembar Informasi ... 59

3. Lembar informed consent ... 60

4. Lembar demografis ... 61

5. Lembar debrief ... 62

6. Protokol Eksperimen ... 65

(16)

Pengaruh Kesegeraan F eedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik

Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui pengaruh dari kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik, dan untuk 2) menggambarkan pola korelasi antara stigma ekplisit dan stigma implisit. Desain penelitian menggunakan between-subject experimental design dalam setting laboratorium, dengan partisipan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya sebanyak 46 orang. Instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma implisit adalah

Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) dan instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma eksplisit adalah Social Distance Scale (SDS) dan Feelimg Thermometer (FT). Partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, dimana satu kelompok menerima feedback segera, dan kelompok lain menerima

feedback tertunda. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara stigma eksplisit dan stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik (ps > 0,05). Meskipun demikian, hasil analisis tambahan menunjukkan adanya pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang berfokus pada sigma implisit dan strategi intervensinya pada sampel masyarakat Indonesia

(17)

The Role of Implicit Bias Feedback’s Timing on Explicit Stigma toward People with Physical Disability

Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

The aims of this study were to 1) investigate the role of implicit bias

feedback’s timing on explicit stigma and to 2) portray the correlation between explicit and implicit stigma toward physically disabled people. Between-subject experimental design was used in laboratory setting with 46 undergraduate students of Faculty of Social and Political Science of Brawijaya University as participants. Implicit stigma was measured by Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) and explicit stigma was measured by Social Distance Scale (SDS) and Feeling Thermometer (FT). Participants were divided into two groups, where feedback was immediately given and where feedback was delayed after explicit measurements. This research found no effect of implicit bias feedback’s timing on explicit stigma and no significant correlation between explicit and implicit stigma (ps > 0,05). However, additional analysis showed that there was a significant effect of sequence of compatibility on implicit stigma toward physically disabled people. Further studies that focus on implicit stigma and its intervention strategy in Indonesia are warranted

Keywords: implicit stigma; Single Category Implicit Association Test (SC-IAT);

(18)

1 A. Latar Belakang

Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia menjadi negara yang rawan bencana alam. Bukan hanya mengakibatkan kerugian infrastruktur, di Indonesia bencana alam menjadi salah satu penyebab dari disabilitas. Sekitar dua belas persen penyandang disabilitas di Indonesia tidaklah lahir dalam kondisi menyandang disabilitas, namun diakibatkan kecelakaan pasca bencana Selain bencana alam, tiga faktor penyumbang terbesar lainnya adalah karena bawaan lahir akibat kelainan genetika atau kekurangan gizi; akibat penyakit seperti kanker, stroke, dan diabetes; serta akibat kecelakaan. (Japan International Cooperation Agency Planning and Evaluation Department, 2002). Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa angka kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan, bencana alam, dan tingka kecelakaan (baik kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas) menjadi faktor-faktor resiko bagi masyarakat Indonesia terhadap disabilitas. Rentannya masyarakat Indonesia terhadap disabilitas menjadikan pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas sudah seharusnya menjadi agenda utama pihak-pihak yang bertanggungjawab.

(19)

dibandingkan individu yang tidak menyandang disabilitas (WHO dan World Bank, 2011). Di Indonesia, penyandang disabilitas harus hidup dengan sedikit sekali bantuan kesejahteraan dari pemerintah. Keadaan ekonomi Indonesia yang dikategorikan menengah membuat pelayanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas sangat minim (Byrne, 2003; ILO 2013).

Pada tahun 2011, WHO dan World Bank menyatakan bahwa kurang lebih 1 miliar orang atau 15% populasi dunia memiliki disabilitas. Tahun 2012, Survei Kesehatan Nasional mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45% (Kemenkes RI, 2014). Dalam tahun-tahun ke depan, disabilitas akan menjadi perhatian yang lebih karena prevalensinya yang meningkat seiring dengan peningkatan penyakit kronis yang mengarah pada disabilitas (WHO, 2015).

(20)

istilah stigma. Stigma adalah sebuah proses dimana suatu kelompok khusus, dalam hal ini adalah penyandang disabilitas, dimarginalkan dan dikurangi nilainya oleh lingkungan sosial, karena nilai dan karakteristik mereka yang berbeda dari kelompok yang dominan. Stigma terbentuk melalui kombinasi dari stereotipe, prasangka, dan diskriminasi (Ali dkk, 2012). Stigma yang diarahkan oleh masyarakat kepada target stigma disebut dengan stigma publik (Ciftci dkk, 2013).

Stigma publik bukan hanya bisa berakibat pada pembatasan partisipasi sosial penyandang disabilitas, namun pada level individual stigma bisa diinternalisasi oleh individu itu sendiri dan disebut self stigma. Ditambah lagi, menurut Birenbaum (dalam Ali, 2012) stigma juga bisa berdampak pada mereka yang memiliki hubungan dekat dengan penyandang disabilitas, seperti anggota keluarga, teman, bahkan para profesional yang bekerja di bidang yang bersentuhan dengan penyandang disabilitas. Stigma dalam bentuk ini dikenal dengan istilah courtesy stigma. Melihat dampak besar dari stigma publik, penelitian terkait konsep ini terutama terhadap penyandang disabilitas menjadi penting untuk dilakukan. Untuk itulah penelitian ini berusaha melihat stigma publik dari partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik.

(21)

dipengaruhi oleh social desirability, dimana individu termotivasi untuk memunculkan respon yang dipercaya dapat diterima secara sosial (Antonak &Livneh, dalam Wilson &Scior, 2013). Penelitian oleh Devine dan Plant (2002) menemukan bahwa partisipan dalam penelitiannya hanya menunjukan respon positif pada pengukuran stigma di level eksplisit, tidak pada pengukuran stigma di level implisit. Hal tersebut menunjukan betapa social desirability meningkatkan kemungkinan tidak tergambarnya stigma yang dimiliki individu secara keseluruhan

Selain stigma eksplisit, perilaku individu sebagian diprediksi oleh stigma implisit (Greenwald, Poehlman, Uhlmann, & Banaji, dalam Wilson & Scior, 2014). Stigma implisit memiliki dampak pada perilaku yang tidak dapat dikendalikan secara sadar namun tetap penting bagi pengalaman penyandang disabilitas sehari-harinya, seperti kontak mata dan bahasa tubuh (Dovidio, Kawakami, & Gaertner, dalam Wilson & Scior, 2014). Maka, penting untuk membahas lebih jauh tentang stigma implisit agar dapat mengetahui lebih baik tentang mekanisme yang dapat mengantisipasi stigma implisit (Wilson &Scior, 2014). Ciri dari stigma implisit ialah tidak bisa dilaporkan sendiri (self-reported) dan tidak bisa menjadi objek introspeksi individu (Greenwald & Banaji, 1995). Keunikan ini yang membuat pengukuran terhadap stigma implisit akan membuahkan hasil yang bebas dari risiko social desirability,

(22)

Sejauh ini, penelitian terkait stigma masih menunjukan hasil yang variatif terkait pola korelasi antara stigma implisit dan eksplisit. Di satu sisi, stigma implisit dan eksplisit dikatakan memiliki pola korelasi yang positif (Banse dkk, 2001; Thomas dkk, 2007), namun beberapa penelitian menunjukan tidak adanya korelasi antara dua level stigma tersebut (Wilson & Scior, 2014). Penggambaran pola korelasi dirasa penting guna memberikan gambaran apakah perubahan di salah satu level stigma akan diikuti dengan perubahan stigma di level lainnya.

Terdapat berbagai variasi metode pengukuran stigma implisit, salah satunya adalah alat untuk mengukur sikap implisit adalah Implicit Association Test (IAT). Cara kerja alat ini berlandaskan pada asumsi bahwa partisipan akan menglasifikasikan stimulus yang ditampilkan ketika pasangan kategori target dan kategori atribut sesuai dengan asosiasi otomatis partisipan (Wang dkk, 2012).Penelitian ini menggunakan salah satu bentuk adaptasi dari IAT yaitu Single Category Implicit Association Test (SC-IAT; Karpinski & Steinman, 2006). Jika pada IAT, partisipan dihadapkan dengan dua ketegori dan dilihat pada kategori mana preferensi partisipan cenderung mengarah, pada SC-IAT, partisipan hanya dihadapkan pada satu kategori, yaitu disabilitas.

(23)

didasarkan pada performanya selama pengukuran. Informasi ini disebut dengan istilah feedback bias implisit. Secara sederhana, feedback bias implisit berfungsi seperti sebuah kalimat pengingat dari orang lain kepada individu terkait bagaimana ia bersikap terhadap penyandang disabilitas.

Hasil yang diharapkan adalah ketika seseorang mengetahui bagaimana sebenarnya ia memandang penyandang disabilitas dan menyadari mereka telah merespon terhadap situasi dengan cara yang stigmatik, yang kontras dengan keinginan mereka untuk memerlakukan semua orang dengan cara yang sama, isyarat untuk mengendalikan (cues for control) akan muncul, untuk kemudian mengarahkan individu agar lebih berhati-hati dalam memberikan respon diskriminatif di masa yang akan datang (Shaffer, 2011). Dalam penelitian ini, partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, yang pertama kelompok yang menerima feedback bias implisit segera setelah pengukuran, yang kedua kelompok yang menerima feedback bias implisit tertunda setelah diselingi dengan pengukuran stigma eksplisit. Jika feedback bias implisit berhasil menjadi cues for control bagi partisipan, di prediksi bahwa kelompok pertama akan melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan kelompok kedua.

(24)

pengukuran stigma dikarenakan adanya proses pembelajaran. Respon yang diberikan sebagai hasil dari proses pembelajaran dianggap tidak bisa menggambarkan stigma implisit yang sesungguhnya. Mahasiswa baru diasumsikan belum pernah bersentuhan dengan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga respon yang diberikan memang benar-benar respon otomatis terhadap penyandang disabilitas.

Di Indonesia, penelitian terkait stigma di level ekplisit dan implisit masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui stigma publik dengan menguji kembali pengaruh kesegeraan peberian feedback bias implisit terhadap reduksi stigma eksplisit, menggunakan metode yang mereplikasi penelitian Menatti dkk (2013) dan Yusainy dkk (2015). Pada kedua penelitian sebelumnya, hasil menunjukan hal yang bertolak belakang dengan teori yang diasumsikan menjadi mekanisme pengaruh kesegeraan

feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit. Penelitian Menatti dkk (2013) tidak menemukan adanya perbedaan rerata yang signifikan antara dua kelompok, sedangkan penelitian Yusainy dkk (2015) justru menemukan bahwa kelompok kedua justru melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan kelompok pertama. Inkonsistensi pada hasil penelitian sebelumnya, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berfokus pada pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas.

B. Rumusan Masalah

(25)

1. Apakah terdapat pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas?

2. Apakah terdapat korelasi antara stigma implisit dan stigma eksplisit terhadap penyandang disabilitas fisik?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh urutan perlakuan bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik.

Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sejauh mana pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit.

2. Memetakan pola korelasi antara stigma implisit dengan stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat tersebut antara lain:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan serta evaluasi teori yang berkaitan dengan stigma implisit dan stigma eksplisit terhadap penyandang disabilitas fisik 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam

(26)

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang memiliki topik serupa adalah sebagai berikut: 1. Menatti, Smyth, Teachman, dan Nosek (2013) dalam penelitian yang

berjudul Reducing Stigma toward Individuals with Mental Illness. Eksperimen ini meneliti apakah pengalaman mengerjakan Brief Implicit Association Test (BIAT) dalam mengukur sikap terhadap individu dengan gangguan mental akan memengaruhi stigma eksplisit. Eksperimen ini terdiri dari dua studi. Studi pertama partisipan mengerjakan BIAT dan menerima feedback terkait tingkat bias implisit yang dimiliki. Studi kedua menambahkan kondisi dimana BIAT diadministrasikan tanpa pemberian

feedback setelahnya. Partisipan didapatkan dari pengunjung

websiteProject Implicit dengan syarat sebagai warga negara Amerika Serikat dengan usia 18 tahun keatas. Hasil penelitian menunjukan bahwa intervensi berupa pengerjaan BIAT efektif dalam menurunkan stigma terhadap individu dengan gangguan mental, dan pemberian feedback

tentang bias implisit yang dimiliki tidak dibutuhkan untuk intervensi menurunkan stigma

(27)

yang digunakan adalah between-groups experimental design dalam setting laboratorium, dimana 98 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Sejalan prediksi peneliti, hasil penelitian menunjukkan (1) tidak adanya korelasi antara stigma eksplisit dan stigma implisit, dan (2) pengerjaan instrumen stigma implisit dengan feedback tertunda mereduksi sebagian stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas. Paradigma bias implisit dapat meningkatkan efektivitas intervensi terhadap ableism, setidaknya untuk jangka pendek. 3. Wang, Huang, Jackson, dan Chen (2012) dalam penelitian berjudul

Components of Implicit Stigma against Mental Illness among Chinese

Students. Eksperimen ini adalah usaha untuk memvalidasi hasil dari penelitian stigma implisit terhadap individu dengan gangguan mental dengan sampel mahasiswa di Cina, menggunakan Single Category Implicit Association Test (SC-IAT). Partisipan terdiri dari 56 mahasiswa

(28)

4. Aaberg (2012) dalam penelitian berjudul A Path to Greater Inclusivity through Understanding Implicit Attitudes toward Disability. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap implisit dari tenaga pengajar keperawatan terhadap penyandang disabilitas menggunakan Disability Attitude Implicit Association Test. Partisipan penelitian adalah 781 tenaga pengajar jurusan keperawatan. Hasil penelitain menunjukan tenaga pengajar keperawatan memiliki bias yang kuat terhadap penyandang disabilitas.

5. Deka (2013) dalam penelitian berjudul A Study on Attitude of College Teachers and Students of Guwahati towards the Mentally Ill. Penelitian ini berusaha mengetahui sikap mahasiswa dan dosen terhadap individu dengan gangguan mental. Total 62 partisipan (31 dosen dan 31 mahasiswa) dari Guwahati direkrut untuk penelitian ini. Alat ukur yang digunakan adalah Community Attitude toward Mentally Ill (CAMI) Scale. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dosen perguruan tinggi memiliki penerimaan yang lebih tinggi terhadap individu dengan gangguan mental dibandingkan dengan mahasiswa dan siswa di dalam komunitas tertentu.

F. Kekhasan Penelitian

(29)
(30)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Disabilitas Fisik

Disabilitas adalah sebuah istilah yang berarti pelemahan, pembatasan aktivitas dan pelarangan partisipasi (WHO, 2013). The International Classification of Functioning Disability and Health (ICF) mengategorisasikan permasalahan keberfungsian manusia dalam tiga area yang saling berhubungan: 1) Impairment adalah permasalahan dalam fungsi tubuh atau perubahan dalam struktur tubuh, seperti kebutaan, 2) pembatasan aktivitas adalah kesulitan dalam melakukan aktivitas, seperti berjalan atau makan, dan 3) pelarangan partisipasi adalah permasalahan dengan keterlibatan dalam aspek kehidupan, seperti diskriminasi dalam pekerjaan dan transportasi (WHO, 2011). Melihat pengertian diatas, bisa disimpulkan bahwa disabilitas bukan hanya meliputi keterbatasan fungsi tubuh, namun juga respon dari lingkungan yang menghambat fungsi individu secara sosial ataupun okupasional.

(31)

adalah seuatu kondisi yang secara permanen mencegah individu untuk mengendalikan pergerakan tubuh secara normal (Parenting Child Health,

2014). Contohnya adalah disabilitas sensoris seperti kebutaan, tuli, bisu dan disabilitas fisik lainnya seberti cerebral palsy, kerusakan sumsum tulang belakang, dan kehilangan fungsi salah satu anggota tubuh seperti tangan dan kaki.

Focal point dalam penanganan permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia ditangani oleh Kementerian Sosial, yang mana tugas-tugasnya lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial, seperti proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Irwanto, 2010).

B. Stigma

(32)

Ada berbagai model pendekatan yang berusaha menjelaskan terbentuknya stigma (Boyle, 2010). Pendekatan klasik Affect-Behavior-Cognition (ABC)

theory of attitudes dianggap yang paling relevan dengan penelitian ini. Pendekatan inimemandang bahwa stigma terbentuk atas adanya prasangka (elemen afektif), stereotipe (elemen kognitif), dan diskriminasi (elemen perilaku) (Stier & Hinshaw, 2007)

Gambar 1. Affect-Behavior-Cognition Theory of Attitude

Sumber: Stier & Hinshaw (2007)

Stereotipe adalah evaluasi atau respon kognitif terhadap kelompok sosial dan anggota kelompoknya yang didasarkan informasi yang terbatas. Prasangka adalah atribut konseptual yang diasosiasikan dengan suatu kelompok dan anggota kelompoknya. Diskriminasi merupakan perilaku menghindar, hostilitas, dan menolak untuk memberi bantuan. Meskipun prasangka dan stereotiope berakar dari sebuah mekanisme memertahankan diri, namun fungsinya di lingkungan sosial yang modern sangatlah kompleks dan dampaknya lebih sering merugikan (Amodio, 2014).

Individu memroses informasi yang berkaitan dengan stigma kepada kelompok tertentu melalui dua level, yaitu level eksplisit dan level implisit.

Stereotipe (Elemen Kognitif)

Prasangka (Elemen Afektif)

Diskriminasi (Elemen Perilaku) Stigma

(33)

1. Stigma Eksplisit

Stigma eksplisit adalah stigma yang dilakukan secara sadar dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior, 2014) yang mana pengukurannya biasanya menggunakan skala self-report dan survei. Contoh dari stigma eksplisit antara lain perasaan yang dingin kepada penyandang disabilitas, keengganan berinteraksi dengan penyandang disabilitas, menganggap bahwa penyandang disabilitas merupakan individu yang rapuh dan merupakan objek amal, merasa takut atau gugup bahkan jijik kepada penyandang disabilitas, serta menolak memberi pertolongan, menjauh, mengindar, bahkan menghina penyandang disabilitas.

(34)

penyandang disabilitas diyakini menghasilkan sikap yang lebih positif, tidak hanya dengan individu yang memiliki kontak, namun kepada kelompok penyandang disabilitas secara umum (Lowder, 2007; Ferrara, 2015).

Sayangnya, penelitian stigma ekpslisit yang menggunakan self-reported quiestionnaire sebagai alat ukurnya dipertanyakan validitasnya. Di era modern yang menjunjung persamaan hak bagi semua manusia seperti sekarang, pengungkapan stigma secara eksplisit kepada penyandang disabilitas menjadi hal yang tabu untuk dilakukan (Alterado, 2013). Faktor

social desireability, dimana individu termotivasi untuk memunculkan respon yang dipercaya dapat diterima secara social, membuat para peneliti di bidang sikap memertanyakan apakah pengukuran stigma eksplisit benar-benar sudah menggambarkan sikap individu terhadap penyandang disabilitas (Wilson & Scior, 201). Bukan hanya lemahnya alat ukur di level eksplisit, namun bias juga bisa saja terjadi pada level individu, dimana motivasi untuk bersikap positif terhadap penyandang disabilitas tidak menjamin bahwa individu akan merespon tanpa bias juga terhadap penyandang disabilitas (Devine & Plant, 2002). Jadi, penelitian stigma eksplisit berbasis self-repport tidak bisa mengukur stigma bila individu tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa ia memiliki stigma, atau individu tidak ingin mengungkapkan stigma yang dimiliki.

(35)

Selain pengukuran terhadap stigma eksplisit, dalam tiga dekade terakhir mulai muncul berbagai alat pengukuran stigma implisit tanpa meliputi proses introspeksi partisipan (Bar-Anan & Nosek, 2014). Stigma implisit adalah stigma yang tidak dapat dikendalikan secara sadar (Wilson & Scior, 2014) seperti kontak mata dan bahasa tubuh. Penelitian terkait stigma implisit didasarkan pada ketidakmampuan pengukuran stigma eksplisit dengan cara self-reported dalam memrediksi perilaku (Nosek dkk, 2011). Greenwald dan Banaji (dalam Nosek & Hansen, 2008) menyatakan bahwa pengukuran implisit lebih menjanjikan sebuah gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran individu dibandingkan apa yang individu laporkan. Nyatanya, partisipan dalam penelitian implisit menunjukan hasil yang lebih negatif dari sikap eksplisitnya (Burkhardt & Haney, 2012). Pengukuran stigma implisit, yang dilakukan diluar kesadaran subyek, menampilkan landasan yang lebih akurat untuk mendeskripsikan nilai dan perilaku dan menjadi prediktor yang lebih baik terhadap perilaku (Aaberg, 2012).

C. F eedback Bias Implisit

Prosedur yang diadaptasi dari penelitian Menatti dan kolega (2013) dalam penelitian ini adalah usaha untuk mengetahui apakah kesadaran akan bias implisit yang dimiliki dan pengalaman mengerjakan pengukuran stigma implisit dapat memodifikasi stigma eksplisit partisipan. Kesadaran akan bias implisit dimunculkan dengan pemberian feedback bias implisit. Feedback

(36)

tentang sejauh mana bias implisit yang dimiliki seseorang. Dalam tampilan

feedback bias implisit, partisipan diberikan informasi tentang berapa angka dan valensi stigma implisit yang ia miliki terhadap penyandang disabilitas fisik, apakah angka menunjukan valensi positif atau valensi negatif.

Dalam penelitian ini, variabel kesegeraan pemberian feedback bias implisit terbagi ke dalam dua variasi yaitu pemberian feedback segera dan pemberian

feedback tertunda. Feedback segera berarti informasi terkait pandangan partisipan kepada penyandang disabilitas fisik diberikan langsung setelah pengukuran stigma implisit. Sedangkan feedback tertunda berarti informasi terkait pandangan partisipan kepada penyandang disabiitas fisik ditunda pemberiannya, dengan diberikannya pengukuran stigma eksplisit setelah stigma implisit baru diakhiri pemberian feedback. Salah satu teori yang mendasari mekanisme pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit adalah teori self-control.

(37)

Gambar 2. Proses Self Control dalam Feedback Loop Theory

Sumber: Carver & Scheier (1982)

Dalam konteks penelitian ini prosesnya adalah pada tahap test pertama kali, individu akan membandingkan konsep diri idealnya terkait bagaimana seharusnya ia berpandangan terhadap penyandang disabilitas fisik dengan hasil yang ditunjukan pada feedback bias implisit. Bila individu mendapati bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil yang ditunjukan pada

feedback bias implisit dengan konsep diri idealnya, kesenjangan ini akan bertindak sebagai cues for control yang mengarahkannya pada tahap

operate.Cues for control adalah stimulus eksternal yang mengaktifkan mekanisme regulasi diri yang akan membantu mempertahankan diri dari aksi bias yang tidak diinginkan (Menatti dkk, 2013). Pada tahap operate iniah self-control terkativasi meregulasi diri partisipan. Setelah tahap operate, individu akan kembali membandingkan konsep dirinya dengan bagaimana ia memandang penyandang disabilitas fisik. Individu akan memasuki tahap exit

ketika sudah tidak ada lagi kesenjangan yang terjadi antara konsep diri dengan pandangan yang ia laporkan.

Monteith dan kolega (2002) menemukan bahwa partisipan penelitiannya yang berhadapan dengan kesenjangan antara hasil pengukuran implisit dengan kepercayaan yang dimiliki akan mengembangkan mekanisme self control

(38)

stigma dengan cara menunjukan ketidaksesuaian antara sikap ideal yang diharapkan individu dengan stigma yang dimilikinya (Devine dkk, 1991; Plant & Devine 1998; 2009, dalam Menatti dkk, 2013). Dalam penelitian Menatti dan kolega (2013), pengalaman menerima pengukuran stigma implisit memengaruhi stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas mental dan penurunan stigma eksplisit tidak terkait dengan kesegeraan pemberian

feedback bias implisit. Sejauh mana efektifitas kesegeraan pemberian feedback

bias implisit dalam mereduksi stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas fisik di Indonesia akan diujicobakan dalam penelitian ini.

D. Kerangka Berpikir

Kerangka pemikiran berikut ini menjelaskan hubungan antar variabel;

Hipotesis 1

Hipotesis 2

Gambar 3. Kerangka Berpikir

X merupakan kesegeraan pemberian feedback bias implisit. Kondisi perlakuan 1 (X1) menerima urutan perlakuan dengan feedback segera dan kondisi perlakuan 2 (X2) menerima urutan perlakuan dengan feedback

tertunda. Y merupakan stigma eksplisit yang dilaporkan partisipan melalui

Stigma Implisit Stigma Eksplisit

Kesegeraan feedback bias implisit

Feedback segera

Feedback tertunda

(39)

kuisioner self-report yaitu Social Distance Scale (SDS) dan Feeling Thermometer (FT).

Pada kedua kondisi perlakuan, partisipan pertama kali dihadapkan dengan pengukuran stigma implisit dengan menggunakan Single Category Implicit Association Test (SC-IAT). Ketika partisipan menyadari mereka telah merespon dengan cara stigmatik, yang kontras dengan keinginan mereka, partisipan akan menyadari adanya kesenjangan antara konsep ideal diri dengan fakta diri yang ia hadapi. Kesenjangan ini akan mengaktifkan self-control

yang akan mengarahkan partisipan untuk mereduksi stigmanya di level eksplisit.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang dibuat, maka hipotesis yang diajukan adalah:

1. Terdapat pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik.

(40)

22 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari grand design penelitian yang berjudul Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit, oleh Cleoputri Yusainy Ph.D dan Ika Herani S.Psi, M.Si yang mereplikasi penelitian Menatti dkk (2013) tentang stigma publik kepada individu dengan gangguan mental. Terdapat tiga kondisi dalam penelitian Menatti (2013) yaitu, kondisi 1) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma eksplisit dilanjutkan dengan pengukuran stigma implisit dan pemberian feedback bias implisit, kondisi 2) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit dilanjutkan dengan pemberian

feedback bias implisit dan pengukuran stigma eksplisit, kondisi 3) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit dilanjutkan dengan pengukuran stigma eksplisit dan pemberian feedback bias implisit.

Gambar 4.Grand Design penelitian Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit

KONDISI 2

(41)

Sub-bab ini membahas mengenai metode yang digunakan untuk menjawab masalah utama penelitian 1) Apakah terdapat korelasi antara stigma implisit dan stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas, 2) Sejauh mana urutan perlakuan (pengukuran stigma implisit dan feedback bias implisit) memengaruhi stigma eksplisit yang dilaporkan.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif eksperimen dalam

setting laboratorium dengan between subjects experimental design,yang mereplikasi penelitian Menatti dkk (2013), terkait stigma publik kepada individu dengan gangguan mental, namun pada penelitian ini target stigma ditujukan kepada individu penyandang disabilitas fisik. Partisipan dibagi dalam 2 kondisi, yaitu 1) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit, diikuti pemberian feedback atas bias implisit dan pengukuran stigma implisit, dan 2) Kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit, diikuti pengukuran stigma eksplisit dan pemberian feedback bias implisit.

Gambar 5. Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kesegeraan feedback

bias implisit sebagai variabel independen dengan variasi feedback segera KONDISI 1

(42)

(immediate) dan feedback tertunda (delayed), dan stigma eksplisit sebagai variabel dependen.

B. Definisi Operasional 1. Stigma implisit

Sikap yang berada diluar kendali sadar atau kesadaran dikenal sebagai stigma implisit. Stigma implisit terbentuk atas adanya prasangka (elemen afektif), stereotipe (elemen kognitif), dan diskriminasi (elemen perilaku).. Stereotipe adalah evaluasi atau respon afektif terhadap kelompok sosial dan anggota kelompoknya yang didasarkan pada informasi yang terbatas. Prasangka adalah atribut konseptual yang diasosiasikan dengan suatu kelompok dan anggota kelompoknya. Reaksi diskriminasi merupakan perilaku menghindar, hostilitas, dan menolak untuk memberi bantuan 2. Kesegeraan feedback bias implisit

Feedback bias implisit adalah informasi mengenai bias implisit partisipan terhadap penyandang disabilitas yang dihitung berdasarkan D-Score, yaitu kekuatan asosiasi antar kategori yang diukur, pada masing-masing patisipan (Menatti dkk, 2013). Variasi dari variabel independen adalah penyajian feedback segera dan penyajian feedback tertunda.

(43)

dengan diberikannya pengukuran stigma eksplisit setelah stigma implisit baru diakhiri pemberian feedback.

Penggolongan d-score yang ditampilkan di layar komputer partisipan didasarkan pada kategorisasi dari penelitian Menatti dan kolega (2013), dijabarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategorisasi D-Score dan Interpretasinya (Menatti dan kolega, 2013)

d-score Interpretasi

Skor absolut -0,65 Asosiasi implisit tinggi dengan atribut negatif -0,64 – -0,35 Asosiasi implisit sedang dengan atribut negatif -0,34 – -0,15 Asosiasi implisit rendah dengan atribut negatif -0,14 – +0,14 Tidak ada perbedaan / Tidak ada bias implisit +0,15 – +0,34 Asosiasi implisit rendah dengan atribut positif +0,35 – +0,64 Asosiasi implisit sedang dengan atribut positif Skor absolut +0,65 Asosiasi implisit tinggi dengan atribut positif

3. Stigma Eksplisit

Stigma eksplisit adalah sikap negatif yang ditunjukkan secara sadar, terkendali, dan reflektif. Stigma eksplisit terhadap penyandang disabilitas diukur melalui social distance scale (SDS; Lampiran 1) dan feeling thermometer (FT; Lampiran 1). Keduanya adalah modifikasi kuisioner dari Wang dan kolega (2012). Semakin rendah skor total SDS dan skor total FT, semakin tinggi stigma eksplisit yang dilaporkan oleh partisipan. C. Partisipan

(44)

pengerjaan pengukuran stigma dikarenakan adanya proses pembelajaran. Respon yang diberikan sebagai hasil dari proses pembelajaran dianggap tidak bisa menggambarkan stigma implisit yang sesungguhnya. Mahasiswa angkatan 2015 psikologi diasumsikan belum pernah bersentuhan dengan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga respon yang diberikan memang benar-benar respon otomatis terhadap penyandang disabilitas. Partisipan direkrut dari kelas Biopsikologi angkatan 2015. Setiap partisipan mendapat kompensasi 10% nilai kuis.

Berdasarkan hasil analisis statistical power dengan menggunakan

G*Power versi 3.1 menunjukkan bahwa dengan effect size kategori large

(d=0.40), Alpha level sebesar 0.05, dan power sebesar 0.80, dibutuhkan total sampel N ≥ 66 untuk 3 kondisi perlakuan. Sehingga, 1 kondisi perlakuan

membutuhkan 22 partisipan. Untuk mengantisipasi kemungkinan

dataexclusion, penelitian ini menggunakan total sampel N=73 (ditambah 10% dari total sampel), atau n=24 untuk tiap kondisi. Partisipan dialokasikan ke dalam kondisi eksperimen dengan menggunakan prosedur random assignment

menggunakan aplikasi randomizer. D. Instrumen Penelitian

(45)

diukur menggunakan Social Distance Scale (SDS) dan dimensi afektif diukur mneggunakan Feeling Thermometer (FT)

1. Stigma Implisit - Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) Instrumen ini adalah pengembangan dari instrument terdahulu bernama

Implicit Association Test (IAT). Penggunaan SC-IAT dibandingkan dengan IAT didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini hanya menggunakan satu kategori yaitu disabilitas, sedangkan IAT adalah alat yang lebih cocok untuk mengukur sikap implisit terhadap dua kategori. Penelitian terkait propertik psikometrik terhadap SC-IAT menunjukan bawa alat ini bisa dikatakan alat yang memadai untuk mnegukur stigma implisit dengan satu kategori secara akurat (Bar-Anan & Nosek, 2014; Wang dkk, 2012; Rebar dkk, 2015)

Instrumen SC-IAT terdiri atas dua level; incompatible dan compatible

(Cronbach alpha 0,92). Secara total, terdapat tiga kategori stimulus yang harus direspon oleh partisipan, yaitu 1) empat simbol yang merepresentasikan target penyandang disabilitas, 2) dua belas atribut positif, contoh :menyenangkan (elemen afektif SC-IAT), mendekat (elemen perilaku SC-IAT), kompeten (elemen kognitif SC-IAT), dan 3) dua belas atribut negatif, contoh : bosan (elemen afektif SC-IAT), menghindari (elemen perilaku SC-IAT), rapuh (elemen kognitif SC-IAT).

Tabel 2. Stimulus atribut untuk tiga elemen dalam Single Category Implicit Association Test (SC-IAT)

Elemen Atribut

Positif Negatif

SC-IAT Kognitif

Terpuji, kompeten, harga diri, kuat

(46)

SC-IAT Afektif

Gembira, santai, riang, ceria Stimulus target diperoleh dari penelitian Nosek dan kolega (2007), sedangkan stimulus atribut merupakan hasil modifikasi dari penelitian Wang dan kolega (2012).

Tabel 3. Struktur Single Category Implicit Association Test (SC-IAT)

Level Trial** Kategori

(kanan atas)

*Urutan level incompatible dan compatible disajikan secara random kepada partisipan

** Data practice trials tidak diolah untuk penghitungan D-score

Penyajian stimulus pada level incompatible - compatible selalu diawali dengan instruksi mengenai dimensi stimulus dan respon yang tepat. Pada level compatible, target Penyandang Disabilitas + Atribut negatif tampil pada sisi kiri atas, Atribut positif pada sisi kanan atas, dan stimulus yang harus direspon tampil pada sisi tengah layar monitor. Partisipan harus

secepatnya menekan huruf “P” pada keyboard jika muncul stimulus dari

kategori ‘‘Penyandang Disabilitas” atau ‘‘Atribut negatif’’, dan huruf “Q”

jika muncul stimulus dari kategori “Atribut positif”. Sebaliknya pada level

(47)

dari kategori “Atribut negatif”, dan huruf “Q” jika muncul stimulus dari

kategori “Penyandang Disabilitas” atau ‘‘Atribut positif.’’ Apabila

partisipan salah merespon, muncul tanda X warna merah di sisi bawah stimulus (150 ms). Partisipan harus merevisi respon dengan cara menekan huruf yang benar. Respon yang benar akan diikuti oleh tanda O warna hijau pada sisi bawah stimulus (150 ms).

D-Score adalah kekuatan asosiasi antar kategori yang diukur berdasarkan standardized mean difference score, setara dengan effect size.

Secara lebih spesifik, D-score adalah selisih rerata latensi respon pada level compatible dikurangi rerata latensi respon pada level incompatible

dibagi dengan standar deviasi seluruh latensi respon pada kedua level ini. Makin negatif D-score, makin kuat asosiasi antara Penyandang Disabilitas dengan Atribut negatif. Makin positif D-score, makin kuat asosiasi antara Penyandang Disabilitas dengan Atribut positif.

2. Stigma Eksplisit - Social Distance Scale (SDS)

(48)

Gambar 6. Social Distance Scale (SDS) &Feeling Thermometer (FT) (Wang dkk, 2012)

Penggunaan instrument ini adalah dengan meminta partisipan untuk membaca sebuah ilustrasi cerita tentang penyandang disabilitas bernama Dian, lalu menjawab lima pertanyaan mengenai sejauh mana kesedian mereka untuk 1) menjadi tetangga Dian, 2) menghabiskan waktu bersosialisasi dengan Dian, 3) berteman dengan Dian, 4) bekerja dekat dengan Dian, dan 5) mengizinkan Dian menikahi anggota keluarga partisipan. Kesediaan diukur dengan skala 1= sangat enggan sampai 4= sangat bersedia.

(49)

Feeling thermometer adalah skala analog visual dalam bentuk termometer dari rentang 0 (sangat negatif) sampai 100 (sangat positif). Alat ini juga merupakan adaptasi dari penelitian Wang dkk (2012) yang juga digunakan pada penelitian Yusainy dkk (2015), dimana FT ditemukan berkorelasi secara signifikan (p < 0.01) dengan SDS, dimana koefisien korelasi antara FT dan SDS pada penelitian menunjukan angka 0,42. Pada penelitian yang dilakukan Puhan dkk (2005), reliabilitas FT menunjukan angka 0,47 menggunakan teknik Interclass Correlation Coefficient (ICC). Sejak pertama kali dibuat oleh American National Election Survei (ANES) pada tahun 1964, feeling thermometer telah menjadi alat ukur yang valid dalam mengukur sikap eksplisit yang berfokus pada dimensi afektif.

(50)

E. Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian ini antara lain:

Gambar 7. Alur Pelaksanaan Penelitian

Pilot study dilaksanakan di laboraturium komputer 1 FISIP Universitas Brawijaya tanggal 2 Desember 2015 pukul 13.00 WIB dengan partisipan sejumlah lima orang. Pilot study menggunakan kondisi 1 (pengukuran stigma eksplisit – pengukuran stigma implisit – feedback bias implisit) dari Grand Etika Penelitian Uji coba (pilot

(51)

Design penelitian Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit. Hasil evaluasi dan perubahan dari pilot study

ditampilkan dalam tabel 1.

Tabel 4. Ringkasan hasil Pilot Study

Pilot Study

Waktu 2 Desember 2015

Tempat Laboratorium Komputer 1 FISIP UB Jumlah

partisipan

Partisipan sejumlah 5 orang dan dihadiri oleh Dosen Pembimbing 1

Alur/metode yang digunakan

Registrasi-Pemberian lembar informasi, lembar persetujuan dan data demografis - Pengukuran Stigma Eksplisit - Pengukuran Stigma Implisit- Pemberian

feedback bias implisit (level incompatible) -Debriefing

partisipan - Penutup

Hasil Evaluasi a. Kesalahan pemberian instruksi “Eksperimen Tim

Stigma Fisik 1”

b. Kesalahan instruksi pengisian nomor ID peserta c. Tidak memperkenalkan asisten eksperimenter d. Tidak menjelaskan definisi disabilitas

e. Tidak memberikan instruksi mengenai lembar yang sudah diisi harus digeser kebagian kiri meja

f. Tidak menjelaskan mengenai kompensasi dan

konsekuensi yang didapatkan jika tidak mengerjakan dengan sungguh-sungguh

g. Tidak menyebutkan sesi latihan atau sesi eksperimen sesungguhnya

h. Masalah-masalah teknis sebagai berikut :

 Alat tulis yang belum tersedia

 Suhu ruangan yang terlalu panas

 Posisi screen yang tidak tepat ditengah i. Eksperimenter kurang interaktif

j. Pemberian debrief yang terlalu panjang Perubahan a. Kesalahan pemberian instruksi “Eksperimen

Kecepatan Reaksi”

b. Pemberian kertas yang bertuliskan nomor ID peserta di masing-masing meja

c. Memperkenalkan asisten eksperimenter d. Menjelaskan definisi disabilitas

e. Memberikan instruksi mengenai lembar yang sudah diisi harus digeser kebagian kiri meja

(52)

sungguh-sungguh

g. Menyebutkan sesi latihan atau sesi eksperimen sesungguhnya

h. Masalah-masalah teknis sebagai berikut :

 Menyediakan alat tulis dimasing-masing meja

 Mengadakan pendingin ruangan

 Memperbaiki posisi screen menjadi tepat ditengah

i. Briefing eksperimenter j. Mempersingkat debrief

Eksperimen diawali dengan kedatangan partisipan ke laboratorium komputer pada jadwal yang telah ditentukan. Sebelum memasuki laboratorium, partisipan mengisi daftar hadir dimeja administrasi terlebih dahulu. Partisipan diminta untuk mengingat nomor peserta untuk kemudian diinput ke komputer sebelum melakukan tes. Didalam ruangan partisipan dibagikan lembar informed consent yang berisi penjelasan tentang eksperimen (lampiran 2), persetujuan partisipan (lampiran 3) dan data demografis (usia, jenis kelamin, riwayat disabilitas, dan pengalaman dengan penyandang disabilitas; lampiran 4). Untuk mengurangi social desirability, dalam informasi mengenai eksperimen dinyatakan bahwa fokus penelitian ini adalah pada dinamika perlakuan yang diterima partisipan secara keseluruhan, bukan pada profil individual tiap partisipan.

Setelah melengkapi informed consent, patisipan pada kondisi 1 mengerjakan instrumen stigma implisit terlebih dahulu, menerima feedback

(53)

partisipan pada kondisi 2 mengerjakan instrmen stigma implisit terlebih dahulu, dilanjutkan dengan mengerjakan instrument stigma eksplisit, dan diakhiri dengan menerima feedback bias implisit di layar komputer. Debrief

(lampiran 5) mengenai hipotesis penelitian akan dikirim melalui e-mail setelah seluruh kegiatan eksperimen selesai dilakukan.

F. Analisis Data 1. Uji Hipotesis 1

Pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit yang ia laporkan dianalisis dengan t-test independent sample dengan membandingkan rerata hasil skor SDS dan FT yang dilaporkan partisipan

2. Uji Hipotesis 2

Korelasi antara stigma implisit (D-score) dengan stigma eksplisit subyek terhadap penyandang disabilitas (skor total SDS dan FT) dianalisis dengan product moment pearson dengan mengorelasikan skor FT, SDS, SC-IAT D-Score kombinasi, SC-IAT D-Score kognitif, SC-IAT D-Score

(54)

36 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Partisipan

Partisipan yang mengikuti eksperimen ini adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya angkatan 2015. Total partisipan yang terdaftar dalam penelitian ini adalah 47 partisipan, dengan adanya satu partisipan dinyatakan gugur karena tidak datang saat pelaksanaan eksperimen, maka jumlah partisipan final adalah 46 orang dengan persebaran data demografis partisipan dijelaskan pada Tabel 5. Partisipan dibagi ke dalam dua kondisi, yaitu pada kondisi 1) partisipan yang menerima pengukuran stigma implisit terlebih dahulu, diikuti pemberian feedback bias implisit (feedback

segera), dan diakhiri dengan pengukuran stigma eksplisit dan kondisi 2) partisipan yang menerima pengukuran stigma implisit terlebih dahulu, diikuti pengukuran stigma eksplisit dan diakhiri dengan pemberian feedback bias implisit (feedback tertunda). Kondisi 1 terdiri dari 24 partisipan dan kondisi 2 terdiri dari 22 partisipan.

Tabel 5. Data Demografis Partisipan

(55)

Rerata pengalaman dengan penyandang disabilitas (mid -point: 3, rentang 1-5)

1,38 2,05 1,70

Ket. kondisi 1: kelompok yang menerima perlakuan feedback segera (stigma implisit- feedback bias implisit-stigma eksplisit); kondisi 2: kelompok yang menerima perlakuan feedback tertunda (stigma implisit-stigma

eksplisit-feedback bias implisit).

Kebanyakan partisipan yang mengikuti eksperimen adalah perempuan (73,90%). Secara keseluruhan, hanya satu partisipan yang pernah memiliki riwayat disabilitas fisik, itupun yang sifatnya sementara. Sebagian besar partisipan melaporkan tidak memiliki pengalaman interaksi yang intensif dengan penyandang disabilitas (86,90% partisipan melaporkan skor rerata kurang dari mid-point 3). Rerata pengalaman partisipan dengan penyandang disabilitas hanya mneunjukan angka 1,70 yang masuk kategori jarang. Hal ini bisa dikarenakan meskipun telah menjadi universitas inklusi, tidak menjamin di Universitas Brawijaya terdapat setidaknya satu mahasiswa penyandang disabilitas pada masing-masing kelas. Kemungkinan besar di kelas partisipan tidak terdapat mahasiswa penyandang disabilitas, dan lingkup sosial mahasiswa angkatan 2015 diperkirakan masih terbatas.

B. Analisis Pendahuluan

(56)

partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik (nilai rerata Feeling Thermometer, FT lebih dari mid-point 50, seluruh partisipan pada kedua kondisi melaporkan skor yang lebih dari mid-point).

Tabel 6 Properti Psikometri Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit (N=46)

Skala Stigma Mean,SD

SC-IAT Kombinasi: D-Score -0,18a

SC-IAT Kognitif D-Score -0,21a

SC-IAT Afektif D-Score -0,19a

SC-IAT Perilaku D-Score 0,16b

Ket. SDS= Social Distance Scale;FT= Feeling Thermometer; SC-IAT=

Single Category Implicit Association Test; d-score= kekuatan asosiasi antar kategori yang diukur berdasarkan standardized mean difference score, setara dengan effect size. a= asosiasi lemah dengan atribut negatif; b = asosiasi lemah dengan atribut positif; semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT, maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik.

Dari hasil pengukuran stigma eksplisit partisipan melaporkan pandangan yang positif terhadap penyandang disabilitas fisik baik dari keinginan berinteraksi dan kehangatan perasaan partisipan terhadap penyandang disabilitas, dengan nilai rerata SDS 3,22 dan nilai rerata FT 78,59. Hasil pengolahan data deskriptifmenunjukan d-score kombinasi yang negatif (-0,18), yang menandakan bahwa partisipan lebih cepat menampilkan respon ketika disabilitas dipasangkan dengan atribut negatif (compatible) dibandingkan ketika disabilitas dipasangkan dengan atribut positif

(57)

pandangan yang positif terhadap penyandang disabilitas fisik. Perbedaan ini mengindikasikan adanya pengaruh social desirability pada pengukuran stigma eksplisit dan bahwa pengukuran stigma eksplisit tidak bisa menggambarkan keseluruhan stigma yang dimiliki partisipan.

C. Uji Hipotesis 1

Hasil uji pengaruh urutan perlakuan terhadap stigma eksplisit menggunakan independent sample t-test menunjukkan perbedaan rerata antar kondisi tidaklah signifikan (ps ≥ 0,354; Hipotesis 1). Hasil ini berlawanan

dengan prediksi peneliti bahwa partisipan pada kondisi 1 akan melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan partisipan pada kondisi 2. Tabel 7. Properti psikometri stigma eksplisit dan implisit berdasarkan kondisi

eksperimen pemberiannya. Semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT d-score kombinasi maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik

(58)

perbedaan rerata stigma eksplisit yang berarti antara kondisi yang menerima

feedback segera dengan kondisi yang menerima feedback tertunda. D. Uji Hipotesis 2

Berdasarkan data yang dijabarkan pada Tabel 6, tidak ditemukan adanya korelasi antara stigma eksplisit dengan stigma implisit partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik (ps ≥ 0,151; Hipotesis 2). Korelasi yang signifikan muncul antar kuisioner stigma eksplisit (SDS dan FT) dan antar elemen dalam stigma implisit.

Tabel 8. Korelasi antara Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit (N = 46)

FT SDS SC-IAT

Single Category Implicit Association Test; (…) = p-value; #= korelasi antara stigma eksplisit dengan stigma implisit

*p < .05 ** p < .01

(59)

bahwa semakin besar kesediaan partisipan untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas fisik, maka semakin hangat pula perasaan yang ia laporkan terkait penyandang disabilitas fisik.

Pada stigma implisit, semakin rendah D-Score kombinasiSC-IAT, maka evaluasi kognitif (koefisien korelasi 0,476 dan signifikansi 0,001) dan reaksi afektif (koefisien korelasi 0,614 dan signifikansi 0,001) partisipan akan semakin negatif, dan semakin rendah D-score kombinasi SC-IAT maka kecenderungan perilaku partisipan akan semakin positif (koefisien korelasi

-0,678 dan signifikansi 0,001). E. Analisis Tambahan

Tidak ditemukannya pengaruh dari feedback bias implisit terhadap penurunan stigma eksplisit mendorong peneliti untuk melakukan analisis tambahan terkait faktor apa yang memengaruhi stigma partisipan terhadap penyandang disabilitas. Variabel yang dianalisis adalah variabel sequence of compatibility, dimana terdapat dua kondisi yaitu kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit incompatible diikuti stigma implisit compatible (kelompok 1), dan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit compatible diikuti stigma implisit compatible (kelompok 2).

Tabel 9. Pengaruh Sequence of Compatibility terhadap Stigma Implisit Kelompok 1

Ket. SC-IAT = Single-Category Implicit Association Test;

Kelompok 1 = Level incompatible diberikan terlebih dahulu diikuti level

(60)

Semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik

* p < 0,05

Hasil analisis menggunakan independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan stigma implisit antara kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit di level incompatible

terlebih dahulu (kelompok 1, mean 0,249), dengan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit di level compatible terlebih dahulu (kelompok 2,

mean -0,080) dengan taraf signifikansi 0,033. F. Pembahasan Pengujian Hipotesis

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola korelasi antara stigma eksplisit dan stigma implisit serta mengetahui efektivitas pemberian feedback

(61)

Adanya pengaruh social desirability dalam pengukuran stigma eksplisit didukung dengan fakta bahwa ketika dilakukan pengukuran di level implisit, partisipan menunjukan pandangan yang negatif terhadap penyandang disabilitas fisik. Partisipan dalam kedua kondisi lebih cepat mengasosiasikan disabilitas dengan atribut negatif dibandingkan dengan atribut positif (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa pengukuran stigma di level eksplisit tidak bisa menggambarkan stigma secara keseluruhan.

Penelitian ini tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari kesegeraan feedback bias implisit, antara feedback segera dengan feedback

tertunda, terhadap reduksi stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas fisik (Hipotesis 1). Hal ini sejalan dengan penelitian 2 Menatti dan kolega (2013) dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata stigma eksplisit partisipan yang menerima feedback bias implisit segera dengan partisipan yang menerima feedback bias implisit tertunda. Menatti menjelaskan bahwa ketidakefektifan pemberian feedback bisa dikarenakan stigma implisit yang dimiliki partisipan dalam penelitian ini cenderung rendah, sedangkan feedback bias implisit akan menjadi sangat efektif bagi individu dengan stigma implisit yang tinggi.

(62)

implisit, begitu juga sebaliknya, perubahan pada level implisit tidak diikuti perubahan di level eksplisit. Salah satu teori yang menjelaskan tidak ada korelasi antara eksplisit dengan implisit adalah dual-process orientation yang menyatakan bahwa perbedaan antara implisit dan ekplisit merefleksikan perbedaan proses yang mendasarinya; otomatis-dikendalikan, spontan-disengaja, tidak sadar-sadar, impulsive-refleksif (Nosek dkk, 2011). Stigma eksplisit diindikasikan terjadi atas respon sadar yang membutuhkan banyak kapasitas kognitif dalam prosesnya dan muncul dengan lambat. Sedangkan stigma eksplisit sifatnya cepat dan hanya membutuhkan sedikit kapasitas kognitif dan tidak disadari oleh individu.

Tabel 7 menggambarkan pola korelasi antar dimensi stigma implisit yang dimiliki oleh partisipan. Korelasi yang signifikan antara d-score

(63)

Lebih jauh, Tabel 7 juga menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara dimensi perilaku dengan dimensi afektif, namun tidak pada hubungan antara dimensi afektif dengan kognitif dan dimensi perilaku dengan kognitif. Wang (2012) berspekulasi bahwa ketiga dimensi dari stigma bersifat hierarkikal, dengan dimensi kognitif sebagai basis dasar implisit, aspek afektif memainkan peran yang signifikan untuk menyesuaikan dengan keadaan, dan diikuti oleh komponen perilaku. Spekulasi ini juga didukung dengan skor stigma implisit partisipan dimana dimensi kognitif memiliki skor tertinggi, diikuti dimensif afektif, dan terakhir dimensi perilaku yang justru cenderung positif (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan stigma implisit yang dimiliki pada dimensi kognitif tidak termanifestasikan di level afektif dan perilaku. Partisipan bisa saja memiliki prasangka negatif terhadap penyandang disabilitas fisik, namun munculnya rasa kasihan (afektif) dan benturan dengan norma yang memunculkan kesungkanan (perilaku) mengakibatkan pola hubungan yang berbeda dengan prasangka yang dimiliki.

Tidak ditemukannya pengaruh yang signifikan dari urutan perlakuan bias implisit terhadap reduksi stigma eksplisit menunjukan bahwa feedback

(64)

dikarenakan pada dasarnya stigma implisit yang dimiliki partisipan dalam penelitian ini tergolong rendah. Pada studi keduanya, Menatti dan kolega (2013) menemukan bahwa paradigma kesadaran bias implisit akan sangat efektif dalam mereduksi stigma eksplisit bagi mereka yang memiliki stigma implisit yang tergolong tinggi.

G. Pembahasan Analisis Tambahan

Pengaruh yang signifikan dari variabel sequence of compatibility

ditemukan pada stigma implisit partisipan. Kelompok partisipan yang menerima pengukuran stigma implisit di level incompatible terlebih dahulu (kelompok 1) memiliki stigma implisit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit di level compatible

terlebih dahulu (kelompok 2).

Teori klasik disonansi kognitifdari Leon Festinger (dalam Metin dan Camgoz, 2011) mengungkapkan bahwa individu akan merasakan ketidaknyamanan psikologis ketika dihadapkan dengan kondisi yang kontradiktif dengan kepercayaan yang dimilikinya. Dalam hal ini, partisipan yang secara keseluruhan memiliki stigma di level implisit, mengalami disonansi kognitif ketika dihadapkan dengan pengukuran stigma implisit di level incompatible, dimana disabilitas justru dipasangkan dengan atribut baik.

Disonansi kognitif ini akan mendorong partisipan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dialaminya, salah satu caranya adalah dengan

(65)

1bisa menjadi bentuk confirmation bias bagi partisipan, sedangkan level

compatible pada kelompok compatible terjadi sebelum munculnya disonansi kognitif pada partisipan. Jadi, kelompok 1 memiliki stigma implisit yang lebih negatif dikarenakan pengalaman menjalani pengukuran di level

compatible tidak sekedar sebagai kegiatan mengukur stigma implisit, namun juga sebagai media untuk memertahankan kepercayaan yang dimilikinya terkait penyandang disabilitas fisik.

Penelitian ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, studi ini membahas stigma pada level yang masih sangat jarang dibahas di Indonesia yaitu di level implisit. Penelitian ini adalah penelitian kedua yang membahas paradigma bias implisit di Indonesia setelah penelitian oleh Yusainy, Thohari, & Gustomy (2015). Kedua, penelitian ini menemukan pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma implisit. Ditemukannya pengaruh yang signifikan dari sequence of compatibility pada stigma implisit menjadi suatu terobosan dalam usaha mereduksi stigma implisit. Devine & Plant (2002) menyatakan untuk bisa bersikap bebas dari bias terhadap kelompok minoritas, individu harus menghabiskan waktu bertahun-tahun berhadapan dengan kelompok tersebut, ditambah dibutuhkannya strategi regulasi diri yang sangat efektif. Penemuan pada penelitian ini bisa menjadi langkah awal dalam mengonstruksi sebuah strategi intervensi bebas bias terhadap penyandang disabilitas fisik tanpa harus memakan waktu sampai bertahun-tahun.

Gambar

Gambar 1. Affect-Behavior-Cognition Theory of Attitude Sumber: Stier &  Hinshaw (2007)
Gambar 3.Hipotesis 2 X merupakan kesegeraan pemberian  Kerangka Berpikir feedback
Gambar 4.Grand Design penelitian Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit
Gambar 5. Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik
+7

Referensi

Dokumen terkait

(Gambar 9) Rendahnya elevasi mercu sungai terutama pada bagian sebelah kiri menyebabkan aliran melimpas ke daerah sebelah kiri sungai yang merupakan dataran rendah. Ketinggian

Dalam perancangan konsep untuk permainan Trading Card Game Kerajaan Majapahit mengunakan keyword “Reality of kingdom” yang dimaksudkan pengabungan antara kerajaan

2) Sistem pembuatan Rombel, Kelas dan Jadwal Mapel Sistem pembuatan Rombongan Belajar (Rombel) diawali dari Tata Usaha yang membuat Rombongan belajar sesuai tahun siswa

Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno ), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso ), dan Panitia Ekonomi

yaitu penjual yang menentukan apa yang harus dibeli konsumen dimana produsen berorientasi pada produksi yang sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan apakah produk tersebut

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil pretest dan posttest kemampuan menganalisis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diterapkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peramalan jumlah penumpang kereta api di pulau jawa dan sumatera sehingga membantu PT Kereta Api Indonesia dalam mengantisipasi

Menurut penulis, pertimbangan hakim di atas dalam memberikan pertimbangan putusannya terjadi kejanggalan dalam memutus perkara ini, yakni kejanggalan pertimbangannya