Variabel (Y) Konsep diri remaja
LANDASAN TEORI
II.3. Learning Theory Dan Self Disclosure Theory 1. Learning Theory
II.3.2. Self Disclosure Theory
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Luft (1969) yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya, maupun orang lain. Untuk hal itu dapat dikelompokkan kedalam empat macam bidang pengenalan yang ditunjukkan dalam suatu gambar yang disebutnya dengan jendela Johan (Johari window).
Tabel 3
Jendela Johari (Johari Window) Diketahui orang lain
Tidak diketahui orang lain
Gambar yang disebut jendela Johari tersebut melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar seseorang dengan yang lainnya terdapat empat kemungkinan sebagaimana terwakili melalui suasana keempat bidang (jendela) itu.
Bidang 1, melukiskan suatu kondisi dimana antara seseorang dengan yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka.
1. Terbuka 2. Buta 3. Tersembunyi 4. Tidak
Bidang, 2 melukiskan bidang buta, masalah hubungan antara kedua belah pihak hanya diketahui orang lain namun tidak diketahui oleh diri sendiri.
Bidang, 3 disebut bidang tersembunyi, yakni masalah hubungan antara kedua belah pihak diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.
Bidang 4, bidang tidak dikenal, dimana kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan diantara mereka.
Kedua yang dikehendaki sebenarnya dalam suatu komunikasi antar pribadi di masa lalu dapat menimbulkan perasaan intim untuk sesaat. Hubungan sejati terbina dengan menggunakan reaksi-reaksi kita terhadap aneka kejadian yang kita alami bersama atau terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan oleh lawan lalu kita. Orang lain mengenal diri kita tidak dengan menyelidiki masa lalu kita, melainkan dengan mengetahui cara kita bereaksi. Masa lalu hanya mampu menjelaskan perilaku kita dimasa kini.
II.4. Remaja
Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut : (Konopkan, Pikunas, 1976 ; Ingersoll 1989, dalam DR. Hendriati Agustiani, 2006)
1). Masa remaja awal (12-15 tahun).
Pada masa ini individu mulau meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan
terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konfirmitas yang kuat dengan teman sebaya.
2). Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (Self Directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
3). Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.
Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri. Keunikan tersebut bersumber dari kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa anak-anak dan masa dewasa. Kita semua mengetahui bahwa antara anak-anak dan orang dewasa ada beberapa perbedaan yang selain bersifat biologis atau fisiologis dan juga bersifat psikologis. pada masa remaja perubahan-perubahan besar terjadi dalam kedua aspek tersebut,
sehingga dapat dikatakan bahwa ciri umum yang menonjol pada masa remaja adalah berlangsungnya perubahan itu sendiri, yang dalam interaksinya dengan lingkungan sosial membawa berbagai dampak pada perilaku remaja.
Masyarakat, melalui orang tua atau guru, bertanya kepada remaja untuk memilih satu peran. Dalam masyarakat kita ketika anak memasuki SMA, anak harus sudah memilih jurusan pendidikan yang akan ditempuh yang akhirnya akan menentukan perannya nanti. Jadi ketika berumur sekitar1 5 atau 16 tahun seseorang sudah mulai menempatkan dirinya pada satu jalur yang akan membawa akibat pada apa yang akan dilakukannya pada tahun-tahun selanjutnya. Masalahnya terjadi tepat pada saat ketika remaja berada dalam posisi yang sangat tidak siap untuk mengambil keputusan yang berakibat jangka panjang, mereka malah diminta untuk melakukannya.
Karena banyak remaja berada dalam dilema. Mereka tidak bisa menjawab pertanyaan tentang peran sosial yang akan mereka jelaskan tanpa menyelesaikan beberapa pertanyaan lain tentang dirinya sendiri. Jawaban terhadap perangkat pertanyaan yang satu saling tergantung dengan jawaban terhadap rangkaian pertanyaan yang lain. Perasaan tertentu yang berbeda dalam situasi krisis bisa muncul, krisis yang membutuhkan jawaban yang tepat tentang siap sebenarnya dirinya. Ini adalah pertanyaan
defenisi diri, tentang indentifikasi diri. Dilema ini dikenal sebagai krisis identis.
Menurut Erikson (1964:126), seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan siapa dirinya, tetapi dan dalam konteks apa atau dalam kelompok apa dia bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan kata lain, identitas seseorang tergantung pula pada bagaimana orang lain mempertimbangkan kehadirannya. Karenanya bisa lebih dipahami mengapa keinginan untuk diakui, keinginan untuk memperkuat kepercayaan diri, dan keinginan untuk menegaskan kemandirian menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, terutama mereka yang mengakhiri masa itu.
Prestasi belajar siswa yang mendapat perhatian dari orang tua lebih baik dibandingkan dengan prestasi siswa yang kurang mendapat perhatian dari orang tua. Peranan perhatian orang tua dalam lingkungan keluarga yang penting adalah memberikan pengalaman pertama pada masa anak-anak. Itu karena pengalaman pertama merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi dan menjamin kehidupan emosional anak. Fungsi hubungan antara anak dan dewasa dalam kehidupan mereka dikarakteristikkan. Meningkatkan karakteristik ini dalam hubungan anda adalah cara yang terbaik untuk memperbaiki komitmen, komunikasi, kerjasama dan persetujuan, dan mengurangi stres dan konflik dengan baik.
Proaktif-kemampuan untuk mengakui dan kapanpun yang mungkin, menyesuaikan kebutuhan anak untuk kasih sayang yang tak bersyarat dan penerimaan, rasa aman, rasa dimiliki, sukses, rasa senang, pengakuan dan kontrol (kekuatan), tanpa mengizinkan orang lain menganggu. Antisipasi melakukan sebelum terjadi masalah; membiarkan anak mengatahui batas atau kondisi lebih dulu.
Orientasi sukses kemampuan untuk membantu anak dengan memberikan arahan yang jelas, pengaturan batas-batas, menawarkan kesempatan untuk memilih dan bernegosiasi, permintaan perilaku dan respon pada umur yang cocok, penyesuaian kebutuhan pembelajaran individual, memberikan kesempatan untuk mengatur diri dan tetap pada masa kini. Alternatif untuk dugaan yang tidak realistik. kesalahpahaman, instruksi atau lingkungan yang tidak baik untuk kebutuhan anak, dan pengaturan untuk kegagalan, ketidakpedulian atau penentangan.
Kepastian kemampuan untuk membedakan nilai anak dari perilakunya kemampuan untuk fokus pada apa yang dilakukan anak dan membangun kekuatan. Kemampuan untuk menciptakan lingkungan yang berorientasi pada penghargaan yang mana berakibat munculnya hasil positif dan hak istimewa yang diterima atau pengalaman sebagai hasil dari kerjasama. Kemampuan untuk berkomunikasi secara positif (menggunakan janji daripada ancaman, atau penghargaan dari pada hukuman). Kemampuan
untuk menggunakan rasa humor. Alternatif untuk rasa negatif dan orientasi menghukum.
Pembatasan kemampuan untuk menggabungkan apa yang anda inginkan dengan apa yang anak inginkan dalam cara yang positif. Kemampuan untuk memotivasi dan menguatkan perilaku kerjasama dengan menghasilkan persetujuan orang dewasa atau menghindari reaksi orang dewasa orang dewasa yang negatif (rasa malu, kecaman, ketertinggalan). Kurangnya kemauan untuk memegang konsekuensi yang positif sampai anak mengakhiri persetujuan. Kemampuan untuk dengan segera campur tangan ketika anak dalam keadaan terganggu atau keluar batas, menjauhi peringatan, penundaan konsekuensi yang positif sampai anak mengakhiri persetujuan.
Kurangnya dukungan kemampuan untuk menanggapi masalah anak atau merasakan dengan rasa penerimaan, dukungan dan pengesahan. Kurangnya kemauan untuk menyediakan jalan keluar untuk perasaan anak akan memberikan anak untuk menyediakan jalan keluar untuk perasaan anak akan memberikan anak untuk mengeluarkan perasaan (menghilangkan) tanpa menyakiti dirinya sendiri atau orang lain. Kemampuan untuk membantu anak mencari solusi masalah tanpa memperbolehkan, memperbaiki, menangkap atau menilai masalah anak atau perasaan. Kemampuan untuk melawan persetujuan perasaan anak atau mengambil tanggung jawab untuk solusi masalahnya.
Tanggung jawab kemampuan untuk mengambil tanggung jawab pada perasaan, tanpa berusaha membuat orang lain bertanggung jawab. Kemampuan untuk memperlihatkan perasaan dengan cara yang tidak menyakitkan. Kemampuan untuk menurut dan memecahkan konflik. Kurangnya kemauan untuk menggunakan secara teratur, kontak positif dengan anak. Kemampuan untuk bekerja dengan pengurus, staf pendukung dan orang tua tanpa memperhitungkan kesalahan atau menduga (atau permintaan) dan mereka mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah anda mungkin memiliki anak atau kelompok yang istimewa.
Perhatian diri kemampuan untuk mengidentifikasikan kebutuhan seseorang dan perasaan, mengatur batasan, menyenangkan diri sendiri, mengakui diri dan mendapatkan pertolongan ketika membutuhkan. Kemampuan untuk membedakan antara memperhatikan diri dan keegoisan diri. Kemampuan untuk merasakan pantas untuk menggunakan kesalahan dan kegagalan sebagai kesempatan untuk tujuan yang baru, strategi atau pertumbuhan. Kemampuan untuk memanfaatkan sumber dukungan sementara menggunakan tanggung jawab untuk menyelesaikan satu masalah diri sendiri. Kemampuan untuk memanfaatkan diri sendiri.
Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih
bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang menyatakan: “Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya”.
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukaaan Erikson (dalam Hurlock, 1980 : 212) yang menamakan proses tersebut sebagai “proses mencari identitass ego”, atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping ingin tahu tentang peranan dirinya sendiri.
Kemandirian seorang remaja dan teman sebaya. Hurlock (1980 : 214) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta
rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya.
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri sering kali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Dalam contoh yang disebutkan di atas, remaja mengalami dilema yang sangat besar antara mengikuti kehendak orang tua atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia mengikuti kehendak orang tua maka dari segi ekonomi (biaya sekolah) remaja akan terjamin karena orang tua pasti akan membantu sepenuhnya, sebaliknya jika ia tidak mengikuti kemauan orang tua bisa jadi orang tuanya tidak mau membiayai sekolahnya. Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan yang ambivalensi dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik pada diri sendiri remaja. Konflik ini akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang remaja menjadi frustrasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orang tuanya atau orang lain di sekitarnya. Frustrasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain dan dapat membahayakan dirinya dan orang
tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan kehidupan psikologisnya. Oleh karena itu, pemahaman orang tua terhadap kebutuhan psikologis remaja untuk mandiri sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan titik tengah penyelesaian konflik-koflik yang dihadapi remaja.