• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi inti proyek DBE adalah mengembangkan sekolah dan kabupaten/kota sasaran dalam jumlah yang terbatas sebagai contoh praktek yang baik dengan harapan agar hal ini akan dicontoh dan dilaksanakan (atau ‘didiseminasi’) oleh kabupaten/kota dan lembaga-lembaga lain, dan agar proses ini mempengaruhi kebijakan pemerintah yang akan menciptakan dampak yang jauh lebih luas. Tujuan dari pasal ini adalah menjabarkan dampak DBE1 yang lebih luas terhadap sekolah/madrasah di luar kelompok sasaran awal, yaitu, tingkat keberhasilan replikasi atau ‘diseminasi’, dan menjabarkan praktek-praktek yang baik dari keberhasilan diseminasi.

Dalam konteks ini, istilah ‘diseminasi’ digunakan sebagai sinonim dengan ‘replikasi’. Untuk keperluan tersebut maka ‘diseminasi’ berarti bahwa program, pendekatan dan praktek yang baik dari DBE dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

Juga patut diperhatikan bahwa keberlanjutan, salah satu elemen yang penting dari praktek yang baik dalam rancangan dan implementasi proyek, berhubungan erat dengan konsep diseminasi. Elemen keberlanjutan maupun diseminasi dicapai dengan melembagakan praktek-praktek yang baik yang dikembangkan melalui proyek.

Definisi Keberlanjutan dan Diseminasi

Pada akhirnya, praktek yang baik yang didorong oleh DBE1 akan dilaksanakan sepenuhnya terlepas dari DBE. Dalam hal ini, istilah ‘replikasi’, yang pernah digunakan dalam proyek, dapat menyesatkan dengan gagasan duplikasi ‘yang serupa’ dari program. Dari perspektif pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah Indonesia, istilah yang tepat bukan ‘replikasi’ melainkan ‘ melaksanakan praktek yang baik’. Istilah lain yang cocok adalah ‘mengarusutamakan praktek yang baik’, ‘perluasan’ atau ‘diseminasi’; istilah-istilah yang memungkinkan lembaga pemangku kepentingan menerapkan dan melaksanakan praktek yang baik dan aspek-aspek dari DBE akan menjadikan program tersebut sebagai milik mereka sendiri, melaksanakannya menurut cara mereka sendiri dan menyesuaikannya dengan selera dan pandangan mereka menurut konteksnya.

Berdasarkan saran dari USAID, kami biasanya menggunakan istilah ‘diseminasi’ dalam dokumen bahasa Indonesia karena istilah ini lebih dikenal dan dapat diterima oleh mitra-mitra kami. Dalam laporan ini, istilah ‘replikasi’ tidak digunakan dan digantikan dengan istilah ‘diseminasi’ yang menunjukkan rasa memiliki yang lebih besar dari para mitra pelaksana.

Untuk menjadikan definisi operasional di atas sebagai istilah yang konkret; misalnya, jika sekolah masih terus melaksanakan rencana pengembangan sekolah dan mewujudkannya setiap tahun menjadi rencana kerja dan anggaran belanja, dan jika proses ini dilembagakan di lingkungan sekolah dan kabupaten/kota setelah selesainya program maka hasilnya (outcome) berkelanjutan. Jika kabupaten menerapkan pendekatan dan melatih sekolah-sekolah lain dalam menyusun rencana pengembangan sekolah, maka terjadi diseminasi.

Prinsip yang sama berlaku di tingkat kabupaten. Jika suatu kabupaten/kota mengembangkan rencana strategis yang baik (Renstra) berdasarkan data dan analisa kuangan yang tepat beserta konsultasi secara terbuka dengan pemangku kepentingan, dan jika Renstra dioperasionalisasikan melalui rencan kerja (Renja) dan anggaran (APBD) sehingga menghasilkan manajemen pendidikan yang lebih baik, maka hasil praktek yang baik berkelanjutan (sustainable) – jika hasil-hasil ini dituangkan dalam kebijakan formal (Renstra, Renja, APBD dan perda atau surat keputusan) maka praktek yang baik itu dilembagakan sehingga memperkuat keberlanjutan (sustainability).

Jika praktek yang baik, yang dituangkan dalam manual DBE1 dan materi-materi pendukungnya, diadopsi secara formal oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah maka tingkat pelembagaannya akan lebih tinggi sehingga dampak dari proyek menjadi jauh lebih besar.

Strategi DBE1 untuk Diseminasi dan Keberlanjutan

Dari perspektif perencanaan dan manajemen proyek, diseminasi maupun keberlanjutan dilayanan melalui strategi peralihan yang menyeluruh, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4 di bawah ini. Sejak permulaan, dukungan proyek jelas diperlukan selama peralihan. Tanpa dukungan seperti ini, upaya-upaya diseminasi kemungkinan akan gagal. Jika tidak diselenggarakan peningkatan kapasitas maka kabupaten/kota dan para mitra pelaksana pada umumnya kurang memiliki kapasitas untuk langsung melaksanakan program yang kompleks secara teknis seperti perencanaan pengembangan sekolah. Guna memastikan keberlanjutan dan mendukung diseminasi maka dukungan yang diberikan oleh DBE1 akan dikurangi secara bertahap. Seraya kapasitas untuk melaksanakan program meningkat, dukungan dari proyek akan dikurangi.

Keberlanjutan berarti bahwa dampak positif dari DBE terus berlanjut

meskipun program telah berakhir.

Diseminasi (atau Replikasi) berarti bahwa program, pendekatan dan praktek

yang baik dari DBE dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

Gambar 8 Strategi Peralihan

Sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4 di atas, DBE1 secara bertahap mengurangi tingkat upayanya di sekolah, masyarakat dan kabupaten/kota seraya proyek terus berjalan. Pada saat yang sama, kabupaten/kota mitra secara bertahap memperbesar tingkat upayanya seraya mereka mengembangkan kepemilikan dan kapasitas mereka. Meskipun grafik tersebut memperlihatkan konsep yang dibuat ideal, konsep ini menjadi dasar bagi pendekatan strategis kami dan mencerminkan realita.

Salah satu aspek penting dari model ini adalah bahwa peralihan dimulai pada hari pertama pelaksanaan proyek. Peralihan bukan tahap akhir yang terjadi pada tahun terakhir. Ketika DBE1 menutup kantornya dan mengakhiri kegiatannya (garis biru mencapai titik nol pada grafik), maka pemerintah daerah dan mitra-mitranya harus memikul tanggung jawab 100% atas pelaksanaan dan diseminasi yang sedang berlangsung (garis merah mencapai titik puncak pada grafik).

Proyek-proyek pembangunan dapat disamakan beroperasi di pasar. Kabupaten/kota dan lembaga-lembaga lain akan ‘membeli’ dan mendiseminasi program-program hanya jika program-program tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka, sejalan dengan kebijakan pemerintah dan terjangkau. Fakta bahwa kabupaten/kota telah mengkomitmenkan dana dalam jumlah yang besar dan telah mendiseminasi elemen-elemen DBE1 selama tiga tahun terakhir merupakan tanda yang sangat positif (lihat penjelasan di bawah).

Salah satu tantangan awal dalam merancang sebuah strategi diseminasi adalah bahwa proyek harus mendefinisikan tingkat dan jenis dukungan yang akan disediakan oleh DBE1 bagi program-program diseminasi.

Year 1 Year 2 Year 3 Year 4-5

L ev el o f E ff o rt

Districts & partners DBE1

• Jika dukungannya terlalu besar maka hal itu bukan lagi ‘diseminasi’ melainkan pelaksanaan proyek. Dengan kepemilikan lokal maka keberlanjutan akan berkurang. Sumber daya proyek terbatas.

• Jika dukungannya terlalu kecil maka efektifitas proses dan kualitas hasil akan berkurang. Hal itu bukan lagi diseminasi karena pendekatannya tidak lagi sesuai dengan konsep awal. Hasil yang dicapai kemungkinan mengecewakan sehingga dampak maupun keberlanjutannya berkurang.

Hasil Diseminasi

Sampai akhir Desember 2009, hampir Rp 13 milyar, atau $1,365 juta,30 telah dialokasikan untuk diseminasi program-program DBE1 di 68 kabupaten/kota. Dari jumlah ini, sekitar $25.000 dikeluarkan untuk program-program DBE1 tingkat kabupaten/kota, terutama BOSP; sisanya digunakan untuk program-program manajemen berbasis sekolah.31 Dari total jumlah kumulatif ini, sekitar Rp 10 milyar berasal dari APBD kabupaten dan sisanya, hampir Rp 3 milyar, berasal dari berbagai sumber non APBD termasuk dana Kementerian Agama, dana bantuan sekolah (terutama BOS) dan dana non-pemerintah (misalnya Muhammadiyah).

Tabel 1 di bawah ini menunjukkan jumlah sekolah dan madrasah yang, sampai saat ini, telah berpartisipasi dalam program diseminasi untuk melaksanakan metodologi DBE1 dengan menggunakan dana dari APBD dan sumber-sumber lain. Untuk setiap sekolah sasaran di mana program sepenuhnya didanai oleh DBE1, enam atau tujuh sekolah lainnya telah melaksanakan aspek-aspek program dengan pendanaan secara mandiri.

Tabel 4 Jumlah sekolah pelaksana program DBE1 di bawah diseminasi

Provinsi Jumlah sekolah Aceh 79 Sumatera Utara 257 Banten 642 Jawa Barat 525 Jawa Tengah 2,794 Jawa Timur 3,429 Sulawesi Selatan 671 Grand Total 8,397

CATATAN: seluruh sekolah di Jawa Tengah mencakup 15 sekolah dari provinsi DIY (Yogyakarta).

30Menggunakan kurs Rp9.500 = $1

31

Besarnya pengeluaran ini tidak termasuk dana yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan diseminasi yang pertama, yaitu pelatihan pelatih (TOT). Misalnya, Kantor Wilayah Urusan Agama (Kanwil Agama) Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta mendanai TOT pada triwulan berjalan bagi pengawas sekolah dan pegawai lain tetapi para pelatih tersebut belum melatih sekolah-sekolah (diharapkan pada triwulan berikutnya). Karena program belum didiseminasi di sekolah-sekolah maka total dana untuk kegiatan ini (Rp.323 juta) belum dilaporkan sebagai pengeluaran diseminasi.

Jumlah seluruh kabupaten/kota yang telah melaksanakan sedikitnya satu program DBE1 saat ini ada 68. Empat puluh di antaranya adalah kabupaten/kota sasaran DBE1 yang semula sedangkan 28 kabupaten/kota non-DBE yang baru belum lama ini mulai melakukan diseminasi. Hasil analisa lebih lanjut memperlihatkan bahwa 50 kabupaten/kota telah mendiseminasi program manajemen berbasis sekolah dan 19 kabupaten/kota telah mendiseminasi program tingkat kabupaten/kota. Rencana Kerja Sekolah (RKS) sejauh ini merupakan program yang paling luas didiseminasi.

DBE1 mulai memantau dan mengevaluasi kualitas program-program yang telah didiseminasi. Hasil awal evaluasi terhadap sejumlah kecil sekolah sampel memperlihatkan beragam tingkat keberhasilan. Sekitar seperempat kabupaten/kota telah menganggarkan dan melaksanakan pelatihan dengan menggunakan materi DBE1 tetapi belum mengikuti metodologi. Hasilnya masih buruk atau tidak ada. Seperempat kabupaten/kota yang lain mulai mengikuti metodologi atau belum menyelesaikan prosesnya pada waktu pemantauan atau telah menyimpang dari proses. Secara umum, kualitas hasil yang dicapai masih kurang baik. Hampir separuh sekolah sampel mengikuti sebagian besar metodologi, dan kualitas produknya cukup baik sampai baik. Terlihat ada kecenderungan peningkatan kualitas dari waktu ke waktu di kabupaten/kota yang terus mendanai diseminasi setiap tahun. Selanjutnya, bukti awal memperlihatkan bahwa ketika sekolah-sekolah menghimpun sumber daya mereka untuk mendanai pelatihan diseminasi, hasilnya cenderung baik. Pada tahun 2010, DBE1 akan melaksanakan dan melaporkan evaluasi yang lebih saksama terhadap kualitas diseminasi.

Komponen-Komponen Utama Strategi Diseminasi

Unsur-unsur utama dari strategi diseminasi telah diidentifikasi dalam proyek-proyek sebelumnya yang meliputi: proyek CLCC UNICEF/UNESCO, Proyek Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE) USAID, proyek Pengarusutamaan Praktek Yang Baik UNICEF serta sejumlah proyek lain yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dan Kemenag dengan bantuan para donor seperti Bank Dunia, ADB, JICA, Ausaid, GTZ, dan Pemerintah Belanda. Pada bagian ini, kami menguraikan praktek-praktek diseminasi DBE1 yang dipelajari sebagian besar dari proyek-proyek yang lain.

Strategi utama yang digunakan oleh DBE1 untuk mendukung diseminasi dan keberlanjutan adalah:

• Memastikan partisipasi calon pelaku diseminasi dalam pengembangan, pemantauan dan pelaksanaan program.

• Memastikan bahwa materi diseminasi dengan jelas diselaraskan dengan atau mendukung kebijakan pemerintah dan bahwa pemerintah menyetujui materi tersebut.

• Memastikan bahwa calon pelaku diseminasi mengerti cara mengelola diseminasi (rencana dan anggaran) dengan memberikan bantuan teknis dan perangkat pengelolaan diseminasi.

• Secara saksama melatih dan memberikan sertifikat kepada pelatih/fasilitator lokal yang dapat melaksanakan diseminasi intervensi proyek secara independen.

• Mengembangkan model-model praktek yang baik di mana calon pelaku diseminasi dapat mengamati intervensi dalam praktek dan membahasnya dengan para praktisi.

Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Pengembangan Program dan Menyelaraskan Intervensi Proyek dengan Kebijakan Pemerintah

Sejak permulaan proyek, DBE1 telah berkonsultasi dengan para pengelola pendidikan di tingkat nasional (Kemendiknas, Kemenag dan Kemenko Kesra) maupun pemangku kepentingan pendidikan di tingkat kabupaten (dan dalam banyak kasus, di tingkat provinsi) mengenai pengembangan, pengujian dan evaluasi intervensi proyek. Dukungan atau “buy-in” diperoleh dari kebanyakan mereka yang berpartisipasi dan pada saat yang sama partisipasi ini telah memastikan bahwa tindakan-tindakan intervensi mendukung atau sejalan dengan kebijakan pemerintah sehingga sesuai dengan kebutuhan langsung. Hal ini telah menyumbang kepada dukungan diseminasi oleh pemangku kepentingan nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan masukan dari pemangku kepentingan, DBE1 telah menyusun sejumlah materi Manajemen Berbasis Sekolah yang terdiri dari manual untuk manajer dan fasilitator serta materi pelatihan untuk pegawai sekolah dan masyarakat (lihat keterangan lebih lanjut dalam Bab 4 di bawah ini). Di tingkat nasional, Sekretariat Manajemen Berbasis Sekolah di Direktorat Pembinaan TK dan SD Kemendiknas, bersama wakil Kemenag, telah mengikuti serangkaian lokakarya untuk meninjau materi-materi DBE1 yang sedang didiseminasi, mengadakan kajian implementasi, mempromosikan pendekatan DBE1 melalui serangkaian lokakarya regional yang mencapai setiap kabupaten/kota di Indonesia, dan sepakat untuk secara formal menyetujui materi-materi tersebut dan mempublikasikannya dengan logo pemerintah serta menandatangani kata-kata pengantar. Beberapa pemerintah provinsi seperti Jawa Timur dan kantor wilayah urusan agama di Banten, Jawa Tengah dan Yogyakarta (bukan provinsi sasasaran DBE) telah menyumbangkan dana untuk mendukung diseminasi metodologi perencanaan sekolah DBE1. Seperti yang dilaporkan di atas, sebagian besar kabupaten/kota sasaran DBE telah menyediakan dana APBD untuk mendukung kegiatan diseminasi.

Pengelolaan Diseminasi

Sejak permulaan proyek, staf DBE1 mengadakan pertemuan yang teratur dengan pemangku kepentingan kabupaten/kota secara formal dalam berbagai lokakarya dan secara informal di kantor-kantor mereka untuk mempromosikan gagasan diseminasi. Rapat-rapat tingkat provinsi juga telah diadakan untuk mempromosikan intervensi DBE1—seringkali dengan partisipasi mitra DBE yang lain dan USAID. Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi harus mulai mempersiapkan APBD sekitar 6-8 bulan sebelum dimulainya tahun fiskal. Jadi, DBE1 mulai mengadakan pertemuan dengan pemerintah kabupaten/kota pada periode Juni 2006 (setahun setelah dimulainya proyek) dan setiap tahun setelahnya pada periode yang sama. Konsultasi tersebut menghasilkan peningkatan alokasi pendanaan replikasi dan sebagian besar kabupaten/kota, antara lain, memandatkan agar semua sekolah menyusun rencana sekolah berdasarkan prinsip-prinsip DBE1. Kami yakin bahwa pendanaan untuk diseminasi di kabupaten-kabupaten tersebut sekarang telah menjadi rutin sehingga akan terus berlanjut meskipun proyek berakhir.

DBE1 telah mengembangkan manual mengenai cara mengelola diseminasi. Manual ini mencakup CD dengan semua rumus yang dibutuhkan untuk menghitung biaya pelaksanaan setiap program DBE1. Kabupaten/kota harus mencantumkan biaya satuan yang berlaku (misalnya tunjangan perjalanan dinas dan makan, tunjangan standar daerah untuk fotokopi) untuk mengetahui biaya pelaksanaan sebuah program di satu sekolah sehingga dapat merencanakan volume kegiatan diseminasi yang sesuai. Standar dan kualifikasi pelatih/fasilitator juga dicantumkan dalam materi manajemen berbasis sekolah yang telah disetujui oleh Kemendiknas dan Kemenag (lihat penjelasan di atas).

Menyelenggarakan Pelatihan Pengembangan Kapasitas yang Mendalam bagi Pemangku Kepentingan Lokal untuk Melatih dan Menyediakan Bantuan Teknis bagi Sekolah dan Kabupaten/Kota

Pada permulaan proyek tepat sebelum kami mulai melaksanakan program DBE1 yang pertama di sekolah-sekolah sasaran yang mula-mula, kami meminta Dinas Pendidikan Kabupaten/kota dan Kandep untuk mengirimkan pegawai yang akan dilatih oleh DBE1 untuk mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan selama berlangsungnya proyek sehingga mereka akan mampu melaksanakan program tanpa pendampingan dari DBE1. Dalam kebanyakan kasus, pengawas sekolah dipilih karena pengawasan sekolah secara umum dianggap mencakup menyediakan dukungan teknis. Pendekatan yang masuk akal digunakan untuk mengembangkan kapasitas pengawas sekolah. Pertama-tama, mereka menerima Pelatihan Pelatih (TOT) selama beberapa hari. Kemudian, dukungan diberikan kepada mereka (yaitu dengan menyediakan pendanaan) untuk bergabung dengan pelatih DBE1 dalam menyelenggarakan sesi-sesi pelatihan serta pendampingan di mana mereka dapat mengamati dan membantu. Secara bertahap seraya fasilitator yang dilatih tersebut memperoleh pengalaman, mereka mengambil alih peran utama dalam memfasilitasi lokakarya pelatihan dan menyelenggarakan pelatihan lanjutan di sekolah-sekolah. Selama jangka waktu tiga tahun, DBE1 juga menyelenggarakan forum-forum dua bulanan yang dilaksanakan

selama sehari untuk terus meningkatkan keterampilan mereka sekaligus mendatangkan orang-orang baru untuk dilatih sebagai fasilitator.

Sebagian besar kabupaten/kota sasaran DBE mengandalkan para fasilitator yang terlatih untuk melaksanakan program-program diseminasi. Lebih dari 800 fasilitator telah dilatih untuk melaksanakan program Manajemen Berbasis Sekolah yang pendekatannya dirancang oleh DBE1. Beberapa fasilitator mulai ditugaskan di luar daerah dinas mereka yang biasa untuk melaksanakan program-program diseminasi. DBE1 juga telah memulai proses sertifikasi fasilitator yang memenuhi persyaratan. Adapun persyaratan berdasarkan kepada lama pelatihan yang diterima dari DBE1 serta telah menunjukkan kompetensi dalam melaksanakan pelatihan dan pendampingan secara independen. Penilaian akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari pemerintah daerah dan DBE1. Informasi mengenai mereka yang telah tersertifikasi akan dibagikan kepada pemangku kepentingan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Kami juga telah mulai mengembangkan kapasitas Penyedia Jasa, yang saat ini meliputi dosen dan staf LSM yang akan dilatih selama lima sampai enam bulan untuk membantu kabupaten/kota dalam melaksanakan program perencanaan dan analisa keuangan DBE1 tingkat kabupaten. Perjanjian kerja baru saja ditandatangani dengan empat lembaga yang akan menyediakan penyedia jasa: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, Universitas Nasional Makassar (UNM), LSM, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO),32 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)33.

Melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut, pada bulan Desember 2009 kami bersama-sama telah menyeleksi 16 individu dari lembaga penyedia jasa melalui proses seleksi berbasis prestasi (merit). Pelatihan induksi akan diadakan di awal tahun 2010 yang diikuti dengan pelatihan lanjutan sebulan kemudian. Kami berharap bahwa narasumber dari Kemendiknas maupun Kemendagri akan mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut. Setelah itu, peserta pelatihan-pelatihan akan bergabung dengan staf DBE1 yang berpengalaman untuk melaksanakan program di kabupaten-kabupaten yang baru berupa pelatihan sambil bekerja atau “magang profesional”. Menjelang akhir periode tersebut, DBE1 akan membahas dengan Kemendiknas dan Kemendagri mengenai mekanisme yang dapat digunakan untuk sertifikasi penyedia jasa dan diseminasi informasi kepada pemangku kepentingan di seluruh Indonesia.

32 Pusat Telaah dan Informasi Regional

33 Untuk memberikan pengalaman pelatihan secara lengkap kepada Penyedia Jasa (SP), kami bermaksud untuk memberikan pelatihan sambil bekerja (on-the-job training) untuk setiap langkah dalam metodologi DBE1. Karena kami telah menyelesaikan atau hampir menyelesaikan intervensi di kabupaten sasaran DBE yang mula-mula, maka kami

menandatangani perjanjian dengan tiga pemerintah kabupaten di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Barat/Banten di mana program-program DBE1 akan dilaksanakan sebagai sarana untuk pelatihan SP.

Mengembangkan Model Praktek yang Baik

Pada permulaan proyek, DBE1 mendanai wakil-wakil dari rombongan pertama sekitar 500 sekolah di enam provinsi untuk mengamati praktek yang baik dan bertemu dengan praktisi di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan praktek manajemen berbasis sekolah yang baik melalui proyek MBE USAID dan CLCC UNICEF/UNESCO. Setelah mendapatkan visi mengenai “seperti apa sekolah yang baik itu” maka para pengurus sekolah DBE segera memulai dan secara antusias melaksanakan praktek manajemen berbasis sekolah DBE1 dan praktek pembelajaran aktif DBE2 (PAKEM). Setelah satu tahun pelaksanaan proyek, 500 sekolah pertama binaan DBE menjadi model untuk kelompok kedua dari sekitar 500 sekolah lainnya. Sekitar 1.000 sekolah binaan DBE ini dalam kebanyakan kasus telah menjadi model bagi 8.000 sekolah yang telah mendiseminasi program-program DBE1.

Pada tahun ketiga proyek, DBE1 menunjuk beberapa sekolah di setiap kabupaten/kota untuk menjadi model atau sekolah rujukan untuk diseminasi. Sekolah-sekolah tersebut tidak diberikan input (masukan) program tambahan. Sebaliknya, kami memberikan sedikit pelatihan kepada pemangku kepentingan di tingkat sekolah mengenai caranya menampung pertanyaan pengunjung dan menjawabnya. Demikian pula, satu kabupaten/kota di setiap provinsi ditunjuk menjadi kabupaten rujukan yang berfungsi sebagai model bagi daerah-daerah lain yang akan mendiseminasi intervensi DBE1. Kabupaten/kota tersebut, selain berhasil melaksanakan program DBE di tingkat sekolah dan kabupaten yang sama seperti di kabupaten/kota DBE lainnya, juga akan melaksanakan program-program percontohan di bidang pengelolaan aset pendidikan, pengelolaan pengawasan sekolah dan pengelolaan personalia. DBE1 tidak mempunyai waktu maupun sumber daya untuk melaksanakan ketiga program ini di semua kabupaten/kota DBE dalam waktu yang tersisa. Namun, kami berharap bahwa beberapa kabupaten/kota yang lain akan mencari bantuan dari kabupaten/kota rujukan untuk melaksanakan program-program tersebut.

4. Pelembagaan dan Penyerahan Produk DBE1

Dokumen terkait