• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek yang Baik dalam Melaksanakan Kebijakan Pendidikan Dasar Terdesentralisasi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Praktek yang Baik dalam Melaksanakan Kebijakan Pendidikan Dasar Terdesentralisasi di Indonesia"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Decentralized Basic Education 1: Manajemen dan Tata

Layanan

Praktek yang Baik dalam

Melaksanakan Kebijakan

Pendidikan Dasar

Terdesentralisasi di Indonesia

Januari 2010

Laporan ini adalah salah satu dari sejumlah laporan khusus yang disusun oleh Research Triangle Institute (RTI), Mitra Pelaksana untuk program Improved Quality of Decentralized Basic Education (IQDBE) yang didanai oleh USAID di Indonesia

(2)
(3)

Manajemen dan Tata Layanan

Pendidikan (DBE1) Terdesentralisasi

yang Lebih Efektif

Praktek yang Baik dalam Melaksanakan Kebijakan

Pendidikan Dasar Terdesentralisasi di Indonesia

Kontrak 497-M-00-05-00029-00 Disusun untuk USAID/Indonesia Disusun oleh RTI International 3040 Cornwallis Road Post Office Box 12194

Research Triangle Park, NC 27709-2194

Pandangan penulis yang dinyatakan dalam publikasi ini tidak harus mencerminkan pandangan United States Agency for International Development (USAID) atau Pemerintah Amerika Serikat.

(4)
(5)

Daftar Isi

Hal.

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel ...v

Daftar Gambar ... vi

Ringkasan Eksekutif ...1

1.Pendahuluan ...7

2.Pengembangan dan Hasil-Hasil Praktek yang Baik di DBE1 ...9

Mendefinisikan praktek yang baik ... 9

Praktek yang Baik dalam Manajemen Berbasis Sekolah ... 10

Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (RPS/M atau RKS/M) ... 11

Penguatan Komite Sekolah ... 14

Pelatihan Kepemimpinan Sekolah ... 16

School Database System ... 18

Praktek yang Baik dalam Pengembangan Kapasitas Pemangku Kepentingan Kabupaten/Kota di bidang Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan ... 20

Analisa Keuangan ... 21

Perencanaan Berbasis Data ... 25

Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (EMIS) ... 27

Tata Layanan yang Baik di Sektor Pendidikan ... 29

3.Diseminasi dan Keberlanjutan Praktek yang Baik ... 31

Definisi Keberlanjutan dan Diseminasi ... 31

Strategi DBE1 untuk Diseminasi dan Keberlanjutan ... 32

Hasil Diseminasi ... 34

Komponen-Komponen Utama Strategi Diseminasi ... 35

Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Pengembangan Program dan Menyelaraskan Intervensi Proyek dengan Kebijakan Pemerintah ... 36

Pengelolaan Diseminasi ... 37

Menyelenggarakan Pelatihan Pengembangan Kapasitas yang Mendalam bagi Pemangku Kepentingan Lokal untuk Melatih dan Menyediakan Bantuan Teknis bagi Sekolah dan Kabupaten/Kota ... 37

Mengembangkan Model Praktek yang Baik ... 39

4.Pelembagaan dan Penyerahan Produk DBE1 ... 40

5.Bagaimana Kebijakan Nasional Dilaksanakan di Tingkat Kabupaten dan Sekolah ... 42

Ringkasan Praktek yang Baik yang Mendukung Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah secara Terdesentralisasi ... 42

Ringkasan Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah di Tingkat Lokal ... 46

Kesimpulan ... 50

Lampiran 1: Produk-produk DBE1 ... 51

Lampiran 2: Status dokumen proyek yang diunggah di Development Experience Clearinghouse (DEC) USAID ... 53

(6)

Lampiran 3: Kontribusi DBE1 dalam Pengembangan Kebijakan

Kab/Kota ... 54 Lampiran 4: Singkatan, Akronim dan Glosari ... 57

(7)

Daftar Tabel

Hal. Tabel 1 Uraian program dan kegiatan SDN Kutorejo III, Kabupaten

Nganjuk, Jawa Timur, seperti tertera dalam Rencana

Pengembangan Sekolah periode 2007-2010 ... 13 Tabel 2 Bagian dari analisis BOSP Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan,

yang menghitung biaya terkait pegawai. ... 25 Tabel 3 Jumlah TK/RA dan Angka Partisipasi di Tapanuli Utara yang

digunakan sebagai basis pengembangan rencana strategis Dinas Pendidikan ... 27 Tabel 4 Jumlah sekolah pelaksana program DBE1 di bawah diseminasi ... 34

(8)

Daftar Gambar

Hal.

Gambar 1 Lokasi Sasaran DBE1 ... 8

Gambar 2 Pedoman Penguatan Komite Sekolah/Madrasah DBE1 ... 16

Gambar 3 Kepala madrasah sedang membicarakan alokasi dana dengan guru-guru ... 17

Gambar 4 Lembar Mutu Sekolah ... 18

Gambar 5 Arsitektur SDS ... 19

Gambar 6 Analisa Belanja Sektor Pendidikan ... 23

Gambar 7 Segitiga EMIS – Penawaran, Permintaan & Penggunaan ... 28

(9)

Ringkasan Eksekutif

Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (Decentralized Basic Education/DBE) adalah sebuah program bilateral antara Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh United States Agency for International Development (USAID), dan Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra). DBE terdiri dari tiga proyek yang terpisah namun terkoordinasi: DBE1, yang berfokus pada manajemen dan tata layanan pendidikan dasar; DBE2, yang berfokus pada kualitas kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (MI); dan DBE3, yang berfokus pada relevansi dan kualitas sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs). Setelah jangka waktunya diperpanjang baru-baru ini, proyek berlangsung dari bulan April 2005 sampai September 2010. Program yang lengkap sedang dilaksanakan di seluruh 50 kabupaten/kota sasaran di delapan provinsi. Selain itu, proyek belum lama ini telah diperluas ke 18 kabupaten/kota lain di Aceh dalam rangka menyelenggarakan program di tingkat kabupaten/kota di seluruh provinsi tersebut.

Tujuan dari DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia melalui manajemen dan tata layanan pendidikan terdesentralisasi yang lebih efektif. Laporan ini mendokumentasikan hasil-hasil proyek terpilih, menyoroti praktek yang baik dari DBE1, bagaimana praktek tersebut dikembangkan dan diuji serta didiseminasi, dan bagaimana praktek-praktek tersebut telah mendorong pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia (Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri dan Kemenkeu) di tingkat sekolah/komunitas, kabupaten/kota dan provinsi. Laporan ini juga menguraikan pelembagaan dan penyerahan hasil-hasil kegiatan DBE1 kepada Kemendiknas dan Kemenag.

Kemendiknas menguraikan praktek yang baik sebagai praktek yang ‘... meningkatkan segala hal berikut ini: Akses, Kualitas, Relevansi dan Efisiensi pendidikan dasar.” Melalui kerja sama dengan Kemendiknas dan Kemenag serta lembaga-lembaga pemerintah lain seperti Kemendagri serta dengan pemangku kepentingan internasional lain, DBE1 telah menghasilkan sejumlah praktek yang baik di bidang manajemen dan tata layanan pendidikan terdesentralisasi di tingkat sekolah dan pemerintah daerah. Di tingkat sekolah, aspek terpenting dari praktek yang baik DBE1 adalah secara konsisten menyelaraskan model dan manual perencanaan pembangunan sekolah, pelatihan kepemimpinan, penguatan komite sekolah dan sistem database sekolah dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang terbaru. Melalui pendekatan ini, proyek telah berhasil menerjemahkan praktek baik internasional yang mapan ke dalam konteks Indonesia. Penyelarasan strategis input proyek dengan peraturan-peraturan yang berlaku saat ini sangat meningkatkan potensi pelaksanaan, diseminasi dan keberlanjutan proyek.

Pengembangan materi DBE1 untuk perencanaan pembangunan sekolah dan aspek-aspek lain dari manajemen berbasis sekolah telah dilakukan melalui konsultasi dengan Kemendiknas dan Kemenag. Sekretariat Manajemen Berbasis Sekolah (Sekretariat

(10)

MBS) dari Direktorat Pembinaan TK dan Sekolah Dasar, Kemendiknas, memainkan peranan penting dalam proses ini, yang menghasilkan kesepakatan untuk menerbitkan semua materi dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan dengan persetujuan resmi dari Direktur-Direktur Kementerian yang bersangkutan.

Metodologi pelatihan dan bantuan teknis DBE1 menekankan keterlibatan pemangku kepentingan di luar manajemen sekolah dalam perencanaan pembangunan dan tata layanan sekolah. Sebagian karena melibatkan komite sekolah dan anggota masyarakat dalam perencanaan sekolah dan pelatihan komite sekolah dan kepala sekolah, masyarakat sekolah DBE telah menyumbangkan lebih dari Rp 25 milyar ($2,7 juta) sampai bulan Desember 2009 untuk membantu sekolah melaksanakan rencana-rencana mereka. Salah satu aspek dari pelatihan komite sekolah, selain membantu mereka meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan peran dan fungsi komite sekolah sebagaimana didefinisikan dalam Kepmendiknas 044/2002 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah mempersiapkan komite sekolah untuk mengadvokasi dukungan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa/kelurahan (musrenbangdes/kel), yang diadakan setiap tahun pada bulan Januari-Februari. Berkat pelatihan tersebut, komite sekolah yang berpartisipasi dalam sekolah-sekolah binaan DBE1, dalam waktu setahun telah menyediakan dana sekitar Rp1.143.200.000 (US$115.000) untuk program-program pembangunan sekolah.

DBE1 telah bekerja sama dengan mitra Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lain dalam merencanakan dan membiayai pembangunan pendidikan serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dengan memfasilitasi kesempatan bagi anggota masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk menyuarakan keprihatinan dan aspirasi mereka terhadap pendidikan yang lebih berkualitas di kabupaten/kota. Seperti halnya dengan program di tingkat sekolah dan masyarakat yang disebutkan di atas, semua pendekatan dan metodologi DBE1 dengan kuat didasarkan pada kebijakan dan peraturan pemerintah yang berlaku saat ini. Penyelarasan strategis metode DBE1 dengan kebijakan pemerintah Indonesia sangat memperkuat pelaksanaan dan keberlanjutan program.

DBE1 telah membantu lebih dari 30 kabupaten/kota menyusun rencana pembangunan strategis sesuai dengan pedoman Kemendagri sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 8/2008. sebuah perangkat lunak berbasis Excel untuk menganalisa data sebagai dasar untuk perencanaan telah diterapkan secara luas oleh kabupaten-kabupaten binaan DBE. DBE1 melalui konsultasi dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendiknas telah mengembangkan dua metodologi analisa keuangan pendidikan. Kedua metodologi tersebut membantu kabupaten untuk lebih memahami dari mana pendanaan pendidikan itu berasal dan bagaimana menggunakannya. Melalui kerja sama yang erat dengan BSNP, DBE1 telah mengembangkan metodologi untuk menghitung biaya operasional sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan. Lebih dari 60 kabupaten telah menerapkan metodologi ini; dan hasil analisa telah digunakan di beberapa kabupaten dan dua provinsi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan baru tentang pendanaan sekolah

(11)

yang melaluinya APBD digunakan untuk membantu mengatasi kesenjangan antara biaya operasional nyata dengan hibah operasional sekolah yang disediakan melalui BOS. Sejak tahun 2009 kami menghitung bahwa pendanaan sekolah dari dua provinsi (Jawa Barat dan Jawa Tengah) dan beberapa pemerintah kabupaten/kota mencapai total lebih dari Rp 1 trilyun ($105 juta). Kebijakan tersebut diharapkan akan mengurangi beban orang tua atas biaya sekolah sehingga akhirnya akan meningkatkan akses dan kualitas pendidikan dasar.

Praktek yang baik dari DBE1 dalam mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan kabupaten di bidang manajemen dan tata layanan pendidikan telah menghasilkan perencanaan, penganggaran dan pengembangan kebijakan yang berbasis pada data dan informasi yang lebih efektif yang didukung dengan transparansi, hubungan yang terbuka dan dialog di dalam dan antara pemangku kepentingan ekesekutif, legislatif dan non pemerintah. Praktek yang baik dari DBE1 di bidang tata layanan pendidikan adalah proses dua langkah. Pertama, untuk mengembangkan kapasitas lembaga yang terkait dengan tata layanan (DPRD, Dewan Pendidikan Kabupaten, pers dan LSM) maka konsultasi publik dicantumkan dalam metodologi perencanaan dan rencana keuangan DBE1 sehingga para fasilitator dapat mendukung pemangku kepentingan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan menjadi sarana untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen pendidikan oleh pemerintah daerah. Kedua, produk perencanaan dan analisa keuangan biasanya berkembang menjadi permintaan eksekutif atau legislatif untuk bantuan teknis dalam rangka mengembangkan kebijakan-kebijakan baru yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas akses ke pendidikan dasar dan memperkuat manajeman pendidikan. DBE1 telah membantu merumuskan lebih dari 30 peraturan daerah tentang pendidikan. Kunci keberhasilan bantuan teknis dalam pengembangan kebijakan adalah menyatukan keahlian di bidang instrumen hukum, teori pendidikan dan analisa data yang andal.

Strategi inti dari proyek DBE adalah mengembangkan sekolah dan kabupaten/kota sasaran dalam jumlah yang terbatas sebagai contoh praktek yang baik dengan harapan agar hal ini akan dicontoh dan dilaksanakan (atau ‘didiseminasi’) oleh kabupaten/kota dan lembaga-lembaga lain, dan agar proses ini mempengaruhi kebijakan pemerintah yang akan menciptakan dampak yang jauh lebih luas. Unsur-unsur utama dari suatu strategi diseminasi telah diidentifikasi oleh proyek-proyek sebelumnya yang meliputi: proyek CLCC UNICEF/UNESCO, proyek Mengelola Pendidikan Dasar USAID (MBE), proyek Pengarusutamaan Praktek Terbaik UNICEF maupun beberapa proyek lain yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dan Kemenag dengan bantuan donor seperti Bank Dunia, ADB, JICA, Ausaid, GTZ, serta Pemerintah Belanda.

Strategi-strategi utama yang digunakan oleh DBE1 untuk mendukung diseminasi dan keberlanjutan adalah memastikan partisipasi calon pelaku diseminasi dalam pengembangan program, pemantauan dan pelaksanaan, dan materi diseminasi secara jelas diselaraskan dengan atau mendukung kebijakan pemerintah dan pemerintah menyetujui materi-materi tersebut; memastikan calon pelaku diseminasi memahami cara mengelola diseminasi (rencana dan anggaran belanja) dengan menyediakan bantuan teknis dan perangkat pengelolaan diseminasi; secara saksama melatih dan

(12)

memberikan sertifikat kepada para pelatih/fasilitator lokal yang dapat melaksanakan diseminasi intervensi proyek secara mandiri; dan mengembangkan model-model praktek yang baik di mana calon pelaku diseminasi dapat mengamati intervensi dalam praktek dan membahasnya dengan para praktisi.

Sampai akhir bulan Desember 2009, lebih dari 8000 sekolah telah melaksanakan program DBE1, dan hampir Rp13 milyar, atau $1,365 juta, telah dialokasikan untuk disemnasi program-program DBE1 di 68 kabupaten/kota. Dari total jumlah kumulatif ini, sekitar Rp10 milyar berasal dari APBD kabupaten/kota sedangkan sisanya, hampr Rp milyar, berasal dari sumber-sumber non APBD, termasuk Kemenag, dana sekolah (terutama BOS) dan dana sektor non-pemerintah (misalnya Muhammadiyah).

Seluruh kabupaten/kota yang telah melaksanakan sedikitnya satu program DBE1 sekarang berjumlah 68. Empat puluh di antaranya merupakan kabupaten/kota sasaran DBE1 yang semula sedangkan 28 kabupaten non-DBE yang baru belum lama ini memulai diseminasi. Analisa lebih lanjut memperlihatkan bahwa 50 kabupaten/kota telah mendiseminasi program manajemen berbasis sekolah dan 19 kabupaten/kota telah mendiseminasi program-program tingkat kabupaten/kota. Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) sejauh ini merupakan program yang paling luas didiseminasi.

Agar praktek-praktek yang baik yang dikembangkan oleh proyek ini dapat dilembagakan sepenuhnya maka, idealnya, produk-produk DBE1 akan diserahkan kepada Kemendiknas dan Kemenag. Hal ini berarti bahwa kepemilikan materi beralih dari USAID/DBE1 kepada Pemerintah Indonesia. Produk-produk DBE1 mencakup materi pelatihan, manual, perangkat lunak dan laporan tentang praktek yang baik dalam perencanaan, manajemen serta tata layanan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan sekolah, serta partisipasi masyarakat dalam praktek-praktek manajemen. Sebagaimana diuraikan di atas, proses ini sangat bergantung pada partisipasi mitra Kemendiknas dan Kemenag dalam pengembangan, ujicoba dan finalisasi materi. Sejauh ini, DBE1 telah menyusun sekitar 25 manual dan materi pelatihan dari berbagai jenis dan newsletters dari semua provinsi.

Seluruh paket materi manajemen berbasis sekolah DBE1 sekarang sampai pada tahap akhir dipublikasikan dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan kata pengantar dari Direktur-Direktur kedua Kementerian maupun pesan dari Wakil Direktur Kemenko Kesra.

Strategi keberlanjutan dan diseminasi praktek-praktek yang baik di DBE1 tertanam pada keyakinan yang telah mendukung pendekatan DBE1 sejak hari pertamanya: bahwa tugas DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan non pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan kebijakan resmi pemerintah Indonesia dengan bersama-sama mengembangkan dan mencoba metodologi untuk meningkatkan kapasitas dan mendukung praktek yang baik di kabupaten sasaran.

Kebijakan-kebijakan pemerintah diresmikan dalam bentuk hirarki peraturan perundang-undangan yang disahkan oleh DPR, dan peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undangan. Peraturan tingkat tertinggi adalah peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan oleh Presiden, yang diikuti dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan

(13)

oleh kementerian teknis bersangkutan, yang paling umum disebut peraturan menteri (Permen) (sehingga Permendiknas memaksudkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional). Semua intervensi DBE1 telah disesuaikan dengan atau mendukung pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan pendidikan dasar terdesentralisasi. Peraturan perundang-undangan tersebut berhubungan dengan Undang-Undang Pendidikan tahun 2003, paket Undang-Undang Desentralisasi (sehubungan dengan pemerintahan daerah dan keuangan negara) dan Undang-Undang Perencanaan Pembangunan Nasional. Pelaksanaan peraturan-peraturan teknis di tingkat lokal yang didukung oleh program-program DBE1 terutama adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri dan Kemenkeu.

DBE1 telah turut mendukung pelaksanaan sedikitnya 25 kebijakan berupa berbagai peraturan perundang-undangan di lebih dari 40 kabupaten/kota dan lebih dari 9.000 sekolah. Peraturan perundang-undangan tersebut mencakup aspek-aspek: Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 5/2006, Permendiknas No. 35/2006 dan Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tetang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun serta ketentuan agar pemerintah daerah mengalokasikan 20% dari anggaran belanjanya untuk pendidikan; Undang-Undang No. 25/2004 (“Undang-Undang Perencanaan Pembangunan”), PP 8/2008, dan Permendiknas 32/2005 yang mengharuskan kementerian nasional dan pemerintah daerah mengembangkan rencana strategis jangka panjang dan menengah dan yang berisi renana jangka panjang Kemendiknas (20 tahun) serta rencana strategisnyauntuk jangka waktu 2005 – 2010; Peraturan Pemerintah No. 19/2005 dan Permendiknas No. 19/2007 yang menetapkan Standar Nasional Pendidikan serta pedoman Manajemen Berbasis Sekolah; Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang menetapkan peraturan-peraturan tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan; Surat Edaran Bersama Bappenas dan Kemendagri No.0008/M.PPN/01/2007/050/264/SJ dan No. 140/640/SJ yang memungkinkan sekolah mengakses dana Pembangunan Desa dan menyediakan pedoman bagi pemerintah kabupaten/kota dalam perencanaan pembangunan tahunan, yang berfokus untuk menghubungkan rencana tahunan dengan rencana strategis; PP 38/2008 and Permendiknas 12, 13, 19, 24 dan 50 tahun 2007 yang terkait dengan peranan pengawas dan kepala sekolah, manajemen dan infrastruktur sekolah, serta manajemen oleh provinsi dan kabupaten/kota yang juga berhubungan dengan pengelolaan aset nasional dan daerah; Undang-Undang No. 17/2003, Undang-Undang No. 1/2004, Undang-Undang No. 15/2004 dan PP 48/2008 yang mengatur pembiayaan desentralisasi dengan menentukan bagaimana kabupaten/kota dan provinsi menerima sebagian besar pendanaan dari pemerintah pusat; PP 48/2008 yang menguraikan berbagai biaya pendidikan yang perlu didanai; PP 7/1999 yang menjadi dasar evaluasi dan pelaporan tahunan tentang pelaksanaan rencana strategis kabupaten/kota; Pelaksanaan kebijakan EMIS Kemendiknas dan Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kemendiknas/Kemenag.

Sebagai kesimpulan, sekarang kita mengetahui bahwa manajemen dan tata layanan pendidikan terdesentralisasi dapat berhasil di Indonesia. Yang jelas, pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang manajemen dan tata layanan pendidikan dasar terdesentralisasi, termasuk Manajemen Berbasis Sekolah, memerlukan dukungan di

(14)

tingkat sekolah dan kabupaten/kota. DBE1 telah mengembangkan pendekatan-pendekatan yang dapat berhasil untuk memberikan dukungan ini. Pendekatan dan metodologi tersebut saat ini sedang difinalisasi dalam format yang dapat diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan kepada lembaga-lembaga lain termasuk donor internasional untuk digunakan dan dikembangkan lebih lanjut.

(15)

1. Pendahuluan

Laporan ini disusun untuk program Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar Terdesentralisasi USAID (Quality Improvement for Decentralized Basic Education), Komponen: Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif (DBE1) yang dilaksanakan oleh Research Triangle Institute.

Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (Decentralized Basic Education/DBE) adalah sebuah program bilateral antara Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh United States Agency for International Development (USAID), dan Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra). DBE terdiri dari tiga proyek yang terpisah namun terkoordinasi: DBE1, yang berfokus pada manajemen dan tata layanan pendidikan dasar; DBE2, yang berfokus pada kualitas kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (MI); dan DBE3, yang berfokus pada relevansi dan kualitas sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs).

Tujuan dari DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia melalui manajemen dan tata layanan pendidikan terdesentralisasi yang lebih efektif.

Setelah jangka waktunya diperpanjang baru-baru ini, proyek berlangsung dari bulan April 2005 sampai September 2010. Program yang lengkap sedang dilaksanakan di seluruh 50 kabupaten/kota sasaran di delapan provinsi. Tiga kabupaten/kota lain telah ditambahkan baru-baru ini sehingga proyek dapat melatih penyedia pelayanan baru di bidang metodologi di tingkat kabupaten/kota. 6 kabupaten/kota lain telah mengambil bagian dalam program Kemitraan Pemerintah Swasta (Public-Private Alliance) di Yogyakarta dan Papua Barat. Selain itu, baru-baru ini proyek telah diperluas ke 18 kabupaten/kota lain di Aceh dalam rangka menyelenggarakan program-program di tingkat kabupaten/kota di seluruh provinsi tersebut.

(16)

Gambar 1 Lokasi Sasaran DBE1

1. Aceh 6. Yogyakarta (PPA) 2. Sumatra Utara 7. Jawa Tengah 3. Banten 8. Jawa Timur 4. Jawa Barat 9. Sulawesi Selatan 5. Jakarta 10. Papua Barat (PPA)

Laporan ini mendokumentasikan hasil-hasil proyek terpilih, menyoroti praktek-praktek yang baik dari DBE1, bagaimana praktek-praktek-praktek-praktek tersebut dikembangkan dan diuji serta didiseminasi, dan bagaimana praktek-praktek tersebut telah mendorong pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia (Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri dan Kemenkeu) di tingkat sekolah/komunitas, kabupaten/kota dan provinsi. Laporan ini juga menguraikan pelembagaan dan penyerahan hasil-hasil kegiatan DBE1 kepada Kemendiknas dan Kemenag.1.

1

Laporan ini berisi hasil kegiatan dari Urutan Tugas DBE1 sebagai berikut:

Hasil Kegiatan 13: Mendokumentasikan hasil-hasil yang menonjolkan praktek terbaik DBE1, bagaimana praktek-praktek tersebut dikembangkan, diuji dan tingkat keberhasilan replikasi. Laporan ini juga memberikan informasi kepada Kemendiknas dan Kemenag tentang pelaksanaan kebijakan nasional di tingkat yang lebih rendah (kabupaten/kota dan sekolah) serta rekomendasi untuk dialog kebijakan nasional.

Hasil Kegiatan 23: Menyusun laporan berkala yang menguraikan pelembagaan dan penyerahan produk-produk DBE1 (materi

pelatihan, manual, laporan tentang perencanaan pendidikan, manajemen dan tata layanan di tingkat pemerintah daerah dan sekolah, serta partisipasi masyarakat dalam praktek-praktek manajemen) kepada Kemendiknas dan Kemenag.

(17)

2. Pengembangan dan Hasil-Hasil Praktek yang

Baik di DBE1

Mendefinisikan praktek yang baik

DBE1 bermaksud mengembangkan manajeman dan tata layanan pendidikan dasar terdesentralisasi yang lebih efektif. Strategi intinya adalah mengembangkan contoh-contoh praktek yang baik di bidang manajemen dan tata layanan di tingkat sekolah maupun kabupaten/kota, dan mendukung diseminasi contoh-contoh tersebut ke sekolah dan kabupaten/kota yang lain. Untuk memilih contoh praktek yang baik maka dibutuhkan kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan istilah ‘praktek yang baik’ dan bagaimana kita dapat mengidentifikasinya.

Sebagaimana dalam laporan DBE1 sebelumnya, laporan ini menggunakan istilah “praktek yang baik’, bukan ‘praktek terbaik’. Meskipun istilah praktek terbaik menyiratkan suatu tujuan, ukuran mengenai apa yang ‘terbaik’ memperlihatkan bahwa hanya ada sedikit yang perlu diperbaiki lebih lanjut dan bahwa hanya ada satu jawaban, satu pendekatan ‘terbaik’, sedangkan istilah ‘praktek yang baik’ lebih bersahaja dan bersifat terbuka.

Untuk memilih contoh praktek yang baik maka dibutuhkan kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan istilah ‘praktek yang baik’ dan bagaimana kita dapat mengidentifikasinya. Praktek yang baik dalam DBE1 didefinisikan melalui hasil penelitian internasional, laporan tentang proyek-proyek yang telah dilaksanakan dan yang terjadi secara bersamaan di Indonesia dan pelajaran yang diperoleh dari pengalaman proyek kami sendiri serta sistem pemantauan dan evaluasi.

Karena konsep ‘praktek yang baik’ atau ‘praktek terbaik’ mulai terbiasa digunakan di lingkungan Pemerintah Indonesia, maka kami mempunyai beberapa referensi dari pihak pemerintah. Kriteria praktek yang baik disebutkan dalam Perjanjian Pembiayaan yang ditandatangani antara Masyarakat Eropa dan Pemerintah Indonesia.2 Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Kemendiknas telah mendefinisikan praktek yang baik sebagai suatu praktek yang ‘... meningkatkan segala hal berikut ini: Akses, Kualitas, Relevansi dan Efisiensi pendidikan dasar.3

Menurut laporan baru-baru ini yang disusun untuk Bank Dunia,

‘… Pemerintah Indonesia bahkan telah mendefinisikan praktek yang baik, bersama dengan Masyarakat Eropa, sebagai suatu praktek yang: (1) meningkatkan akses, kualitas, relevansi dan/atau efisiensi, (2) mempertimbangkan keragaman Indonesia dan kapasitas yang berbeda dari kabupaten/kota, dan (3) terjangkau sehingga dapat berkelanjutan.' 4

2

Program Dukungan Kapasitas Sektor Pendidikan Dasar di Indonesia (2005). Perjanjian Pembiayaan, Lampiran 2. hal. 6.

3 Dikutip dalam laporan UNICEF tanggal 27 Juni 2007, Program Dukungan Kapasitas Sektor Pendidikan Dasar di Indonesia;

Pemetaan Praktek yang Baik untuk Pengarusutamaan dalam Pendidikan Dasar, Jakarta

4

Bank Dunia (2009), Promosi Praktek yang Baik di Bidang Pendidikan, TF 070811 – Basic Education Capacity TRUST Fund, BEC-TF

(18)

Kemendagri baru-baru ini mengeluarkan sebuah rancangan Peraturan Menteri tentang ‘Praktek Terbaik’ di bidang tata layanan pemerintahan: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor … Tahun 2008 tentang Pedoman “Best Practice” Tata Layanan Pemerintahan Yang Baik. Rancangan peraturan menteri ini mendefinisikan ‘Praktek Terbaik’ di bidang tata layanan pemerintahan sebagai berikut:

‘"Praktek Terbaik (Best Practice)" dalam Tata Layanan Pemerintahan yang Baik atau "BP" adalah suatu praktek yang motivasional, inovatif dan berkelanjutan serta dapat dialihkan (sustainable-transferable), dikembangkan oleh Pemerintah Daerah (atau pemangku kepentingan lain) yang melibatkan pemangku kepentingan, dalam memecahkan satu persoalan atau lebih sebagai pendekatan baru yang sebelumnya tidak dilaksanakan dengan prioritas mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial.’

Dengan mengingat berbagai definisi baru tersebut, DBE1 mendefinisikan praktek yang baik sebagai praktek yang memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan dan membantu melaksanakan kebijakan saat ini yang meningkatkan pendidikan dasar secara efisien dan efektif.

Praktek yang Baik dalam Manajemen Berbasis Sekolah

Selama empat setengah tahun pelaksanaan, DBE1 telah membantu kementerian-kementerian penanggung-jawab pendidikan dalam mengembangkan dan menguji pendekatan-pendekatan untuk melaksanakan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Di Indonesia ada dua kementerian pusat yang berurusan dengan pengelolaan sistem pendidikan: Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Agama (Kemenag)5. Hal ini karena sekitar 20% anak di Indonesia mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Islam yang dikenal sebagai madrasah. Kepmendiknas No 044/U/20026 tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan menguraikan peranan, hak dan tanggung jawab badan-badan yang berwenang tersebut di tingkat sekolah dan kabupaten/kota. Dengan disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (20/2003),7 Indonesia secara formal mengadopsi kebijakan manajemen berbasis sekolah untuk semua sekolah dan madrasah negeri maupun swasta. Pada bulan Juli 2005, Pemerintah Indonesia (GOI) memperkenalkan Bantuan Operasional Sekolah, (BOS)8 suatu skema pendanaan hibah per siswa langsung dari pemerintah pusat, yang memberi sekolah dan madrasah untuk pertama kalinya independensi keuangan9. Kriteria rencana pengembangan sekolah/madrasah (RPS/M) pertama kalinya dituangkan dalam peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2005 (PP

5

MONE (bahasa Inggris) dikenal sebagai Kementerian Pendidikan Nasional atau Kemendiknas (bahasa Indonesia). MORA (bahasa Inggris) dikenal sebagai Kementerian Agama atau Kemenag.

6 Kepmendiknas adalah singkatan dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. 7

Undang Undang Sisdiknas 20/2003 – Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dapat dilihat dalam website DBE, http://www.dbe-usaid.org/ di bawah seksi Resource Materials

8 Lihat laporan DBE1, Studi Kerangka Hukum Sektor Pendidikan Dasar di Indonesia (November 2007) untuk penjelasan

secara lengkap tentang skema BOS beserta Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (20/2003) serta undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah yang penting lainnya.

9

Sekolah dasar di pedesaan sebelum diperkenalkannya BOS mendapatkan anggaran tahunan sekitar Rp 2 juta ($200), cukup untuk membeli sejumlah alat tulis. Buku pelajaran dan kebutuhan lainnya dipasok dari pusat atau dengan pungutan biaya. Sejak tahun 2005 sekolah dasar mendapatkan anggaran lebih dari Rp25 juta ($2.500) dan sejak tahun 2009, anggarannya menjadi Rp 40 juta ($4.000). Sumbangan dari orang tua dan masyarakat serta pendanaan dari sumber lain seperti pemerintah kabupaten dapat semakin meningkatkan jumlah tersebut.

(19)

No. 19/2005)10. Pada bulan Juli 2007, peraturan tahun 2005 tersebut direvisi dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang baru Permendiknas 19, 200711 yang mengharuskan semua sekolah dan madrasah di Indonesia untuk menyusun rencana pembangunan sekolah yang dikenal dengan Rencana Kerja Sekolah/Madrasah (RKS/M).

Sejak diadopsinya kebijakan manajemen dan tata layanan sekolah yang baru, Pemerintah Indonesia telah berupaya melaksanakannya di seluruh 216.000 sekolah dan madrasah. Dalam konteks inilah DBE1 memberikan bantuan dengan mengembangkan dan melaksanakan model perencanaan pembangunan sekolah yang didukung oleh pelatihan kepemimpinan bagi kepala sekolah, pelatihan untuk memperkuat komite sekolah dan sistem database sekolah (SDS) yang baru.

Pengembangan materi DBE1 untuk perencanaan pembangunan sekolah dan aspek-aspek lain dari manajemen berbasis sekolah telah dilakukan melalui konsultasi dengan Kemendiknas dan Kemenag. Sekretariat Manajemen Berbasis Sekolah (Sekretariat MBS) dari Direktorat Pembinaan TK dan Sekolah Dasar, Kemendiknas, memainkan peranan penting dalam proses ini, yang menghasilkan kesepakatan untuk menerbitkan semua materi dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan dengan persetujuan resmi dari Direktur-Direktur Kementerian yang bersangkutan.

Dalam bagian-bagian berikut, proses pengembangan praktek yang baik serta hasil-hasil dari praktek yang baik dijabarkan untuk setiap program Manajemen Berbasis Sekolah yang utama: Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Penguatan Komite Sekolah, Pelatihan Kepemimpinan dan Sistem Database Sekolah.

Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (RPS/M atau RKS/M) 12

Inti dari keberhasilan manajemen berbasis sekolah adalah komitmen kepada anak-anak, kepada kegiatan belajar mengajar, kepada perbaikan yang terus menerus, kepada perencanaan yang baik dan kepada partisipasi semua pemangku kepentingan.

10

PP singkatan dari Peraturan Pemerintah, dan biasanya berfungsi untuk menafsirkan suatu undang-undang sebagai kebijakan yang lebih tinggi tingkatannya ke dalam ketentuan-ketentuan operasional.

11 Permendiknas adalah singkatan dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.

12 Secara formal dalam bahasa Indonesia disebut Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Setelah terjadi perubahan

kebijakan pemerintah, rencana tersebut sekarang disebut Rencana Kerja Sekolah (RKS).

Salah satu aspek terpenting dari pendekatan DBE1 adalah secara konsisten menyelaraskan model dan manual perencanaan pembangunan sekolah, pelatihan kepemimpinan, penguatan komite sekolah dan sistem database sekolah dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang terbaru. Melalui pendekatan ini, proyek telah berhasil menerjemahkan praktek baik internasional yang mapan ke dalam konteks Indonesia. Penyelarasan strategis input proyek dengan peraturan-peraturan saat ini sangat meningkatkan potensi pelaksanaan, diseminasi dan keberlanjutan proyek.

(20)

Kemendiknas mengakui hal ini dalam definisinya tentang manajemen berbasis sekolah, yang menggunakan hasil dari proyek-proyek sebelumnya termasuk CLCC UNICEF, untuk mendefinisikan manajemen berbasis sekolah yang terdiri dari tiga pilar: Manajemen, Partisipasi Masyarakat dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)13. Dalam konteks ini, perencanaan pengembangan sekolah memainkan peranan yang penting.

Dengan mengikuti model-model praktek yang baik yang telah mapan dan dengan menggunakan hasil dari proyek-proyek sebelumnya, DBE1 telah membantu sekitar 1.076 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (MI) serta 202 sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs) untuk menyusun dan melaksanakan rencana pengembangan sekolah secara komprehensif yang:

• Memusatkan perhatian pada perbaikan kualitas dan didasarkan pada kebutuhan yang diidentifikasi melalui data yang dikumpulkan dan dianalisa dalam profil sekolah,

• Mencerminkan aspirasi dan prioritas pemangku kepentingan,

• Terintegrasi dan mencakup semua aspek utama dari program sekolah, • Bersifat tahunn – umumnya selama empat tahun,

• Memiliki multi sumber daya – semua sumber pendanaan dan sumber daya dicakup, termasuk hibah blok dari pemerintah pusat (Bantuan Operasional Sekolah/BOS), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan orang tua murid, dan sumber-sumber lain,

• Berkaitan langsung dengan rencana kerja tahunan (RKT) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKAS/M), dan

• Secara efektif dilaksanakan dan dipantau oleh komite sekolah dan pemangku kepentingan.

Melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan nasional dari Kemendiknas dan Kemenag, DBE1 mengembangkan sebuah manual (buku pedoman) awal untuk penyusunan rencana pengembangan sekolah/madrasah (RPS/M) tahun 2005-6. Manual ini didasarkan pada peraturan pemerintah tentang standar nasional pendidikan (PP No. 19/2005). RPS/program yang pertama dilaksanakan di sekitar 500 sekolah dan rancangan pertama dari manual RPS/M dievaluasi dan direvisi menjelang akhir tahun 2006. Manual yang telah direvisi tersebut digunakan untuk melatih lebih dari 50 sekolah lagi pada Tahun ke-2 proyek. Dengan menggunakan manual-manual tersebut, DBE1 menyediakan bantuan yang intensif kepada 1.076 sekolah dasar untuk

menyusun rencana pengembangan sekolah berbasis kebutuhan yang komprehensif melalui kerja sama dengan masyarakat.

13

(21)

Tabel 1 Uraian program dan kegiatan SDN Kutorejo III, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, seperti tertera dalam Rencana Pengembangan Sekolah periode

2007-2010

Segi-segi utama dari metodologi perencanaan pengembangan sekolah yang dianggap sebagai praktek yang baik adalah sebagai berikut:

• Menyusun rencana sekolah melalui pembentukan kelompok-kelompok kerja yang beranggotakan para pemangku kepentingan dari masyarakat, komite sekolah, guru dan kepala sekolah.

• Prosesnya difasilitasi oleh pengawas sekolah setempat, awalnya dengan dukungan dari personil proyek.

• Kelompok kerja ikut dalam serangkaian lokakarya pelatihan yang didukung dengan sejumlah kunjungan lapangan oleh fasilitator (pengawas sekolah). • Rencana didasarkan pada pengumpulan dan analisa data yang saksama.

Uraian Program & Kegi atan

Jenis Harga Jml. Satuan Jml . Biaya Jml. Satuan Jml. Bi aya Jml . Satuan Jml. Biaya

1 2 3 4=6+8+10+12 5=7+9+11+13 6 7=6x3 8 9=8x3

A. Peningkatan kuali tas sekol ah ramah anak

1.6 - Pemberian Tambahan Pel ajaran Orang/thn 7,000 1,165 8,155,000 269 1,883,000 296 2,072,000 - Peningkatan ki nerja guru melalui

KKG dan pel atihan DBE II 1.2 - Pemberian beasiswa kepada

peserta didi k sec. ekonomi kurang Orang/thn 120,000 54 6,480,000 12 1,440,000 13 1,560,000 mampu

- Pemberi an seragam sekolah kepada Orang/thn 30,000 54 1,620,000 12 360,000 13 390,000 pst didik sec. ekon. Kurang mampu

1.4 - Pengadaan ekstrakurikul er:

- Seni Orang/thn 22,000 279 6,138,000 60 1,320,000 66 1,452,000 - Ol ahraga Orang/thn 14,000 279 3,906,000 60 840,000 66 924,000 - Pengadaan guru/pelati h ekstrakurikuler

B. Peningkatan Kual itas P. Pembelajaran

2.1 Penyusunan si labus dan RPP 5 mapel Orang/thn 13,000 1,165 15,145,000 269 3,497,000 296 3,848,000 dan penilai an semua sistem

2.2 Pengadaan alat peraga Orang/thn 5,000 1,165 5,825,000 269 1,345,000 296 1,480,000 C. Peningkatan Manajemen Sekolah

3.1 - Pelatihan advokasi kuirkul um thn 06 - Pel atihan DBE1 dan DBE2

3.6 Pengadaan brosur, pengumuman Orang/thn 1,000 1,165 1,165,000 269 269,000 296 296,000 pada masyarakat terbuka, internet

untuk penyampaian informasi D. Peni ngkatan Peran Serta Masyarakat

4.1.1 - Pemil ihan pengurus komite sekolah Orang/thn 5,000 300 1,500,000 0 300 1,500,000 sec. demokratis

4.1.1.2 - Penyusunan pengurus komite sek. dari berbagai unsur

E. Prestasi peserta di dik

5.1.1 Tambahan pelajaran untuk Orang/thn 30,000 149 4,470,000 32 960,000 35 1,050,000 Peningkatan Nil ai UAS

5.1.5 Tambahan pelajaran utk pembinaan Orang/thn 45,000 46 2,070,000 10 450,000 11 495,000 siswa berprestasi

F. Sumber daya pendidi kan

6.2.2 Pengadaan buku 4 mapel rasio 1:1 dalam kurun wkt 4thn mulai 07/08

6.2.5 Pembuatan gapura Orang/thn 101,360 250 25,340,000 100 10,136,000 50 5,068,000 TOTAL BIAYA 393,360 6,071 81,814,000 1,362 22,500,000 1,738 20,135,000

(22)

Pada tahun 2008, setelah pertemuan multi-donor di Bank Dunia, tim nasional DBE1 mengadakan pertemuan dengan donor lain, Kemendiknas dan Kemenag untuk berbagi pengalaman, memetakan program manajemen berbasis sekolah dan membentuk forum multi pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, informasi disampaikan kepada para donor dan Kemendiknas mengenai pendekatan perencanaan pengembangan sekolah. Juga turut hadir dalam pertemuan ini para wakil dari Bank Dunia, AusAID, (IAPBE, NTT PEP, LAPIS), Yayasan Kartika Sukarno, Plan International, Save the Children, UNESCO, UNICEF, World Vision dan JICA. Secara menonjol ditegaskan bahwa pendekatan penyusunan rencana pengembangan sekolah/madrasah (RKS/M) oleh DBE1 adalah satu-satunya pendekatan yang saat ini selaras sepenuhnya dengan peraturan pemerintah yang berlaku (terutama Permendiknas 19/2007). Fakta ini sangat dihargai oleh Kemendiknas (terutama Direktorat Pembinaan TK/SD dan Direktorat Pembinaan SMP) dan sebagian besar merupakan keberhasilan program di lapangan serta minat yang kuat untuk melakukan diseminasi.

Penguatan Komite Sekolah

Praktek yang baik dalam manajemen berbasis sekolah mencakup bukan hanya perencanaan yang baik melainkan juga partisipasi aktif semua pemangku kepentingan. Ketika orang tua murid, warga masyarakat, guru – dan, bila perlu, peserta didik – berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, mereka kemungkinan besar lebih berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan keputusan dan rencana tersebut. Idealnya, pendidikan sekolah adalah kemitraan antara rumah tangga/masyarakat dan sekolah dengan setiap orang yang mempunyai visi yang sama untuk perbaikan kualitas; setiap orang yang mempunyai rasa memiliki, tanggung jawab dan komitmen untuk bekerja bersama dalam rangka mewujudkan visi tersebut. Kepmendiknas No 044/U/200214 tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan menguraikan peranan, hak dan tanggung jawab badan-badan yang berwenang tersebut di tingkat sekolah dan kabupaten/kota.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini dan perubahan menjadi kemitraan yang lebih besar antara sekolah dan masyarakat, dan untuk menciptakan model-model praktek yang baik dalam tata layanan sekolah maka DBE1 telah mengembangkan dan menguji materi-materi pelatihan untuk memperkuat peranan komite sekolah. Pelatihan dirancang untuk meningkatkan pemahaman komite sekolah tentang peranan mereka berdasarkan Kepmendiknas dan memperkuat kapasitas mereka untuk memenuhi peranan tersebut. Pelatihan komite sekolah oleh DBE1 terdiri dari empat belas modul yang dirancang untuk dilaksanakan dalam enam tahap. Pendekatan ini memberi sekolah kesempatan untuk memilih modul-modul yang paling cocok dari menu, setelah menyelesaikan pelatihan pengenalan standar.

Pelatihan untuk memperkuat peranan komite sekolah telah diselenggarakan di semua sekolah dasar dan madrasah yang didukung oleh DBE1. Keempat belas modul

14

(23)

pelatihan tersebut disusun berdasarkan tema sehingga sekolah-sekolah dapat memilih topik-topik yang paling cocok untuk pengembangan kapasitas.

Bagian 1: Pengenalan peran dan fungsi komite sekolah/madrasah

Bagian 2: Penilaian Sendiri dan Penguatan Organisasi, meliputi pembentukan dan perwakilan komite, sensitivitas terhadap gender, sensitivitas terhadap diversitas dan kelompok-kelompok marginal, serta organisasi komite sekolah.

Bagian 3: Administrasi dan Manajemen: meliputi organisasi komite sekolah/madrasah, penyusunan anggaran dan rencana kerja dasar

Bagian 4: (pilih dari menu) Memperkuat peranan komite: meliputi partisipasi, transparansi dan akuntabilitas, menilai aspirasi masyarakat, mengembangkan kemitraan, sumber pendanaan alternatif dan partisipasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa/kelurahan (musrenbangdes/kel).

Bagian 5 (pilih dari menu): Memperkuat peranan komite: meliputi pelaporan keuangan yang sederhana, dan mengidentifikasi sumber daya pembelajaran.

Sebagian karena adanya keterlibatan komite sekolah dan anggota masyarakat dalam perencanaan sekolah dan pelatihan untuk komite sekolah dan kepala sekolah, komunitas sekolah DBE telah menyumbangkan lebih dari Rp. 25 milyar ($2.7 juta) sampai bulan Desember 2009 untuk membantu sekolah melaksanakan rencana mereka.

Selain itu, pada tahun 2008, DBE1 telah mengembangkan materi pelatihan untuk mendukung pelaksanaan undang-undang beserta peraturan-peraturan terkait tentang perencanaan pemerintahan dan pembangunan tingkat desa – terutama untuk mendukung pelaksanaan rencana pengembangan sekolah.

Modul pelatihan yang baru telah dikembangkan dan kemudian dilaksanakan di semua sekolah dukungan DBE1 untuk mempersiapkan komite sekolah dalam rangka mendukung proses konsultasi masyarakat yang diadakan setiap tahun pada bulan Januari-Februari. Proses konsultasi ini, yang disebut musrenbangdes/kel15 adalah bagian dari proses konsultasi perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up) secara luas yang diadakan setiap tahun di semua kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Proses perencanaan pembangunan ini dilayanan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)16 berdasarkan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional17. Dana pembangunan dialokasikan kepada desa dan kabupaten/kota sebagai bagian dari program perencanaan pembangunan.

Program ini memberikan kesempatan yang sangat baik kepada sekolah-sekolah untuk mendapatkan Anggaran Alokasi Desa/Kelurahan (ADD) dalam rangka membiayai rencana pengembangan sekolah. Hasil evaluasi awal terhadap program ini yang dilaporkan dalam studi dampak yang akan diterbitkan pada bulan Maret 2010,18

15

Musrenbangdes/kel adalah singkatan dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Kelurahan

16 Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri 17

Undang Undang No 25/2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional

18 DBE1, 2009, (draft), Melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia, Pengalaman DBE1; Studi

(24)

menyingkapkan bahwa melalui proses musrenbang, komite sekolah dari sekolah-sekolah peserta program DBE1 telah menyediakan dana sekitar Rp 1.143.200.000 (US$ 115.000) untuk program pengembangan sekolah. Dari 368 program yang diusulkan oleh anggota komite sekolah dalam musrenbang, 65% di antaranya berasal dari rencana pengembangan sekolah (RPS/RKS).

Gambar 2 Pedoman Penguatan Komite Sekolah/Madrasah DBE1

Pelatihan komite sekolah yang diselenggarakan melalui DBE1 tidak hanya memperkuat tata layanan sekolah melainkan juga memberikan kesempatan yang penting bagi masyarakat dan warga setempat untuk menikmati demokrasi secara terbuka dan partisipatif di tingkat bawah (grass roots level). Sistem pendidikan serta sekolah dan madrasah di bawahnya merangkul masyarakat lokal dan kehidupan rakyat Indonesia lebih jauh daripada instansi pemerintah lain manapun. Potensi dampak dari meningkatnya tata layanan sekolah melalui komite sekolah adalah penyelenggaraan pelatihan yang sangat luas di bidang demokrasi bagi masyarakat di tingkat bawah.

Pelatihan Kepemimpinan Sekolah

Pelatihan kepemimpinan (leadership training) bagi kepala sekolah (dan pengawas) merupakan salah satu komponen dalam program DBE1 untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah. Tujuan dari pelatihan ini adalah memperkuat kapasitas kepala sekolah dalam melaksanakan tugas hariannya – dengan perhatian khusus untuk mengembangkan pendekatan kepemimpinan yang terbuka, inklusif dan partisipatif. Strateginya adalah membantu kepala sekolah untuk memahami apa artinya kepemimpinan yang efektif dalam praktek, dan mendukung kepala sekolah menilai gaya kepemimpinannya serta mengembangkan rencana singkat untuk perbaikan diri. Tujuan yang lebih luas adalah, dengan meningkatkan kualitas kepemimpinan sekolah, memfasilitasi partisipasi masyarakat dan pelaksanaan rencana pengembangan sekolah.

(25)

Pelatihan kepemimpinan sekolah terdiri dari dua acara yang masing-masing berlangsung selama sehari. Pelatihan hari pertama diadakan sebelum proses perencanaan RKS/M guna mempersiapkan kepala sekolah untuk memikul peranannya sebagai pemimpin dan memperlengkapi kepala sekolah untuk mengelola partisipasi komite sekolah dan pemangku kepentingan yang lain. Pelatihan hari kedua diselenggarakan setelah tahun pertama pelaksanaan rencana pengembangan sekolah (RKS/M). Meskipun tidak mungkin untuk mengikuti urutan ini secara saksama, pelatihan selama dua hari ini sejauh ini telah diselenggarakan bagi kepala sekolah dan pengawas sekolah di semua sekolah dasar dan menengah pertama dan madrasah sasaran.

Gambar 3 Kepala madrasah sedang membicarakan alokasi dana dengan guru-guru

Pada tahun 2009, sebuah studi kecil diadakan di Karanganyar untuk menilai dampak dari program ini.19 Hasil studi menunjukkan bahwa pelatihan tersebut telah memberi kepala sekolah pemahaman baru mengenai cara menjadi seorang pemimpin. Dampak yang dirasakan meliputi peningkatan pengetahuan kepala sekolah, perubahan manajemen kepala sekolah, gaya kepemimpinan serta hal-hal lain. Namun, dampak yang paling sering disebutkan dari pelatihan ini adalah meningkatnya pengetahuan tentang kepemimpinan. Meskipun sulit untuk memilah-milah dampak langsung dari dua hari pelatihan tentang kepemimpinan yang diselenggarakan bagi kepala sekolah dan pengawas sekolah ini, berdasarkan studi kasus tersebut, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa secara umum program DBE1 mempunyai dampak penting yang dapat diidentifikasi terhadap pendekatan kepemimpinan dan manajemen yang dilakukan oleh para kepala sekolah.

19 Lihat: DBE1, 2009, (draft), Melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia, Pengalaman DBE1;

(26)

School Database System

DBE1 melakukan kegiatan sepanjang tahun 2006 dan 2007 melalui kerja sama dengan DBE2 untuk mengembangkan aplikasi perangkat lunak yang disebut Kartu Laporan Sekolah (School Report Card/SRC) untuk menyampaikan laporan kinerja sekolah kepada orang tua murid dan warga masyarakat.

Gambar 4 Lembar Mutu Sekolah

Dengan adanya landasan ini, di akhir tahun 2007 dan 2008, DBE1 memperluas program SRC dengan mengembangkan Sistem Database Sekolah terpadu (SDS) yang mencakup semua data yang diperlukan sebagai kelengkapan pelaporan selain SRC; data tersebut mencakup: data untuk mengikuti proses akreditasi sekolah yang disampaikan kepada Badan Akreditasi Sekolah (BAS), laporan penggunaan dana bantuan BOS dan rencana jangka menengah dan tahunan serta anggaran belanja (Error! Reference source not found.).

SDS mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan inisiatif dari dalam proyek menjadi suatu inisiatif yang unik untuk mendukung pelaksanaan Sistem Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Tampaknya pelatihan kepemimpinan yang ditargetkan secara spesifik ini telah menyumbang kepada Manajemen Berbasis Sekolah dan Tata Layanan Sekolah secara keseluruhan. Pada umumnya, kepala sekolah telah mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih terbuka, transparan dan partisipatif di sekolah dan masyarakat sebagai hasil dari program DBE1.

(27)

Profile ProfileRKSRKS SRC SRC Accreditation Accreditation Form (BAN) Form (BAN) BOS Reports BOS Reports

INPUT PROCESS OUTPUT

School

School

Database

Database

System

System

School Profile School Profile School Program School Program BOS Transaction BOS Transaction Profile ProfileRKSRKS SRC SRC Accreditation Accreditation Form (BAN) Form (BAN) BOS Reports BOS Reports

INPUT PROCESS OUTPUT

School

School

Database

Database

System

System

School Profile School Profile School Program School Program BOS Transaction BOS Transaction

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah20, Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan21, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 12/2007 tentang Standar Pengawas Sekolah /Madrasah22.

Melalui SDS, sekolah dapat menyusun laporan dalam format yang telah dirancang untuk memenuhi berbagai kebutuhan pemerintah/Kemendiknas seperti profil sekolah untuk rencana pengembangan sekolah (RKS/M), laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan data akredinasi sekolah. Selain itu, SDS menyediakan laporan bagi warga masyarakat dan orang tua murid tentang kinerja sekolah setiap tahun (Kartu Laporan Sekolah).

Gambar 5 Arsitektur SDS

Sistem database sekolah (SDS) ternyata sangat populer di sekolah dan kabupaten/kota yang merasa bahwa sistem ini mudah digunakan dan sesuai dengan kebutuhan mereka untuk memenuhi berbagai ketentuan pelaporan. Sekolah-sekolah melaporkan bahwa mereka merasakan manfaat yang sangat besar dari SDS karena sistem ini memberi mereka kesempatan untuk memanfaatkan komputer dalam pengelolaan data sekolah. Pengalaman menggunakan komputer ini meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya data yang akurat dan berkualitas sekaligus meningkatkan pengetahuan mereka tentang ICT. Tenaga kependidikan mulai memahami bahwa teknologi dapat mempermudah atau meminimalkan pengelolaan data yang tidak perlu dan berulang. SDS merupakan inovasi yang signifikan dan praktek yang baik, yang meningkatkan akurasi, ketepatan waktu dan kelengkapan data yang disampaikan oleh sekolah

20

Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah – lihat website DBE http://www.dbe-usaid.org/ untuk peraturan perundang-undangan ini maupun lainnya yang relevan.

21 PP No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan 22

(28)

kepada sistem – sekaligus mendukung sekolah untuk membuat rencana berdasarkan data yang berkualitas baik.

Nilai nyata dari SDS adalah bahwa sistem ini menyediakan data dalam bentuk yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mendukung pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Salah satu masalah penting di sekolah dan di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi adalah bahwa keputusan biasanya dibuat dan kebijakan dirumuskan tanpa referensi data yang baik. SDS antara lain menghasilkan profil sekolah, memasukkan data sekolah dan masyarakat dalam suatu format yang memungkinkan sekolah dapat dengan cepat melihat kekuatan dan kelemahannya, perkembangan dari waktu ke waktu, dan kesenjangan antara kenyataan saat ini dengan tujuan sekolah dalam mewujudkan misi yang

dinyatakannya.

Praktek yang Baik dalam Pengembangan Kapasitas

Pemangku Kepentingan Kabupaten/Kota di bidang

Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan

DBE1 telah bekerja sama dengan mitra pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lain dalam merencanakan dan membiayai pembangunan pendidikan, dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dengan memfasilitasi kesempatan bagi warga masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk menyuarakan keprihatinan dan aspirasi mereka dalam upaya mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas di kabupaten/kota.

Seperti halnya dengan program tingkat sekolah dan masyarakat yang disebutkan di atas, semua pendekatan dan metodologi DBE1 secara kuat didasarkan pada kebijakan dan peraturan pemerintah yang berlaku. Melalui pendekatan ini, proyek telah berhasil menerjemahkan praktek baik internasional yang mapan ke dalam konteks Indonesia. Penyelarasan strategis input proyek dengan peraturan-peraturan yang berlaku saat ini sangat memperkuat potensi pelaksanaan, diseminasi dan keberlanjutan program. Praktek yang baik dalam manajemen dan tata layanan pendidikan dasar di tingkat kabupaten/kota sejalan dengan praktek yang baik di sektor-sektor lain dan dengan prinsip-prinsip tata layanan pemerintahan yang baik. Tata layanan (governance) didefinisikan sebagai proses dan lembaga yang melaluinya mereka yang memerintah (1) dipilih, dimintai pertanggungjawaban, dipantau dan digantikan; (2) mempunyai keterampilan, perangkat dan sumber daya untuk mengelola sumber daya dan menyediakan pelayanan secara efisien, serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan peraturan yang tepat; dan (3) mereka yang memerintah dan diperintah mempunyai respek terhadap lembaga-lembaga yang mengatur interaksi ekonomi dan sosial.23

23

Ini digunakan sebagai ‘definisi operasional’ tata layanan dalam Rencana Kerja tahunan DBE1 dan diadopsi dari Proyek LGSP. LGSP mengadopsi definisi ini dari berbagai sumber, termasuk Bank Dunia, OECD, UNDP, ADB, USAID, dan RTI.

(29)

Untuk membantu mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan lokal dalam menyusun kebijakan dan rencana pendidikan serta mengadakan pengelolaan berdasarkan keterbukaan dalam pemberian informasi yang akurat dan lengkap serta menyuarakan aspirasi pemangku kepentingan utama sehingga mendorong akuntabilitas dan transparansi maka DBE1 telah bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pusat untuk mengembangkan sejumlah pendekatan dan metodologi. Pendekatan dan metodologi tersebut antara lain meliputi:

• Analisis keuangan pendidikan: Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota (AKPK), Analisa Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).

• Metodologi perencanaan pendidikan: Rencana strategis kabupaten/kota (atau Renstra)24.

• Metodologi pengelolaan informasi pendidikan: Sistem Informasi Manajemen Pendidikan dan Sistem Informasi Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SIPPK).

• Metodologi penguatan tata layanan: Lokakarya Multi Pemangku Kepentingan, pelatihan bagi Dewan Pendidikan, briefing bagi DPRD dan Kartu Laporan Kabupaten/Kota (masih dikembangkan).

Konsultasi yang ekstensif telah dilakukan dan masih berlangsung dengan pemerintah pusat dalam pengembangan masing-masing metodologi. Metodologi-metodologi ini diuraikan dalam bagian-bagian berikutnya.

Analisa Keuangan

DBE1 telah mengembangkan dan sedang melaksanakan dua metodologi utamanya untuk analisa keuangan: (1) Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota ( AKPK) dan (2) Analisa Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). Dalam mengembangkan kedua metodologi ini, kami telah berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu)25 dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendiknas.

Analisa-analisa keuangan tersebut mempunyai dua tujuan utama:

1. Menyediakan data keuangan untuk perencanaan pembangunan pendidikan, terutama untuk penyusunan rencana pembiayaan, dan

24

Renstra adalah singkatan dari Rencana Strategis (Strategic Plan).

25

Kami menemui Kemenkeu untuk mendapatkan data APBD kabupaten/kota di mana spesialis DBE1 mengadakan AKPK untuk data anggaran belanja tahun 2005 & 2006.

Praktek yang baik dari DBE1 dalam mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan kabupaten/kota di bidang manajemen dan tata layanan pendidikan menghasilkan perencanaan, penganggaran dan pengembangan kebijakan berbasis data dan informasi yang lebih efektif yang didukung dengan transparansi, hubungan secara terbuka dan dialog dalam dan antara pemangku kepentingan eksekutif, legislatif dan non pemerintah.

(30)

2. Menyediakan informasi bagi dialog kebijakan dan meningkatkan harmonisasi upaya pembangunan pendidikan yang dilakukan oleh berbagai tingkat pemerintahan.

Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota (AKPK)

Perencanaan pembangunan pendidikan hendaknya menghasilkan rencana-rencana yang dapat dilaksanakan secara realistis. Hal ini hanya dapat dicapai jika rencana disusun dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya keuangan. Metodologi DBE1 untuk Analisa Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota (AKPK) dikembangkan sebagai alat untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana pembangunan pendidikan dibiayai. Metodologi tersebut pada dasarkan meringkaskan dan menyusun kembali informasi yang tercantum dalam dokumen anggaran pemerintah yang sangat tebal menjadi informasi yang mudah dipahami dan yang memberikan gambaran yang transparan dan relevan tentang uang yang dibelanjakan. Hal ini membantu:

• Meningkatkan pengambilan keputusan karena keputusan didasarkan pada hasil analisa.

• Menetapkan prioritas di antara sektor-sektor pembangunan kabupaten/kota dan di sektor pendidikan (misalnya investasi pada pengembangan anak usia dini terhadap peningkatan pendidikan menengah).

• Menilai apakah pendanaan dialokasikan secara adil karena AKPK menyediakan informasi pengeluaran per siswa menurut jenjang pendidikan.

• Membandingkan kinerja di antara kabupaten-kabupaten yang merupakan cara yang efektif untuk menilai setiap kinerja kabupaten/kota.

• Menilai sejauh mana kabupaten/kota telah memenuhi kewajibannya berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 untuk membelanjakan minimum 20% dari APBD untuk pendidikan.

• Membuat kemajuan menuju orientasi pada hasil di mana belanja telah sesuai dengan indikator kunci kinerja pendidikan.

• Meningkatkan akuntabilitas internal dengan menghubungkan hasil dengan input yang akan membantu memperbaiki manajemen internal.

• Meningkatkan akuntabilitas eksternal dengan menyebarluaskan informasi tentang hasil sampai input melalui cara yang mudah dimengerti untuk digunakan dalam pembahasan kebijakan dengan publik.

(31)

Gambar 6 Analisa Belanja Sektor Pendidikan

Singkatnya, metodologi AKPK pada dasarnya menjawab dua pertanyaan: (1) dari mana dana tersebut berasal, dan (2) ke mana perginya dana tersebut serta berapa besar yang digunakan untuk setiap jenjang pendidikan?

Menurut kami, ini adalah pertama kalinya kabupaten/kota dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena mereka mempersiapkan anggaran dan mempertimbangkan kebutuhan. Metodologi AKPK memperhitungkan belanja pendidikan dengan lebih akurat dibandingkan sebelumnya. Metodologi ini menghapuskan komponen-komponen non pendidikan dari dokumen anggaran pendidikan yang ditetapkan dan melengkapi komponen-komponen pendidikan dari sektor-sektor lain seperti Dinas Cipta Karya dan Bagian Keuangan-Sekretariat Daerah.

Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP)

Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) adalah sebuah metodologi yang memungkinkan kabupaten/kota menjawab pertanyaan: Berapa biaya untuk mengoperasikan sekolah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendiknas?

Program ini terbukti sangat populer di kalangan kepala daerah, DPRD dan administrasi pemerintahan. Untuk pertama kalinya, program memberi pengelola

AKPK membekali pemangku kepentingan kabupaten/kota dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menganalisa penganggaran sektor pendidikan dan kondisi keuangannya. Metodologi AKPK DBE1 memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan lain untuk mempelajari topik-topik ini. Hasil AKPK telah mempengaruhi proses penganggaran karena sejumlah kabupaten/kota telah mengambil inisiatif untuk mengubah pola alokasi dana mereka.

Dinas Tata Kota, 10.4%

Bidang Pendidikan, 87.9% Bag. Perlengkapan, 1.7% DAU DAK Shared Revenue Own Revenue FY2005 Rupiah Millions Realised Expenditure Share of APBD(%)

Total APBD Expenditure 388,738 100.0

Education Sector Expenditure (including Teacher salaries) 180,081 46.3

Teacher Salaries 128,350 33.0

Education Sector Expenditure (excluding Teacher salaries) 51,731 13.3 Education Sector Expenditure by type of expenditure 180,081 100.0

1. Total Salaries 153,500 85.2

(1a) Teacher Salaries 128,350 71.3

(1b) Other salaries 25,150 14.0

2. Capital Expenditure (Belanja Modal) 14,400 8.0

(2a) Schools 14,149 7.9

(2b) Non-school 251 0.1

3. Operational Expenditure 12,181 6.8

(3a) Schools 5,935 3.3

(3b) Non-school 6,247 3.5

Education Sector Expenditure by level of education

SDN (Primary) 101,163 56.2

SMPN (Junior Secondary) 33,560 18.6

SMAN/SMKN (Senior Secondary) 10,485 5.8

(32)

kabupaten/kota dan pemangku kepentingan suatu penilaian yang akurat terhadap biaya untuk mendidik seorang anak di setiap jenjang dalam sistem26. Akhirnya, mereka dapat secara akurat memprediksi biaya, menghitung kekurangan (perbedaan antara dana BOS yang dialokasikan oleh pusat dengan biaya sebenarnya yang dihitung oleh BOSP) dan merumuskan kebijakan serta mengalokasikan APBD berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya.

Kepentingan kabupaten dalam program BOSP meningkat secara signifikan dengan adanya kampanya pemerintah ‘yang agresif’ untuk ‘sekolah gratis’. Mulai Januari 2009, bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat meningkat dalam jumlah yang besar dari Rp 254.000 menjadi Rp 400.000 untuk sekolah di daerah perkotaan (Rp 397.000 untuk sekolah di daerah perdesaan) per siswa per tahun di tingkat SD dan dari Rp 354.000 menjadi Rp 575.000 per siswa per tahun di tingkat SMP. Namun, hasil analisa BOSP di lebih dari 40 kabupaten/kota menunjukkan bahwa bahkan peningkatan pendanaan BOS tersebut masih belum cukup untuk mendanai biaya operasional sesuai dengan standar pelayanan minimum. Jadi, DBE1 hampir selalu menemukan kesenjangan antara biaya operasional sebenarnya dengan pendanaan BOS.

Hasil BOSP telah digunakan di beberapa kabupaten/kota dan dua provinsi untuk merumuskan kebijakan baru mengenai pendanaan sekolah yang melaluinya APBD digunakan untuk membantu menutupi kesenjangan antara biaya operasional sebenarnya dengan bantuan operasional sekolah. Sejak tahun 2009 kami menghitung bahwa pendanaan sekolah seperti ini dari dua provinsi (Jawa Barat dan Jawa Tengah) serta beberapa pemerintah kabupaten/kota telah mencapai lebih dari Rp 1 trilyun ($105 juta). Kebijakan tersebut diharapkan akan mengurangi beban orang tua atas biaya sekolah sehingga akhirnya akan meningkatkan akses dan kualitas pendidikan dasar. Beberapa kabupaten/kota memilih untuk menyediakan pendanaan tambahan yang diperlukan hanya untuk memenuhi standar operasional minimum. Dengan meningkatkan standar dan menyediakan dana untuk memenuhi standar yang lebih tinggi, kualitas pendidikan juga diharapkan akan meningkat.

26

Perhatikan bahwa BOSP hanya menghitung biaya operasional sekolah – gaji dan bukan gaji – sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh BSNP. BOSP tidak termasuk kebutuhan investasi di tingkat sistem.

(33)

Tabel 2 Bagian dari analisis BOSP Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, yang menghitung biaya terkait pegawai.

Deskripsi Frekuensi per Tahun Jumlah

Per Unit

Satuan Biaya/Unit (Rp) Nilai (Rp) Keterangan

BIAYA PEGAWAI

a. Gaji

Guru sebagai Kepala Sekolah 12 1 1 1.823.000 21.876.000 Gol IV/a, Masa Kerja Golongan 6 Tahun

Guru 12 9 1 1.823.000 196.884.000 Gol IV/a, Masa Kerja Golongan 6 Tahun

Tenaga Kependidikan - - - (Pustakawan, Laporan (1), Teknisi sumber belajar,

TU, Kebersihan) dari Standar Penglolaan

b. Tunjangan Melekat pada Gaji

Guru 12 10 1 368.220 44.186.400

Istri/suami 10% dari gaji + 2 anak @ 2% dari gaji + Askes Rp 10.000 + perumahan Rp 7.000 + 40 kg beras @Rp 2.500

Tenaga Kependidikan - -

-c. Penghasilan Lainnya 1. Tunjangan Profesi

Guru 12 1 1 449.925 5.399.100 30% dari jumlah guru, sebesar 1kali gaji pokok

2. Fungsional

Guru 12 1 1 327.000 35.316.000

Kebijakan Pemerintah menaikkan nominal tunjangan diatas Perpres No. 58/2006 (Rp 227.0000 sebesar Rp. 100.000

Tenaga Kependidikan - Perpres No. 40/2006 (Pustakawan Lanjutan)

3. Tunjangan Khusus Diberikan untuk daerah khusus

Guru

Tenaga Kependidikan 4. Maslahat Tambahan

Guru sebagai Kepala Sekolah 12 1 1 365.000 4.380.000 Perpres No. 58/2006 (Tunjangan untuk Kepsek)

Tenaga Kependidikan Tunjangan Tenaga Struktural

JUMLAH BIAYA PEGAWAI 308.041.500

Perencanaan Berbasis Data

DBE1 telah mengembangkan pendekatan baru untuk perencanaan pembangunan pendidikan jangka menengah di tingkat kabupaten/kota (Renstra). Segi-segi utama dari metodologi ini adalah:

• Rencana berbasis informasi

• Perubahan dari perencanaan berbasis input menjadi berbasis output/outcome (hasil)

Dengan meningkatnya kapasitas kabupaten/kota untuk menganalisa biaya operasional, kabupaten/kota dibantu untuk lebih akurat dalam merencanakan anggaran belanja mereka guna melengkapi bantuan operasional sekolah dari pemerintah pusat. Alhasil, APBD kabupaten (dan dalam beberapa kasus, APBD provinsi) yang terbatas dapat digunakan lebih efektif dan efisien, bukan sebagai tambahan melebihi dari yang dibutuhkan atau yang hampir tidak cukup untuk mengubah keadaan – apapun halnya, bisa jadi hanya menjadi pemborosan atau tidak berguna sama sekali.

Gambar

Gambar 1 Lokasi Sasaran DBE1
Tabel 1 Uraian program dan kegiatan SDN Kutorejo III, Kabupaten Nganjuk,  Jawa Timur, seperti tertera dalam Rencana Pengembangan Sekolah  periode
Gambar 2 Pedoman Penguatan Komite Sekolah/Madrasah DBE1
Gambar 3 Kepala madrasah sedang  membicarakan alokasi dana dengan  guru-guru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapat pada penelitian aplikasi marketplace CETAKIN ini adalah pengujian baik dari sisi pengguna alias customer dan dari pengelola percetakan. Yang dapat

1) Bentuk kromoplas dalam sel korteks wortel ada 2, yaitu bentuk persegi dan jarum. Dan tidak semua pewarnaan kuning/merah jingga disebabkan oleh plastida,macam

Suatu kegiatan penelitian yang dilaksanakan dengan baik, obyektif, menyita waktu yang cukup lama dan menghabiskan biaya yang sangat besar, tidak

Dalam hal Tertanggung masih hidup sampai Tanggal Akhir Asuransi dan Polis masih berlaku, maka Perusahaan akan membayarkan Manfaat Akhir Asuransi kepada Pemegang

Karena gejala ini sangat universal, hal tersebut pasti merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh manusia, dan jika sifat manusia ini secara alamiah membawa kepada

a) Daftar tersebut hendaklah digunakan untuk merekod segala data tentang kemalangan, kejadian berbahaya, keracunan pekerjaan dan penyakit pekerjaan yang berlaku di