• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Pemikiran Keilmuan Muslim

Dalam dokumen Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu I (Halaman 113-118)

BAB III Biograi dan Setting Sosio-Politik Pemikiran

C. Setting Sosial-Politik Diskursus Keilmuan

2. Diskursus Pemikiran Keilmuan Muslim

Sebagai salah satu wacana utama dalam pemikiran muslim kontemporer, persoalan relasi Islam dan ilmu telah men-jadi perhatian tersendiri di kalangan para pemikir muslim kontemporer. Secara garis besar, ada tiga arus utama yang berkembang dalam diskursus pemikir muslim kontemporer sebagai upaya memajukan ilmu di dunia muslim, yakni:

kelompok airmatif-apologetik, kelompok instrumentalis, dan

kelompok kritis.

a. Kelompok Airmatif-Apologetik

Kelompok ini berangkat dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sudah lengkap dan berbicara tentang semua hal, termasuk di bidang ilmu. Alquran yang merupakan rujukan utama dalam agama Islam telah meliputi semua bidang keilmuan. Hal ini didasarkan pada pernyataan Alquran sendiri pada Q.S. al-An’am [6] ayat 38 yang berbunyi: “...Kami tidak

alfakan sesuatu di dalam kitab ini....”, yang kemudian dipahami

60 Ibid.

termasuk di sini berbagai penemuan-penemuan oleh ilmuwan Barat. Dengan berpijak pada asumsi ini juga, semua penemuan ilmiah Barat itu pada dasarnya sudah ada dan diantisipasi dalam Alquran. Pada bentuk yang lebih konkret, kelompok ini

kemudian berusaha untuk mengairmasi atau menjustiikasi

penemuan-penemuan tersebut dengan ayat-ayat Alquran.62

Salah satu pemikir yang dikelompokkan pada kategori ini, yakni Maurice Bucaille, seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis, yang berupaya menyesuaikan antara Alquran dengan berbagai temuan ilmiah modern.63 Metode yang digunakan Buccaille ini sangat terkenal, sehingga sering disebut sebagai

Buccaillisme. Bagi kebanyakan umat Islam, dengan segala

keterpurukan, ketertinggalan, dan inferioritas mereka di bidang ilmu, apa yang telah dilakukan Buccaile ini dapat membuat mereka tetap tenang berhadapan dengan supremasi peradaban Kristen Barat.

Berbagai kritikan yang ditujukan kepada kelompok yang mengkaitkan antara pernyataan Alquran dengan penemuan-penemuan sains modern, penting untuk mendapat perhatian agar Alquran tidak menjadi alat legitimasi dari temuan sains yang sifatnya relatif. Namun, perlu juga dipahami bahwa pandangan yang menghubungkan antara Alquran dan ilmu memiliki varian yang tidak tunggal, salah satunya yang berbeda, akan ditemukan pada pemikiran Kuntowijoyo yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini.

62 Diskusi terkait dengan diskursus pemikiran keilmuan muslim kontemporer ini, lihat juga M. Zainal Abidin, “Islam dan Ilmu Pengetahuan: Diskursus Pemikiran Muslim Kontemporer”, dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Vol. X, Nomor 2 Juli-Desember 2006, hlm. 391-410.

63 Lihat Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998).

b. Kelompok Instrumentalis

Kelompok ini berpandangan bahwa ilmu itu merupakan instrumen atau alat yang tidak terikat pada nilai atau agama ter tentu. Bagi mereka, ilmu senantiasa bersifat netral dan

uni versal. Ia dapat diumpamakan sebagai sebuah pisau,

bisa menjadi sangat berguna atau malah sangat berbahaya, tergantung kepada si pemakainya. Pandangan instrumentalis ini merupakan pandangan yang umum berlaku dan diterima oleh kebanyakan umat Islam. Kelompok ini sangat mengagumi pencapaian Barat di bidang ilmu dan meyakini bahwa ke-majuan Islam hanya dapat diraih kembali apabila ilmu yang berkembang di Barat dijadikan rujukan.

Dalam konteks pengembangan ilmu, kelompok ini meng-alami apa yang disebut Alatas sebagai captive mind, yakni korban Orientalism dan Eurosentrisme yang dicirikan oleh cara berpikir yang didominasi pemikiran Barat dengan cara meniru dan bersikap tidak kritis. Peniruan tak kritis tersebut merasuk ke semua tingkat aktivitas ilmiah, memengaruhi latar masalah, analisis, abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi.64

Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan yang meng-asumsikan ilmu yang netral ini juga mendapatkan kritikan yang keras, di tengah maraknya penilaian terhadap peradaban dan ilmu Barat yang semula dianggap netral ternyata malah sarat dengan nilai dan kepentingan Barat, serta bersifat destruktif terhadap kemanusiaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan materiil, kultural, dan spiritual umat manusia.

Berangkat dari kritikan terhadap ilmu Barat yang tidak bebas nilai inilah, dan semangat untuk mengusung keilmuan Islam secara mandiri, maka lahirlah gagasan Islamisasi ilmu

64 Lihat Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia, terj. Ali Noer Zaman (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 34.

yang diharapkan, di samping akan berpengaruh pada pem-bangunan keilmuan Islam, juga dapat memiliki kontribusi dalam mengatasi nilai-nilai dan kepentingan dari ilmu Barat.

c. Kelompok Kritis

Berlawanan dengan semangat kaum instrumentalis yang melihat netralitas ilmu, kelompok ini menilai ilmu tidak ada yang netral, tetapi selalu bias nilai dari penyusunnya. Kelompok ini merupakan kelompok yang berpandangan kritis terhadap ilmu modern produk Barat. Sejatinya kekritisan mereka itu juga banyak didukung oleh pendapat ilmuwan Barat sendiri terhadap perkembangan ilmu yang berlaku di Barat.

Sebagaimana dinyatakan oleh Seyyed Hossein Nasr bahwa berbeda dengan sains modern yang sekularistik, konsepsi ilmu Islam tidak dapat dilepaskan dari pandangan dunia Islam. Hal itu berakar mendalam pada ilmu berdasar pada keesaaan Allah (tauhid) dan pandangan tentang alam semesta yang dikendalikan oleh kebijaksanaan dan kehendak Allah serta segala sesuatu saling terkait satu sama lain mencerminkan kesatuan pada tingkat kosmis. Sementara itu, sains Barat secara mencolok berdasar pada pertimbangan dunia alamiah sebagai sebuah realitas yang terpisah dari Allah ataupun tingkat makhluk yang lebih tinggi. Konsekuensinya, sains modern

meng gangap dunia isik sebagai sebuah realitas mandiri yang

dapat dipelajari dan diketahui makna tertingginya tanpa merujuk sama sekali pada tingkat realitas yang lebih tinggi.65

Kelompok yang kritis terhadap keilmuan Barat ini ke mu-dian menyampaikan gagasan yang bernama Islamisasi ilmu, dan dinyatakan sebagai pilihan terbaik bagi upaya untuk membangun kembali superioritas umat Islam di bidang ilmu

65 Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Guide to The Modern World (Chicago: Kazi Publication, Inc. 2003), hlm. 181.

tanpa harus tercerabut dari nilai-nilai keislamannya. Gerakan ini marak menjelang akhir dasawarsa 1970-an dan tetap bertahan sampai sekarang ini.66 Menurut al-Attas, Islamisasi ilmu ini perlu dimunculkan pada era sekarang ini sebagai respons dari kuatnya arus westernisasi dalam bidang ilmu. Westernisasi ilmu dibangun atas tradisi budaya yang diperkokoh dengan

spekulasi ilosois yang terkait dengan kehidupan sekular yang

memusatkan manusia sebagai makhluk rasional, sesuatu yang secara prinsipil berbeda dengan nilai ajaran Islam.67

Gagasan Islamisasi ilmu ini mengalami perkembangan yang

cukup signiikan, dan melahirkan varian-varian penafsiran.

Namun, secara umum asumsi yang dikembangkan oleh para penggagas ide ini bahwa ilmu modern yang merupakan produk ilmuwan Barat tidak bebas nilai dan sarat dengan pandangan dunia dari para perumusnya. Umat Islam tidak dapat serta merta mentransfer ilmu dan teknologi yang dihasilkan Barat, tetapi harus menyaringnya terlebih dahulu dan memberikan nilai-nilai Islam terhadapnya.

Meski ada banyak varian pendapat tentang sains yang Islami, ada beberapa kesamaan yang menjadi benang merah antara mereka. Pertama, umat Islam butuh sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, material dan spiritual. Tapi, sistem sains yang ada kini tak mampu me

me-66 Ide Islamisasi ini bermula dari Persidangan Pertama Pendidikan Islam Sedunia di Mekah dari tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977. Di forum ini al-Attas menyampaikan kertas kerja yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Deinition and Aims of Education, yang menjelaskan tentang sifat ilmu yang tidak netral dan Islamisasi ilmu-ilmu. Ide ini selanjutnya disempurnakannya lagi dengan terbitnya buku The Concept of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kualalumpur: ABIM, 1980) di samping buku yang telah terbit sebelumnya Islam and Secularism (Kualalumpur: ABIM, 1978).

67 Pembahasan seputar pemikiran al-Attas terkait Islam dan ilmu pengetahuan, lihat M. Zainal Abidin, “Relasi Islam dan Ilmu Pengetahuan: Studi Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Naquib Al-Attas”, dalam Nadwa Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 1, Mei 2007, hlm. 59-69.

nuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Ini disebabkan sains modern mengandung nilai-nilai khas Barat yang melekat padanya. Nilai-nilai ini banyak yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, selain telah terbukti menimbulkan ancaman-ancaman bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Kedua, secara sosiologis, umat Islam yang tinggal di

wilayah geograis dan memiliki kebudayaan yang berbeda

dari Barat, tempat sains modern dikembangkan, jelas butuh sistem yang berbeda pula, karena sains Barat diciptakan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Dan ketiga,

umat Islam pernah memiliki suatu peradaban Islami dimana sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan umat Islam.68

Terlepas dari adanya pandangan minor terhadap gagasan Islamisasi ilmu ini, ada baiknya mendengar pendapat dari Abdul Hadi WM, bahwa walaupun menimbulkan kontroversi, gerakan Islamisasi ilmu telah mendorong orang Islam ber-gairah menggali khazanah intelektual dan keilmuan yang berkembang dalam tradisi Islam. Melalui Islamisasi ilmu dan metodologinya, cendekiawan muslim dapat memandang ilmu modern secara segar. Dikotomi ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama juga dapat dikurangi.69

D. KUNTOWIJOYO DALAM DISKURSUS KEILMUAN

Dalam dokumen Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu I (Halaman 113-118)