• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strukturalisme Transendental

Dalam dokumen Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu I (Halaman 146-150)

BAB IV Konstruksi Filosois Paradigma Keilmuan

B. Konstruksi Epistemologis

4. Strukturalisme Transendental

Ada jarak sosio-historis antara masyarakat Arab pada waktu Alquran diturunkan dengan kondisi masyarakat masa kini. Pada masa dahulu Arab adalah masyarakat pra-industrial, masyarakat kesukuan (tribal society), dan masyarakat homogen, sedangkan masyarakat sekarang adalah masyarakat industrial, masyarakat kenegaraan, dan masyarakat heterogen. Kunto me-nis cayakan penggunaan strukturalisme transendental sebagai

metode dan tidak memilih hermeneutika yang umum lazim

dipergunakan dalam memahami teks kitab suci,42 karena

menurutnya yang dibutuhkan umat saat ini bukan lah pe ma-haman terhadap teks semata, tetapi bagaimana agar dengan teks tersebut dalam dilakukan sebuah proses transformasi umat.43

Strukturalisme yang dipahami Kunto, tampak meng-amini pandangan strukturalisme yang berkembang di Barat dan dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Dengan me ngu-tip Michael Lane,44 Kunto menjelaskan makna struk tura lis me sebelum mengkaitkan dalam konteks Islam. Struk turalisme memiliki ciri-ciri, yaitu: Pertama, perhatian pada keseluruhan atau totalitas. Unsur-unsur yang ada dipahami melalui keterkaitan

(interconnectedness) antarunsur. Kedua, strukturalisme tidak

mencari struktur di permukaan, tetapi di bawah atau di balik realitas empiris. Apa yang ada dipermukaan adalah cerminan dari struktur yang ada di bawah (deep structure), lebih ke bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity).

Ketiga, dalam peringkat empiris keterkaitan antarunsur bisa

berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). Keempat, strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis, bukan diakronis. Unsur-unsur dalam waktu yang sama, bukan perkembangan antarwaktu, diakronis atau historis.45

42 Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja “hermeneuen” yang berarti menafsirkan. Adapun kata bendanya “hermenia”. Akar kata itu dekat dengan nama salah satu dewa Yunani, yakni dewa Hermes, utusan atau pembawa pesan dari dewa-dewa. Dewa ini mempunyai peranan untuk mengubah apa yang berada di luar pengertian manusia ke bentuk yang bisa dimengerti oleh manusia. Dalam tradisi Islam, Hermes-menurut Sayyed Hossein Nasr - tak lain adalah Nabi Idris, yang dalam ilsafat Yunani, dikenal sebagai father of philosopher (Abul Hukama). Lihat J.M. Robinson dan John B. Cobb., The New Hermeneutics (New York: Harper and Row Publisher, 1964), hlm. 1; lihat Juga Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: State University Press, 1989), hlm. 71.

43 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hlm. 31.

44 Lihat Michael Lane, Introduction to Structuralism (New York: Basic Books Inc., 1970).

45 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 13-14.

Pertama, interconnectedness. Kunto menyatakan bahwa dalam Islam pesan-pesan Alquran (unsur-unsur) saling memiliki keterkaitan. Misalnya keterkaitan antara puasa dan zakat, hubungan vertikal dengan Tuhan dengan hubungan horizontal antarmanusia, dan shalat dengan solidaritas sosial. Dalam Q.S. al-Ma’un disebutkan bahwa termasuk yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak memiliki kepedulian sosial terhadap kemiskinan. Demikian juga keterkaitan antara iman dan amal saleh. Selain itu, keterkaitan juga dapat dipahami sebagai logical consequences dari satu unsur. Seluruh rukun Islam lainnya (shalat, zakat, puasa, haji) adalah konsekuensi logis dari syahadah. Zakat adalah konsekuensi logis dari puasa, yaitu setelah orang merasakan sendiri penderiataan, lapar, dan haus.46

Kedua, innate structuring capacity. Dalam Islam, jelas Kunto,

tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Sesudah itu ada deep structure, yaitu akidah, ibadah, akhlak, syariah, dan muamalah. Dipermukaan yang diamati adalah tampak keyakinan, shalat, puasa, dan sebagainya, mo-ral/etika, perilaku normatif, dan perilaku sehari-hari. Akidah, ibadah, akhlak, dan syariah itu immutable (tidak ber ubah) dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat, sedang kan muamalah itu dapat berubah. Karena itu, Kunto menyatakan bahwa transformasi dalam Islam harus diartikan sebagai transformasi dalam muamalah, tidak dalam bidang lain.47

Ketiga, binary opposition, yaitu dua gejala yang saling

ber-tentangan, baik berupa pasangan maupun musuh yang

masing-masing menghasilkan ekuilibrium dan konlik. Pertentangan itu

misalnya antara kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia, badan dengan ruh, lahir dengan batin, dunia dengan akhirat,

46 Ibid., hlm.35.

laki-laki dengan perempuan, muzakki dengan mustahik, orang kaya dengan fakir miskin, dan sebagainya yang menghasilkan ekuilibrium. Sementara itu, pertentangan antarstruktur

meng-hasilkan konlik. Misalnya pertentangan antara Tuhan versus

setan, zhulumat versus nur, mukmin versus musyrik, ma’ruf

versus munkar, syukur versus kufur, saleh versus fasad, surga

versus neraka, muthmainnah versus amarah, halal versus haram,

yang merupakan konlik dan karenanya orang harus memilih

salah satu.48

Berikutnya, dengan mengutip Webster’s New International

Dictionary. Kata transendentalisme yang dimaksud Kunto pada

penjelasan mengenai strukturalisme transendental dimaknai sebagai melampui. Melampui di sini yaitu bagaimana me-nerapkan sistem pengetahuan (episteme) sosial yang lahir pada lima belas abad yang lalu pada masa kini dan di sini. Ada

jarak geograis, historis, dan sosial. Menurut Kunto, banyak

agamawan yang tidak dapat melihat gejala-gejala modern sehingga orang yang mempunyai kesalehan pribadi tinggi sekalipun terlibat dalam kolusi, nepotisme, dan monopoli, tetap dianggap beramal saleh karena referensi yang dipakai adalah pengetahuan dari abad tengah Islam. Banyak agamawan yang gagal memahami makna kesenjangan struktural, seolah-olah semua adalah kemiskinan natural. Mereka gagal membedakan gejala alamiah dan gejala buatan manusia, gagal melihat ke-perluan kesalehan publik karena seolah-olah yang ada hanya-lah kesalehan pribadi.49 Kunto menjelaskan bahwa antara masyarakat petani (peasent society) dan masyarakat industri

(industrial society) yang begitu transparan bagi ilmuwan sosial

sering tidak disadari oleh tokoh umat. Masyarakat petani dan masyarakat preindustrial umumnya sangat tergantung pada akhlak perorangan, sedangkan masyarakat industri pada akhlak

48 Ibid., hlm. 16.

kolektif. Demikian juga masyarakat petani sangat bergantung pada negara sebagai pemegang kekuasaan, sedangkan dalam masyarakat industri yang berlaku sebaliknya, negara ber-gantung pada masyarakat.50

Strukturalisme transendental menurut Kunto akan berguna pada tiga bidang ilmu-ilmu, yakni ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan agama untuk sekaligus menyadari adanya totalitas Islam dan perubahan-perubahan. Persoalan terbesar bagi Islam menurut Kunto adalah bagaimana mengikuti perubahan dan perkembangan zaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai agama yang kâffah.

Kesadaran yang hendak dibangun Kunto lewat struk-turalisme transendental ini bahwa sikap yang parsial dalam melihat Islam akan menghasilkan kualitas keislaman yang parsial juga, dalam artian kesempurnaan Islam sebagai sebuah ajaran pamungkas menjadi kurang bermakna. Pada gilirannya, harapan Islam untuk menjadi rahmat bagi sekalian makhluk menjadi semakin sulit untuk dapat direalisasikan.

Dalam dokumen Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu I (Halaman 146-150)