BAB IV Konstruksi Filosois Paradigma Keilmuan
D. Konstruksi Etis
2. Keterlibatan Paradigma Islam dalam
Untuk memenuhi tujuan akhir dari paradigma Islam, maka umat harus berjuang dalam sejarah kemanusiaan, yang oleh Kunto dimanifestasikan dalam bentuk gerakan humanisasi (memanusiakan manusia), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan transendensi (membawa manusia beriman kepada Tuhan). Dalam ketiga aspek inilah Kunto mengidealkan visi aksiologis paradigma Islam harus dijalankan.
Dengan mengacu pada pemikiran Muhammad Iqbal
ketika membahas peristiwa mi’raj Nabi Muhammad saw.78
Kuntowijoyo meyakini bahwa tugas umat Islam adalah untuk terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Mengutip Q.S. Ali ‘Imran [3]: 110, Kunto menyatakan bahwa umat Islam dinyatakan sebagai umat terbaik yang harus terlibat dalam pergumulan kemanusiaan dengan tiga tugas utama, yakni: amar ma’ruf atau sering diistilahkannya dengan transfomasi atau perubahan ke arah yang lebih baik; nahi munkar atau dengan bahasa lain liberasi atau pembebasan; dan iman billah, yakni transendensi berupa hubungan dengan Tuhan.79
Humanisasi dilakukan dalam rangka melawan dan mele-nyap kan keadaan dehumanisasi yang melanda masyarakat mo-dern sebagai dampak negatif kemajuan industri dan teknologi.
78 Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, pemikir terkenal asal Pakistan, Sir Mohammad Iqbal, menyatakan bahwa seorang sui terkemuka dari Gangoh (India), Syekh Abdul Quddus telah bersumpah, seandainya dia yang mendapat keistemewaan seperti halnya baginda Nabi Muhammad saw. bertemu dengan Tuhan di langit tertinggi pada waktu mi’raj, “Demi Allah aku tidak akan pernah mau kembali seperti halnya baginda Nabi.” Lihat Sir Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), hlm. 124.
Manusia mesin yang hanya memiliki satu dimensi, yang hanya dihitung sebagai angka dalam kalkulasi pasar dengan orientasi material, sepantasnya dikritik dengan menge depankan se-mangat humanisasi yang berpijak pada ajaran-ajaran Tuhan. Segala tidak-tanduk manusia yang cenderung merendahkan derajat sebagai manusia harus diperbaiki. Tujuan humanisasi adalah untuk memanusiakan manusia, yakni menghilangkan ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia.80
Diterangkan oleh Kunto bahwa dehumanisasi terjadi
karena dipakainya teknologi baik berupa alat-alat isik maupun
metode dalam masyarakat. Kunto kemudian mengutip
pen-dapat Jacques Ellul (1964) yang menulis dalam buku The
Technological Society tentang betapa jauh pengaruh teknologi
itu dalam kehidupan. Terkait agresivitas kolektif, Kunto me-ngutip pendapat Neil Smelser yang menulis Collective Behavior
(1961) yang mengatakan bahwa ada kondisi struktural me-ngapa sebuah perilaku kolektif itu terjadi. Sementara, terkait Loneliness, Kunto menyebut David Riesman dalam The Lonely
Crowd untuk menggambarkan masyarakat kota karena
in-dividuasi atau privatisasi.81
Selanjutnya liberasi dilakukan untuk mencegah dan me-lawan berbagai bentuk penindasan, penjajahan, peng hi sapan sekelompok manusia terhadap kelompok manusia lainnya. Dalam hal ini penindasan yang dilakukan pejabat negara, per-mainan politik yang kotor, penindasan laki-laki atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama tertentu kepada etnis atau agama lainnya. Bagi Kunto, tujuan inti liberasi
80 Sebenarnya konsep humanisasi Kunto dapat dirujuk kepada semangat liberalisme di dunia Barat. Hanya saja apabila peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme yang antroposentris, konsep humanisme yang diusung Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Konsep humanisasi Kunto tidak dapat dilepaskan dari gagasannya tentang transendensi dan liberasi.
adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan.82
Terkait dengan persoalan pilihan liberasi apa yang harus diambil, Kunto menjelaskan bahwa teks Alquran itu pada praktiknya dapat diwujudkan dalam empat hal: amal, mitos, ideologi, dan ilmu. Islam sehari-hari adalah Islam amal yang harus selalu ada sepanjang zaman. Mitos sebagai sistem pengetahuan sudah ketinggalan zaman, meskipun masih ada orang yang hidup dalam dunia mistis. Pilihan sekarang ada antara ideologi dan ilmu, dan secara tegas Kunto menyatakan bahwa Islam meninggalkan ideologi dan bergerak ke arah ilmu. Karenanya, liberasi yang dimaksud di sini adalah liberasi dalam konteks ilmu, bukan liberasi ideologi.83
Sejatinya konsep liberasi yang diusung Kunto serupa
de ngan prinsip sosialisme yang dikembangkan baik oleh
Marxisme, Komunisme, Teori Ketergantungan, dan Teologi Pembebasan. Hanya saja kosep liberasi di sini tidak dijadikan
se bagai ideologi sebagaimana halnya komunisme, tetapi
dalam konteks ilmu, yakni ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pem-bebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik diposisikan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pe-merasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas, dan hegemoni kesadaran palsu.
82 Gagasan pembebasan dalam konteks teologi telah melahirkan apa yang disebut dengan teologi pembebasan. Islam dalam hal ini juga dipandang memiliki gagasan teologi pembebasan. Lihat Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), khususnya pada Bab I dan Bab II yang menyoroti sekitar teologi pembebasan dalam Islam.
Sasaran liberasi sebagaimana disebut Kunto ada empat, yaitu: sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Liberasi sistem pengetahuan adalah usaha-usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dari dominasi struktur semisal kelas, dan seks.84
Liberasi dalam sistem sosial menjadi amat penting karena pada umumnya umat sedang ke luar dari sistem sosial agraris ke sistem sosial industrial. Liberasi dari belenggu sistem ekonomi biasanya terkait dengan pembangunan nasional, stabilitas, dan keamanan. Dalam Alquran, ujar Kunto, setidaknya ada dua ayat yang berbicara tentang kesenjangan ekonomi, yaitu Q.S. al-Hasyr [59]: 7 yang berbunyi, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu”, dan Q.S. al-Zukhruf [43]: 32 yang berbunyi, “Apakah mereka (yang berhak) membagi-bagi rahmat Tuhanmu”. Menurut Kunto, sebuah gerakan liberasi yang didasarkan pada akal sehat justru penting untuk sistem ekonomi nasional kita. Terakhir, liberasi politik berarti membebaskan sistem dari otoritarianisme, dik-tator, dan neofeodalisme.85
Kedua unsur sebelumnya, yaitu humanisasi dan liberasi harus memiliki rujukan Islam yang jelas, karena itu dibutuhkan transendensi. Bagi umat Islam, transendensi berarti beriman kepada Allah swt. Dengan ungkapan yang berbeda bahwa dengan transendensi adalah mengikatkan kembali keberadaan dan perilaku manusia di bumi (antar manusia dan antar makhluk) dengan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Bersatupadunya kesadaran kemanusiaan dengan kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap. Tran sendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi.
84 Untuk diskusi tentang tafsiran terkait konsep kelas, lihat Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. xii-xiii.
Transendensi memberikan arah terhadap tujuan yang harus diwujudkan dengan gagasan humanisasi dan liberasi. Tran-sendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.
Semangat inilah yang menjadi nilai-nilai yang diusung oleh paradigma Islam, bahwa keilmuan Islam yang integralistik akan membawa semangat bahwa umat Islam adalah umat terbaik dengan misi-misi humanisasi, liberasi, dan transendensi yang harus dilaksanakannya. Misi humanisasi dan emansipasi atau amar ma’ruf dimaknai sebagai upaya, yaitu upaya untuk transformasi ke arah kehidupan kemanusiaan yang lebih baik.
Nahi munkar dimaknai sebagai upaya liberasi, pembebasan
umat manusia dari problem-problemnya, seperti penindasan, pemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Adapun iman billah
ditafsiri sebagai transendensi, yaitu orientasi kerja manusia yang ditujukan kepada yang Maha Kuasa, selaras dengan per-nyataan Tuhan tentang visi penciptaan manusia yakni menjadi hamba Tuhan.