• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................. 82-91

5.2 Diskusi

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi perceived behavioral control yaitu control belief dan perceived power, dimensi dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok, dan dimensi religiusitas yaitu pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan mempengaruhi penerimaan diri secara signifikan. Hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan dimensi perceived behavioral control, dimensi dukungan sosial, dan dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dimensi control belief

memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi control belief semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) yang meneliti

dengan metode kualitatif, mengatakan bahwa perceived behavioral control

berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Dalam penelitian ini faktor atau kondisi yang membuat perilaku sulit atau mudah untuk dilakukan berkaitan dengan penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, karena orang tua memiliki kepercayaan mengenai kemampuan dalam mengendalikan perilaku penerimaan dirinya. Dimensi

control belief merupakan dimensi dari perceived behavioral control.

Sedangkan perceived power berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi perceived power yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode yang dilakukan dan sample yang digunakan oleh peneliti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara kepada 12 orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental, sedangkan hasil penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala model Likert kepada 150 sample orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hal ini juga dapat disebabkan karena jumlah sampel yang memiliki perceived power yang tinggi dalam penelitian ini lebih sedikit dibanding dengan orang tua yang memiliki perceived power yang rendah.

Selanjutnya, dimensi dukungan nyata atau instrumental memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi dukungan nyata atau instrumental yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan pengaruh tersebut signifikan secara statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) yang meneliti dengan metode kualitatif mengatakan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual. Bantuan langsung yang diberikan oleh pasangan, teman, dan keluarga membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome merasa di dukung dan membuat bebannya sedikit berkurang dalam merawat anaknya, sehingga orang tua dapat menerima dirinya memiliki anak down syndrome karena merasa kerabatnya mendukung secara langsung dalam hal apapun yang berkaitan dengan anaknya. Dukungan nyata atau instrumental ini merupakan dimensi dari dukungan sosial berdasarkan teori Sarafino (2011).

Sedangkan, dimensi dukungan emosional dan dukungan informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan waktu pada saat mengisi kuesioner yang dibagikan pada saat mengikuti acara kopi darat komunitas POTADS dan pada saat mengisi kuesioner ada beberapa orang tua yang terlihat sedang mengurus anaknya sehingga terjadi human error ketika mengisi kuesioner

yang dibagikan oleh peneliti. Hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil karena metode yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya dengan diambil oleh peneliti berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan metode kualitatif sedangkan peneliti menggunakan metode kuantitatif. Karena penerimaan diri bersifat fluktuatif atau naik turun, dapat menyebabkan dukungan emosional dan informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri.

Dimensi lain yaitu dimensi dukungan kelompok berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi dukungan kelompok semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode yang dilakukan dan sample yang digunakan oleh peneliti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara kepada 12 orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental, sedangkan hasil penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala Likert kepada 150

sample orang tua yang memiliki anak down syndrome. Dalam penelitian ini dukungan kelompok tidak berpengaruh signifikan secara statistik karena peran komunitasnya belum maksimal, dalam komunitas POTADS orang tua bisa masuk dan keluar dari komunitas tanpa ada ikatan apapun sehingga beberapa orang tua merasa dukungan dari kelompok tidak berarti terhadap penerimaan diri mereka.

Kemudian, dimensi keyakinan keagamaan memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi keyakinan keagamaan yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan pengaruh tersebut signifikan secara statistik. Keyakinan tentang kebenaran konsep ketuhanan secara teoritis berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Keyakinan keagamaan senada dengan nilai keimanan bahwa orang tua percaya kepada Tuhan dengan melahirkan anak down syndrome adalah takdir dan anak sebagai amanah dari Tuhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Handadari (dalam Ulina, 2013) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti (dalam Ulina, 2013) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri pada penderita diabetes melitus. Dimensi keyakinan keagamaan termasuk dimensi dari variabel religiusitas.

Sedangkan, dimensi pengetahuan keagamaan dan kegiatan keagamaan kelompok tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Secara teoritis religiusitas seharusnya berpengaruh terhadap penerimaan diri, tetapi tidak semua dimensi menunjukkan pengaruh yang

signifikan karena tidak semua orang tua yang memiliki pengetahuan keagamaan dan melakukan kegiatan keagamaan kelompok memiliki tingkat keyakinan terhadap Tuhan. Tidak semua orang tua yang mengikuti kegiatan keagamaan kelompok seperti mengaji, shalat berjamaah dan yang lain sebagainya melakukannya karena adanya faktor internal dalam diri, bisa jadi karena orang tua tidak enak dengan lingkungan sekitar yang mengharuskan mereka mengikuti pengajian berjamaah dan mengikuti solat berjamaah karena ada norma yang berlaku dimasyarakat, sehingga pada dimensi ini tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulina, dkk (2013) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut dapat terjadi karena religiusitas bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.

Dimensi terakhir yaitu kegiatan keagamaan individu dan pengalaman keagamaan berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi praktek individu dan pengalaman keagamaan yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulina, dkk (2013) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua orang yang melakukan kegiatan keagamaan individu memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan; mereka

melakukan kegiatan keagamaan individu seperti beribadah dan berdoa karena hal tersebut adalah hal yang telah dipelajari dan diajarkan sejak kecil dan mereka menjalankannya secara formalitas menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agama. Begitu pula dengan pengalaman keagamaan yang dialami oleh tiap orang berbeda dan memiliki persepsi yang berbeda dari tiap orang yang mengalaminya, sehingga kedua dimensi ini tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Dokumen terkait