• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Lailatul Ikromah

NIM: 1110070000080

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

He will bring you THROUGH it.

BELIEVE IN HIM!

Allah loves you more than anyone does.

PERSEMBAHAN:

Kupersembahkan skripsi ini untuk

keluarga, sahabat, dan orang-orang yang

selalu mendukung dan menyayangi

penulis sepenuh hati.

Khususnya untuk kedua pintu surga bagi

penulis, Mama dan Ayah. Skripsi ini

(6)

vi C) Lailatul Ikromah

D) Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas terhadap Orang Tua yang Memiliki Anak Down Syndrome

E) xv + halaman + lampiran

F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 150 orang tua yang memiliki anak down syndrome di komunitas POTADS yang diambil dengan teknik non probability sampling yaitu accidental sampling. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur penerimaan diri yang dibuat sendiri berdasarkan tahapan penerimaan diri menurut Kubler Rose (Gargiulo, 2004), alat ukur perceived behavioral control disusun oleh peneliti berdasarkan pedoman Francis dkk (2004), alat ukur dukungan sosial berdasarkan dimensi menurut Sarafino (2011), dan memodifikasi alat ukur religiusitas yaitu Centrality of Religiosity Scale (CRS).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan bahwa dari sebelas independen variabel hanya tiga independen variabel (control belief, dukungan nyata atau instrumental, dan ideologi) yang berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Sementara itu, perceived power, dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan kelompok, intelektual, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Penulis berharap implikasi dari hasil penelitian ini dapat dikaji kembali dan dikembangkan dalam penelitian selanjutnya, misalnya, dengan menambah variabel lain yang terkait dengan penerimaan diri.

(7)

vii C) Lailatul Ikromah

D) Effect of Perceived Behavioral Control, Social Support, and Religiosity of the Parents of Down Syndrome Children

E) xv + page + attachments

F) This study was conducted to determine the effect of perceived behavioral control, social support, and religiosity on self-acceptance of parents who have children with Down syndrome. This study used a quantitative approach with multiple regression analysis. The sample totaled 150 parents who have children with Down syndrome in the community POTADS taken with accidental sampling. In this study, the authors use the gauge self-acceptance self made based on the stage of self-acceptance by Kubler Rose (Gargiulo, 2004), perceived behavioral control measurement tool was developed by the researchers based on the guidelines Francis et al (2004), measuring instruments based on the dimensions of social support according Sarafino (2011), and modify the measuring instrument religiosity that centrality of Religiosity Scale (CRS).

The results of this study indicate that there is the influence of perceived behavioral control, social support, and religiosity on self-acceptance of parents who have children with Down syndrome. The test results showed that the minor hypothesis of eleven independent variables only three independent variables (control belief, real or instrumental support, and ideology) that significantly influence the acceptance of parents who have children with Down syndrome. Meanwhile, perceived power, emotional support, information support, support groups, intellectuals, religious activities of the group, individual religious activities, and religious experience does not have a significant effect on self-acceptance of parents who have children with Down syndrome. The author hopes that the implications of these results can be reviewed and developed in subsequent studies, for example, by adding other variables associated with self-acceptance.

(8)

viii

nikmat Nya kepada manusia. Banyak pihak yang telah membantu sehingga karya

ini terselesaikan, maka penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para wakil

dekan, Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si, Bapak Ikhwan Luthfi, M.Si, dan Dra. Diana Mutiah, M.Si.

2. Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh ketulusan dan kesabaran serta memberikan wawasan baru terhadap penulis.

3. Drs. Akhmad Baidun, M,Si dosen pembimbing akademik serta seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

telah membantu dalam penyelesaian karya ini.

4. Ibu Solicha, M.Si dosen penguji 1 dan Bapak Miftahuddin, M.Si dosen penguji 2 yang telah memberikan saran dan arahan untuk perbaikan skripsi

ini.

5. Keluarga besar Persatuan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome

(POTADS), yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk mengambil data dalam karya ini.

6. Bapak Zaini Kibong dan Ibu Siti Nurjanah, orangtua tercinta yang

(9)

ix

menyelesaikan karya ini, serta seluruh keluarga besar yang selalu

membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis.

7. Keluarga besar kelas B 2010. Estu, Ainun, Retno, Ajeng, Gina, Putri, Nisa, Anita, Sunny, Niken, Winda, Fadhila, Yuni, Syifa, Isnia, Nisyub,

Ncan, Tyyas, Adila, Qory, Isti, Skay, Saul, Sabe, Aini, Viny, Chintya, Katty, Aris, Didik, Iil, Kaiki, Danar, Adit, Gian, Deri, Bobby, dan Lian.

Terima kasih untuk 5 tahun terakhir yang kita habiskan bersama di kampus dengan canda tawa, tangis haru, kemenangan, kenangan dan

support yang kalian berikan kepada penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang. Banyak cinta untuk kalian. Terima kasih.

8. Geng Birthday. Hilal, Chatrine, Kipli, Diko, Adan, Satrio, Ndot, Epi, dan

Ekky terima kasih untuk selalu memberikan canda tawa dan support di sela-sela penulisan karya ini. Khususnya untuk Hilal Akbar Firdaus yang selalu menemani dan memberikan kasih sayang serta perhatian kepada

penulis.

9. Pejuang Wisuda Mei 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(10)

x

11.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan doa, dukungan, serta bantuannya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun. Penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat kepada penulis, pembaca, pihak terkait, serta peneliti yang ingin mengelaborasi

penelitian ini.

Jakarta, 29 Maret 2015

(11)
(12)

xii

3.4 Uji Validitas Konstruk ... 51

3.4.1 Uji validitas konstruk penerimaan diri ... 52

3.4.2 Uji validitas konstruk perceived behavioral control ... 53

3.4.3 Uji validitas konstruk dukungan sosial ... 55

3.4.4 Uji validitas konstruk religiusitas ... 58

3.5 Teknik Analisis Data ... 60

3.6 Prosedur Penelitian ... 63

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 64-81 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 64

4.2 Analisis Deskriptif ... 65

4.3 Kategorisasi Skor ... 67

4.3.1 Kategorisasi skor penerimaan diri ... 67

4.3.2 Kategorisasi skor perceived behavioral control ... 67

4.3.3 Kategorisasi skor dukungan sosial ... 68

4.3.4 Kategorisasi skor religiusitas ... 70

4.4 Uji Hipotesis ... 71

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 82-91 5.1 Kesimpulan ... 82

5.2 Diskusi ... 83

5.3 Saran ... 89

5.3.1 Saran metodologis ... 89

5.3.2 Saran praktis ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(13)

xiii

Tabel 3.4 Blue Print Skala Dukungan Sosial ... 49

Tabel 3.5 Blue Print Skala Religiusitas ... 50

Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Penerimaan Diri ... 53

Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Instrumen Perceived Behavioral Control ... 55

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Instrumen Dukungan Sosial ... 57

Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Instrumen Religiusitas ... 60

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ... 64

Tabel 4.2 Analisis Deskriptif ... 66

Tabel 4.3 Norma Skor ... 67

Tabel 4.4 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Penerimaan Diri ... 67

Tabel 4.5 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Perceived Behavioral Control ... 68

Tabel 4.6 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Dukungan Sosial ... 69

Tabel 4.7 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Religiusitas ... 70

Tabel 4.8 Varians DV yang Dijelaskan Oleh Seluruh IV ... 72

Tabel 4.9 Anova Pengaruh Seluruh IV terhadap DV ... 72

Tabel 4.10 Koefisien Regresi ... 73

(14)
(15)

xv Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 3 Kuesioner Penelitian

(16)

1

Pada bab ini dipaparkan latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian

mengenai pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1Latar Belakang Masalah

Kehadiran seorang anak merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri. Anak sebagai buah dalam cinta suami istri merupakan buah hati yang sangat didambakan kelahirannya. Kehadiran seorang anak bukan hanya

mempererat tali cinta pasangan suami istri tetapi juga sebagai penerus dalam sebuah keluarga yang tentu saja sangat diharapkan kehadirannya. Mereka tentu

menyimpan suatu harapan bahwa kelak anak yang hadir di tengah-tengah mereka adalah seorang anak normal baik secara fisik maupun secara mental. (Rachmayanti, 2007)

Melihat pertumbuhan serta perkembangan anak mulai dari bayi sampai dewasa adalah saat yang sangat didambakan dan membahagiakan bagi setiap

orang tua. Tapi bila ternyata saat lahir maupun dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya seorang anak mengalami gangguan, tentu keadaan yang ada akan sangat berbeda. Harapan-harapan yang selama ini didambakan oleh orang

(17)

orang tua inilah yang akan mempengaruhi bagaimana penerimaan terhadap seorang anak. Banyak diantara orang tua yang harus menerima kenyataan bahwa

anaknya memiliki kebutuhan khusus dibanding dengan anak lainnya, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar,

gangguan perilaku, down syndrome, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders).

Reaksi orangtua yang pertama kali muncul saat mengetahui bahwa

anaknya mengalami kelainan adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya. Reaksi

berikutnya mereka merasa sedih, kecewa dan mungkin merasa marah ketika mereka tahu realitas yang harus dihadapi. Pada saat tersebut, mereka sering merasa bersalah dan menyangkal kenyataan yang dihadapi. Reaksi perasaan

biasanya muncul dalam bentuk pertanyaan, mengapa kami dicoba? Apakah kesalahan kami?, dan seterusnya. Setelah itu perasaan tersebut diikuti dengan

penerimaan kecacatan anaknya dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan kondisi anaknya. Namun demikian proses penerimaan ini akan memakan waktu yang lama; selain itu juga mungkin akan berfluktuasi (Mangunsong, 1998). Gargiulo

(2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai

dengan harapannya.

Menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar tentang jumlah anak berkebutuhan khusus tahun 2012, yang teridentifikasi berdasarkan

(18)

25-50) dan down syndrome sebanyak 10.563 siswa. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan

adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi

pembelahan.

Berdasarkan hasil studi awal penulis kepada lima orang tua dari anak

down syndrome di Jakarta (Desember, 2013), didapatkan hasil bahwa sebanyak 20% responden mengatakan tidak mempercayai kenyataan saat mereka mendengar anak yang dikandungnya mengalami ketidaknormalan dari hasil USG

dan informasi dokter ahli kandungan. Kemudian sebanyak 40% menyatakan bahwa mereka mengalami shock berat saat mengetahui anak yang dikandungnya mengalami ketidaknormalan. Terdapat 40% orang tua merasa kecewa dan sedih

dengan keadaan anak mereka, empat puluh persen lainnya merasa menerima dan optimis dengan keadaan anak mereka sedangkan 20% lebihnya mengatakan

bahwa orang tua bahagia dengan titipan yang diberikan Tuhan.

(19)

dapat memiliki anak down syndrome dan menjadi orang tua hebat karena memiliki anak down syndrome.

Selain itu juga penulis menemukan 60% orang tua menganggap kebahagiaan dalam mengasuh anak yang tidak normal adalah sebagai hal yang

luar biasa karena diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengasuh dan merawat anak down syndrome. Semua responden berasumsi bahwa tingkat keimanan mereka mempengaruhi kebahagiaan mereka dalam menjalankan peran

sebagai orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Healthday, Minggu (2/10/2011), merawat anak down syndrome bukanlah hal yang mudah. Meski begitu, keluarga penyandang down syndrome mengaku lebih bahagia punya anak down syndrome karena lebih memperkaya pengalaman. Survei yang dilakukan Dr Brian Skotko dari Children's Hospital Boston

menunjukkan hal yang luar biasa; keluarga penderita down syndrome tidak merasa minder, putus asa atau takut melainkan sangat bahagia. Alasannya memiliki anak

down syndrome membuat keluarga harus meningkatkan kualitas hidup dengan mengajarkan kesabaran, penerimaan dan keluwesan. Anak down syndrome telah membuat keluarganya menjadi lebih kuat.

Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 96% orangtua penyandang

down syndrome menyatakan tidak menyesal telah memiliki anak dengan down syndrome. Hampir delapan dari sepuluh orang tua tersebut mengatakan bahwa justru gangguan anaknya itu telah meningkatkan kualitas hidup mereka dengan mengajarkan kesabaran, penerimaan, dan keluwesan. Tak hanya orang tua,

(20)

puluh empat persen di antaranya mengatakan bahwa mereka merasa bangga akan saudara mereka yang menyandang down syndrome. Sebanyak 88% di antaranya mengatakan bahwa saudara mereka yang menyandang down syndrome itu telah membuat mereka menjadi orang yang lebih baik; Hampir semua penderita down syndrome mengatakan senang dengan kehidupannya saat ini dan menyukai keadaan mereka.

Menurut Sarasvati (dalam Rachmayanti, 2007) faktor-faktor yang

mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar

belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang. Nishinaga (2004) mengatakan bahwa faktor

penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual diantaranya adalah subjective wellbeing, dukungan sosial, dan perceived behavioral control.

Ajzen (1991) menyatakan bahwa perceived behavioral control mengacu pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk

menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku.

(21)

mereka yang awalnya merasa direpotkan oleh anak-anak mereka berubah seketika ketika fitur-fitur penerimaan (acceptance) mereka tentang diri mereka dan anak-anak mereka berubah. Jadi mereka mengatakan sangat dibutuhkan sekali dukungan untuk mengajarkan para ibu cara yang sangat penting atau perlu untuk

mengambil gambaran dari anak-anak mereka yang mengalami keterbelakangan intelektual. Partisipan lain menyatakan bahwa para ibu harus bisa menegaskan diri mereka kalau mereka itu didukung untuk melakukan apapun untuk anak-anak

mereka.

Dengan alasan yang disebutkan di atas, perceived behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting bagi penerimaan diri para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang memiliki keterbelakangan

intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan meningkatkan perceived behavioral control mereka.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh perceived behavioral control terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Selain perceived behavioral control, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri adalah dukungan sosial. Seseorang yang mendapatkan support

dari lingkungan dan sosial akan membuat orang tersebut lebih merasa diterima keadaan dirinya oleh lingkungan. Perlakuan lingkungan sosial terhadap seseorang

(22)

mendapatkan perlakuan dari lingkungan sosial yang mendukung akan dapat menerima dirinya sendiri dengan lebih baik. (Ismail, 2008)

Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang

atau kelompok lain. Aspek-aspeknya adalah dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) ditemukan

bahwa setengah dari partisipan (6 orang) yang mengikuti penelitiannya mengatakan bahwa mereka membutuhkan konseling publik untuk para ibu yang

memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyatakan bahwa seorang ibu perlu diterima oleh orang lain (misalnya seorang profesional dokter, konselor) selain keluarga mereka sendiri ketika mereka mengetahui tentang

keterbelakangan dari anak – anak mereka. Partisipan yang lain mengatakan bahwa merupakan ujian yang sangat sulit bagi seorang ibu untuk menerima anak mereka

yang memiliki keterbelakangan intelektual, jadi sangat dibutuhkan dukungan secara psikologis bagi para ibu tersebut bukan untuk menyangkal diri mereka bahwa mereka tidak bisa menerima anak mereka.

Lima partisipan lain (Nishinaga, 2004) menyebutkan bahwa persatuan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat mendukung seorang ibu

yang memiliki anak-anak dengan keterbelakangan intelektual secara mental. Partisipan menyatakan sangat terkesan oleh kata-kata “anakmu terlihat sangat cantik atau tampan” yang dikatakan oleh ibu yang lebih tua yang memiliki anak

(23)

tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus karena tidak ada satupun orangtua yang memandang anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual sebagai

anak yang lucu-lucu. Partisipan yang lain menyatakan bahwa berbicara dengan anggota dari para persatuan anak berkebutuhan khusus, dia seakan diberi support

secara mental karena dia tidak mampu berbicara dengan teman biasa tentang keterbelakangan anaknya itu. Hasil ini menyimpulkan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari

penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan sebelumnya,

maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh dukungan sosial terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri adalah kedekatan dengan Tuhan Yang Maha

Esa, sebagai salah satu indikator religiusitas seseorang. Glock dan Stark (1968) mengartikan religiusitas yang berasal dari kata religi yaitu simbol sistem, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya

berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. Glock dan Stark mengidentifikasikan lima dimensi dari religiusitas:

belief, practice, knowledge, experience, dan consequences. Dimensi religiusitas menurut Huber dan Huber (2012) mengacu pada teori Glock dan Stark (1968): pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok,

(24)

Penelitian yang dilakukan oleh Handadari (dalam Ulina, 2013) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang

tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi

mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti (dalam Ulina,

2013) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri pada penderita diabetes melitus.

Tetapi berdasarkan hasil penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut dapat terjadi karena religiusitas bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi

penerimaan diri (Ulina, et al, 2013)

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik

untuk meneliti lebih jauh tentang pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini melalui penelitian berjudul “Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas

(25)

1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan masalah

Penelitian ini dibatasi hanya mengenai pengaruh dari variabel prediktor, yaitu

perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. adapun pengertian tentang konsep variabel yang digunakan yaitu:

1. Penerimaan diri dalam penelitian ini adalah suatu kondisi dimana

seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya (Gargiulo, 2004).

2. Perceived behavioral control dalam penelitian ini mengacu pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan sebuah perilaku, yang terdiri dari: control belief dan

perceived power (Ajzen, 1991).

3. Dukungan sosial dalam penelitian ini mengacu pada dukungan yang

tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain, yang terdiri dari: dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino, 2011).

4. Religiusitas dalam penelitian ini adalah sistem yang berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling

(26)

5. Subjek penelitian ini adalah para orang tua yang memiliki anak down syndrome yang termasuk dalam komunitas Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) se-Jabodetabek.

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh signifikan perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua

yang memiliki anak down syndrome?

2. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi perceived behavioral control

terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome?

3. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi dukungan sosial terhadap

penerimaandiri orang tua yang memiliki anak down syndrome?

4. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome?

5. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

(27)

1. Menguji pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak

down syndrome.

2. Menguji pengaruh dimensi perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

3. Menguji pengaruh dimensi dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

4. Menguji pengaruh dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

5. Menemukan faktor yang paling berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

1.3.2 Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi dunia psikologi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan

penerimaan diri orang tua dan anak berkebutuhan khusus (ABK) khususnya anak down syndrome.

b. Manfaat Praktis

(28)

memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) khususnya anak down syndrome agar bisa menerima dengan baik dan mengembangkan anak secara optimal.

1.4Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan

Berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai

pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak

down syndrome, pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian.

BAB 2 Landasan Teori

Berisi tentang sejumlah teori yang berkaitan dengan penerimaan diri, perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas, kerangka berpikir, serta hipotesis penelitian.

BAB 3 Metode Penelitian

Berisi tentang subyek penelitian, variabel penelitian, instrumen

penelitian, prosedur penelitian, dan teknis analisis data.

BAB 4 Hasil Penelitian

(29)

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Berisi tentang kesimpulan dan diskusi berdasarkan hasil penelitian

yang telah diperoleh. Saran praktis dan teoritis juga akan diberikan sebagai masukan yang bermanfaat berdasarkan hasil penelitian.

(30)

15

Bab ini berisi uraian tentang landasan teoritis penelitian ini, yang dibagi menjadi

lima subbab. Subbab pertama membahas tentang penerimaan diri, subbab kedua membahas tentang perceived behavioral control, subbab ketiga membahas tentang dukungan sosial, subbab keempat membahas tentang religiusitas, subbab

kelima membahas tentang kerangka berfikir, subbab ke enam membahas tentang hipotesis penelitian.

2.1Penerimaan Diri (Self Acceptance)

2.1.1. Pengertian penerimaan diri (Self Acceptance)

Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak

sesuai dengan harapannya. Menurut Rohner (2012) penerimaan orang tua mengarah kepada kehangatan, kasih sayang, peduli, kenyamanan, perhatian, mengasuh, mendukung atau perasaan cinta dimana orang tua dapat merasakan dan

menunjukkan kepada anaknya secara fisik maupun verbal. Cronbach (1963) mengungkapkan penerimaan diri ialah karakteristik pribadi seseorang dimana ia

(31)

diinginkan (ideal self), serta memiliki harapan yang realistis sesuai dengan kemampuannya.

Dari pengertian di atas mengenai penerimaan diri, maka definisi yang digunakan peneliti adalah definisi dari Gargiulo (2004) yaitu penerimaan diri

adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya.

2.1.2 Proses dan dampak penerimaan diri (Self Acceptance)

Berikut adalah proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler-Ross berkaitan

dengan reaksi atau respon yang diberikan ibu terhadap anak retardasi mental. Reaksi-reaksi tersebut adalah shock dan tidak percaya; dalam banyak kasus terdapat beberapa orang tua yang kurang siap ketika mengetahui kabar kecacatan

anak mereka. Orang tua terkadang (denial) menolak kenyataan sebagai bentuk pelarian dari realita bahwa anaknya memiliki kecacatan. Tahap awal ini juga

ditandai dengan kesedihan (grief), seperti orang tua yang meratapi kehilangan “anak yang ideal” atau “bayi yang sempurna”. Depresi dan penarikan merupakan

konsekuensi-konsekuensi umum dari proses berduka (dalam Gargiulo, 2004).

Reaksi awal ini diikuti oleh fase sekunder dibedakan dengan periode disorganisasi emosional seperti yang disebutkan oleh Blacher (dalam Gargiulo,

2004). Hal ini terjadi selama tahapan berlangsung bagi orang tua yang terombang-ambing antara periode total dedikasi dan pengorbanan diri (postur seorang martir) serta penolakan (dalam hal kasih sayang dan / atau kebutuhan fisik). Gargiulo

(32)

perasaan paling umum dan sulit bagi orang tua untuk menangani hal tersebut adalah rasa bersalah (guilt) - yang bagaimanapun juga mereka dapat berkontribusi terhadap kecacatan putra atau putri mereka. Rasa bersalah biasanya mengikuti pola “if only” berpikir seperti ini: “kalau saja saya tidak “minum” ketika saya hamil,” “kalau saja kita pergi ke rumah sakit lebih cepat,” “kalau saja saya menyimpan obat dalam lemari yang terkunci.” Selama tahapan ini, kerugian yang banyak pada umumnya, seperti perasaan bersalah orang tua. Umumnya seperti

memperlihatkan kemarahan (anger) dan permusuhan, yang sering diikuti dengan pertanyaan “mengapa saya?” dimana tidak ada jawaban yang memuaskan untuk

pertanyaan itu. Akhirnya, muncul rasa malu dan kecewa (shame and embarrassment) merupakan konsekuensi yang khas pada orang tua sebagai hasil dari memiliki anak dengan disabilitas. Beberapa orang tua yang takut bagaimana

keluarga, teman, dan masyarakat pada umumnya akan bereaksi terhadap putra atau putri mereka, dan penarikan sosial merupakan hal yang biasa. Harga diri

untuk orang tua juga dapat terancam (Gargiulo, 2004).

Tawar menawar (bargaining) dimulai pada fase tersier, seperti orang tua berusaha untuk “menyerang kesepakatan” dengan Tuhan, ilmu pengetahuan, atau

siapa pun yang mereka percaya mungkin bisa membantu anak mereka. Jarang terlihat oleh orang luar, itu merupakan salah satu langkah akhir yang

berkelanjutan dalam proses penyesuain pada orangtua. Sebuah periode adaptasi dan reorganisasi (adaptation and reorganization) juga terjadi, orang tua menjadi semakin nyaman dengan situasi mereka dan mendapatkan kepercayaan diri dalam

(33)

kebanyakan orang, penerimaan dan penyesuaian (acceptance and adjustment) dipandang sebagai tujuan akhir untuk kebanyakan orang tua. Penerimaan ditandai

sebagai keadaan pikiran di mana upaya yang dipertimbangkan untuk mengenali, memahami, dan menyelesaikan masalah. Orang tua juga menemukan bahwa

penerimaan tidak hanya melibatkan penerimaan putra atau putri mereka, tetapi juga menerima diri mereka sendiri dan mengakui kekuatan dan kelemahan mereka (Gargiulo, 2004)

Terkait dengan penerimaan sebagai konsep penyesuaian, berarti tindakan positif dan maju bergerak (Gargiulo, 2004). Penyesuaian merupakan sebuah

tahapan dan, dalam beberapa kasus, proses yang sulit dan seumur hidup yang menuntut penataan kembali pada tujuan dan ambisi. Bagi banyak orangtua, itu adalah perjuangan yang sedang berlangsung. Berdasarkan pemaparan tentang

proses reaksi awal penerimaan diri di atas, maka penerimaan yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan tahap akhir setelah orang mengalami reaksi shock

dan tidak percaya, denial, grief, ambivalence, guilt, anger, shame and embarrassment, bargaining, adaptation and reorganization, dan tahap akhir yaitu penerimaan dan penyesuaian diri.

Kubler-Ross (dalam Bergeron & Walfet-Defalque, 2013) menegaskan bahwa urutan lima tahap tidak berurutan dan bahwa tidak semua orang akan

(34)

mereka siap untuk berproses pada tahap yang lain. Penelitian ini mengindikasikan seseorang pada waktu yang bersamaan dapat berada dalam tahap yang berbeda,

dengan perbedaan derajat (Isadore, Pamela J, Diann C, Patrick, Faye H, Harvey, & John, 1983).

Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua

kategori sebagai berikut:

1. Dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penerimaan diri mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem). Selain itu, mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan

seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistik sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Dengan penilaian yang realistik

terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Ia juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

2. Dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang

lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukkan rasa empati dan

(35)

melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri, sehingga mereka cenderung berorientasi pada

dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk

membantu orang lain.

Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan

konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri

yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas.

2.1.3 Pengukuran penerimaan diri (Self Acceptance)

Salah satu alat ukur penerimaan diri adalah Expressed Acceptance on Scale yang disusun oleh Berger, yang terdiri dari 36 item. (Handayani, et al, 1998). Skala ini mengukur dimensi-dimensi penerimaan diri Berger yang terdiri dari: orientasi keluar, percaya kemampuan diri, bertanggung jawab, menerima sifat

kemanusiaan, menyesuaikan diri, perasaan sederajat, berpendirian, menyadari keterbatasan, dan tidak malu (Denmark, 1973).

Terdapat pula alat ukur lain yang digunakan untuk mengukur penerimaan diri yaitu The Hoffman Gender Scale (HGS) yang disusun oleh Hoffman (2006) yang terdiri dari 14 item dan 7 item diantaranya mengukur tentang penerimaan

(36)

nyaman dengan jenis kelaminnya sendiri. Jika seseorang memiliki penerimaan diri yang kuat pada jenis kelaminnya baik sebagai wanita atau pria maka individu

tersebut akan menerimanya tanpa ada alasan bahwa hal tersebut menjadi sebuah kritikan bagi identitasnya.

Alat ukur penerimaan diri dalam penelitian lainnya menggunakan skala penerimaan diri berdasarkan teori Kubler Ross menggunakan lima tahap penerimaan diri yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance

dengan reabilitas sebagai berikut: denial, r = 0.81; anger, r = 0.82; bargaining, r = 0.75; depression, r = 0.72; acceptance, r = 0.86 (Isadore, et al, 1983). Penelitian lain yang menggunakan skala penerimaan diri berdasarkan teori Kubler Ross yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bergeron dan Wanet-Defalque (2013) yang mengambil tahapan denial dan acceptance untuk mengukur penerimaan diri pasien penyakit Brief Cope.

Penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi skala

penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis memfokuskan item-item self acceptance dan adjusment karena yang ingin dilihat adalah seberapa besar penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan ketika orang tua sudah menerima dirinya memiliki anak down syndrome dapat diartikan bahwa orang tua sudah melewati reaksi-reaksi awal dalam tahapan penerimaan

(37)

2.1.4 Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (Self Acceptance)

Terdapat beberapa faktor yang menentukan bagaimana seseorang dapat menyukai

dan menerima dirinya sendiri, dimana faktor tersebut berperan penting bagi terwujudnya penerimaan dalam diri setiap individu. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock (1974) adalah: 1. Self Understanding (pemahaman diri)

Pemahaman akan diri sendiri adalah persepsi tentang diri sendiri yang

dapat timbul jika seseorang mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Dimana individu dapat memahami dirinya sendiri

tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dirinya saja, melainkan juga pada setiap kesempatannya untuk mengenali dirinya sendiri. Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan secara

berdampingan. Individu yang memahami dirinya dengan baik, maka akan menerima keadaan dirinya sendiri dan tidak ada keinginan untuk

berpura-pura menjadi orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami dirinya sendiri, maka senantiasa ia dapat menerima dirinya.

2. Realistic Expectations (harapan yang realistis)

Ketika harapan seseorang akan sesuatu hal adalah realistis, maka

kesempatan untuk mencapainya akan terwujud sesuai dengan harapannya. Hal ini dapat memberikan kepuasan pada diri sendiri yang sangat berkaitan dengan penerimaan diri. Adanya harapan yang realistis bisa

(38)

pemahaman mengenai kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Jadi, ketika individu memiliki harapan,

seharusnya ia telah mempertimbangkan kemampuan dirinya dalam mencapai tujuan tersebut.

3. Absence of Enviromental Obstacies (tidak adanya hambatan lingkungan) Ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuannya dapat ditimbulkan dari lingkungan. Jika lingkungan sekitarnya menghalangi individu

menunjukkan potensinya atau untuk mengekspresikan dirinya, maka penerimaan dirinya tentu akan sulit tercapai. Sebaliknya, apabila didalam

lingkungan individu memberikan dukungan seperti orang tua, guru, dan teman-teman, maka individu dapat mencapai tujuannya, merasa puas atas apa yang telah diraihnya, dan harapannya pun menjadi realistis.

4. Favourable Social Attitudes (tingkah laku sosial yang sesuai)

Ketika individu menunjukkan tingkah laku yang dapat diterima oleh

masyarakat, maka hal tersebut akan membantu dirinya untuk dapat menerima diri. Yang dimaksud favourable social attitudes disini adalah tidak adanya prasangka terhadap diri atau anggota keluarganya, pengakuan

individu terhadap kemampuan sosial orang lain, tidak memandang buruk terhadap orang lain, serta adanya kesediaan individu untuk menerima

(39)

5. Absence of severe emotional stress (tidak adanya stres emosional yang berat)

Stress menandai kondisi tidak seimbang dalam diri individu yang menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh

lingkungannya. Perubahan pandangan ini dapat menyebabkan pandangan individu terhadap dirinya juga berubah kearah yang negatif, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan dirinya. Selain itu, tidak adanya

gangguan stress emosional yang berat memungkinkan seseorang untuk melakukan yang terbaik dan tidak hanya mementingkan kepentingan

dirinya saja.

6. Preponderance of Successes (kenangan akan keberhasilan)

Kegagalan yang dialami oleh individu akan menimbulkan penolakan

dalam dirinya, sedangkan keberhasilan dapat berpengaruh pada penerimaan dirinya. Seseorang yang berhasil atau gagal akan mendapatkan

penilaian sosial dari lingkungannya. Penilaian sosial inilah yang akan diingat oleh individu karena dapat menjadi suatu penilaian tambahan mengenai dirinya. Ketika seseorang mengalami kegagalan, maka ketika ia

mengingat keberhasilan dapat membantu memunculkan penerimaan diri. Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan penolakan diri.

7. Identification with Well-adjusted People (identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik)

Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang yang mampu

(40)

mengembangkan sikap-sikap yang positif dalam hidupnya dan bersikap baik yang bisa menimbulkan penilaian diri dan penerimaan diri yang baik.

8. Self Perspective (perspektif diri)

Seseorang yang mampu memperhatikan pandangan orang lain terhadap

dirinya seperti ia memandang dirinya sendiri adalah seseorang yang memiliki pemahaman diri yang cukup baik daripada seseorang yang memiliki perspektif yang sempit mengenai dirinya, hal inilah yang

membuat ia dapat menerima dirinya dengan baik. perspektif diri yang luas diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat

pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya.

9. Good Childhood Training (pola asuh masa kecil yang baik)

Meskipun ada bermacam cara penyesuaian diri yang dilakukan seseorang untuk membuat perubahan dalam hidupnya, namun yang menetukan

penyesuaian diri seseorang dalam hidupnya adalah pola asuh dimasa kecil. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis dimana di dalamnya terdapat peraturan yang mengajarkan kepada anak bagaimana ia

menerima dirinya sebagai individu dan cenderung berkembang untuk menghargai dirinya sendiri. Konsep diri mulai terbentuk pada masa

(41)

10.Stable Self-Concept (konsep diri yang stabil)

Konsep diri yang stabil adalah satu cara bagaimana seseorang mampu

melihat dirinya sendiri dengan cara yang sama dari waktu ke waktu. Hanya pada konsep diri yang sesuai seseorang mampu menerima dirinya

sendiri. Karena apabila individu memiliki konsep diri yang tidak stabil, bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya, pada waktu lain ia membenci dirinya sendiri. Ini akan membuatnya kesulitan untuk

menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain karena ia sendiri merasa bertentangan terhadap dirinya sendiri.

Selain faktor di atas, penelitian sebelumnya mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang, diantaranya adalah dukungan sosial, coping stress, self-esteem dan self efficacy, optimisme, perilaku asertif, dan health locus of control (Zalewska, et al, 2006). Selain itu Sarasvati (dalam Rachmayanti, 2007) mengatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan

suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang.

Nishinaga (2004) mengatakan bahwa faktor penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual diantaranya adalah

(42)

sebagian faktor yang disebutkan diatas, dalam penelitian ini akan diuji beberapa faktor yaitu perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas.

2.2 Perceived Behavioral Control

2.2.1 Pengertian perceived behavioral control

Ajzen (1991) menyatakan bahwa perceived behavioral control (PBC) mengacu pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk

menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Sedangkan menurut Francis

et.al., (2004) perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang merasa mampu untuk menampilkan suatu perilaku.

Ajzen (2005) menyatakan bahwa perceived behavioral control dianggap sebagai fungsi dari belief. Belief dalam perceived behavioral control yaitu tentang ada atau tidaknya faktor yang memfasilitasi atau menghalangi terwujudnya

sebuah perilaku. Belief ini berdasarkan pada bagian pengalaman masa lalu yang berhubungan dengan perilaku. Namun, perceived behavioral control biasanya juga dipengaruhi oleh informasi dari rekan-rekan dan teman serta faktor lain yang

dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi tentang kesulitan dalam mewujudkan perilaku tertentu.

2.2.2 Komponen perceived behavioral control

(43)

a. Control belief, yaitu faktor atau kondisi yang membuat perilaku sulit atau mudah untuk dilakukan

b. Perceived power, kekuatan dari setiap faktor atau kondisi yang mendukung atau menghambat perilaku.

2.2.3 Pengukuran perceived behavioral control

Alat ukur perceived behavioral control ini menggunakan teori planned behavior

dari Icek Ajzen. Perceived behavioral control diukur dengan menggunakan kuesioner perceived behavioral control yang disusun oleh penulis sendiri didasarkan pada komponen perceived behavioral control yang dikemukakan oleh Francis et al., (2004).

Penghitungan skor perceived behavioral control yaitu dengan rumus dibawah ini:

PBC = (a x d) + (b x e) + (c x f)

Keterangan:

PBC adalah total skor perceived behavioral control

a, b dan c adalah nilai masing-masing dari item control belief

d, e dan f adalah nilai masing-masing dari item belief power yang berhubungan dengan item control belief.

(44)

2.3 Dukungan Sosial

2.3.1 Pengertian dukungan sosial

Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang

atau kelompok lain (Uchino, 2004). Dukungan bisa datang dari banyak sumber seperti pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau organisasi masyarakat. Orang dengan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai,

dihargai, dan merupakan bagian dari kelompok sosial, seperti keluarga atau organisasi masyarakat, yang dapat membantu pada saat dibutuhkan. Jadi,

dukungan sosial mengacu pada tindakan yang benar-benar dilakukan oleh orang lain, atau menerima dukungan.

Hampir senada dengan Sarafino, Taylor (2006) mendefinisikan dukungan

sosial sebagai bentuk pemberian informasi serta merasa dirinya dicintai dan diperhatikan terhormat, dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan

komunikasi dan kewajiban timbal balik dari orang tua, kekasih atau kerabat, teman, jaringan lingkungan sosial serta dalam lingkungan masyarakat. Dukungan sosial merupakan interaksi interpersonal yang di dalamnya terkandung perhatian

secara emosional dan penilaian diri yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dukungan sosial dipercayai mempunyai efek positif secara langsung terhadap

(45)

dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain.

2.3.2 Dimensi dan sumber dukungan sosial

Sarafino (2011) membagi dukungan sosial menjadi empat dimensi, yaitu: 1. Dukungan emosional

Dukungan emosional seperti menyampaikan empati, kepedulian,

perhatian, hal positif, dan dorongan terhadap orang tersebut. Ini memberikan kenyamanan dan kepastian dengan rasa memiliki dan dicintai

pada saat stres.

2. Dukungan nyata atau instrumental

Dukungan nyata atau instrumental seperti melibatkan bantuan langsung,

ketika orang memberikan atau meminjamkan uang atau orang membantu tugas-tugas pada saat stres.

3. Dukungan informasi

Dukungan informasi termasuk memberikan nasihat, arah, saran, atau umpan balik tentang cara orang tersebut melakukan sesuatu.

4. Dukungan kelompok

Dukungan kelompok mengacu pada ketersediaan orang lain untuk

(46)

Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh oleh individu dari lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan

sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan aspek paling penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan

pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan tahu pada siapa ia akan mendapatkan dukungan sosial yang sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah

pihak. Sarafino (2011) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, yaitu: pasangan atau kekasih, keluarga, teman,

dokter, atau organisasi masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dukungan sosial yang diterima individu dapat diperoleh dari rekan sejawat di kantor, anggota keluarga, teman sebaya, dan

organisasi yang diikuti. Dalam penelitian ini, sumber-sumber dukungan sosial diperoleh dari pasangan, anggota keluarga, teman dan anggota komunitas yang

sama-sama memiliki anak down syndrome.

2.3.3 Pengukuran dukungan sosial

Contoh pengukuran dukungan sosial yang dilakukan oleh menggunakan alat ukur yang biasa disebut dengan Assessing Social Support: The Social Support Questionaire (SSQ). Terdapat dua aspek yang membentuknya, yaitu persepsi akan jumlah orang dan tingkat kepuasan dari dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial mereka. SSQ pada awal dibentuknya, yaitu pada tahun 1983 oleh Sarason,

(47)

dirubah menjadi 6 item dan dikenal dengan Social Support Questioner Short Form (Sarason, 1983)

Alat ukur lainnya yang digunakan untuk mengukur dukungan sosial adalah

Infentory of Socially Supportive Behaviors (ISSB) yang dikembangkan oleh Barrera, Sandler, dan Ramsay (1981). Terdiri dari 40 item dengan menggunakan 5 skala poin: 1 (tidak sama sekali), 2 (sekali atau dua kali), 3 (sekali dalam seminggu), 4 (beberapa kali), 5 (setiap hari). ISSB terlihat sebagai alat

menjanjikan untuk memahami proses pemberian bantuan yang alami.

Pengukuran dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah

skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Sarafino (2011) yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Untuk mengukur dukungan sosial

dibuat indikator-indikator berdasarkan keempat dimensi di atas yaitu:

Dukungan emosional mencakup empati, peduli, perhatian, perasaan

nyaman, dan perasaan dicintai.

Dukungan nyata atau instrumental mencakup melibatkan bantuan langsung, dan membantu tugas pada saat stres.

Dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, pemberian saran, dan pemberian bimbingan.

(48)

2.4 Religiusitas

2.4.1 Pengertian religiusitas

Glock dan Stark (1968) mengartikan religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya

berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. Fetzer (1999) mendefinisikan religiusitas sebagai sesuatu yang lebih menitik beratkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin

dari setiap agama atau golongan. Karena doktrin yang dimiliki oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.

Dari pengertian di atas mengenai religiusitas, maka definisi yang digunakan peneliti adalah definisi dari Glock dan Stark (1968) yang mengartikan religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem

perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi.

2.4.2 Dimensi religiusitas

Glock dan Stark telah memberikan pengaruh dalam mendefinisikan orientasi

agama, asal-usul, dan dimensi-dimensinya. Glock dan Stark mengidentifikasikan lima dimensi dari religiusitas: belief, practice, knowledge, experience, dan

consequences (Glock & Stark, 1968).

(49)

1. Dari perspektif sosiologis, dimensi pengetahuan keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa orang-orang religius memiliki pengetahuan agama,

dan bahwa mereka dapat menjelaskan pandangan mereka tentang transendensi, agama dan religiusitas. Dalam sistem konstruk agama

pribadi dimensi ini direpresentasikan sebagai tema yang menarik, keterampilan hermeneutik, gaya pemikiran dan interpretasi, dan sebagai tubuh pengetahuan. Indikator umum untuk dimensi pengetahuan

keagamaan adalah frekuensi berpikir tentang isu-isu agama. Hal ini menunjukkan seberapa sering isi religius “diperbarui” melalui media

berpikir, yang mengarah ke jantung dimensi pengetahuan keagamaan. Selanjutnya, isi indikator ini adalah independen dari bias pengakuan atau afiliasi keagamaan. Oleh karena itu dapat diterapkan di seluruh agama.

2. Dimensi keyakinan keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa agama individu memiliki keyakinan tentang keberadaan dan esensi dari

sebuah realitas transenden dan hubungan antara transendensi dan manusia. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai keyakinan, keyakinan dipertanyakan dan pola masuk akal. Indikator umum

dimensi ini harus fokus hanya pada aspek masuk akal dari adanya realitas transenden, misalnya, “Untuk apa memperpanjang apakah Anda percaya

pada keberadaan Tuhan atau sesuatu yang ilahi”. Ini “dasar keyakinan” adalah umum untuk tradisi keagamaan besar, karena merupakan prasyarat untuk semua konsep lebih lanjut dan dogma mengenai esensi dari realitas

(50)

akal, konstruksi spesifik transendensi lazim dalam tradisi yang berbeda bisa menjadi psikologis yang relevan.

3. Dimensi kegiatan keagamaan kelompok merujuk pada harapan sosial bahwa agama individu milik umat beragama yang diwujudkan dalam

partisipasi publik dalam ritual keagamaan dan kegiatan komunal. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola tindakan dan sebagai rasa memiliki terhadap tubuh sosial tertentu serta

imajinasi ritual tertentu transendensi tersebut. Intensitas umum dimensi ini dapat diukur dengan mudah dengan bertanya tentang frekuensi seseorang

yang mengambil bagian dalam pelayanan keagamaan. Dalam studi antaragama itu dianjurkan untuk beragam label untuk ibadah sesuai dengan agama yang dianut mayoritas responden misalnya “kehadiran di gereja” bagi orang Kristen, dan “shalat Jumat” bagi umat Islam.

4. Dimensi kegiatan keagamaan individu merujuk pada harapan sosial bahwa

agama individu mengabdikan diri untuk transendensi dalam kegiatan individual dan ritual di ruang pribadi. Dalam sistem konstruk agama individu dimensi ini digambarkan sebagai pola tindakan dan gaya

pengabdian individu kepada transendensi tersebut. Masuk akal untuk mempertimbangkan baik doa dan meditasi ketika mengukur intensitas

(51)

Sebaliknya, meditasi terstruktur lebih mendasar dengan mengacu pada diri sendiri dan / atau prinsipnya semua-meresap, dan karena itu lebih sesuai

dengan pola partisipatif spiritualitas. Mengingat kedua bentuk kegiatan keagamaan pribadi berarti bahwa kedua pola dasar spiritualitas tertutup.

5. Dimensi pengalaman keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa orang religius memiliki “semacam kontak langsung kerealitas tertinggi” yang mempengaruhi mereka secara emosional. Dalam sistem konstruk

agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola persepsi agama dan sebagai tubuh pengalaman dan perasaan religius. Analog ke kegiatan

keagamaan individu, dua bentuk dasar mengalami transendensi dapat dibedakan, “satu-ke-satu pengalaman” yang sesuai dengan pola

spiritualitas dialogis dan “pengalaman berada di satu” sesuai dengan yang

partisipatif. Oleh karena itu, kami menyarankan penggunaan kedua ekspresi pengalaman religius untuk pengukuran intensitas umum.

2.4.3 Pengukuran religiusitas

Salah satu pengukuran religiusitas dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang

biasa disebut dengan The Daily Spiritual Experiences Scale. Skala ini terdiri dari 16 item yang disusun menggunakan skala Likert dengan 5 pilihan jawaban.

(52)

banyak. Skala ini menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sangat tidak setuju, tidak setuju, agak setuju, setuju, dan sangat setuju.

Pengukuran religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert modifikasi alat ukur CRS yang mengacu pada teori Glock dan Stark

meliputi lima jenis yaitu intelektual (pengetahuan keagamaan), ideologi (keyakinan keagamaan), kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan.

2.5 Kerangka Berfikir

Kelahiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami istri. Anak merupakan pertautan cinta suami dan istri, serta merupakan buah hati yang sangat diharapkan kehadirannya.

Kehadirannya bukan saja mempererat tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga sebagai penerus generasi yang sangat diharapkan oleh keluarga tersebut.

Saat yang menegangkan dan menggembirakan tersebut dapat berubah menjadi suatu kekecewaan, manakala suami istri menyaksikan anak yang baru dilahirkan itu mengalami kecacatan, atau mempunyai ketidaksempurnaan pada

salah satu atau beberapa organ tubuh maupun bagian tubuhnya. Seperti mempunyai kaki dan tangan yang tidak lengkap, tidak sempurnanya fungsi

jantung, ginjal atau pun otak yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya dan lain lain. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua yang mengetahui anaknya mengalami kecacatan adalah sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak, atau

(53)

Memiliki anak down syndrome adalah salah satu pengalaman yang dimiliki oleh beberapa orang tua di dunia. Pengalaman ini pada akhirnya juga

dapat mempengaruhi dan membentuk kebahagiaan orang tua melalui evaluasi dan penghayatan terhadap kehidupannya. Sebagai orang tua yang memiliki anak down syndrome, orang tua juga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki kebahagiaan hidup.

Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu

kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang

mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang.

(sarasvati, 2004).

Selain faktor di atas Nishinaga (2004) mengatakan juga bahwa perceived behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting dari penerimaan diri para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang

memiliki keterbelakangan intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan meningkatkan perceived behavioral control mereka.

(54)

down syndrome, dan perceived power yang dimiliki orang tua yang memiliki anak

down syndrome.

Selain perceived behavioral control hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome adalah dukungan sosial. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Sarasvati (2004) salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua adalah dukungan sosial. Dukungan sosial membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome lebih dapat menerima dirinya dengan keadaan yang di hadapi. Nishinaga (2004) menjelaskan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual.

Dukungan emosional yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak

down syndrome dapat membuat orang tua merasa nyaman tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, diberi bantuan dalam

bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta. Dukungan nyata atau instrumental yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak down syndrome

membuat orang tua mendapatkan bantuan nyata dengan merawat anak down syndrome. Dukungan informasi yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak

down syndrome membuat orang tua mendapatkan informasi sesuai dengan apa yang dihadapi; dalam penelitian ini contohnya adalah informasi mengenai anak

(55)

anggota-anggotanya dapat saling berbagi; misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi.

Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Religiusitas memberikan pengaruh positif yang dapat membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome berani menghadapi masalahnya, mengatasi rasa cemas, stress atau depresi yang sedang di alami. Penelitian yang

dilakukan oleh Handadari (2012) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat.

Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua

yang memiliki anak retardasi mental berat.

Dengan memiliki keyakinan beragama yang kuat, orang tua anak down syndrome meyakini adanya Tuhan dan keajaiban dari Tuhan; kegiatan keagamaan kelompok dan individu yang dijalankan oleh orang tua seperti beribadah sesuai agama yang dianut dan mengikuti siraman-siraman rohani yang mampu

meningkatkan keimanan dari orang tua yang memiliki anak down syndrome

tersebut. Pengalaman agama yang telah dilalui oleh orang tua dapat memperkuat

tingkat religiusitas yang dimiliki, pengetahuan agama yang dimiliki seperti tentang ajaran agama dan dasar-dasar agama yang dianut, dan konsekuensi beragama yang mencakup kesabaran, kejujuran, keihklasan dalam menerima

(56)

akan mempengaruhi penerimaan dan tingkat kebahagiaannya dalam menjalani kehidupannya.

Hubungan antar variabel penelitian, selanjutnya dapat dilihat pada bagan kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

DUKUNGAN SOSIAL

Dukungan Informasi

Dukungan Kelompok

RELIGIUSITAS

Dukungan Emosional

PERCEIVED

BEHAVIORAL CONTROL

Control Belief Perceived Power

Dukungan Nyata atau Instrumental

Pengetahuan Keagamaan

Keyakinan Keagamaan

Pengalaman Keagamaan Kegiatan Keagamaan

Kelompok

Kegiatan Keagamaan Individu

(57)

2.6 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada pengaruh positif signifikan perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

H2 : Ada pengaruh yang signifikan control belief dari perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

H3 : Ada pengaruh yang signifikan perceived power dari perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

H4 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan emosional dari dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H5 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan nyata atau instrumental dari

dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak

down syndrome.

H6 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan informasi dari dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H7 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan kelompok dari dukungan sosial

terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H8 : Ada pengaruh yang signifikan pengetahuan keagamaan dari religiusitas

(58)

H9 : Ada pengaruh yang signifikan antara keyakinan keagamaan dari religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

H10 : Ada pengaruh yang signifikan antara kegiatan keagamaan kelompok dari

religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

H11 : Ada pengaruh yang signifikan kegiatan keagamaan individu dari

religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir  ........................................................
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Skor Tabel 3.1 Favorable dan Unfavorable
Table 3.2 Blue print skala penerimaan diri
+7

Referensi

Dokumen terkait