• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskusi Umum

Dalam dokumen BAB IV Hasil dan Pembahasan (Halaman 55-61)

Dalam melakukan analisis biodiversitas mikroba dari sampel alami, salah satu tahapan penting yang sangat mempengaruhi keberhasilan analisis adalah tahap isolasi DNA kromosom. Keberhasilan isolasi DNA kromosom ditentukan salah satunya oleh keberhasilan melisis berbagai jenis sel. Pada penelitian ini digunakan dua metode lisis sel, yaitu yang berbasis enzimatis dan perusakan fisik (bead-beating).

DNA kromosom yang diekstraksi dengan metode enzimatis lebih kecil kelimpahannya dibandingkan dengan metode ekstraksi bead-beating, baik pada sampel Kawah Hujan A maupun Kawah Hujan B. Menurut Frostegard et al. (1999) kecilnya efisiensi ekstraksi DNA terutama disebabkan karena lisis sel yang tidak sempurna, dan adanya kemungkinan DNA teradsorpsi pada partikel tanah

atau lumpur selama ekstraksi. Perlakuan fisik dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi DNA dibandingkan dengan metode enzimatis karena kemampuan yang lebih baik dalam merusak sel walaupun sebagian DNA tetap teradsorpsi dalam partikel. Pada umumnya, metode berbasis perusakan fisik, walaupun dapat merusak berbagai jenis sel dengan yield DNA yang lebih tinggi, akan tetapi dapat menyebabkan fragmentasi pada DNA kromosom menjadi berukuran lebih kecil (Liesack et al. 1997). Hal ini teramati dalam bentuk pita smear pada gel agarosa (Gambar IV.7). Sedangkan metode enzimatis biasanya lebih selektif dan menghasilkan DNA kromosom dengan berat molekul yang lebih tinggi (Muyzer dan Smalla, 1998). Dengan demikian, metode perusakan fisik diharapkan dapat mendeteksi diversitas mikroba secara lebih luas dibandingkan dengan metode enzimatik.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tidak sepenuhnya mendukung asumsi tersebut. Pada sumber Kawah Hujan A, perbedaan metode lisis sel tidak banyak mempengaruhi deteksi biodiversitas mikroba. Hal ini kemungkinan karena pada sumber Kawah Hujan A diversitas mikrobanya memang rendah. Sedangkan untuk sumber Kawah Hujan B perbedaan metode lisis sel tersebut mengakibatkan perbedaan hasil deteksi biodiversitas mikroba. Pada sampel Kawah Hujan B, metode enzimatis lebih banyak mendeteksi mikroba dari kelompok archaea sedangkan metode fisik lebih banyak mendeteksi kelompok bakteri. Hal ini kemungkinan karena metode enzimatik memiliki keterbatasan dalam mengisolasi DNA kromosom dari mikroba yang tersembunyi, misalnya mikroba yang terperangkap di dalam lumpur, atau mikroba yang membentuk spora atau biofilm (Madigan dan Martinko, 2006). Sedangkan metode fisik memiliki kemungkinan untuk melepaskan mikroba yang tersembunyi dalam lumpur dan mampu memecah spora atau biofilm.

Pada penelitian ini, sebagian besar mikroba yang terdeteksi dengan metode enzimatis pada Kawah Hujan B adalah dari kelompok archaea. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan mikroba tersebut tumbuh baik di dalam kawah karena Kawah Hujan B merupakan tempat yang sesuai untuk pertumbuhan. Pada

umumnya, lingkungan dengan temperatur >90°C didominasi oleh archaea (Reysenbach dan Shock, 2002), dan dalam archaea, mayoritas mikroba termoasidofil termasuk dalam filum Crenorchaeota (Prokofeva et al., 2000). Selain itu, beberapa archaea hipertermofilik diketahui dapat mereduksi S menjadi H2S (Hao dan Ma, 2003). Kadar sulfat yang tinggi pada Kawah Hujan B menjadi indikasi adanya proses reduksi dan oksidasi sulfur, yang diketahui dapat disebabkan oleh aktifitas mikroba (Madigan dan Martinko, 2006; Boyd et al., 2007).

Metode fisik lebih banyak mengidentifikasi kelompok bakteri, hal ini kemungkinan terjadi karena mikroba-mikroba tersebut dapat tumbuh berasosiasi dengan lumpur di dalam kawah dalam bentuk biofilm atau berspora karena sumber Kawah Hujan B bukan merupakan tempat yang ideal bagi pertumbuhannya. Pembentukan biofilm atau spora merupakan salah satu bentuk adaptasi mikroba terhadap kondisi lingkungan yang dinamis (Reysenbach dan Shock, 2002; Madigan dan Martinko, 2006). Pembentukan biofilm penting bagi mikroba untuk mempertahankan komunitas yang stabil (Reysenbach dan Shock, 2002) dan untuk dapat tumbuh pada permukaan, dalam hal ini mikroba yang teradsorpsi pada lumpur (Madigan dan Martinko, 2006; Allen et al. 2007).

Pertumbuhan mikroba di alam sangat bergantung kepada ketersediaan sumber nutrien dan kondisi pertumbuhan. Di alam, ketersediaan sumber nutrien seringkali dalam jumlah yang rendah dan tidak terdistribusi merata sehingga kompetisi di antara mikroba untuk mendapatkan sumber makanan cukup kuat. Perbedaan kemampuan mikroba untuk bertahan dan beradaptasi dengan baik pada habitat alaminya menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan setiap mikroba yang ada. Mikroba yang paling baik tingkat adaptasinya akan paling dominan pada habitat tersebut. Mikroba yang tidak dominan mencerminkan mikroba-mikroba yang kurang mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungannya. Untuk dapat mendeteksi mikroba-mikroba jenis ini dapat dilakukan peningkatan laju pertumbuhannya dengan penambahan bermacam sumber nutrien, hal ini dapat dilakukan dalam proses kultivasi.

Pada penelitian ini, analisis biodiversitas mikroba dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan yang tidak bergantung kultivasi dan yang melalui kultivasi. Pendekatan yang tidak bergantung kultivasi dimaksudkan untuk melihat diversitas mikroba yang dominan pada habitat alaminya, sedangkan melalui pendekatan kultivasi diharapkan dapat melihat kelompok mikroba yang tidak dominan (Kisand dan Wikner, 2003; Tamaki et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa diversitas mikroba yang dominan di alam berbeda dengan yang dominan di dalam kultur (Tabel IV.3).

Kelompok mikroba yang terdeteksi dominan pada sumber Kawah Hujan A adalah dari kelompok gamma Proteobakteria. Kelompok ini tidak terdeteksi pada mikroba yang terkulturkan yang didominasi oleh kelompok Firmicutes (Geobacillus dan Anoxybacillus). Hal ini menyarankan bahwa proses kultivasi dan atau nutrien yang ada kurang cocok untuk kebutuhan kelompok gamma proteobakteria. Hasil serupa teramati juga pada sampel Kawah Hujan B. Kelompok archaea yang dominan pada sumber Kawah Hujan B tidak teramati pada hasil kultivasi. Sebaliknya, mikroba yang terdeteksi dari proses kultivasi adalah kelompok Firmicutes (Alicyclobacillus). Hal ini menyarankan bahwa proses dan atau nutrien yang dipakai untuk kultivasi hanya baik untuk kelompok Firmicutes. Walaupun demikian, pada sumber Kawah Hujan B terdapat beberapa mikroba tidak dominan yang terdeteksi pada kultur maupun di alamnya.

Mikroba yang dominan di dalam kultur sangat ditentukan oleh komposisi media yang digunakan. Untuk kepentingan analisis biodiversitas mikroba, penggunaan bermacam media umum perlu dilakukan untuk mendapatkan biodiversitas mikroba yang cukup luas (Santegoeds et al, 1996). Penggunaan media dengan komposisi atau variasi yang rendah (media P) menjadikan kelompok Firmicutes tidak terdeteksi dalam kultur, baik pada Kawah Hujan A maupun Kawah Hujan B (Gambar IV.23 dan Gambar IV.30). Pengenceran berseri dari media yang diperkaya juga diketahui dapat meningkatkan diversitas mikroba yang terkulturkan (Santegoeds et al., 1996). Penggunaan media tertentu yang lebih

selektif lebih diperlukan untuk mengkultivasi mikroba tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan metabolismenya. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan antara biodiversitas mikroba yang diperoleh melalui kultivasi dan tanpa kultivasi (Tamaki et al., 2005). Oleh sebab itu, penggabungan kedua pendekatan tersebut dapat memberikan gambaran biodiversitas mikroba yang lebih luas dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja.

Tabel IV.3 Kekerabatan terdekat kelompok mikroba yang terdeteksi pada sampel Kawah Hujan A dan Kawah Hujan B

Kawah Hujan A Kawah Hujan B

Filtrasi Kultivasi Filtrasi Kultivasi

Proteobakteria:

Genus? Firmicutes: Geobacillus Anoxybacillus Deinococcus: Thermus Crenarchaeota: Genus? Proteobakteria: Pseudomonas Aeromonas Pantoea Xenorhabdus Proteobakteria: Pseudomonas Pantoea Firmicutes: Alicyclobacillus

Perbedaan biodiversitas mikroba yang teramati dari Kawah Hujan A dengan Kawah Hujan B kemungkinan disebabkan karena perbedaan kondisi fisik dan kimia masing-masing kawah. Kawah Hujan A memiliki pH mendekati netral dengan kandungan logam dan ion-ion lainnya yang relatif rendah, sedangkan Kawah Hujan B memiliki pH sangat asam dengan kandungan sulfat dan besi yang relatif tinggi (Tabel IV.1). Selain itu, kondisi fisik Kawah Hujan A dan Kawah Hujan B juga sangat berbeda. Komunitas mikroba di lingkungan termal seringkali dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi fisik kimia sekitarnya karena adanya keragaman proses metabolik dan biogeokimia (Jackson et al, 2001; Newman dan Banfield, 2002). Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab IV.5.1.1 dan IV.5.2.1, Kawah Hujan A didominasi oleh mikroba dari kelompok gamma Proteobakteria yang unik sedangkan Kawah Hujan B didominasi oleh kelompok Crenarchaeota yang juga unik. Berdasarkan kondisi fisik dan kimia lingkungannya, mikroba yang hidup dominan pada Kawah Hujan A disarankan bersifat anaerob atau fakultatif anaerob, termofilik dan barotoleran. Sedangkan

mikroba pada Kawah Hujan B bersifat aerob atau fakultatif anearob, termofilik, dan asidofilik.

Beberapa mikroba yang terdeteksi pada Kawah Hujan A maupun Kawah Hujan B memiliki kedekatan dengan kelompok mikroba yang hidup pada kondisi lingkungan tertentu. Misalnya mikroba dari genus Thermus merupakan mikroba yang selama ini banyak ditemukan pada lingkungan dengan pH netral (Nunes et al. 1995; Kieft et al., 1999; Marteinsson et al. 2001). Sebaliknya, Alicyclobacillus pada umumnya ditemukan pada tempat dengan kondisi pH asam (Matsubara et al., 2002; Eckert dan Schneider, 2003; Karavaiko et al., 2005). Keberadaan kelompok Crenorchaeota pada sumber Kawah Hujan B juga berkaitan dengan kondisi kawah yang asam dengan kandungan sulfat yang sangat tinggi. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sebagian besar archaea termoasidofil termasuk filum Crenarchaeota. Beberapa genus dalam filum Crenorchaeota, seperti Sulfolobus dan Acidianus, diketahui sebagai mikroba yang dapat mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfat. (Schonheit dan Schafer, 1995; Schafer et al., 1999). Selain Crenorchaeota, beberapa mikroba yang termasuk dalam kelas gamma proteobakteria juga diketahui merupakan bakteri pengoksidasi sulfur (Ito et al., 2004).

Berdasarkan perbedaan urutan nukleotida antara sampel dengan urutan pembanding yang sudah ada pada GenBank, sebagian besar mikroba yang dominan di alam (Kawah Hujan A atau Kawah Hujan B) berpotensi merupakan mikroba yang berbeda dengan yang sudah ditemukan sebelumnya. Kelompok mikroba yang menunjukkan perbedaan urutan yang paling menonjol adalah kelompok gamma Proteobakteria pada sumber Kawah Hujan A yang memiliki perbedaan rata-rata sekitar 10% dari 230 basa yang diperbandingkan. Sedangkan pada sumber Kawah Hujan B, kelompok Crenorchaeota menunjukkan perbedaan rata-rata sekitar 17% terhadap dari 300 basa yang diperbandingkan. Perbedaan urutan gen 16S rRNA sebesar 20% dari ukuran gen sekitar 1,5 kb bisa dipastikan merupakan genus yang berbeda, bahkan bisa merupakan famili yang berbeda (Reysenbach et al., 2000). Adanya kelompok mikroba yang unik pada Kawah

Hujan A maupun Kawah Hujan B sangat memungkinkan mengingat kondisi kedua kawah yang unik dan biodiversitas mikroba di Indonesia masih belum banyak diungkap.

Beberapa isolat tunggal telah diisolasi dari kultur Kawah Hujan A, sedangkan kultur tunggal dari Kawah Hujan B relatif lebih sulit diperoleh dan sampai saat ini belum diperoleh metode yang sesuai. Sebagian besar kultur tunggal dari Kawah Hujan A termasuk dalam genus Geobacillus. Hal ini sesuai dengan hasil analisis biodiversitas kultur Kawah Hujan A yang didominasi oleh kelompok Firmicutes yang salah satu diantaranya adalah Geobacillus. Selain Geobacillus, beberapa isolat termasuk dalam genus Enterobacter atau Pantoea yang belum terdeteksi dalam kultur campurannya. Seperti yang sudah diungkapkan pada sub bab IV.4.3 bahwa tidak semua pita DGGE pada sampel hasil kultivasi dari Kawah Hujan A berhasil direamplifikasi. Beberapa pita tipis tidak dapat direamplifikasi dan kemungkinan salah satunya adalah yang mewakili genus Enterobacter tersebut. Genus Enterobacter atau Pantoea yang terdeteksi pada sampel hasil filtrasi maupun kultivasi dari Kawah Hujan B, di dalam gel DGGE-nya semuanya merupakan pita-pita yang tipis (Gambar IV.15, lajur FZ pita no 8-9, lajur PB pita no 6-7, dan lajur P pita no 8-11). Genus lain yang terdeteksi pada kultur campuran belum diperoleh kultur tunggalnya.

Dalam dokumen BAB IV Hasil dan Pembahasan (Halaman 55-61)

Dokumen terkait