• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.10 Disparitas Pembangunan antar wilayah

Disparitas antar wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Disparitas antar wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan dan sebagainya (Rustiadi, 2007).

Isu utama masalah pembangunan wilayah dewasa ini adalah disparitas yang meliputi (1) disparitas antar wilayah, (2) disparitas antar sektor ekonomi dan (3) disparitas antar golongan masyarakat/individu. Permasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, top down, dan seragam. Konsep pembangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selama ini ternyata menyisakan ketimpangan.

Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi mikro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesanjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timut dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya.

Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.

Wilayah/kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang

berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara massif dan berlebihan. Sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan.

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotes ini kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik.

Pada permulaan proses pembangunan menurut Hipotesa Neo-Klasik, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat sampai

ketimpangan tersebut mencapai titik puncak (Divergence). Bila pembangunan

terus berlanjut, maka setelah itu secara berangsur-angsur ketimpangan

pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun (Covergence). Dengan kata

lain, berdasarkan hipotesa ini kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah atau ketimpangan regional adalah berbentuk huruf U terbalik (Reserve U-shape

Curve).

Sumber : Syafrizal , Tahun 2008

Gambar 5 Kurva Hipotesa Neo-Klasik

Beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan telah membuktikan bahwa ketimpangan pembangunan dan ketidakseimbangan melekat dalam setiap tahap pembangunan. Gunnar Myrdal (dalam Jhingan, 2003) mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses akibat sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan lebih banyak dan mereka yang tertinggal di belakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash effect) cenderung

membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil yang semakin

Ketimpangan Regional

Tingkat Pertumbuhan Nasional Kurva Ketimpangan

memperburuk ketimpangan internasional dan regional di negara-negara yang sedang berkembang.

Hal tersebut sejalan dengan Hipotesis Kuznets mengenai relasi antara ketimpangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang dikenal dengan kurva U terbalik (inverted U). Simon Kuznets menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang berbentuk U terbalik (Kuncoro, 2004). Hasil ini diinterpretasikan sebagai suatu evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan menuju ekonomi perkotaan atau dari ekonomi pertanian (tradisional) ke ekonomi industri (modern). Pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi ke industrialisasi. Namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan, ketimpangan menurun yakni pada saat sektor industri sudah dapat menyerap sebagian tenaga kerja yang datang dari perdesaaan (sektor pertanian) atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. Kurva “U Terbalik” dari Kuznets ini adalah penjabaran dari kurva hipotesa Neo- Klasik. Sumbu horizontal berupa “tingkat pembangunan nasional” diproksi dengan besarnya pendapatan perkapita dan sumbu vertikal berupa variabel “ketimpangan regional” diproksi dengan kesenjangan pendapatan melalui Indeks Williamson.

Sumber : Van den Berg, Tahun 2001

Gambar 6 Kurva Hipotesis Kuznets

Ketimpangan Regional

Ketimpangan pembangunan memiliki perbedaan dengan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pendapatan digunakan untuk melihat ketimpangan kelompok masyarakat, sementara ketimpangan pembangunan bukan hanya melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat tetapi juga berorientasi untuk melihat perbedaan antar wilayah. Jadi yang dipersoalkan bukan hanya antar kelompok kaya dan miskin, melainkan perbedaan antara daerah maju dengan terbelakang.

Menurut sebagian ekonom, antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan memiliki hubungan kausal. Dimana ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan dan sebaliknya pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan. Pandangan dan debat mengenai hubungan antara ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ini

sangat dipengaruhi oleh Hipotesa Kuznets (1955) – dikenal dengan Kuznets

Hypothesis, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan

ketimpangan seperti U-shaped terbalik. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negera

tersebut mencapai status berpendapatan menengah (middle-income). Implikasi

lebih lanjut ini sangat jelas, jika pada tahap awal pertumbuhan akan menciptakan ketimpangan, maka kemiskinan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk berkurang di negara-negara berkembang (Adams, 2003).

Pandangan ketimpangan pembangunan di atas tersebut didukung oleh penelitian Dollar dan Kray (2001) dan Adams (2003) yang lebih percaya bahwa pertumbuhanlah yang menciptakan ketimpangan dengan argumentasi bahwa pertumbuhan akan menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan. Namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan kelompok lainnya dalam hal ini para buruh.

Perotti (1996) dan Forbes (2000) lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa ketimpangan yang diproksi oleh distribusi pendapatanlah yang mempengaruhi pertumbuhan. Hal ini didasarkan bahwa distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan.