• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Kebijakan Umum Pembangunan Modal Manusia

Kebijakan umum pembangunan manusia adalah kebijakan umum pemerintah khususnya pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota dalam merumuskan strategi dan menjalankan arah kebijakan membangun dua sektor utama pembangunan manusia, yakni pendidikan dan kesehatan.

Pada penelitian ini, kebijakan pembangunan manusia Kabupaten Lebak memiliki dua indikator, yakni, pertama, pendidikan, berupa meningkatnya akses, mutu dan citra pendidikan terutama untuk penuntasan wajib belajar 9 (sembilan) tahun dan pencanangan wajib belajar 12 (dua belas) tahun bagi anak usia sekolah. Arah kebijakannya adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat pada jenjang Wajar Dikdas 9 (sembilan) tahun melalui jalur formal atau non-formal termasuk melalui upaya penarikan kembali siswa putus sekolah semua jenjang

2. Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk yang buta aksara melalui

peningkatan intensifikasi perluasan akses dan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional yang didukung dengan upaya penurunan angka putus sekolah.

3. Menyelenggarakan pendidikan non-formal yang bermutu untuk memberikan

pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang tidak mungkin terpenuhi kebutuhan pendidikannya melalui jalur formal.

4. Mengembangkan kurikulum, bahan ajar dan model-model pembelajaran dan

keterampilan bermata pencaharian yang diperlukan oleh masyarakat.

5. Meningkatkan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah

dan kualitas yang memadai untuk dapat melayani kebutuhan pendidikan.

6. Memberikan kesempatan kepada anak-anak dari keluarga yang berprestasi

untuk melanjutkan pendidikan

7. Mengembangkan pelayanan pendidikan melalui penerapan SSN dan RSBI di

8. Menetapkan kebijakan pendidikan menengah gratis bagi masyarakat kurang mampu.

9. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan. 10.Meningkatkan kompetensi tenaga pendidik.

11.Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta tenaga Pendidikan Anak

Usia Dini (PAUD).

12.Mengembangkan sekolah kejuruan berbasis kompetensi daerah.

Indikator kedua adalah kesehatan, yakni meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terutama untuk kesehatan ibu dan anak. Arah kebijakannya adalah:

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan

kesehatan masyarakat.

2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit menular,

lingkungan sehat, kelangsungan dan tumbuh kembang anak, gizi keluarga dan perilaku sehat.

3. Meningkatkan kemampuan identifikasi masalah kesehatan masyarakat .

4. Meningkatkan investasi kesehatan guna menjamin terselenggaranya pelayanan

kesehatan bagi masyarakat .

5. Meningkatkan alokasi anggaran untuk membiayai pelayanan kesehatan

masyarakat.

6. Meningkatkan ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau

bagi masyarakat , baik perempuan maupun laki-laki.

7. Mengutamakan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat seperti TBC,

malaria, rendahnya status gizi, dan akses kesehatan reproduksi.

8. Membina dan mendorong keikutsertaan pelayanan kesehatan non-pemerintah /

swasta dalam pelayanan.

3.1.2 Faktor Penyebab Disparitas

Mengembangkan potensi sumberdaya daerah untuk mengurangi disparitas adalah upaya mengembangkan daerah sesuai dinamika ekonomi, sosial, politik dan orbitasi dengan memperhatikan potensi sumberdaya yang ada dalam rangka memperpendek rentang kendali dan mendekatkan pelayanan guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, dengan titik berat pelaksanaan pembangunan terkonsentrasi dan bermula dari wilayah pedesaan.

Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama (Murty, 2000) yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah ini, antara lain adalah :

1. Faktor Geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya.

2. Faktor Historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. 3. Faktor politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang.

4. Faktor Kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pertumbuhan dan pembangunan pusat-pusat pembangunan di wilayah-wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. 5. Faktor Administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dan dengan sistem administrasi yang efisien.

6. Faktor Sosial

Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang kaku dan kurang kondusif cenderung

menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju pada umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang.

7. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah adalah sebagai berikut :

a. Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan.

b. Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, di wilayah maju, masyarakat maju, standah hidup tinggi, pendapatan semakin meningkat, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju.

c. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti

tenaga kerja modal, perbankan dan asuransi yang dalam ekonomi makin memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju. Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya.

3.1.3 Perilaku Masyarakat Sebagai Konsumen Kebijakan Pembangunan Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (KBBI 1995). Sedangkan perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi atau menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan

mengikuti tindakan-tindakan tersebut (Engel et al. 1994). Namun, apabila

dihubungkan antara perilaku konsumen dengan perilaku masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, maka dapat diambil makna bahwa perilaku masyarakat dapat disebut sebagai suatu tanggapan atau reaksi masyarakat berupa tindakan langsung atau tidak langsung dalam mendapatkan, menikmati tiap produk serta sikap kritis masyarakat dalam menanggapi kebijakan pemerintah.

Dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, masyarakat atau konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor (Putri et al. 2007), yakni :

a. Pengaruh lingkungan, yang meliputi lingkungan budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi

b. Perbedaan individu, yang meliputi sumberdaya konsumsi, motivasi,

keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup dan demografi c. Proses psikologis, yang meliputi pembelajaran, perubahan sikap dan perilaku

3.1.4 Persepsi

Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasikan stimulus atau perangsang menjadi sebuah gambaran yang utuh dan menyeluruh (Schiffman dan Kanuk 2004, diacu

dalam Putri 2007). Hal tersebut dapat tergambarkan sebagai cara pandang

masyarakat umum terhadap realitas di luar dirinya atau dunia sekelilingnya.

Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana seorang memilih, mengorganisasikan informasi menjadi suatu gambaran yang berarti mengenai suatu objek (Putri, 2007). Sumarwan (2003) mendefinisikan persepsi sebagi sebuah proses dimana individu memperoleh informasi, memberi perhatian atas informasi tersebut dan pada akhirnya akan memahami informasi tersebut. Persepsi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah merupakan tanggapan langsung masyarakat terhadap informasi kebijakan pemerintah dan menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam memformulasikan suatu kebijakan.

3.1.5 Sikap Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah

Secara konseptual, pembangunan wilayah ditujukan pada usaha percepatan pembangunan di segala bidang dalam rangkaian meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan hasrat untuk menciptakan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera (Ambardi 2004). Namun beberapa pengalaman menunjukan bahwa penggunaan pendekatan ekonomi saja sebagai kunci daripada permasalahan pembangunan ternyata masih belum mencukupi.

Secara jangka panjang selain diperlukan pendekatan ekonomi, pendekatan politik dan pendidikan serta lainnya juga diperlukan. Selain itu, agar pembahasan menjadi lebih holistik maka diperlukan juga pendekatan di bidang sosial budaya

dan kemasyarakatan sebagai suatu konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan wilayah.

Dalam setiap usaha pembangunan wilayah haruslah didukung sepenuhnya oleh masyarakat dan masyarakat mampu mengambil perannya, bukan hanya sebagai objek pembangunan saja, melainkan sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Syarat dari keikutsertaan seluruh anggota masyarakat, selain peluang dan akses yang sama, juga menyangkut sikap masyarakat itu sendiri untuk ikut berperan lebih aktif dalam proses pembangunan (Ambardi 2004). Namun demikian, ternyata masih terdapat adat istiadat atau nilai budaya yang secara tidak disadari mempengaruhi sikap dan perilaku kemudian seringkali menghambat proses pembangunan.

3.1.6 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel. Analisis ini berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan status objek penelitian ini. Hasil penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang menjadi tujuan penelitian. Akan tetapi, guna memperoleh manfaat yang lebih luas, disamping mengungkapkan fakta, diberikan interpretasi yang kuat (Wirartha, 2005).

3.1.7 Analisis Location Quotioent (LQ)

Metode analisis Location Quotient atau LQ adalah suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan (Miller & Wright, 1991). Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan kelebihan dan keterbatasannya. Teknik LQ merupakan suatu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemicu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, melainkan juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono, 2001).

Teori ekonomi basis mengklasifikasikan seluruh kegiatan ekonomi ke dalam dua sektor, yakni sektor basis dan sektor non basis. Deliniasi wilayah dilakukan berdasarkan konsep-konsep perwilayahan yaitu konsep homogenitas, nodalitas dan administrasi. Menurut Rusastra (2002), yang dimaksud kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun ekonomis sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah.

Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini. Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi.

3.1.8 Analisis Matriks Tipologi Daerah (Tipologi Klassen)

Struktur ekonomi suatu wilayah dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis tipologi daerah. Menurut Hill dalam Kuncoro (2004), analisis tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi dan masing-masing daerah. Tipologi daerah ada dasarnya membagi daerah menjadi dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita (PDRB per kapita). Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita (PDRB per kapita) sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu :

1) High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat tumbuh)

2) High growth but low income (daerah berkembang cepat)

3) Low growth and low income (daerah relatif tertinggal)

4) High income but low growth (daerah maju tapi tertekan)

3.1.9 Analisis Ketimpangan Pembangunan antar Wilayah 3.1.9.1 Indeks Kemiskinan Manusia

Berdasarkan cara pendekatannya, ukuran kemiskinan secara umum

dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di Indonesia dan

dinyatakan sebagai “inability of the individual to meet basic needs

(Tjondronegoro, Soejono dan Hardjono, 1993). Konsep tersebut sejalan dengan

Sen (Meier, 1989) yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah “the failure to

have certain minimum capabilities”. Definisi tersebut mengacu pada standar

kemampuan minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan minimum tersebut dapat dianggap sebagai miskin.

Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) merupakan kombinasi dari berbagai dimensi kemiskinan manusia yang dianggap sebagai indikator inti dari ukuran keterbelakangan (deprivasi) manusia. Indeks ini disusun dari tiga indikator, yaitu penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang yang dihitung dengan peluang suatu populasi tidak bertahan hidup sampai berumur 40 tahun (P1), ketertinggalan dalam pendidikan (P2) dan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar (P3).

3.1.9.2 Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang menunjukan variasi produksi ekonomi antar wilayah, maka semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-rata; sebaliknya, semakin kecil nilai ini, maka menunjukan kemerataan antar wilayah.

Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika Indeks Williamson sama dengan nol, berarti sama sekali tidak ada ketimpangan atau disparitas antar wilayah. Sedangkan jika indeks lebih besar daripada nol, maka hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan, semakin besar pula tingkat kesenjangan antar wilayah di suatu provinsi atau kabupaten (Rustiadi, 2007).

3.1.10 Regresi Linier Berganda

Model regresi adalah persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas (terikat). Model regresi linier berganda adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara beberapa peubah bebas (X1, X2, X3,… independent variable) dan satu peubah tak

bebas (Y, dependent variable), dimana dugaan hubungan keduanya dapat

digambarkan sebagai suatu garis lurus. Seringkali peubah bebas disebut sebagai peubah penjelas dan peubah tak bebas disebut juga sebagai peubah respon. Jika model regresi tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat

(causal relationship), maka peubah bebas disebut sebagai peubah penyebab dan

peubah tak bebas disebut sebagai peubah akibat (Juanda, 2009).

Adapun metode pendugaan yang digunakan dalam penelitian adalah

Metode OLS (Ordinary Least Square). Metode ini digunakan untuk mengetahui

faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pembangunan modal manusia wilayah khususnya di wilayah tertinggal Kabupaten Lebak.

Mode regresi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut : Yi = β0+β1X1+ β2X2+ … + βiXi+e i = 1,2, …., n Dimana :

Yi = Variabel tak bebas (dependent variabel) β0 = Intersep

βi = Koefisien kemiringan

Xi = Variabel bebas yang menjelaskan variabel tak bebas (independent variabel)

e = Unsur gangguan (galat)

Dalam penggunaan metode OLS, terdapat asumsi atau persyaratan yang melandasi estimasi regresi, yakni :

1. E(e) = 0 atau E(e| Xi) = 0 atau E(Y) = β0+ βiX

Artinya, e menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Y

i

i akan

tetapi tidak terwakili dalam model. Sehingga pada saat Xi

2. Tidak ada korelasi antara e

terobservasi, pengaruh e terhadap Y diabaikan atau e tidak mempengaruhi E(Yi) secara sistematis.

i dengan ej {cov(ei,ej

Artinya, deviasi Yi dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukan pola {E(e

) = 0}; i≠j, i,ej

3. Homoskedastisitas; yaitu besarnya varian e

) = 0}.

i sama, atau var (ei) = σ2

4. Kovarian antara e

untuk setiap i.

idan Xi nol {cov(ei,Xi

Artinya, tidak ada korelasi antara e

) = 0}

i dan Xi, sehingga jika ada hubungan dimana Xi meningkat dan mengakibatkan ei juga meningkat atau ketika Xi

menurun, maka ei juga mengalami penurunan. Sehingga dapat dikatakan

bahwa hal tersebut menunjukan adany korelasi antara ei dan Xi

5. Tidak ada multikolinieritas

.

Artinya, tidak ada hubungan yang nyata antar variabel independen X dalam model regresi

Jika asumsi di atas dapat dipenuhi, maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang bersifat BLUE (Best Liniar Unbiased Estimator). Deskripsi komponen error di sini, paling sedikit terdiri dari empat komponen ;

1. Kesalahan pengukuran dan proxy dari peubah respon Y maupun peubah

penjelas X1,X2,…, Xp

2. Asumsi bentuk fungsi f yang salah. Mungkin ada bentuk fungsi lainnya yang

lebih cocok, linier maupun non-linier. .

3. Omitted variables. Peubah (variabel) yang seharusnya dimasukkan ke dalam

model, dikeluarkan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya penyederhanaan atau data sulit diperoleh.

4. Pengaruh faktor lain yang belum terpikirkan atau tidak dapat diramalkan

3.1.11 Model Important Performance Analysis (IPA)

Menurut Simamora (2001) Important Performance Analysis (IPA) adalah

teknik yang digunakan untuk mengukur atribut-atribut atau dimensi-dimensi dari tingkat kepentingan dengan tingkat kinerja yang diharapkan konsumen dan sangat berguna bagi pengembangan program strategi pemasaran yang efektif. Namun, apabila dihubungkan dengan perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah,

Important Performance Analysis (IPA) ini dapat digunakan dalam

membandingkan tingkat kepentingan atau harapan masyarakat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik pemerintah.

Important Performance Analysis (IPA) ini merupakan salah satu dasar

bagi manajemen dalam pengambilan keputusan tentang tindakan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja demi meningkatkan kepuasan. Begitupun dengan kinerja pelayanan publik pemerintah terhadap masyarakat. Pemerintah akan menjadikan penilaian sikap mayarakat dalam menentukan kebijakan untuk memberikan pelayanan terbaik demi kepuasan masyarakat.

3.1.12 Analisis Strengths Weaknesses Opportunities and Threats (SWOT) Analisis SWOT adalah sebuah alat perencanaan strategis yang digunakan

untuk mengevaluasi Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan),

Opportunities (kesempatan) dan Threats (peluang) dalam sebuah proyek atau

kegiatan bisnis. Analisis ini memuat tujuan dari proyek atau kegiatan bisnis tersebut dan mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal (positif dan negatif) untuk mencapai tujuan. Metode SWOT diperkenalkan oleh Albert Humphey yang memimpin proyek di Standford University pada tahun 1960-an dan 1970-an (menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500).

Analisis SWOT memberikan kerangka pemikiran yang baik tentang peninjauan strategi, posisi dan arah perusahaan, produk, proyek maupun individu. Dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya analisis SWOT adalah untuk menyusun alternatif kebijakan pembangunan modal manusia wilayah tertinggal sesuai dengan preferensi dan penilaian sikap masyarakat yang disinergiskan dengan platform kebijakan pembangunan wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak.