• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Disparitas Regional

Banyak penelitian yang dilakukan oleh pakar tentang bagaimana ketimpangan terjadi dalam proses pembangunan. Kuznets (1955) membuat suatu hipotesis U terbalik (inverted U curve) yang menyatakan bahwa pada awal pembangunan ditandai oleh ketimpangan akan semakin meningkat, namun setelah mencapai pada suatu tingkat pembangunan tertentu, ketimpangan akan semakin menurun. Dengan kata lain, bahwa peningkatan pendapatan per kapita sebagai akibat pertumbuhan ekonomi pada awal pembangunan akan terjadi bersamaan dengan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat yang memburuk, sebelum kemudian pada titik tertentu peningkatan pertumbuhan akan disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan. Berdasarkan aliran strukturalis, bahwa untuk mengurangi ketimpangan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini, terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (grow first, then redistribute) dan aliran yang menganut faham sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan (redistribute first, then grow). Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growth),

yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Chenery et al.1987).

Ketimpangan atau disparitas antar wilayah masih terjadi di negara-negara berkembang. Tendensi konsentrasi perkampungan dan aktivitas di sekitar lokasi dan daerah tertentu, dapat diambil contoh dari negara seperti Korea, Taiwan, dan Brazil (Rustiadi et al. 2009). Hasil observasi di negara-negara tersebut terkait dengan (i) disparitas pendapatan dan infrastruktur wilayah, (ii) perbedaan standar hidup antara desa-kota, (iii) dominasi peranan kota, dan (iv) kecenderungan migrasi. Disparitas pendapatan dan infrastruktur menunjukkan bahwa secara umum disparitas wilayah di negara-negara kurang maju jauh lebih lebar dibandingkan yang terjadi di negara-negara maju (Williamson 1965; Gilbert dan Gooddman 1976). Di negara-negara berkembang, lokasi dan daerah tertentu yang diinginkan telah menarik investasi, angkatan kerja, dan para pengusaha secara terus-menerus. Polarisasi aktivitas dan perkampungan berkesinambungan ini dinyatakan pada dua fakta: (i) faktor distribusi infrastruktur sosial-ekonomi warisan lama dan (ii) kebijakan sektoral yang bersifat temporer. Demikian halnya, infrastruktur sosial ekonomi yang diwariskan sebagian besar negara-negara berkembang, secara spasial menceng dan dirancang untuk tunduk kepada kepentingan eko-politik kolonial. Akhirnya, selama awal periode pascaperang, hal yang sama mempunyai peran penting di dalam membentuk perkembangan aktivitas industri dan pola-pola perkampungan (Morse 1975; Cross 1979 dalam

Rustiadi et al. 2009).

Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya ketimpangan, maka secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakukan secara simultan, antara lain (Rustiadi et al. 2009):

(1) Mendorong pemerataan investasi pada semua sektor dan wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah dapat berkembang.

(2) Mendorong pemerataan permintaan (demand), bahwa setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga dapat menciptakan

demand untuk tiap-tiap produk.

(3) Mendorong pemerataan tabungan, dimana tabungan ini sangat diperlukan untuk dapat memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat.

Selanjutnya, menurut Anwar dan Rustiadi (1999), ketimpangan antar wilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi yang memperhatikan dimensi spasial. Secara berangsur hal ini akan mengurangi ketimpangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh. Tahap pertama: (i) redistribusi aset (tanah, kapital, finansial, dan lain-lain), (ii) pengembangan lembaga dan pasar finasial di wilayah perdesaan, (iii) kebijakan insentif lapangan pekerjaan yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota, (iv) kebijakan mempertahankan nilai tukar (exchange rate-policy) yang mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif, dan (v) pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijakan perpajakan dan monitoring pada lalu-lintas devisa dan modal. Tahap kedua: (i) pembangunan regional berbasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayah/kawasan berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing wilayah, (ii) kebijakan insentif fiskal mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah perdesaan, (iii) investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat dengan membangun trust funddi daerah-daerah untuk dapat membiayai dua kapital di atas, dan (iv) industralisasi berbasis pertanian dan perdesaan, melalui pembangunan sistem mikropolitan atau agropolitan, seperti industri pengolahan makanan, pakan, dan hasil pertanian lainnya serta industri peralatan dan input-input pertanian serta barang konsumsi lainnya.

Disparitas regional merupakan fenomena universal, terjadi di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat perkembangannya. Disparitas pembangunan merupakan masalah pembangunan antar wilayah yang tidak merata. Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah-masalah sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun sistem ekonomi terencana secara terpusat, kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparita antar wilayah. Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash effect), terjadinya kebocoran wilayah (regional leakages), dan degradasi sumberdaya alam akibat dari semakin menurunnya daya dukung lingkungan (carring capacity). Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya perkembangan sistem ekonomi (Rustiadi et al. 2009).

Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah

hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan

(backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tetuju

ke pusat-pusat pembangunan secara massif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Selanjutnya, kemiskinan di wilayah belakang/perdesaan akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya menjadi melemah dan inefisiensi karena timbulnya berbagai “penyakit urbanisasi” yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami “over urbanization” yang dicirikan dengan berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan seperti munculnya kawasan kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan, kriminalitas, dan permasalahan sosial lainnya. Perkembangan perkotaan menjadi syarat permasalahan yang semakin kompleks dan sulit untuk diatasi.

Ketidakseimbangan pembangunan inter regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter regional yang sinergis (saling memperkuat). Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan inter regional, pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah. Pada awalnya, strategi program-program pembangunan kawasan lebih didasarkan atas strategi dari sisi pasokan (supply-side strategy), yakni berupa program- program pengembangan kawasan yang didasarkan atas keunggulan-keunggulan komparatif (comparative advantages) berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas (capability), dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah.

Strategi pembangunan yang hanya dilakukan dari sisi pasokan (supply-side

strategy) pada akhirnya terhambat oleh adanya keterbatasan sisi permintaan

(demand trap) baik secara domestik maupun dari luar wilayah/kawasan. Untuk

itu, dalam perkembangan berikutnya strategi pembangunan kawasan juga harus dikembangkan atas dasar strategi pengembangan dari sisi permintaan (demand-

side strategy). Strategi ini dikembangkan melalui upaya-upaya mendorong

tumbuhnya permintaan akan barang dan jasa domestik melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat (seperti tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya lainnya). Walaupun demikian, kecenderungan program-program pengembangan kawasan yang dilakukan di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh strategi pengembangan dari sisi pasokan tanpa dilakukan strategi pengembangan dari sisi permintaan yang memadai (Rustiadi et al. 2009).

Selain dari sisi pasokan dan permintaan, strategi pengembangan kawasan harus didasarkan atas prinsip strategi sinergi keterkaitan antar kawasan (inter-

regional linkages). Strategi berbasis keterkaitan antar kawasan pada awalnya

dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar kawasan melalui pembangunan berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, jembatan, pelabuhan, perhubungan, komunikasi, dan lain-lain) yang dapat meningkatkan keterkaitan fisik antar kawasan. Keterkaitan fisik harus disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis (generative) antar kawasan. Pengembangan keterkaitan

yang salah (tidak tepat sasaran) dapat mendorong aliran backwash yang lebih

massif, yang pada akhirnya justru memperparah kesenjangan dan

ketidakseimbangan pembangunan inter-regional. Oleh karena itu, keterkaitan inter-regional yang diharapkan adalah bentuk-bentuk keterkaitan yang generatif (sinergis) atau saling memperkuat, bukan saling memperlemah atau eksploitatif. Teori growth pole sebenarnya kurang populer di kalangan ahli-ahli pengembangan wilayah karena kekurang efektifnya ketika diterapkan. Namun pada saat ini, teori inilah yang paling populer di kalangan birokrat dan sering dilaksanakan dalam proses pembangunan karena pelaksanaannya lebih mudah dan hasilnya lebih cepat terlihat. Wilayah-wilayah yang menjadi pusat akan berkembang dengan cepat dan signifikan. Namun, sebenarnya kondisi ini sering kali tidak menjamin keberlanjutan karena akan timbul disparitas baru dan interaksi yang terbentuk antara pusat dan hinterland-nya pada akhirnya akan kembali saling memperlemah (Rustiadi et al. 2009).

Menurut Murty (2000), pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata di wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapasitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan, tingkat industrialisasi, pola ekonomi, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan yang saling memperkuat di antara wilayah/kawasan yang terlibat.

Dokumen terkait