• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia, Periode 2000-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia, Periode 2000-2010"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PERIODE 2000-2010

JUMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia, Periode 2000-2010 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2015

Jumadi

(3)
(4)

Disparity in Indonesia, 2000-2010 Period. Under direction of ERNAN RUSTIADI and SETIA HADI.

This research is aimed to analyze the structural transformation of the national economy as well as regional economy; regional disparities and the effects of changes in the economic sector's contribution to the regional disparities; as well as the characteristics of the region typology based on the structure of the economic sector output and regional disparities in seven regions during 2000-2010. The research area covers seven regions, namely Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, and Papua. The analytical method used is descriptive method, Shift-Share Analysis, Williamson index, Theil entropy index, Panel Data Regression, and Cluster Analysis. During 2000-2010, there was a transformation of the structure of the national economy sector output, but not followed by transformation of sectoral labor. Most regions are experiencing “jumping” economic transformation, except Jawa-Bali region and nationally. There are indications of de-industrialization in the regional and national economy. During 2000-2010, the among-regions disparity was still low but showed a tendency to increase. Intra-regions disparity show a declining trend, except for the region Jawa-Bali and Nusa Tenggara. Within-regions disparity contributes most to the regional disparities than among-regions disparity. Changes in regional disparities are influenced by changes in the contribution of the agricultural sector; mining and quarrying sector; manufacturing industry sector; and trade and services sector negatively. A shift of manufacturing industry sector's contribution to the agricultural sector is not in accordance with stages of economic transformation theory. Economic transformation in Typology IV: Most-Developed Region (Jawa-Bali region) begins with the process of industrialization, while the other typology experienced jumping shift in the role (contribution) the agricultural sector directly replaced by trade and services sector. The process of industrialization can not support an increase in income per capita and poverty reduction, except in the region of Sumatera and Nusa Tenggara. The policy implications for this situation is the importance of encouraging the development of manufacturing industries in the rest of Indonesia, except Typology IV: Most-Developed Region (Jawa-Bali region) to strengthen the structure of the economy, prevent the symptoms of de-industrialization, increasing income per capita and reduce poverty, to achieve growth, as well as gradual and sustainable economic transformation.

(5)
(6)

JUMADI. Karakteristik Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia, Periode 2000-2010. Dibawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan SETIA HADI

Pembangunan (ekonomi) dalam jangka panjang akan membawa serangkaian perubahan mendasar (struktural) dalam perekonomian suatu negara. Perubahan struktural merupakan masa transisi mengandung ketidakseimbangan jangka panjang yang dapat mengakibatkan disparitas regional. Sebagai hasil dari proses pembangunan, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan cukup tinggi terutama pada periode 1970-1975 sebesar 6,95 persen, 1975-1980 sebesar 7,92 persen, dan 1990-1995 sebesar 7,13 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut telah mendorong perubahan struktur ekonomi, dimana pada tahun 1960 sektor pertanian masih mendominasi struktur perekonomian Indonesia (kontribusi 53,92 %), diikuti sektor jasa (31,73 %) dan sektor industri pengolahan (8,35 %). Pada 2010, sektor jasa telah mendominasi struktur perekonomian Indonesia (pangsa 46,78 %), diikuti sektor industri (23,88 %) dan sektor pertanian (14,60 %). Penelitian ini bertujuan menganalisis: (i) struktur ekonomi nasional dan struktur output sektor ekonomi regional; (ii) disparitas regional dan pengaruh perubahan kontribusi sektor ekonomi terhadap disparitas regional; dan (iii) karakteristik tipologi wilayah berdasarkan struktur output sektor ekonomi dan disparitas regional di tujuh region selama 2000-2010. Wilayah studi meliputi tujuh region, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif, Shift Share Analysis, Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Regresi Data Panel, dan Analisis Cluster.

Selama 2000-2010, kontribusi PDB pertanian yang semakin kecil, namun masih memiliki serapan/pangsa tenaga kerja yang besar, sebaliknya kontribusi PDB industri manufaktur yang cukup besar, namun memiliki serapan tenaga kerja yang kecil. Kondisi ini menunjukkan bahwa transformasi output sektor ekonomi tidak diikuti oleh transformasi tenaga kerja sektoral secara proporsional. Dilihat dari struktur output sektor ekonomi selama 2000-2010, terjadi loncatan (jumping) transformasi ekonomi, kecuali region Jawa-Bali dan nasional. Selanjutnya, dilihat dari perkembangan kontribusi dan indeks differential shift sektor industri manufaktur selama 2000-2010, terdapat indikasi terjadinya gejala de-industrialisasi dalam perekonomian regional dan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan penurunan kontribusi sektor industri manufaktur terhadap perekonomian, region Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan nasional berkisar -0,57 persen hingga -2,18 persen dan sektor tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan di region Jawa-Bali (indeks differential shift -0,007); Kalimantan 0,381); Maluku (-0,272), dan nasional (-0,057) selama 2000-2010.

(7)

wilayah sebesar 85,81 persen hingga 89,14 persen disebabkan oleh disparitas intra region (proporsinya meningkat) dan hanya 10,86 persen hingga 14,19 persen disebabkan oleh disparitas antar region (proporsinya menurun). Berdasarkan hasil analisis Regresi Data Panel dengan model Fixed Effect Model (FEM), perubahan disparitas regional (DR) di tujuh region dan tanpa region Jawa-Bali selama 2000-2010 dipengaruhi oleh perubahan kontribusi/pangsa (share) sektor pertanian (SP); pertambangan dan penggalian (STG); industri manufaktur (SIM); dan perdagangan dan jasa (SPJ) secara negatif (berbanding terbalik), dimana perubahan kontribusi sektor pertanian memberikan pengaruh paling besar, sebaliknya sektor pertambangan dan penggalian paling kecil terhadap disparitas regional.

Berdasarkan hasil Analisis Cluster (K-Means Cluster), terdapat empat cluster atau tipologi wilayah didasarkan karakteristik perkembangan struktur output sektor ekonomi dan disparitas regional di tujuh region selama 2000-2010. Keempat tipologi wilayah tersebut selanjutnya diberi nama: Tipologi I: Wilayah Tertinggal (region Papua); Tipologi II: Wilayah Sedang Berkembang (region Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku); Tipologi III: Wilayah Transisi (region Sumatera, Kalimantan), dan Tipologi IV: Wilayah Maju (region Jawa-Bali). Berdasarkan analisis korelasi sederhana pergeseran kontribusi antara sektor pertanian dengan sektor industri manufaktur dan sektor perdagangan dan jasa selama kurun waktu 2000-2010 memiliki pola yang berbeda-beda, yang menunjukkan bahwa transformasi ekonomi antar tipologi wilayah maupun antar region memiliki tahapan, proses, dan kecepatan yang berbeda-beda. Secara umum, arah pergeseran kontribusi sektor industri manufaktur terhadap sektor pertanian tidak sesuai teori tahapan transformasi ekonomi (penurunan kontribusi sektor pertanian tidak diikuti peningkatan kontribusi sektor industri manufaktur), kecuali region Sumatera, Nusa Tenggara, dan Papua, dimana region Sumatera berpotensi mengalami proses industrialisasi pada taraf yang lebih tinggi. Transformasi ekonomi pada Tipologi IV: Wilayah Maju (region Jawa-Bali) diawali dengan proses industrialisasi, sedangkan pada tipologi wilayah lainnya mengalami loncatan pergeseran peranan (kontribusi) sektor pertanian langsung digantikan oleh sektor perdagangan dan jasa. Proses industrialisasi selama 2000-2010 tidak dapat mendukung upaya peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan, kecuali di region Sumatera dan Nusa Tenggara. Kondisi ini memperkuat indikasi gejala de-industrialisasi di Indonesia. De-industrialisasi dapat mengarahkan perekonomian regional dan nasional terjebak pendapatan menengah (middle income trap). Pengembangan sektor perdagangan dan jasa dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan menurunkan kemiskinan. Implikasi kebijakan: pengembangan sektor industri manufaktur di seluruh tipologi wilayah dan region, kecuali region Jawa-Bali untuk memperkokoh struktur perekonomian, mencegah terjadinya gejala de-industrialisasi, meningkatkan pendapatan per kapita dan menurunkan kemiskinan, serta mewujudkan pertumbuhan dan transformasi ekonomi secara bertahap dan berkelanjutan.

(8)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)
(10)

PERIODE 2000-2010

JUMADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

Nama : Jumadi

NIM : H152100061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(13)
(14)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT berkat limpahan rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul “Karakteristik Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia, Periode 2000-2010”. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2013. Melalui tesis ini penulis berupaya memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan sumbangan pemikiran bagi pembangunan perekonomian regional di Indonesia.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas curahan waktu dan pikiran, perhatian, dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penelitian.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. selaku dosen Penguji Luar Komisi dan Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PS PWD) dan Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumalaputri, M.S. selaku Sekretaris PS PWD, atas kebijakan serta ilmu pengetahuan dan wawasan yang telah diberikan.

3. Seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan atas ilmu pengetahuan dan wawasan, dukungan dan bantuan secara tulus yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi.

4. Bapak Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, M.Sc. selaku Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal dan Bapak Ir. Rohmad Supriyadi, M.Si. selaku Kasubdit Kawasan Khusus, Kedeputian Pengembangan Regional dan Otda, Bappenas, atas perhatian dan dukungannya kepada penulis selama penelitian. 5. Bapak Ir. Binar Ginting, M.M. selaku Direktur Pengembangan Wilayah dan

Bapak Ir. Muhammad Hudori, M.Si. selaku Kasubdit Kawasan Strategis dan Andalan, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, atas perhatian dan dukungannya kepada penulis selama menempuh studi.

6. Seluruh rekan mahasiswa PS PWD atas bantuan, dukungan, kerjasama, dan kebersamaannya selama menempuh studi.

7. Ibunda dan Ayahanda serta keluarga besar tercinta atas ketulusan dalam mendidik, kasih sayang, dan doa yang diberikan kepada penulis. Secara khusus, kepada istri penulis Siti Mariam dan anak penulis Muhammad Raihan Mahasin atas doa, kesabaran, ketulusan, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

Semoga Allah SWT selalu melindungi dan meridhoi serta memberikan balasan pahala yang berlipat ganda kepada mereka semua atas amal kebaikan yang telah diberikan, amiin.

Bogor, April 2015

(15)
(16)

Penulis dilahirkan di Tempur, Blitar pada tanggal 22 Oktober 1974 dari ayah Sukarmin dan ibu Muntiyah, merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Pada tahun 2003, penulis menikah dengan Siti Mariam dan telah dikaruniai seorang anak, yaitu Muhammad Raihan Mahasin, lahir di Bogor pada tanggal 28 Juli 2006.

Pendidikan Sarjana Muda diperoleh pada Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus tahun 1996, kemudian pendidikan Sarjana diperoleh pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, lulus tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan ke Program Magister Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1996-2001 di Fakultas Pertanian IPB, kemudian pada tahun 2001-2003 di LPM-IPB sebagai asisten peneliti. Pada tahun 2004-2006 sebagai Asisten Tenaga Ahli di beberapa perusahaan konsultan. Selama masa-masa studi, studi penulis juga aktif bekerja. Pada tahun 2007-2011 sebagai Tenaga Ahli Pengembangan Wilayah di Direktorat Pengembangan Wilayah, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2012-2013 sebagai Tenaga Ahli Bidang Kawasan Strategis di Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kedeputian Pengembangan Regional dan Otda, Bappenas, kemudian pada tahun 2014 sebagai Tenaga Ahli Perencanaan Wilayah di Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B).

Beberapa artikel telah diterbitkan pada Jurnal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, dengan judul: (i) Pengembangan Wilayah dalam rangka Mengurangi Ketimpangan Antar Daerah di Indonesia (terbit tahun 2008) dan (ii) Urgensi Kerjasama Antar Daerah di Era Otonomi Daerah (terbit tahun 2011). Artikel lainnya dengan judul Karakteristik Perekonomian Regional di Indonesia, 2000-2010 akan diterbitkan pada Jurnal Magister Pembangunan Daerah-IPB pada bulan Juni 2015 (karya ilmiah ini merupakan bagian dari tesis).

(17)
(18)

xvii

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Wilayah Studi ... 4

1.5. Keterbatasan dalam Penelitian Ini ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Konsep Pembangunan ... 5

2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 6

2.3. Perubahan Struktural dalam Perekonomian ... 7

2.3.1. Teori Dasar Perubahan Struktur Ekonomi... 7

2.3.2. Perubahan Struktural dan Jebakan Pendapatan Menengah ... 9

2.3.3. Perubahan Struktural dan Pertumbuhan yang Berkualitas ... 10

2.3.4. Peran Sektor Pertanian dalam Perubahan Struktur Ekonomi ... 10

2.3.5. Proses Industrialisasi dan Perubahan Struktur Ekonomi... 12

2.4. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 13

2.5. Disparitas Regional ... 15

2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Regional... 18

2.7. Penelitian Terdahulu ... 21

2.7.1. Penelitian tentang Perubahan Struktur Ekonomi ... 21

2.7.2. Penelitian tentang Disparitas Regional... 22

2.7.3. Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian Terdahulu ... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 27

3.2. Hipotesis ... 28

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 28

3.4. Metode Analisis ... 30

3.4.1. Analisis Perkembangan Struktur Ekonomi... 30

3.4.1.1. Analisis Deskriptif ... 30

3.4.1.2.Shift Share Analysis... 30

3.4.2. Analisis Perkembangan Disparitas Regional ... 31

3.4.2.1. Indeks Williamson ... 31

3.4.2.2. Indeks Entropi Theil... 32

3.4.3. Analisis Pengaruh Perubahan Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap Disparitas Regional ... 33

3.4.3.1. Model Umum Regresi Data Panel ... 33

3.4.3.2. Prosedur Pemilihan Model Regresi Data Panel ... 34

(19)

xviii

3.4.4.2. Ward Method... 37

BAB IV. PERKEMBANGAN STRUKTUR EKONOMI... 39

4.1. Struktur Ekonomi Nasional ... 39

4.2. Struktur Output Sektor Ekonomi Regional ... 42

4.2.1. Perkembangan Sektor-sektor Ekonomi ... 42

4.2.2. Kontribusi dan Daya Saing Sektor-sektor Ekonomi ... 43

BAB V. PERKEMBANGAN DISPARITAS REGIONAL... 49

5.1. Perkembangan Wilayah... 49

5.2. Perkembangan Disparitas Regional ... 51

5.3. Pengaruh Perubahan Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap Disparitas Regional ... 54

BAB VI. TIPOLOGI PERKEMBANGAN WILAYAH... 57

6.1. Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Cluster... 57

6.2. Karakteristik Tipologi Perkembangan Wilayah ... 60

6.2.1. Berdasarkan Indikator/Penciri... 60

6.2.1.1. Tipologi I: Wilayah Tertinggal ... 60

6.2.1.2. Tipologi II: Wilayah Sedang Berkembang ... 61

6.2.1.3. Tipologi III: Wilayah Transisi ... 62

6.2.1.4. Tipologi IV: Wilayah Maju ... 62

6.2.2. Korelasi Kontribusi Output Sektor Ekonomi, Pendapatan Per Kapita, dan Kemiskinan... 63

6.2.2.1. Arah Pergerakan Kontribusi Output Sektor Pertanian, Industri Manufaktur, dan Perdagangan dan Jasa ... 63

6.2.2.2. Korelasi Kontribusi Output Sektor Pertanian dengan Pendapatan Per Kapita dan Kemiskinan ... 66

6.2.2.3. Korelasi Kontribusi Output Sektor Industri Manufaktur dengan Pendapatan Per Kapita dan Kemiskinan ... 68

6.2.2.4. Korelasi Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa dengan Pendapatan Per Kapita dan Kemiskinan ... 70

BAB VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 73

7.1. Simpulan... 73

7.2. Implikasi Kebijakan ... 74

DAFTAR PUSTAKA... 75

(20)

xix

Halaman

1.1. Perbandingan PDRB, Jumlah Penduduk, PDRB/Kapita,

dan Kemiskinan di Tujuh Wilayah, 2000-2010 ... 2 3.1. Keterkaitan Tujuan Penelitian, Metode Analisis, dan

Kebutuhan Data ... 30 4.1. Pangsa PDB Sektoral dan Pangsa Tenaga Kerja Sektoral,

2004-2010 ... 39 4.2. PDRB/PDB Sektoral di Tujuh Region ADHK 2000,

2000 dan 2010 ... 42 4.3. Indeks Differential Shift dan Proportional ShiftADHK 2000,

2000 dan 2010 ... 48 5.1. Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk, Penduduk Miskin, serta

PDRB dan PDRB/Kapita (ADHK 2000) di Tujuh Region,

2000 dan 2010 ... 49 5.2. Perkembangan Indeks Disparitas Entropi Theil, 2000-2010... 53 5.3. Hasil Analisis Regresi Data Panel dengan FEM di Tujuh Region,

2000-2010 ... 55 5.4. Hasil Analisis Regresi Data Panel dengan FEM Tanpa Region

Jawa-Bali, 2000-2010 ... 55 6.1. Indikator Perkembangan Wilayah dan Disparitas

Regional ... 58 6.2. Pengelompokan Tipologi Wilayah beserta Pencirinya

(21)
(22)

xxi

Halaman

1.1. (a) Rata-rata Pertumbuhan PDB Lima Tahunan, 1960-2010

dan (b) Struktur PDB, 1960-2010... 2 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 28 3.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor-sektor Ekonomi ... 29 4.1. (a) Grafik Pangsa PDB Sektoral, 2004-2010 dan

(b) Grafik Pangsa Tenaga Kerja Sektoral, 2004-2010... 39 4.2. Korelasi Kontribusi PDB Sektoral dengan Pangsa Tenaga Kerja

Sektoral, 2004-2010... 41 4.3. Rata-rata Pertumbuhan PDRB Sektoral di Tujuh Region

ADHK 2000, 2000-2010... 43 4.4. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi

Region Jawa-Bali, 2000-2010 ... 44 4.5. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi, 2000-2010

(a) Region Sumatera dan (b) Region Kalimantan ... 44 4.6. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi, 2000-2010

(a) Region Nusa Tenggara dan (b) Region Sulawesi ... 45 4.7. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi, 2000-2010

(a) Region Maluku dan (b) Region Papua ... 45 4.8. Perubahan Pangsa PDRB/PDB Sektoral di Tujuh Region dan

Nasional, 2000-2010... 47 5.1. Rata-rata Pertumbuhan Penduduk serta PDRB dan Pendapatan Per

Kapita (ADHK 2000) di Tujuh Region dan Nasional, 2000-2010... 50 5.2. Perkembangan Indeks Disparitas Williamson Antar Region,

2000-2010 ... 51 5.3. Perkembangan Indeks Disparitas Williamson Intra Region,

2000-2010 ... 51 5.4. Dekomposisi Indeks Disparitas Entropi Theil, 2000-2010 ... 53 6.1. Dendrogram Hasil Analisis Hierarchical Clustering Method

Menggunakan Metode Ward(Ward Linkage) ... 57 6.2. Dendrogram Hasil Analisis Hierarchical Clustering Method

Menggunakan Metode Furthest Neighbor(Complete Linkage) ... 58 6.3. Deskripsi Ringkas Karakteristik Tipologi Wilayah Berdasarkan

Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional... 60 6.4. Arah Pergeseran Kontribusi Sektor Ekonomi Regional dan Nasional,

2000-2010 (a) Sektor Industri terhadap Sektor Pertanian dan

(23)

xxii

6.6. Korelasi Kontribusi Sektor Pertanian dengan Persentase

Penduduk Miskin ... 67 6.7. Korelasi Kontribusi Sektor Industri Manufaktur dengan Pendapatan

Per Kapita, 2000-2010 (a) Tanpa Migas dan Tambang dan

(b) Dengan Migas dan Tambang ... 68 6.8. Korelasi Kontribusi Sektor Industri Manufaktur dengan Persentase

Penduduk Miskin ... 69 6.9. Korelasi Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa dengan

Pendapatan Per Kapita, 2000-2010 (a) Tanpa Migas dan Tambang

dan (b) Dengan Migas dan Tambang... 71 6.10. Korelasi Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa dengan Persentase

(24)

xxiii

1. Jumlah Tenaga Kerja Nasional Berdasarkan Sektor Ekonomi,

2004-2010 (jiwa) ... 81 2. Nilai PDRB Sektoral di Tujuh Region dan Nasional ADHK 2000,

2000-2010 (Rp juta) ... 81 3. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Tujuh Region dan Nasional

ADHK 2000, 2000-2010 (%)... 83 4. Pangsa PDRB Sektoral di Tujuh Region dan Nasional

ADHK 2000, 2000-2010 (%)... 85 5. Jumlah Penduduk di Tujuh Region dan Nasional, 2000-2010 (jiwa) ... 87 6. Luas Wilayah Daratan 2010 (km2) dan Kepadatan Penduduk

2000-2010 (jiwa/km2) di Tujuh Region dan Nasional... 87 7. Jumlah Penduduk Miskin di Tujuh Region dan Nasional, 2004-2010 ... 87 8. Persentase Penduduk Miskin di Tujuh Region dan Nasional,

2004-2010 ... 88 9. Nilai PDRB Tanpa Migas dan Tambang di Tujuh Region dan Nasional,

ADHK 2000, 2000-2010 ... 88 10. Nilai PDRB di Tujuh Region dan Nasional, ADHK 2000, 2000-2010 .... 88 11. Pendapatan Per Kapita Tanpa Migas dan Tambang di Tujuh Region

dan Nasional, ADHK 2000, 2000-2010 ... 88 12. Pendapatan Per Kapita di Tujuh Region dan Nasional,

ADHK 2000, 2000-2010 ... 89 13. Pertumbuhan Penduduk di Tujuh Region dan Nasional,

2000-2010 (%) ... 89 14. Pertumbuhan PDRB di Tujuh Region dan Nasional, ADHK 2000,

2000-2010 (%) ... 89 15. Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Tujuh Region dan Nasional,

ADHK 2000, 2000-2010 ... 89 16. Hasil Analisis Regresi Data Panel dengan FEM di Tujuh Region,

2000-2010 (Output Program Eviews 6.0) ... 90 17. Hasil Analisis Regresi Data Panel dengan FEM Tanpa Region

Jawa-Bali, 2000-2010 (Output Eviews 6.0) ... 91 18. Hasil Analisis Pemilihan antara FEM dan REM di Tujuh Region,

2000-2010 (Output Program Eviews 6.0) ... 92 19. Hasil Analisis Pemilihan antara FEM dan REM Tanpa Region

Jawa-Bali, 2000-2010 (Output Eviews 6.0) ... 93 20. Hasil Analisis Cluster (K-Means Cluster) dengan Empat Cluster

(Output Progam SPSS 20) ... 94 21. Hasil Analisis Cluster (Hierarchical Cluster) Metode Ward

(25)
(26)

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan (ekonomi) dalam jangka panjang akan membawa serangkaian perubahan mendasar dalam struktur ekonomi suatu negara atau disebut transformasi ekonomi, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor primer menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor sekunder dan tersier. Dalam teori modernisasi, pembangunan ekonomi diarahkan untuk mencapai kamatangan struktur perekonomian nasional, yang dicirikan oleh semakin menurunnya pangsa relatif sektor pertanian disertai semakin meningkatnya pangsa relatif sektor industri dan jasa dan terjadinya peningkatan produktivitas di semua sektor ekonomi (Lewis 1954; Chenery 1980; Todaro dan Smith 2006; Tambunan 2001). Menurut Winoto (1996) dan Hayami dan Ruttan (1971), sektor industri tidak akan mampu berkembang dengan baik dan perkembangannya akan disertai penurunan keuntungan apabila tidak didukung oleh perkembangan sektor pertanian yang kuat. Sektor pertanian memiliki peranan yang besar dalam perekonomian suatu negara, terutama pada tahap-tahap awal pembangunan (Lewis, 1954; Johnston dan Mellor, 1961; Kuznets, 1964). Menurut Rostow (1960) dalam Todaro dan Smith (2006), sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Pengamatan empiris menunjukkan bahwa sebagian besar negara hanya dapat mencapai tahapan tinggal landas menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor industri dan jasa setelah didahului oleh kemajuan di sektor pertanian.

Di sisi lain, menurut Djojohadikusumo (1994), bahwa pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh perubahan struktural, merupakan masa ketidakseimbangan yang dapat mengakibatkan kesenjangan penyesuaian jangka panjang. Hal ini selaras hipotesis U terbalik Kuznets (1963), pada tahap awal pertumbuhan ekonomi distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Menurut Fei dan Ranis (1964); Kuznets (1966); Adelman dan Moris (1973); Todaro dan Smith (2006); dan Sjafrizal (2008), terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan antar wilayah, antara lain yaitu: tingkat perkembangan aktivitas ekonomi wilayah, kondisi geografis dan demografi, ketersediaan sumberdaya alam sebagai endowment factor, konsentrasi aktivitas ekonomi wilayah, dan kebijakan alokasi dana pembangunan (investasi) antar wilayah. Sedangkan menurut Murty (2000), bahwa ketimpangan antar wilayah disebabkan antara lain oleh investasi, infrastruktur, serta aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di daerah yang maju.

(27)

46,78 persen, kemudian diikuti sektor industri 23,88 persen dan sektor pertanian 14,60 persen (Gambar 1.1). Perubahan dalam struktur ekonomi tersebut mengakibatkan perbedaan perkembangan antar sektor-sektor ekonomi dan selanjutnya berdampak terjadinya kesenjangan antar wilayah atau daerah di Indonesia.

(a) (b)

Sumber: BPS (1961-2011), diolah

Gambar 1.1. (a) Rata-rata Pertumbuhan PDB Lima Tahunan, 1960-2010 dan (b) Struktur PDB, 1960-2010

Terkait kesenjangan ekonomi antar wilayah/daerah menunjukkan bahwa selama 2000-2010 kontribusi wilayah Jawa-Bali terhadap perekonomian nasional mencapai 59,89 persen hingga 62,15 persen, sementara itu kontribusi wilayah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara hanya berkisar 0,33 persen hingga 1,64 persen. Dalam hal distribusi penduduk antar wilayah bahwa wilayah Jawa-Bali juga memiliki pangsa penduduk paling besar mencapai 59,54 persen hingga 60,66 persen, sedangkan wilayah Maluku dan Papua paling kecil hanya berkisar 0,96 persen hingga 1,27 persen.

Tabel 1.1. Perbandingan PDRB, Jumlah Penduduk, PDRB/Kapita, dan Kemiskinan di Tujuh Wilayah, 2000-2010

*) = Perbandingan Penduduk Miskin Tahun 2004 dan 2010

(28)

Dalam hal distribusi pendapatan per kapita antar wilayah tahun 2000-2010 memperlihatkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki pendapatan per kapita paling tinggi mencapai Rp 11,636 juta hingga Rp 13,688 juta, sedangkan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi paling rendah hanya berkisar Rp 2,346 juta hingga Rp 6,116 juta (Atas Dasar Harga Konstan 2000/ADHK 2000). Terkait dengan jumlah penduduk miskin selama 2004-2010, memperlihatkan bahwa wilayah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara masih memiliki persentase penduduk miskin tergolong tinggi mencapai 20,08 persen hingga 37,27 persen, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki persentase penduduk miskin paling rendah (7,32 % hingga 10,46 %) (Tabel 1.1).

Dalam upaya meningkatkan pendapatan per kapita suatu negara melalui percepatan transformasi struktur ekonomi, dikenal teori jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Middle-income trap merujuk pada situasi ekonomi suatu negara yang stagnan setelah berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada saat perekonomian mengalami stagnan, peningkatan standar hidup pun menjadi stagnan. Middle-income trap biasanya terjadi pada negara dengan pendapatan per kapita antara US$ 12.000 hingga US$ 15.000. (Eichengreen et al. 2013). Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita nasional melalui percepatan transformasi struktur ekonomi, sebagaimana dituangkan dalam Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Penghiliran industri yang memperhatikan seluruh mata rantai (value chain) adalah salah satu solusi bagi negara Indonesia untuk meningkatkan pendapatan per kapita dan menghindari risiko jebakan pendapatan menengah. Pembangunan memang tidak dapat pisahkan dari pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia dinilai kurang berkualitas. Menurut Thomas et al. (2000), pertumbuhan yang berkualitas (the quality of

growth) merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik dapat

menurunkan tingkat kemiskinan secara cepat, memperkecil ketimpangan struktural, pelestarian terhadap lingkungan hidup, dan terjadinya keberlanjutan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

1.2. Perumusan Masalah

(29)

Terjadinya kesenjangan pembangunan di Indonesia menjadi permasalahan tersendiri bagi proses transformasi struktural dalam perekonomian Indonesia. Upaya mempercepat transformasi ekonomi melalui penciptaan pertumbuhan yang tinggi, tentunya pada tahap awal akan diikuti dengan ketimpangan atau disparitas, baik dalam hal distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat maupun antar antar wilayah. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka secara sederhana rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perubahan struktur ekonomi nasional dan struktur output sektor ekonomi di tujuh region selama 2000-2010?

2. Bagaimanakah perkembangan disparitas regional dan pengaruh perubahan kontribusi output sektor ekonomi terhadap disparitas regional di tujuh region selama 2000-2010?

3. Bagaimanakah karakteristik tipologi perkembangan wilayah berdasarkan struktur output sektor ekonomi dan disparitas regional di tujuh region selama 2000-2010?

1.3. Tujuan

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perubahan struktur ekonomi nasional dan struktur output sektor ekonomi di tujuh region selama 2000-2010.

2. Menganalisis perkembangan disparitas regional dan pengaruh perubahan kontribusi output sektor ekonomi terhadap disparitas regional di tujuh region selama 2000-2010.

3. Menganalisis karakteristik tipologi perkembangan wilayah berdasarkan struktur output sektor ekonomi dan disparitas regional di tujuh region selama 2000-2010.

1.4. Wilayah Studi

Wilayah studi meliputi tujuh wilayah (region), yaitu: (1) Sumatera; (2) Jawa-Bali; (3) Kepulauan Nusa Tenggara; (4) Kalimantan; (5) Sulawesi; (6) Kepulauan Maluku; dan (7) Papua. Pembagian wilayah studi ini didasarkan atas kedekatan letak secara geografis (kesatuan dalam pulau dan/atau gugus kepulauan) dan perwilayahan (di Indonesia menurut Bappenas dan BPS.

1.5. Keterbatasan dalam Penelitian Ini

Di dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, antara lain:

1. Penelitian ini tidak menganalisis serapan (pangsa) tenaga kerja sektoral, sehingga tidak dapat menjelaskan dampak perubahan kontribusi output sektor-sektor ekonomi terhadap serapan tenaga kerja sektor-sektoral di tingkat regional. 2. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data panel dengan periode

waktu yang relatif pendek (2000-2010), sehingga tidak dapat menjelaskan perubahan struktur output sektor ekonomi dan disparitas regional di tujuh region dalam jangka panjang.

3. Penelitian ini menganalisis struktur output sektor ekonomi dan disparitas regional hanya pada tingkat regional (pulau), tidak sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

(30)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan

Pembangunan (development) dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik melalui proses yang dinamik dan berkesinambungan dalam melakukan

transformasi sosio-ekonomi-kultural yang secara sengaja dan terencana untuk

mengubah “status kemajuan” pada sebuah entitas sosial. Perubahan tersebut diperlukan bagi masyarakat agar dapat beranjak dari satu tatanan/status (ketertinggalan) ke status perkembangan berikutnya yang dinilai lebih “mapan dan modern” (Peet dan Hartwick 2009). Selaras dengan konsep pembangunan tersebut, Shaffer et al. (2004) dalam Fauzi (2007), mendefinikan bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan progresif yang berkelanjutan

(sustained progressive change) untuk mempertahankan kepentingan individu

maupun komunitas melalui pengembangan, intensifikasi, dan penyesuaian terhadap pemanfaatan sumberdaya, sehingga pembangunan merupakan proses yang kontinyu. Pembangunan juga harus dipisahkan dari konsep pertumbuhan

(growth), dimana pembangunan merupakan konsep yang lebih luas yang secara

simultan melibatkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Lebih jauh, Leichtenstein dan Lyons (2001), menyatakan bahwa pembangunan berarti peningkatan kapasitas untuk bertindak

(capacity to act), berinovasi, dan menghadapi keadaan yang berbeda. Jadi dalam

konteks ini, pembangunan melibatkan pula transformasi sosial (social

transformation), bukan hanya perubahan (change). Anwar (2001) mendefinisikan

pembangunan adalah proses menuju tercapainya pemerataan (equity) yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency) dan kebelanjutan (sustainability). Menurut Todaro (2006), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri/jatidiri (self esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih.

(31)

(iv) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Pembangunan wilayah di beberapa negara dunia ketiga (negara sedang berkembang), antara lain seperti Indonesia masih mengalami beberapa pemasalahan cukup mendasar sehingga membutuhkan solusi yang mendasar pula. Beberapa permasalahan tersebut adalah (i) dualisme ekonomi, (ii) lingkaran perangkap kemiskinan, (iii) pembangunan inter-regional eksploitatif-asimetrik, dan (iv) perkembangan inter-sektor yang tidak seimbang. Beberapa permasalahan di atas telah menyebabkan negara-negara ini sulit keluar dari statusnya sebagai negara-negara miskin.

2.2. Pertumbuhan Ekonomi

Definisi pertumbuhan perekonomian menurut Dornbusch et al. (2008) adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output. Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumberdaya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran (Tambunan 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat

(agregate supply), sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi

permintaan agregat (agregate demand) (Blanchard 2006).

Teori pertumbuhan ekonomi terus mengalami perkembangan. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang cukup berpengaruh sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Model pertumbuhan Harrod dan Harrod-Domar dalamJhingan (2008) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negara-negara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga mempengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan

(sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja

dan modal memakai asumsi skala yang terus menurun (diminishing returns to

scale) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis

(32)

Selanjutnya, model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neoklasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan (Capello 2007). Dengan demikian, model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan.

Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumberdaya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: (1) pemikiran yang percaya bahwa knowledge

stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi dan (2)

pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human

capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam

perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang menempatkan stok pengetahuan (knowledge stock) sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu, negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik.

2.3. Perubahan Struktural dalam Perekonomian 2.3.1. Teori Dasar Perubahan Struktur Ekonomi

Teori perubahan struktural (structural change theory) memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa yang tangguh (Todaro 2006). Aliran pendekatan perubahan struktural didukung oleh W. Arthur Lewis dengan teori surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor) dan Holis B. Chenery dengan teori pola-pola pembangunan (patterns of development).

(33)

Teori Lewis merupakan teori pembangunan yang memusatkan perhatian pada terjadinya transformasi struktural (structural transformation) pada perekonomian yang pada awalnya bersifat subsisten. Teori pembangunan Lewis dikenal dengan sebutan perekonomian model dua sektor (Lewis Two SectorModel’s). Teori Lewis ini menjelaskan bahwa proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama akhir dasawarsa 1960-an dan 1970-an.

Berdasarkan hasil studi Chenery dan Syrquin (1975) dalam Tambunan (2001), bahwa perubahan struktur ekonomi (transformasi struktural) diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi agregat demand, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor),

agregat supply (produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga

kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pada umumnya, transformasi yang terjadi di negara berkembang adalah transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri, atau terjadinya transformasi dari sektor primer ke sektor non primer (sekunder dan tersier). Kontribusi output sektor pertanian (primer) terhadap pembentukan PDB semakin mengecil, sedangkan pangsa sektor industri manufaktur (sekunder) dan jasa (tersier) mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDB atau pendapatan nasional per kapita. Dengan demikian, transformasi ekonomi menunjukkan terjadinya peralihan kegiatan ekonomi dari perekonomian tradisional ke perkonomian modern. Selanjutnya, Clark dalam

Nasoetion (1991) merumuskan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui proses transformasi dapat dicapai melalui (1) peningkatan produktivitas tenaga kerja di setiap sektor dan (2) transfer tenaga kerja dari sektor yang produktivitas tenaga kerjanya rendah ke sektor yang produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi.

Menurut Todaro dan Smith (2006), bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang membawa serangkaian perubahan mendasar pada struktur perekonomian suatu negara. Selanjutnya, menurut Chenery dan Syrquin (1975)

dalam Tambunan (2001), perubahan struktural atau transformasi struktural

terdapat empat proses yang terjadi secara simultan bersamaan dengan meningkatnya pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) proses akumulasi, (2) proses alokasi, (3) transisi kependudukan, dan (4) proses distribusi.

(34)

kependudukan bukan berarti hanya penurunan tingkat kematian yang lebih dulu dibanding dengan tingkat kelahiran, namun dalam pengertian yang luas juga menunjukkan peningkatan intensitas urbanisasi dalam perekonomian. Urbanisasi dapat dipicu oleh perpindahan fisik manusia dari desa ke kota dan akibat perubahan status suatu daerah dari perdesaan menjadi perkotaan. Selanjutnya, proses distribusi terjadi di antara kelompok masyarakat, di antara pemilik faktor produksi, dan juga antar daerah/wilayah atau antar provinsi.

Mahzab klasik (orthodox), yang berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas, menyatakan bahwa perbedaan kondisi antar sektor, di antaranya karena terjadinya pergeseran struktur aktivitas ekonomi akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah (konsep pasar bebas), hingga mencapai kondisi pareto optimal. Pertukaran tersebut pada hakekatnya merupakan proses pembangunan. Proses pembangunan berawal dari pengembangan kapasitas produksi melalui peningkatan stok modal dan adanya spesialisasi. Selanjutnya Mahzab Strukturalis, yang memandang pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung perubahan mendasar pada struktur ekonomi yang disebut sebagai perubahan struktural. Perubahan struktural tersebut merupakan masa ketidakseimbangan yang dapat menyebabkan kesenjangan penyesuaian yang panjang (Djojohadikusumo 1994).

2.3.2. Perubahan Struktural dan Jebakan Pendapatan Menengah

Berdasarkan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Syrquin (1975) dalam Tambunan (2001) tentang transformasi struktur ekonomi, menunjukkan bahwa sejalan pertumbuhan ekonomi kemudian secara simultan diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian (primer) menuju sektor non primer, yaitu sektor industri dan sektor jasa. Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan pendapatan per kapita suatu negara melalui percepatan transformasi struktur ekonomi suatu negara, dikenal teori jebakan pendapatan menengah

(middle income trap). Middle income trap merujuk pada situasi ekonomi suatu

negara yang stagnan setelah berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada saat perekonomian mengalami stagnan, peningkatan standar hidup pun menjadi stagnan. Dengan kata lain, middle income trap menggambarkan kondisi suatu negara yang pada tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu yang diukur berdasarkan tingkat pendapatan, terjebak pada tingkat pendapatan menengah, sehingga tidak dapat berkembang lagi.

(35)

Terdapat empat faktor yang menyebabkan negara masuk dalam jebakan pendapatan menengah, yaitu: (i) rasio investasi rendah; (ii) pertumbuhan sektor manufaktur lambat; (iii) diversifikasi industri terbatas; dan (iv) kondisi pasar kerja yang buruk. Selanjutnya, Chief Economist Asian Development Bank (ADB), Changyong Rhee dalam konferensi pers peluncuran buku Diagnosing the

Indonesian Economy: Toward Inclusive and Green Growth di Jakarta, Senin 26

Maret 2013, mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan transformasi struktural untuk mencapai sukses menjadi negara berpendapatan tinggi. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah mengurangi ketimpangan ekonomi antar pulau1.

2.3.3. Perubahan Struktural dan Pertumbuhan yang Berkualitas

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses terjadinya peningkatan pendapatan total dan pendapatan per kapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi (economic growth), pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia masih dihadapkan pada berbagai permasalahan, seperti masih tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan struktural, dan terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi di Indonesia dinilai kurang berkualitas. Pertumbuhan yang berkualitas (the quality of growth) merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara cepat, memperkecil ketimpangan struktural, pelestarian terhadap lingkungan hidup, dan terjadinya keberlanjutan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Untuk mengukur pertumbuhan yang berkualitas digunakan beberapa indikator, yaitu: (1) encompassing long-term

growth, (2) poverty and distribution, dan (3) six indicators of environmental

pollution(Thomas et al. 2000).

2.3.4. Peran Sektor Pertanian dalam Perubahan Struktur Ekonomi

Menurut Hayami dan Ruttan (1971), perubahan struktur sektor pertanian yaitu perubahan pola komposisi produksi, urutan produksi, dan perubahan sumberdaya yang digunakan. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, pangsa sektor pertanian baik dalam PDB maupun dalam kesempatan kerja menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Proses pertumbuhan PDB juga disertai pertumbuhan sektor pertanian yang meningkat dengan cepat bersamaan dan

bahkan mendahului pertumbuhan PDB. Sektor industri mempunyai

ketergantungan yang erat dengan sektor pertanian. Perkembangan sektor industri akan disertai dengan penurunan keuntungan jika tidak didukung oleh perkembangan sektor pertanian. Hal ini disebabkan sektor industri tidak menghasilkan bahan makanan. Sektor industri tidak dapat berkembang tanpa didukung perkembangan sektor pertanian. Menurut Rostow (1960)dalam Todaro dan Smith (2006), sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Pengamatan empiris menunjukkan bahwa

(36)

sebagian besar negara hanya dapat mencapai tahapan tinggal landas menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor industri dan jasa setelah didahului oleh kemajuan di sektor pertanian.

Pemikiran dari John Mellor (1966), dalam dua bukunya yang terkenal dapat dijadikan salah satu landasan pemikiran pembangunan nasional secara jangka panjang. Buku pertama yang berjudul The Economics of Agricultural

Development memuat pernyataan yang terkenal, yakni "The faster agriculture

grows, the faster its relative size declines". Ungkapan yang terasa paradoksal tersebut ditulis kembali pada awal buku kedua yang berjudul Agriculture on the

Road to Industrialization (Mellor 1995). Mellor berupaya menjelaskan makna

pertumbuhan sektor pertanian dan hubungan kausalitasnya dengan transformasi struktural dan pertumbuhan agregat suatu perekonomian. Hipotesisnya adalah semakin tinggi pertumbuhan sektor pertanian, semakin tinggi pula pertumbuhan sektor non-pertanian. Dengan demikian, untuk mencapai transformasi struktural terutama dalam perekonomian dengan komponen pertanian besar pada tahap awal pembangunan, diperlukan peningkatan pendapatan, pengeluaran pertanian, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja pertanian secara pesat sehingga dapat memacu lebih lanjut perubahan struktural dalam distribusi lapangan kerja pada waktunya.

Para pemikir ekonomi pembangunan telah lama menyadari bahwa sektor pertanian memiliki peranan yang besar dalam perekonomian suatu negara, terutama pada tahap-tahap awal pembangunan (Lewis 1954; Johnston dan Mellor 1961; Kuznets 1964). Sektor pertanian yang tumbuh dan menghasilkan surplus yang besar merupakan prasyarat untuk memulai proses transformasi ekonomi. Pada masa awal transformasi ekonomi, sektor pertanian berperan penting melalui beberapa cara. Sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk di perdesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor non pertanian. Permintaan yang tumbuh tidak saja terjadi bagi produk-produk untuk konsumsi akhir, tetapi juga produk-produk sektor non pertanian yang digunakan petani sebagai input usahatani ataupun untuk investasi (Tomich et al. 1995).

Lebih jauh lagi, pertumbuhan sektor pertanian akan mendorong pembangunan agroindustri. Agroindustri yang ikut berkembang adalah industri yang mengolah bahan baku primer yang dihasilkan sektor pertanian, seperti industri pangan, tekstil, minuman, obat-obatan, dan industri bahan bakar nabati. Di bagian hulu, agroindustri yang ikut tumbuh adalah industri yang menyediakan input penting bagi pertanian, seperti industri pupuk, obat dan pestisida, maupun industri mesin pertanian. Berkembangnya agroindustri juga mengakibatkan semakin tumbuhnya infrastruktur perdesaan dan perkotaan serta semakin meningkatnya kemampuan manajerial sumberdaya manusia. Pengalaman Korea dan Taiwan menunjukkan bahwa sektor pertanian dan agroindustri yang tumbuh kuat dapat menjadi sarana penting bagi berkembangnya aktivitas-aktivitas di sektor non pertanian, seperti industri kimia, mesin, ataupun logam (Otsuka dan Reardon 1998).

(37)

sarana produksi berupa pupuk, pestisida, benih, ataupun alat dan mesin pertanian yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan non pertanian. Sektor pertanian yang tumbuh mendorong semakin berkembangnya aktivitas-aktivitas di bagian hilirnya, yaitu dengan menyediakan bahan baku untuk diproses ataupun didistribusikan. Pada sisi konsumsi, meningkatnya pendapatan rumah tangga sektor pertanian akan meningkatkan konsumsi atau permintaan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan non pertanian. Dari sisi pasar tenaga kerja, bahwa upah di sektor pertanian menjadi patokan biaya oportunitas dari tenaga kerja yang disalurkan ke aktivitas-aktivitas non pertanian.

2.3.5. Proses Industrialisasi dan Perubahan Struktur Ekonomi

Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris. Revolusi industri di Inggris ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan dan penenunan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan penemuan baru dalam pengolahan besi baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Selanjutnya, menyusul revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dengan berbabagai pengembangan teknologi dan informasi (Pangestu dan Aswicahyono 1996 dalamTambunan 2001).

Sejarah ekonomi dunia menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antar negara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, yang awalnya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Kombinasi dari dua pendorong dari sisi penawaran agregat (sisi produksi), yakni progres teknologi dan inovasi produk serta proses produksi dan meningkatnya pendapatan, kemudian peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama di balik akumulasi proses industrialisasi di dunia (Tambunan 2001).

Pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan minyak atau SDA yang meilimpah, sepeti Kuwait, Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Libya, dan Brunai Darussalam dapat berharap mencapai tingkat pekndapatan per kapita yang tinggi tanpa proses industrialisasi atau pembangunan sektor industri yang kuat, tetapi hanya mengandalkan minyak. Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan), mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita di atas US$ 500 selama jangka panjang (Kahn 1979 dalam Tambunan 2001). Walaupun demikian, industrialisasi bukanlah tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan (Riedel 1992 dalamTambunan 2001).

(38)

(1) Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar (industri-industri primer atau hulu) seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (antara hulu dan hulir), seperti industri barang modal (mesin), dan alat-alat produksi yang relatif kuat akan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara yang hanya memiliki industri-industri hilir atau ringan , seperti tektil, pakaian jadi, alas kaki, serta makanan dan minuman.

(2) Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara populasi penduduk dan tingkat pendapatan per kapita (riil). Hal ini karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam proses produksi (cateris paribus faktor-faktor penentu lainnya mendukung).

(3) Ciri industrialisasi, antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, misalnya tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.

(4) Keberadaan SDA. Ada kecenderungan negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan relatif lebih lambat dibanding negara-negara miskin SDA. (5) Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk

instrumen-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku dan komponen-komponen tertentu, pinjaman dengan suku bunga rendah, dan export processing zone(kawasan bebas perdagangan) yang digunakan dan implementasinya. Pola industrialisasi di negara yang menerapkan kebijakan substitusi impor dan kebijakan perdagangan luar negeri yang protektif (seperti Indonesia pada masa Orde Baru hingga krisis terjadi) berbeda dengan di negara yang menerapkan kebijakan promosi ekspor dalam mendukung perkembangan industrinya (misalnya Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan).

2.4. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong utama (prime

mover) pertumbuhan ekonomi berbeda-beda. Sektor ekonomi dalam suatu

wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dan non basis. Sektor basis merupakan sektor dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya sektor/industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.

(39)

melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat jika pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis meningkat. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah/wilayah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Kedua adalah konsep yang beranggapan bahwa perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah lebih disebabkan oleh perbedaan dalam lingkungan prasarana daripada ketidakseimbangan modal-tenaga kerja. Dalam kerangka pemikiran ini, daerah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena terjadinya kegagalan pasar, tetapi karena memiliki produktivitas yang rendah. Namun demikian, tidak seperti pendekatan basis ekonomi, tidak banyak terdapat studi empirik dengan menggunakan konsep kedua ini, karena kelangkaan data, terutama mengenai stok barang modal (Rustiadi et al. 2009).

Metode yang sering dipergunakan untuk mengetahui indikasi sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Metode LQ mengukur perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Metode LQ juga dapat menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan suatu gambaran tentang industri atau sektor ekonomi mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla 2000 dalam Rustiadi et al. 2009). Sementara itu metode

Shift Share Analysis untuk melihat potensi produksi sektoral dari suatu

kawasan/wilayah dengan menggunakan tiga indikator, yaitu Total Shift

(pergeseran keseluruhan), Proportional Shift, dan Differential Shift.

Dalam teori basis dijelaskan bahwa kegiatan basis merupakan kegiatan yang bersifat exogenous, artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong pertumbuhan jenis pekerjaan lainnya (Tarigan 2005). Selanjutnya menurut Rahardjo (1984), teori basis ekspor merupakan teori yang paling sederhana dalam model perekonomian wilayah. Teori ini menganggap bahwa adanya dua bagian dalam sistem ekonomi regional, yaitu adanya daerah bersangkutan dan daerah lainnya. Dalam teori tersebut masyarakat diasumsikan sebagai suatu sistem sosial ekonomi yang melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas wilayahnya. Faktor penentu

(determinant) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada

permintaan barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan material untuk komoditas ekspor akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan masyarakat.

Kemampuan memasarkan barang di pasar global sangat terkait dengan tingkat harga yang berlaku, dimana harga tersebut selalu berfluktuasi. Sedangkan keunggulan komparatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar global tersebut. Walaupun demikian keunggulan komparatif dapat dijadikan sebagai pertanda awal bagi suatu komoditas dalam melihat prospek untuk memiliki keunggulan kompetitif (Tarigan 2005). Selain itu, Saragih (2001)dalam Rustiadi

et al. (2009) mengungkapkan bahwa keunggulan daya saing adalah kemampuan

(40)

memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang dipasarkan pesaing, dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas (opportunity cost) sumberdaya yang digunakan.

2.5. Disparitas Regional

Banyak penelitian yang dilakukan oleh pakar tentang bagaimana ketimpangan terjadi dalam proses pembangunan. Kuznets (1955) membuat suatu hipotesis U terbalik (inverted U curve) yang menyatakan bahwa pada awal pembangunan ditandai oleh ketimpangan akan semakin meningkat, namun setelah mencapai pada suatu tingkat pembangunan tertentu, ketimpangan akan semakin menurun. Dengan kata lain, bahwa peningkatan pendapatan per kapita sebagai akibat pertumbuhan ekonomi pada awal pembangunan akan terjadi bersamaan dengan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat yang memburuk, sebelum kemudian pada titik tertentu peningkatan pertumbuhan akan disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan. Berdasarkan aliran strukturalis, bahwa untuk mengurangi ketimpangan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini, terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (grow first, then redistribute) dan aliran yang menganut faham sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan (redistribute first, then grow). Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growth),

yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Chenery et al.1987).

Ketimpangan atau disparitas antar wilayah masih terjadi di negara-negara berkembang. Tendensi konsentrasi perkampungan dan aktivitas di sekitar lokasi dan daerah tertentu, dapat diambil contoh dari negara seperti Korea, Taiwan, dan Brazil (Rustiadi et al. 2009). Hasil observasi di negara-negara tersebut terkait dengan (i) disparitas pendapatan dan infrastruktur wilayah, (ii) perbedaan standar hidup antara desa-kota, (iii) dominasi peranan kota, dan (iv) kecenderungan migrasi. Disparitas pendapatan dan infrastruktur menunjukkan bahwa secara umum disparitas wilayah di negara-negara kurang maju jauh lebih lebar dibandingkan yang terjadi di negara-negara maju (Williamson 1965; Gilbert dan Gooddman 1976). Di negara-negara berkembang, lokasi dan daerah tertentu yang diinginkan telah menarik investasi, angkatan kerja, dan para pengusaha secara terus-menerus. Polarisasi aktivitas dan perkampungan berkesinambungan ini dinyatakan pada dua fakta: (i) faktor distribusi infrastruktur sosial-ekonomi warisan lama dan (ii) kebijakan sektoral yang bersifat temporer. Demikian halnya, infrastruktur sosial ekonomi yang diwariskan sebagian besar negara-negara berkembang, secara spasial menceng dan dirancang untuk tunduk kepada kepentingan eko-politik kolonial. Akhirnya, selama awal periode pascaperang, hal yang sama mempunyai peran penting di dalam membentuk perkembangan aktivitas industri dan pola-pola perkampungan (Morse 1975; Cross 1979 dalam

Rustiadi et al. 2009).

(41)

(1) Mendorong pemerataan investasi pada semua sektor dan wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah dapat berkembang.

(2) Mendorong pemerataan permintaan (demand), bahwa setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga dapat menciptakan

demand untuk tiap-tiap produk.

(3) Mendorong pemerataan tabungan, dimana tabungan ini sangat diperlukan untuk dapat memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat.

Selanjutnya, menurut Anwar dan Rustiadi (1999), ketimpangan antar wilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi yang memperhatikan dimensi spasial. Secara berangsur hal ini akan mengurangi ketimpangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh. Tahap pertama: (i) redistribusi aset (tanah, kapital, finansial, dan lain-lain), (ii) pengembangan lembaga dan pasar finasial di wilayah perdesaan, (iii) kebijakan insentif lapangan pekerjaan yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota, (iv) kebijakan mempertahankan nilai tukar (exchange rate-policy) yang mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif, dan (v) pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijakan perpajakan dan monitoring pada lalu-lintas devisa dan modal. Tahap kedua: (i) pembangunan regional berbasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayah/kawasan berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing wilayah, (ii) kebijakan insentif fiskal mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah perdesaan, (iii) investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat dengan membangun trust funddi daerah-daerah untuk dapat membiayai dua kapital di atas, dan (iv) industralisasi berbasis pertanian dan perdesaan, melalui pembangunan sistem mikropolitan atau agropolitan, seperti industri pengolahan makanan, pakan, dan hasil pertanian lainnya serta industri peralatan dan input-input pertanian serta barang konsumsi lainnya.

Gambar

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 3.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor-sektor Ekonomi
Tabel 3.1.  Keterkaitan Tujuan Penelitian, Metode Analisis, dan Kebutuhan Data
Tabel 4.1. Pangsa PDB Sektoral dan Pangsa Tenaga kerja Sektoral, 2004-2010 (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlihatkan bahwa frame tersebut tidak kredibel dengan menunjukkan inkonsistensinya, ketidaksambugannya dengan kenyataan dan ketidakkredibelan artikulatornya, khususnya

melakukan kehendak pimpinan meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenanginya, Siagian (Sutrisno, 2015, hal. Seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan yang

Boehlke yang menjelaskan bahwa inti dari PAK (Pendidikan Agama Kristen) ialah usaha gereja untuk “menolong”, setiap warga jemaat disetiap kategori usia.. Dengan

Penelitian atas tuturan anak usia dini dwibahasawan Jawa-Indonesia yang diujarkan dalam interaksi dengan mitra tutur, dan catatan lapangan tentang konteks komunikasi yang

headline atau topik terkini media lain, hal itu tidak menjadi masalah sepanjang topik yang diangkat memiliki news value yang tinggi.. Dalam hal ini, redaksi harus berani

Berdasarkan gambar 2.1 di atas pengukuran kinerja menggunakan Balance Scorecard memiliki cakupan yang cukup luas, karena tidak hanya mempertimbangkan aspek-aspek finansial

1) Hasil observasi siklus I pertemuan pertama adalah aktivitas guru dalam melaksanakan pembelajaran model Make A Match dengan media gambar menunjukkan bahwa: