• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PERKEMBANGAN STRUKTUR EKONOMI

4.2. Struktur Output Sektor Ekonomi Regional

4.2.2. Kontribusi dan Daya Saing Sektor-sektor Ekonomi

Jika dilihat dari kontribusi sektoral selama 2000-2010, peranan (kontribusi) sektor perdagangan dan jasa yang merupakan sektor tersier telah mendominasi struktur perekonomian region Jawa-Bali (Gambar 4.4), Sumatera (Gambar 4.5.a), Kalimantan (Gambar 4.5.b), dan Maluku (Gambar 4.7.a), dengan pangsa mencapai 18,85 persen hingga 49,07 persen. Sementara itu, sektor pertanian yang merupakan sektor primer masih memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian region Nusa Tenggara (Gambar 4.6.a), Sulawesi (Gambar 4.6.b), dan Papua (Gambar 4.6.b) dengan pangsa 16,42 persen hingga 35,38 persen. Sektor industri manufaktur memberikan kontribusi cukup besar bagi region Jawa- Bali (Gambar 4.4), dan Sumatera (Gambar 4.5.a) (pangsa 15,49 % hingga 29,19 %), namun kontribusinya masih paling kecil (2,97 % hingga 10,99 %) bagi perekonomian lima region lainnya dibandingkan sektor pertanian dan sektor perdagangan dan jasa.

Besarnya kontribusi sektor primer dan sektor tersier (termasuk sektor sekunder) dalam perekonomian suatu wilayah dapat dijadikan salah satu indikator tingkat perkembangan wilayah. Wilayah dengan struktur perekonomian masih didominasi oleh sektor primer (pertanian) mengindikasikan bahwa wilayah tersebut masih relatif tertinggal. Sebaliknya, wilayah dengan struktur perekonomian telah didominasi oleh sektor tersier, termasuk sektor sekunder (perdagangan dan jasa dan industri manufaktur) merupakan wilayah yang relatif lebih maju. Hal ini selaras menurut Murty (2000), bahwa aktivitas sektor sekunder dan sektor tersier seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan nilai tambah lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah yang relatif lebih maju, biasanya juga memiliki infrastruktur wilayah relatif lebih baik dan jumlah penduduk yang besar sebagai potensi demand (konsep ekonomi aglomerasi). Hal ini karena pengembangan aktivitas sektor ekonomi tersebut memerlukan dukungan ketersedian infrastruktur wilayah yang memadai dan

demand yang besar untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) yang

efisien dan menguntungkan, termasuk dukungan SDM yang berkualitas, teknologi, dan inovasi. Khususnya region Jawa-Bali dan Sumatera, selain

Sumatera Jawa-Bali Nusa

Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

Pertanian 4,38 2,83 2,74 3,57 4,38 3,54 4,65

Pertambangan & Penggalian -0,75 1,66 5,91 5,10 5,39 2,77 0,58

Industri Ekstraktif -6,11 4,28 -1,95 46,76

Industri Manufaktur 5,28 4,51 6,00 1,67 5,80 2,61 5,59

LGA dan Bangunan 7,17 5,91 5,03 7,39 8,27 6,38 11,55

Perdagangan & Jasa 7,16 6,64 6,51 6,60 8,64 6,03 10,59 Jasa Pemerintahan Umum 6,16 4,10 6,39 7,17 5,68 4,61 10,47

-10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 P e rt u m b u h a n ( % )

memiliki infrastruktur wilayah yang relatif lebih baik, juga memiliki potensi

demand lebih besar, dan kualitas SDM yang lebih baik dibandingkan region

lainnya. Kondisi demikian mengakibatkan perbedaan karakteristik dan tingkat perkembangan antar sektor ekonomi di suatu region, sehingga dalam jangka panjang berdampak terjadinya kesenjangan antar wilayah/daerah di Indonesia.

Sumber: BPS (2001-2011), diolah

Gambar 4.4. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi Region Jawa-Bali, 2000- 2010

(a) (b)

Sumber: BPS (2001-2011), diolah

Gambar 4.5. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi, 2000-2010 (a) Region Sumatera dan (b) Region Kalimantan

Besarnya peran atau kontribusi sektor industri manufaktur dalam suatu perekonomian dapat dijadikan salah satu indikasi kuat atau tidaknya struktur perekonomian suatu wilayah. Namun demikian, hal ini tergantung dari karakteristik dan jenis industri manufaktur yang dikembangkan serta tingkat keterkaitannya dengan sektor primer, terutama sektor pertanian. Jika dilihat dari struktur tiga sektor ekonomi utama (sektor pertanian; industri manufaktur; dan perdagangan dan jasa) di tujuh region selama 2000-2010, hanya region Jawa-Bali (dan nasional) yang memiliki struktur ekonomi yang relatif lebih kuat dan matang dibandingkan enam region lainnya. Dalam struktur ekonomi region Jawa-Bali (termasuk nasional), selama 2000-2010 kontribusi sektor perdagangan dan jasa telah mendominasi struktur perekonomiannya, kemudian diikuti oleh sektor

- 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 55,00 P a n g sa ( S e k to ra l % )

Jawa-Bali Perdagangan & Jasa

Industri Manufaktur Pertanian 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 P a n g sa ( % )

Sumatera Perdagangan & Jasa Pertanian Industri Manufaktur Tambang 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 P a n g sa ( % ) Kalimantan Pertanian Industri Manufaktur Perdagangan & Jasa

industri manufaktur dan sektor pertanian (struktur: perdagangan dan jasa-industri manufaktur-pertanian) (Gambar 4.4). Namun demikian, di enam region lainnya, sektor industri manufaktur memiliki kontribusi paling kecil, karena dalam skala besar aktivitas sektor industri manufaktur masih terkonsentrasi di region Jawa- Bali. Struktur ekonomi di enam region lainnya pada tahun 2010 adalah: perdagangan dan jasa-pertanian-industri manufaktur (Gambar 4.5 hingga Gambar 4.7). Struktur ekonomi yang demikian adalah rapuh dan belum matang, karena telah dominannya kontribusi sektor perdagangan dan jasa tidak diikuti terlebih dahulu oleh peningkatan kontribusi sektor industri manufaktur menggantikan kontribusi sektor pertanian.

(a) (b)

Sumber: BPS (2001-2011), diolah

Gambar 4.6. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi, 2000-2010 (a) Region Nusa Tenggara dan (b) Region Sulawesi

(a) (b)

Sumber: BPS (2001-2011), diolah

Gambar 4.7. Perkembangan Struktur Output Sektor Ekonomi, 2000-2010 (a) Region Maluku dan (b) Region Papua

Kondisi struktur output sektor ekonomi di enam region tersebut memperkuat indikasi terjadinya loncatan (jumping) transformasi ekonomi dari sektor primer (pertanian) langsung ke sektor tersier (perdagangan dan jasa) tanpa diikuti terlebih dahulu peningkatan kontribusi sektor industri manufaktur menggantikan sektor pertanian (karena gagal melewati tahapan atau proses industrialisasi pada tingkat yang lebih tinggi). Selanjutnya kondisi demikian akan mengarah pada gejala de-

- 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 P a n g sa ( % ) Nusa Tenggara

Perdagangan & Jasa Pertanian

Industri Manufaktur 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 P a n g sa ( % ) Sulawesi Pertanian Perdagangan & Jasa

Industri Manufaktur 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 P a n g sa ( % ) Maluku Pertanian Perdagangan & Jasa

Industri Manufaktur 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 P a n g sa ( % ) Papua

Perdagangan & Jasa Pertanian

industrialisasi di Indonesia. Terjadinya gejala de-industrialisasi memperkuat indikasi bahwa perekonomian regional dan nasional sedang mengarah atau masuk dalam perangkap atau jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Dimasa-masa yang akan datang, kondisi ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui percepatan proses transformasi ekonomi dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pendapatan per kapita regional dan nasional.

Transformasi ekonomi secara bertahap diawali pergeseran kontribusi sektor pertanian oleh sektor industri manufaktur yang selanjutya diikuti peningkatan kontribusi sektor perdagangan dan jasa, sehingga kontribusi sektor perdagangan dan jasa mendominasi struktur perekonomian. Tahapan transformasi ekonomi di enam region tersebut tidak sesuai dengan teori tahapan tranformasi ekonomi. Menurut Chenery (1980); Todaro dan Smith (2006); dan Tambunan (2001), bahwa tahapan atau proses transformasi ekonomi ditandai dengan semakin menurunnya kontribusi sektor primer (pertanian) terhadap pembentukan PDB, kemudian diikuti dengan peningkatan kontribusi sektor sekunder (industri manufaktur) dan tersier (perdagangan dan jasa), seiring dengan peningkatan PDB atau pendapatan nasional per kapita. Dengan demikian, transformasi ekonomi menunjukkan terjadinya peralihan kegiatan ekonomi dari perekonomian tradisional ke perkonomian modern.

Pengembangan aktivitas sektor industri manufaktur dapat menjadi jembatan penghubung dalam proses transformasi ekonomi suatu wilayah atau negara secara bertahap dan berkelanjutan menuju struktur perekonomian yang kuat dan lebih matang. Oleh karena itu, pengembangan sektor ini harus berbasis pada potensi, sumberdaya, dan kapasitas yang dimiliki wilayah atau negara tersebut. Berkembangnya aktivitas sektor industri manufaktur diharapkan dapat berfungsi sebagai frame mover pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya, baik sektor primer maupun sektor tersier serta dapat memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya bagi perekonomian suatu wilayah, sehingga kesenjangan antar wilayah/daerah dapat dikurangi. Pengembangan sektor industri manufaktur (termasuk sektor perdagangan dan jasa) harus memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku. Hal ini selaras menurut Winoto (1996) dan Hayami dan Rutan (1971), bahwa sektor industri tidak akan mampu berkembang dengan baik dan perkembangannya akan disertai dengan penurunan keuntungan jika tidak didukung oleh perkembangan sektor pertanian yang kuat. Sektor pertanian memiliki peranan yang besar dalam perekonomian suatu negara, terutama pada tahap-tahap awal pembangunan (Lewis, 1954; Johnston dan Mellor, 1961; Kuznets, 1964). Selaras dengan Rostow (1960) dalam Todaro dan Smith (2006), bahwa sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Berdasarkan pengamatan empiris, sebagian besar negara hanya dapat mencapai tahapan tinggal landas menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor industri dan jasa setelah didahului oleh kemajuan di sektor pertanian.

Dari segi peningkatan/penurunan kontribusi sektoral selama 2000-2010, bahwa sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan kontribusi terhadap perekonomian nasional dan perekonomian seluruh region, berkisar 4,19 persen hingga 9,34 persen. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan kontribusi paling besar di region Papua (-26,88 %) dan Sumatera (-9,96 %), namun mengalami peningkatan kontribusi di region Kalimantan (3,43 %); sektor

industri ekstraktif mengalami penurunan pangsa di region Kalimantan (-10,07 %) dan Sumatera (-2,63 %), mengalami peningkatan kontribusi di region Papua (5,46 %). Sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi di region Nusa Tenggara (- 6,80 %), Sulawesi (-6,02 %), Maluku (-3,52 %), Jawa-Bali (-2,83 %), dan nasional (12,07), namun mengalami peningkatan kontribusi di region Sumatera (0,47 %) dan Papua (2,03 %). Sementara itu, sektor industri manufaktur mengalami penurunan kontribusi terhadap perekonomian nasional (-0,79), Jawa- Bali (-2,18 %), Kalimantan (-1,87 %), Sulawesi (-0,57 %), dan Maluku (-1,71 %), namun mengalami peningkatan di region Sumatera (1,77 %), Nusa Tenggara (0,32 %), dan Papua (0,68 %). Sektor LGA dan bangunan dan sektor jasa pemerintahan umum mengalami peningkatan kontribusi paling besar di region Papua, masing-masing sebesar 4,72 persen dan 4,66 persen (Gambar 4.8).

Sumber: BPS (2001-2011), diolah

Gambar 4.8. Perubahan Pangsa PDRB/PDB Sektoral di Tujuh Region dan Nasional, 2000-2010

Berdasarkan hasil analisis Differential Shift, selama 2000-2010 sektor pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan (tidak memiliki keunggulan daya saing/kompetitif) di region Jawa-Bali (indeks differential shift -0,094), Nusa Tenggara (-0,106), dan Maluku (-0,001). Sedangkan di empat region lainnya sektor pertanian mengalami percepatan pertumbuhan (memiliki keunggulan kompetitif) dengan indeks differential shift 0,004 hingga 0,157. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami perlambatan pertumbuhan di region Sumatera (-0,213) dan Papua (-0,353), di lima region lainnya masih memiliki keunggulan kompetitif (0,041 hingga 0,560). Sektor industri manufaktur memiliki keunggulan kompetitif di region Sumatera (0,113), Nusa Tenggara (0,228), dan Sulawesi (0,194), namun mengalami perlambatan pertumbuhan di region Jawa- Bali (-0,007), Kalimantan (-0,381), dan Maluku (-0,272). Sedangkan sektor perdagangan dan jasa mengalami perlambatan pertumbuhan di region Jawa-Bali (- 0,030), Nusa Tenggara (-0,053), dan Kalimantan (-0,039), namun mengalami percepatan pertumbuhan di region Papua (0,782), Sulawesi (0,355), dan Sumatera (0,064). Di tingkat nasional, sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; industri ekstraktif; dan industri manufaktur mengalami perlambatan pertumbuhan dengan indeks differential shift berkisar -0,057 hingga -0,721. Sedangkan sektor

Sumatera Jawa-Bali Nusa

Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Indonesia

Pertanian 0,47 -2,83 -6,80 -0,28 -6,02 -3,52 2,03 -2,07

Pertambangan & Penggalian -9,96 -0,59 0,69 3,43 -0,68 -0,43 -26,88 -3,31

Industri Ekstraktif -2,63 -0,11 0,00 -10,07 0,00 0,00 5,46 -1,69

Industri Manufaktur 1,77 -2,18 0,32 -1,87 -0,57 -1,71 0,68 -0,79

LGA dan Bangunan 1,55 0,40 0,02 1,58 1,43 0,32 4,72 0,93

Perdagangan & Jasa 7,67 5,79 4,19 5,81 6,56 5,34 9,34 6,80

Jasa Pemerintahan Umum 1,13 -0,49 1,58 1,40 -0,71 0,00 4,66 0,14

-30,00 -25,00 -20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00 5,00 10,00 15,00 P e r u b a h a n P a n g sa ( % )

LGA dan bangunan; perdagangan dan jasa; dan jasa pemerintahan umum mengalami percepatan pertumbuhan, indeks differential shift 0,046 hingga 0,315. Selama 2000-2010, perekonomian nasional tumbuh sebesar 61,70 persen, ditunjukkan oleh nilai regional share0,617 (Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Indeks Differential Shift dan Proportional Shift ADHK 2000, 2000 dan 2010

Dilihat dari perkembangan kontribusi dan indeks differential shift sektor industri manufaktur selama 2000-2010, terdapat indikasi terjadinya gejala de- industrialisasi dalam perekonomian nasional dan regional. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan penurunan kontribusi sektor industri manufaktur terhadap perekonomian nasional, region Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku berkisar -0,57 persen hingga -2,18 persen dan sektor tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan di region Jawa-Bali (indeks differential shift -0,007); Kalimantan (-0,381); Maluku (-0,272), dan nasional (-0,057) dalam periode 2000- 2010. Hasil studi Priyarsono (2011), menunjukkan hal yang sama bahwa dalam periode 2003-2008 terdapat indikasi kuat terjadinya gejala de-industrialisasi di Indonesia, yang ditandai antara lain oleh penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian nasional (meskipun pertumbuhan outputnya positif); stagnasi kontribusi/penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur terhadap total tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia; dan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja sektor manufaktur negatif.

Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Ekstraktif Industri Manufaktur LGA dan Bangunan Perdagangan dan Jasa Jasa Pemerintahan Umum 1. Sumatera 0,119 (0,213) (0,367) 0,113 0,132 0,064 0,153 2. Jawa-Bali (0,094) 0,041 0,611 (0,007) (0,088) (0,030) (0,176) 3. Nusa Tenggara (0,106) 0,560 0,228 (0,234) (0,053) 0,193 4. Kalimantan 0,004 0,510 (0,078) (0,381) 0,175 (0,039) 0,336 5. Sulawesi 0,120 0,541 0,194 0,344 0,355 0,072 6. Maluku (0,001) 0,175 (0,272) (0,041) (0,139) (0,095) 7. Papua 0,157 (0,353) 11,541 0,161 1,102 0,782 1,012 (0,201) (0,485) (0,721) (0,057) 0,246 0,315 0,046 0,617 Region Differential Shift Proportional Shift Regional Share

BAB V. PERKEMBANGAN DISPARITAS REGIONAL

Dokumen terkait