• Tidak ada hasil yang ditemukan

TB paru ditemukan di semua negara di seluruh dunia. Dahulu sewaktu perhubungan antarnegara masih sulit, masih ada beberapa rumpun suku bangsa yang bebas TB (misalnya suku Eskimo sebelum kedatangan orang-orang Denmark dan beberapa suku penghuni pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik).

Namun, semakin mudahnya perhubungan antarnegara sejak abad XVI, sekarang TB paru sudah merupakan penyakit mancanegara (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).

Semakin maju kemakmuran suatu negara dan infeksi HIV/AIDS tidak merajalela maka semakin sedikit rakyat yang terkena TB. Hal ini merupakan hasil dari pola hidup yang memenuhi syarat kesehatan (gizi tinggi dan perumahan yang sehat) dan kemampuan ekonomis untuk mendapatkan pemeriksaan medis serta pengobatan hingga sembuh bila masih juga terserang TB paru. Sebaliknya bila AIDS telah mewabah, kemakmuran tidaklah relevan lagi sehingga menurunnya sistem imunitas penderita AIDS dan semua penyakit infeksi mudah sekali menyerang termasuk TB paru (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).

Antara tahun 2000 - 2016, pengobatan TB paru mencegah 44 juta kematian di antara HIV-negatif. Di antara orang HIV-positif, pengobatan TB paru didukung oleh ART mencegah tambahan 9 juta kematian. TB paru yang resistan terhadap obat adalah ancaman yang terus-menerus, dengan 490.000 juta kasus TB yang resistan terhadap berbagai obat (MDR-TB) muncul pada tahun 2016 dan tambahan 110.000 kasus yang rentan terhadap isoniazid tetapi resisten ke

rifampisin (RR-TB), garis pertama yang paling efektif obat anti-TB. Negara-negara dengan jumlah terbesar kasus MDR / RR-TB (47% dari total global) adalah Cina, India, dan Federasi Rusia (WHO,2016).

Penyakit TB paru di bagian penting yaitu beban TB paru yang tinggi di negara-negara. Antara 2007 hingga akhir 2016, total dari 25 survei yang menggunakan skrining dan diagnostik metode yang direkomendasikan oleh WHO. Berdasarkan laporan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit proporsi pasien TB Paru terkonfirmasi mengalami peningkatan signifikan dari tahun 1999-2003 dari 7% menjadi 13%. Indikator ini cenderung menurun dari tahun 2003-2014. Pada tahun 2015 indikator ini kembali meningkat menjadi 14 % (Kemenkes RI, 2016).

Gambaran upaya penemuan kasus dapat diukur dengan mengetahui banyaknya semua kasus TB paru yang ditemukan dan tercatat melalui indikator Case Notification Rate (CNR). CNR merupakan jumlah kasus TB paru baru yang ditemukan dan dicatat di antara 100.000 penduduk di wilayah dan periode waktu tertentu. Indikator ini dapat digunakan untuk menggambarkan penemuan semua kasus TB paru maupun BTA positif.

Angka Notifikasi kasus BTA positif maupun semua kasus menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Angka Notifikasi kasus TB paru untuk kedua tipe cenderung menurun dalam empat tahun terakhir. Penurunan yang signifikan terjadi pada Angka Notifikasi kasus TB paru semua kasus, dari 138 per 100 000 penduduk pada tahun 2012 menjadi 125 per 100 000 penduduk pada tahun 2015.

Berdasarkan laporan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dari sisi upaya penemuan kasus, provinsi dengan Angka Notifikasi kasus tinggi sebagian besar berada di wilayah Barat yaitu DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Provinsi dengan Angka Notifikasi kasus rendah di dominasi oleh provinsi di wilayah timur yaitu Papua Barat (Kemenkes, 2016).

2.2.2 Determinan A. Host

1. Umur

Penelitian Reviono dkk (2006) menunjukkan bahwa pada kelompok umur dewasa muda (25-44 tahun) dan kelompok umur (15-24 tahun) yang mayoritas penderita TB paru adalah pada kelompok umur produktif. Keadaan tersebut juga berbahaya karena penderita pada kelompok tersebut mempunyai tingkat mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi, sehingga memudahkan penularan ke lingkungan sekitar (Amril, 2003).

2. Jenis kelamin

Penelitian Reviono dkk (2006) menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih sering terinfeksi dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena jenis kelamin laki-laki memiliki morbiditas dibandingkan dengan perempuan sehingga kemungkinan terpapar dan kerentanan lebih besar dan kebiasaan laki-laki mengonsumsi rokok dan alkohol akan dapat menurunkan kekebalan tubuh yang memudahkan terinfeksi bakteri TB paru.

3. Gizi

Berdasarkan survei di Republik Demokratik Korea dalam Global

tertinggi Penyakit TB paru, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan epidemi TB paru adalah tinggi tingkat kekurangan gizi, yang meningkatkan risiko kerusakan pada penyakit TB paru di antara orang yang terinfeksi.

Berdasarkan penelitian M.Jamil (2005) kejadian TB paru banyak dialami oleh pasien dengan status gizi (IMT) kategori kurus (≤ 18,5). Pada penelitian M.Jamil (2005) yang mengutip pendapat Supriasa (2002) bahwa orang-orang yang berada di bawah IMT mempunyai resiko terhadap penyakit infeksi seperti TB paru dan pendapat Astuti (2003) bahwa penyakit TB paru umumnya menyerang orang-orang dengan status gizi buruk dan kurang serta kondisi fisik yang lemah. Malnutrisi (kekurangan kalori, protein, zat besi, dan lain-lain) akan menurunkan daya tahan tubuh, ketika daya tahan tubuh menurun, maka M.

Tuberculosa yang dormant mengalami reaktifitasi yang dikenal dengan TB sekunder.

4. Faktor toksik

Zat toksik pada rokok dan alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Selain itu obat kortikosteroid dan imunosupresif lain juga dapat menurunkan daya tahan tubuh. Mereka yang merokok 3-4 kali lebih sering terinfeksi TB paru dari pada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok juga meningkatkan angka kematian akibat tuberkulosis paru (Nurliza Rohayu dkk, 2016).

5. Penyakit lain

Penyakit paru-paru kronis adalah faktor risiko penting lainnya. Silikosis meningkatkan risiko hingga 30 kali lebih besar dan diabetes mellitus (resikonya tiga kali lipat). (Nurliza Rohayu dkk, 2016).

B. Agent

M. Tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, satu di antaranya adalah Mycobacterium, dan salah satu speciesnya adalah M.Tuberculosis. Mikrobakterium yang paling berbahaya bagi ialah tipe humanis (kemungkinan infeksi type bovinus saat ini dapat diabaikan, setelah higiene peternakan makin ditingkatkan). Robert Koch mewarnai secara khusus Basil TB yang mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Karena itu, M.Tuberkulosis ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Karena pada umumnya Mycrobacterium tahan asam belum tentu identik dengan basil TB.

Namun, karena dalam keadaan normal penyakit paru yang disebabkan oleh Mycobacterium lain (yaitu M.atiptik) jarang sekali, dalam praktik, BTA dianggap identik dengan basil TB (Danutoso,2011).

Gambar 2.1 Hasil pindai mikrograf elektron Mycobacterium tuberculosis Basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam untuk melakukan mitosis diri. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Basil TB sangat rentan terhadap gelombang cahaya ultra-violet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100ᵒC, tetapi basil TB tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar yang lembab. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%. Kuman TB paru bersifat dorman.(Danutoso,2011).

Modul Kebijakan Penanggulangan TB 2017 menyebutkan bahwa secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut:

1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2 - 0,8 mikron.

2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.

3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.

4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.

5. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.

C. Environment

Lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan juga menimbulkan risiko untuk terkena tuberkulosis paru seperti Orang-orang yang memiliki risiko tinggi terinfeksi TB antara lain: penghuni dan karyawan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan yang memadai, minoritas suku yang beresiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani orang-orang tersebut (Danutoso,2011).

Dokumen terkait