• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DI DINAS KESEHATAN KOTA TANJUNG BALAI TAHUN 2017 SKRIPSI OLEH YOVITA ANGRIANI HURA NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DI DINAS KESEHATAN KOTA TANJUNG BALAI TAHUN 2017 SKRIPSI OLEH YOVITA ANGRIANI HURA NIM:"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH

YOVITA ANGRIANI HURA NIM: 141000567

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

YOVITA ANGRIANI HURA NIM: 141000567

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(3)

PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DINAS KESEHATAN KOTA TANJUNG BALAI TAHUN 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemungkinan ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini atau klain dari pihak lain terhadap karya saya ini.

Medan, September 2018 Penulis,

Yovita Angriani Hura NIM. 141000567

(4)
(5)

2017 tercatat sebanyak 309 kasus diantaranya kasus baru 177 kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pencapaian program penanggulangan TB Paru di Kota Tanjung Balai tahun 2017.

Penelitian ini menggunakan desain case series dengan pendekatan deskriptif. Populasi adalah seluruh data penderita TB Paru sebesar 309 data penderita. Sampel penelitian ini sebanyak 174 data penderita sebagai karateristik penderita TB Paru menggunakan teknik simple random sampling. Data diperoleh dari Laporan Triwulan. Data univariat dianalisis secara deskriftif dan data hasil capaian program dibandingkan dengan target program yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan.

Hasil Penelitian ini menunjukkan proporsi tertinggi penderita TB Paru pada kelompok umur 15-24 tahun (24,7%), laki-laki (60,9%), Datuk Bandar (36,2%), pemeriksaan BTA (74,7%), penderita Kasus Baru (94,8%), pengobatan Kategori 1 (94,8%) dengan hasil Sembuh (39,7%). Angka penemuan kasus TB Paru di Kota Tanjung Balai sebesar 59,51% dan angka kesembuhan sebesar 55,37%. Beberapa pencapaian program kurang dari standar yang telah ditetapkan.

Dinas Kesehatan diharapkan untuk meningkatkan strategi pencegahan penularan TB Paru agar menurunkan kasus baru, Kepada petugas pelaksana teknis di unit-unit pelayanan dan Pengawas Menelan Obat TB Paru disarankan agar meningkatkan penemuan orang terduga TB paru sedini mungkin dan keberhasilan minum obat sampai sembuh pada penderita TB paru.

Kata kunci : Tuberkulosis Paru, Capaian Program, Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai

(6)

including 177 new cases. The purpose of this research was to determine the achievement of the Pulmonary TB control program in Tanjung Balai City in 2017.

This research is descriptive with case series design. The population was all patients with pulmonary TB of 309 patients. The sample of this research were 174 patients as characteristics of pulmonary TB patients using simple random sampling technique. Data obtained from quarterly reports. Univariate data were analyzed descriptively and program achievement data compared to program targets set by the Ministry of Health.

The results of this study showed the highest proportion of patients with pulmonary tuberculosis in the age group 15-24 years (24.7%), men (60.9%), Datuk Bandar (36.2%), The sensitivity of the sputum smear (74,7%), New Case sufferers (94.8%), Category 1 treatment (94.8%) with Cure (39.7%). The rate of pulmonary TB case finding in Tanjung Balai City was 59.51% and the cure rate was 55.37%. Some program achievements are less than the standards set.

It is hoped for Tanjung Balai City Health Office to improve strategies to prevent transmission of pulmonary tuberculosis to reduce new cases, the technical implementing officers in service units and drug swallowing supervisor pulmonary TB to increase the finding of people suspected of pulmonary tuberculosis as early as possible and the success of taking medication until cured in patients with pulmonary TB.

Keyword : Pulmonary Tuberculosis, Program Achievement, Tanjung Balai City Health Office

(7)

baik yang berjudul: “Analisis Pelaksanaan Program Penanggulangan Tb Paru Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai Tahun 2017” yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program studi strata 1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Fazidah A. Siregar, M.Kes, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.

(8)

6. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akdemik yang selama masa pendidikan pada program studi strata 1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Kepala Dinas, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dan staff Kantor Dinas Kota Tanjung Balai, dan Petugas Laporan Program TB Paru Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kota Tanjung Balai yang membantu penulis selama penelitian.

8. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua saya, Lizaro Hura dan Novira Panjaitan, Adik-adik saya Jonathan S. A. Hura, Yosika Gracia Hura, Eunike Natalia Hura, dan Victoria Fridella Hura yang memberi dukungan dan doa selama studi dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Susi Sitinjak, Fransiska Boang Manalu, Ria Tithalia, Inrika Saragih, Maria Sihombing, Ike Simamora, Arman Zega serta nama-nama yang belum tercantum dalam penulisan ini.

(9)

bagi kita semua.

Medan, September 2018 Penulis

Yovita Angriani Hura

(10)

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

ABSTRAK ...iii

ABSTRACT...iv

KATA PENGHANTAR ...v

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

RIWAYAT HIDUP ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...5

1.3 Tujuan Penelitian ...5

1.3.1 Tujuan Umum ...5

1.3.2 Tujuan Khusus ...5

1.4 Manfaat Penelitian ...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...8

2.1 Defenisi TB Paru ...8

2.2 Epidemiologi ...9

2.2.1 Distribusi dan Frekuensi ...9

2.2.2 Determinan ...11

2.3 Penularan TB Paru Pada Manusia ...15

2.4 Perjalanan Alamiah TB Paru Pada Manusia ...16

2.5 Patogenesis TB Paru ...18

2.5.1 Infeksi primer ...18

2.2.2 Infeksi sekunder ...22

2.6 Klasifikasi Penyakit ...23

2.6.1 TB paru ...24

2.6.2 TB extra paru ...25

2.7 Penetepan Diagnosis ...25

2.7.1 Gejala-gejala klinis ...25

2.7.2 Pemeriksaan bakteriologis ...26

2.8.3 Pemeriksaan radiologis ...27

2.8 Tipe Penderita TB Paru ...28

2.9 Pengobatan TB Paru ...29

2.10Pencegahan TB Paru ...32

2.11Program Nasional Penanggulangan TB Paru di Indonesia ...33

2.11 Kerangka Konsep ...43

(11)

3.3 Populasi dan Sampel...44

3.3.1 Populasi ...44

3.3.2 Sampel ...44

3.4 Metode Pengumpulan Data ...45

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional...45

3.6 Analisis Data ...49

BAB IV HASIL PENELITIAN ...50

4.1 Gambaran Umum Wilayah Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai ...50

4.1.1 Visi Pembangunan Kesehatan Daerah ...51

4.1.2 Misi Pembangunan Kesehatan Daerah ...52

4.1.3 Tujuan Pembangunan Kesehatan Daerah ...52

4.1.4 Sasaran Pembangunan Kesehatan Daerah ...53

4.1.5 Sepuluh Penyakit Terbesar di Kota Tanjungbalai ...55

4.1.6 Sarana Pelayanan Kesehatan Pemerintah ...55

4.2 Karakteristik Penderita TB Paru di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ...57

4.2.1 Sosidemografi ...57

4.2.2 Cara Diagnosa ...58

4.2.3 Tipe Penderita ...58

4.2.4 Kategori Pengobatan ...59

4.2.5 Hasil Akhir Pengobatan ...59

4.3 Analisa Indikator Program ...60

BAB V PEMBAHASAN ...63

5.1 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan Sosiodemografi ....63

5.1.1 Umur ...63

5.1.2 Jenis Kelamin ...65

5.1.3 Asal Unit Pelaksana Teknis...66

5.1.4 Cara Diagnosa ...67

5.1.4 Tipe Penderita ...69

5.1.5 Kategori Pengobatan ...71

5.1.6 Hasil Akhir Pengobatan ...73

5.2 Pencapaian Indikator Program ...75

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...79

6.1 Kesimpulan ...79

6.2 Saran ...81

DAFTAR PUSTAKA ...82 LAMPIRAN

(12)

Tanjungbalai Tahun 2016 ...54 Tabel 4.2 Distribusi dan Frekuensi Jumlah Sarana Kesehatan di Kota

Tanjungbalai Tahun 2010-2016 ...55 Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan Sosiodemografi Di

Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai Tahun 2017 ...56 Tabel 4.4 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan cara diagnosa TB

Paru Di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai Tahun 2017 ...57 Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan Tipe Penderita Paru Di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai Tahun 2017 ...57 Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan Kategori

Pengobatan Paru Di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai Tahun 2017 ...58 Tabel 4.7 Distiribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil Akhir

Pengobatan Paru Di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai Tahun 2017 ...58 Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Capaian Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai

Tahun 2017 Berdasarkan Indikator Dibandingkan Dengan Target Nasional ...73

(13)

Gambar 2.2 Gambaran rontgen penderita TB paru ...29 Gambar 2.3 Kerangka Konsep ...42 Gambar 5.1 Diagram kolom berdasarkan umur pada penderita TB Paru di Dinas

Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ...62 Gambar 5.2 Diagram pie berdasarkan jenis kelamin pada penderita TB Paru di

Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ...64 Gambar 5.3 Diagram kolom berdasarkan asal unit pelaksana pada penderita TB

Paru di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ...65 Gambar 5.4 Diagram pie berdasarkan cara dignosa pada penderita TB Paru di

Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ... 66 Gambar 5.5 Diagram pie berdasarkan tipe penderita pada penderita TB Paru di

Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ... 68 Gambar 5.6 Diagram pie berdasarkan kategori pengobatan pada penderita TB

Paru di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 ...70 Gambar 5.7 Diagram kolom berdasarkan hasil akhir pengobatan pada penderita

TB Paru di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017...72

(14)

Lampiran 2. Output SPSS

Lampiran 3. Surat Permohonan Penelitian Lampiran 4. Surat Perizinan Penelitian Lampiran 5. Surat Selesai Penelitian

(15)

Kota Tanjung Balai dengan alamat Jl. Mekar I No. 25 dan bertempat tinggal di Jl.

Pales 1A Simpang Perumnas Simalingkar, Medan. Anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Lizaro Hura dan Novira Panjaitan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Swasta Methodist II Kota Tanjung Balai ( 2000 – 2002 ), SD Swasta Methodist I Kota Tanjung Balai ( 2002 – 2008 ), SMP Negeri I Kota Tanjung Balai ( 2008-2011), SMA Swasta Sutomo I Medan ( 2011-2014 ), dan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Departemen Epidemiologi Universitas Sumatera Utara ( 2014 – 2018 ).

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat secara global. Indonesia berada pada posisi ke-2 setelah India, TB paru menduduki ranking kesembilan sebagai penyebab kematian. TB paru adalah suatu penyakit menular yang mengakibatkan penyakit saluran pernapasan bagian bawah dan merupakan penyebab kematian kedua akibat infeksi (WHO, 2017).

TB paru adalah penyebab utama kematian di negara-negara berkembang akibat infeksi bagi orang dewasa (15-59 tahun) dan baru-baru ini mulai muncul di beberapa negara industri, meningkatnya migrasi penduduk karena ekonomi dan politik, penyebaran epidemi HIV yang mengakibatkan penyebaran penyakit sangat cepat, dan upaya yang tidak memadai dilakukan di masa lalu untuk pengendalian tuberkulosis di suatu wilayah. Tanpa tindakan yang cepat, diperkirakan tujuh puluh juta orang mungkin meninggal akibat TB Paru dari sekarang hingga tahun 2020 (WHO, 2017).

Sekitar 75% kelompok usia penderita TB Paru merupakan kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis menyebabkan kehilangan ribuan kehidupan produktif semakin membebani negara-negara yang memiliki masalah kemiskinan, kelaparan, penyakit epidemi lainnya, dan kondisi hidup yang tidak sehat (WHO, 2002). Penderita kelompok usia produktif kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan sehingga mengakibatkan kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. TB Paru juga memberikan dampak secara sosial, seperti dikucilkan oleh masyarakat. Orang lanjut usia, malnutrisi

(17)

atau orang dengan sistem imun rendah (infeksi HIV, diabetes melitus, terapi kortikosteroid, alkoholisme, limfoma intercurrent) lebih mudah terkena TB paru (Kemenkes RI, 2014).

Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2016 bahwa kejadian kasus baru sebesar 61%. Keberhasilan global hasil pengobatan menunjukan tingkat sebesar 83%. Pengobatan untuk TB Paru resisten obat sebanyak 22%.

Keberhasilan pengobatan masih rendah sebesar 54% secara global. Kasus HIV- positif TB Paru sebesar 46%. TB kematian diantara orang-orang HIV-negatif sebanyak 1,3 juta dan kematian HIV-positif sebanyak 374.000.

Jumlah kasus insiden pada tahun 2016 secara global antara lain Asia Tenggara (45%), Afrika (25%), Pasifik Barat (17%), Mediternia timur (7%), Eropa (3%) dan Amerika (3%). Diperkirakan 10,4 juta orang jatuh sakit dengan TB paru dimana 90% orang dewasa dan 65% laki-laki termasuk 56% orang yang hidup di lima negara yaitu India, Indonesia, Cina, Filipina, dan Pakistan (WHO, 2017).

Insiden TB paru di Asia Tenggara sebesar tiga juta kasus dengan satu juta kematian. Indonesia termasuk salah satu negara yang menyumbang lebih dari 95% kasus secara regional dan setiap harinya lebih dari 1.500 orang meninggal karena TB paru (WHO, 2017).

Kasus baru TB paru di Indonesia tahun 2016 sebesar 298.128 kasus. BTA positif ditemukan sebesar 156.723 kasus diataranya 39% perempuan dan 61%

laki-laki dimana 1% anak-anak dan 99% dewasa . Case Notification Rate (CNR) tuberkulosis dengna BTA positif sebesar 61%. Case Detection Rate (CDR)

(18)

sebesar 60,59 %. Cakupan TB paru BTA positif yang sembuh sebesar 69,3%, pengobatan lengkap sebesar 6,1%, dan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) sebesar 75,4%. (Kemenkes RI, 2017)

Kasus baru TB paru di Sumatera Utara tahun 2016 ditemukan sebesar 17 798 kasus. BTA positif ditemukan sebesar 11.771 kasus diataranya 34%

perempuan dan 66% laki-laki diantaranya 1% anak-anak dan 99% dewasa . Case Notification Rate (CNR) tuberkulosis dengna BTA positif sebesar 83%. Case Detection Rate (CDR) sebesar 66 %. Cakupan tuberkulosis paru BTA positif yang sembuh sebesar 69,8%, pengobatan lengkap dengan jumlah 74,6%, dan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) dengan jumlah 74,4% (Kemenkes RI, 2017).

Penelitian Adistha dan Santi tahun 2013 di Puskesmas Tanah Kalikedinding Surabaya tercatat CDR sebesar 112,4%, proporsi BTA positif diantara suspek sebesar 15,3%, Proporsi BTA positif diantara semua pasien TB Paru sebesar 75,5%, keberhasilan pengobatan sebesar 65,5%, angka kesembuhan sebesar 39,7%. Penelitian Wiwit, dkk tahun 2009 di Kabupaten Boyolali tecatat CDR sebesar 37,17%, proporsi BTA positif diantara suspek sebesar 7,35%, Proporsi BTA positif diantara semua pasien TB Paru sebesar 62,86%, keberhasilan pengobatan sebesar 61,48%, angka kesembuhan sebesar 48,89%.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada bulan Februari di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 bahwa kasus baru TB Paru sebesar 177 kasus dimana penemuan BTA positif sebesar 172 kasus. TB Paru BTA positif yang sembuh dengan jumlah 98 kasus. TB Paru BTA positif yang meninggal

(19)

dunia ada 3 kasus. TB Paru BTA positif yang merupakan suspek resisten obat dengan jumlah 24 kasus. (Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai, 2017)

Awal tahun 1990-an WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan, penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikrokopis yang terjamin mutunya, pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien, sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif, dan sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien dimana prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

Gerakan Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TB) merupakan gerakan aktif dan masif yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sekaligus melibatkan masyarakat, layanan dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera menemukan orang terduga TB sedini mungkin dan segera dirujuk ke Faskes (Puskesmas) terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut serta mengobati pasien TB sampai sembuh. Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan angka penemuan kasus TB dan memberdayakan peran masyarakat. Dilakukan secara rutin di daerah dengan melibatkan seluruh fasilitas layanan kesehatan serta melibatkan kelompok masyarakat dan masyarakat umum (juknis terlampir).

(20)

Diharapkan melalui kegiatan ini semua provinsi melaksanakan gerakan TOSS TB di wilayah masing-masing (juknis terlampir) secara serempak.

1.2 Permasalahan

Belum diketahuinya pencapaian berdasarkan indikator pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Kota Tanjung Balai tahun 2017.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pencapaian program penanggulangan TB Paru di Kota Tanjung Balai tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui proporsi penderita TB Paru yang terdaftar berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, dan asal unit pelaksanaan teknis).

b. Mengetahui proporsi penderita TB Paru yang terdaftar berdasarkan cara diagnosa.

c. Mengetahui proporsi penderita TB Paru yang terdaftar berdasarkan tipe penderita.

d. Mengetahui proporsi penderita TB Paru yang terdaftar berdasarkan kategori pengobatan.

e. Mengetahui proporsi penderita TB Paru yang terdaftar berdasarkan hasil akhir pengobatan.

f. Mengetahui proporsi pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB.

(21)

g. Mengetahui proporsi pasien TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB Paru tercatat/diobati.

h. Mengetahui angka penemuan kasus (Case Detection Rate = CDR) TB Paru.

i. Mengetahui angka notifikasi kasus (Case Notification Rate = CNR) TB Paru.

j. Mengetahui angka konversi (Conversion Rate) TB Paru.

k. Mengetahui angka kesembuhan (Cure Rate) TB Paru.

l. Mengetahui angka keberhasilan pengobatan TB Paru (Treatment Success Rate = TSR) TB Paru.

m. Mengetahui proporsi pasien RR/MDR – TB (Rifampisin Resistant/

multidrug-resistant TB) yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus RR/MDR - TB yang ada.

1.4 Manfaat

1.4.1 Sebagai bahan masukan bagi pihak dinas kesehatan dan wilayah kerja dalam meningkatkan pelaksanaan program penanggulangan TB paru di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai.

1.4.2 Sebagai sarana informasi bagi masyarakat mengenai TB Paru serta masyarakat mau dan mampu melakukan perubahan perilaku pencegahan penularan TB Paru.

1.4.3 Sebagai sarana meningkatkan wawasan penulis mengenai Program Penanggulangan TB Paru dan sebagai salah satu syarat untuk

(22)

menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

1.4.4 Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang memerlukan data penelitian ini dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat khususnya mengenai TB Paru.

(23)

Mycobacterium tuberculosis dari spesies Mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

(Kemenkes RI,2016).

TB Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosa tipe humanus. TB Paru merupakan penyakit infeksi penting saluran napas bagian bawah (Hood Alsagaff et.al., 1993).

TB paru adalah penyakit radang parenkim paru. Penyakit Tuberkulosis terbagi atas dua bagian yaitu Tuberkulosis paru sebesar 80% dan Tuberkulosis ekstra paru sebesar 20% (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).

Infeksi tuberkulosis (atau infeksi tuberkulosis laten) didefinisikan oleh tes kulit tuberkulin positif atau uji interferon positif-i (dijelaskan dalam bagian pendekatan diagnostik) tetapi tidak ada bukti penyakit aktif. Pasien dengan infeksi tuberkulosis laten yang terinfeksi oleh organisme, tetapi infeksi awal yang dikendalikan oleh mekanisme pertahanan inang tubuh dan selanjutnya dapat dilacak hanya dengan respon hipersensitivitas positif yang terlambat. Sejumlah kecil organisme yang tersisa berada dalam keadaan dorman atau laten, tetapi mereka menimbulkan risiko reaktivasi di lain waktu, terutama dengan gangguan apa pun dalam imunitas seluler host. Penyakit TB paru (atau tuberkulosis aktif), di sisi lain, didefinisikan oleh adanya diagnosis dengan isolasi organisme M.

Tuberkulosis (Steven E et.al. 2008).

(24)

2.2 Epidemiologi

2.2.1 Distribusi dan frekuensi

TB paru ditemukan di semua negara di seluruh dunia. Dahulu sewaktu perhubungan antarnegara masih sulit, masih ada beberapa rumpun suku bangsa yang bebas TB (misalnya suku Eskimo sebelum kedatangan orang-orang Denmark dan beberapa suku penghuni pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik).

Namun, semakin mudahnya perhubungan antarnegara sejak abad XVI, sekarang TB paru sudah merupakan penyakit mancanegara (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).

Semakin maju kemakmuran suatu negara dan infeksi HIV/AIDS tidak merajalela maka semakin sedikit rakyat yang terkena TB. Hal ini merupakan hasil dari pola hidup yang memenuhi syarat kesehatan (gizi tinggi dan perumahan yang sehat) dan kemampuan ekonomis untuk mendapatkan pemeriksaan medis serta pengobatan hingga sembuh bila masih juga terserang TB paru. Sebaliknya bila AIDS telah mewabah, kemakmuran tidaklah relevan lagi sehingga menurunnya sistem imunitas penderita AIDS dan semua penyakit infeksi mudah sekali menyerang termasuk TB paru (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).

Antara tahun 2000 - 2016, pengobatan TB paru mencegah 44 juta kematian di antara HIV-negatif. Di antara orang HIV-positif, pengobatan TB paru didukung oleh ART mencegah tambahan 9 juta kematian. TB paru yang resistan terhadap obat adalah ancaman yang terus-menerus, dengan 490.000 juta kasus TB yang resistan terhadap berbagai obat (MDR-TB) muncul pada tahun 2016 dan tambahan 110.000 kasus yang rentan terhadap isoniazid tetapi resisten ke

(25)

rifampisin (RR-TB), garis pertama yang paling efektif obat anti-TB. Negara- negara dengan jumlah terbesar kasus MDR / RR-TB (47% dari total global) adalah Cina, India, dan Federasi Rusia (WHO,2016).

Penyakit TB paru di bagian penting yaitu beban TB paru yang tinggi di negara-negara. Antara 2007 hingga akhir 2016, total dari 25 survei yang menggunakan skrining dan diagnostik metode yang direkomendasikan oleh WHO. Berdasarkan laporan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit proporsi pasien TB Paru terkonfirmasi mengalami peningkatan signifikan dari tahun 1999-2003 dari 7% menjadi 13%. Indikator ini cenderung menurun dari tahun 2003-2014. Pada tahun 2015 indikator ini kembali meningkat menjadi 14 % (Kemenkes RI, 2016).

Gambaran upaya penemuan kasus dapat diukur dengan mengetahui banyaknya semua kasus TB paru yang ditemukan dan tercatat melalui indikator Case Notification Rate (CNR). CNR merupakan jumlah kasus TB paru baru yang ditemukan dan dicatat di antara 100.000 penduduk di wilayah dan periode waktu tertentu. Indikator ini dapat digunakan untuk menggambarkan penemuan semua kasus TB paru maupun BTA positif.

Angka Notifikasi kasus BTA positif maupun semua kasus menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Angka Notifikasi kasus TB paru untuk kedua tipe cenderung menurun dalam empat tahun terakhir. Penurunan yang signifikan terjadi pada Angka Notifikasi kasus TB paru semua kasus, dari 138 per 100 000 penduduk pada tahun 2012 menjadi 125 per 100 000 penduduk pada tahun 2015.

(26)

Berdasarkan laporan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dari sisi upaya penemuan kasus, provinsi dengan Angka Notifikasi kasus tinggi sebagian besar berada di wilayah Barat yaitu DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Provinsi dengan Angka Notifikasi kasus rendah di dominasi oleh provinsi di wilayah timur yaitu Papua Barat (Kemenkes, 2016).

2.2.2 Determinan A. Host

1. Umur

Penelitian Reviono dkk (2006) menunjukkan bahwa pada kelompok umur dewasa muda (25-44 tahun) dan kelompok umur (15-24 tahun) yang mayoritas penderita TB paru adalah pada kelompok umur produktif. Keadaan tersebut juga berbahaya karena penderita pada kelompok tersebut mempunyai tingkat mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi, sehingga memudahkan penularan ke lingkungan sekitar (Amril, 2003).

2. Jenis kelamin

Penelitian Reviono dkk (2006) menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih sering terinfeksi dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena jenis kelamin laki-laki memiliki morbiditas dibandingkan dengan perempuan sehingga kemungkinan terpapar dan kerentanan lebih besar dan kebiasaan laki-laki mengonsumsi rokok dan alkohol akan dapat menurunkan kekebalan tubuh yang memudahkan terinfeksi bakteri TB paru.

3. Gizi

Berdasarkan survei di Republik Demokratik Korea dalam Global

(27)

tertinggi Penyakit TB paru, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan epidemi TB paru adalah tinggi tingkat kekurangan gizi, yang meningkatkan risiko kerusakan pada penyakit TB paru di antara orang yang terinfeksi.

Berdasarkan penelitian M.Jamil (2005) kejadian TB paru banyak dialami oleh pasien dengan status gizi (IMT) kategori kurus (≤ 18,5). Pada penelitian M.Jamil (2005) yang mengutip pendapat Supriasa (2002) bahwa orang-orang yang berada di bawah IMT mempunyai resiko terhadap penyakit infeksi seperti TB paru dan pendapat Astuti (2003) bahwa penyakit TB paru umumnya menyerang orang-orang dengan status gizi buruk dan kurang serta kondisi fisik yang lemah. Malnutrisi (kekurangan kalori, protein, zat besi, dan lain-lain) akan menurunkan daya tahan tubuh, ketika daya tahan tubuh menurun, maka M.

Tuberculosa yang dormant mengalami reaktifitasi yang dikenal dengan TB sekunder.

4. Faktor toksik

Zat toksik pada rokok dan alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Selain itu obat kortikosteroid dan imunosupresif lain juga dapat menurunkan daya tahan tubuh. Mereka yang merokok 3-4 kali lebih sering terinfeksi TB paru dari pada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok juga meningkatkan angka kematian akibat tuberkulosis paru (Nurliza Rohayu dkk, 2016).

(28)

5. Penyakit lain

Penyakit paru-paru kronis adalah faktor risiko penting lainnya. Silikosis meningkatkan risiko hingga 30 kali lebih besar dan diabetes mellitus (resikonya tiga kali lipat). (Nurliza Rohayu dkk, 2016).

B. Agent

M. Tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, satu di antaranya adalah Mycobacterium, dan salah satu speciesnya adalah M.Tuberculosis. Mikrobakterium yang paling berbahaya bagi ialah tipe humanis (kemungkinan infeksi type bovinus saat ini dapat diabaikan, setelah higiene peternakan makin ditingkatkan). Robert Koch mewarnai secara khusus Basil TB yang mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Karena itu, M.Tuberkulosis ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Karena pada umumnya Mycrobacterium tahan asam belum tentu identik dengan basil TB.

Namun, karena dalam keadaan normal penyakit paru yang disebabkan oleh Mycobacterium lain (yaitu M.atiptik) jarang sekali, dalam praktik, BTA dianggap identik dengan basil TB (Danutoso,2011).

(29)

Gambar 2.1 Hasil pindai mikrograf elektron Mycobacterium tuberculosis Basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam untuk melakukan mitosis diri. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Basil TB sangat rentan terhadap gelombang cahaya ultra- violet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100ᵒC, tetapi basil TB tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar yang lembab. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%. Kuman TB paru bersifat dorman.(Danutoso,2011).

Modul Kebijakan Penanggulangan TB 2017 menyebutkan bahwa secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut:

1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2 - 0,8 mikron.

2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.

(30)

3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.

4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.

5. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.

C. Environment

Lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan juga menimbulkan risiko untuk terkena tuberkulosis paru seperti Orang-orang yang memiliki risiko tinggi terinfeksi TB antara lain: penghuni dan karyawan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan yang memadai, minoritas suku yang beresiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani orang-orang tersebut (Danutoso,2011).

2.3 Penularan TB Paru

Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis (2014) bahwa penularan TB paru, yaitu:

a. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif melalui percik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ 5.000 kuman / cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.

(31)

b. Pasien TB paru dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB paru. Tingkat penularan pasien TB paru BTA positif adalah 65%, pasien TB paru BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%, sedangkan pasien TB paru dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik dahak yang infeksius tersebut.

d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplat nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Penularan TB Paru melalui saluran napas yang dikenal sebagai droplet infection, dimana basil tuberkulosa (basil TB) tersebut dapat masuk sampai alveolar sac. Penularan mudah terjadi bila terjadi hubungan erat dan lama dengan penderita TB paru yang aktif, yakni golongan penderita yang disebut open case.

Penularan lain yaitu debu yang mengandung basil TB yang bertebangan di udara.

2.4 Perjalanan Alamiah TB Paru Pada Manusia.

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis (2014) terdapat 4 (empat) tahapan perjalanan alamiah penyakit meliputi paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia.

Tahapan paparan terkait dengan jumlah kasus menular di masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat daya tular dahak sumber penularan, intensitas batuk sumber penularan, kedekatan kontak dengan sumber penularan lamanya waktu kontak dengan sumber penularan, faktor lingkungan antara lain

(32)

konsentrasi kuman (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi).

Tahapan infeksi dimana reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi yaitu reaksi imunologi (lokal) dimana kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen–antibody dan rekasi immunologi (umum) dengan delayed hypersensitivity (hasil tuberkulin tes menjadi positif, lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.

Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB adalah :

1. kasus terbuka dengan dahak menunjukkan adanya basil TB

2. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup banyak dan terus-menerus.

3. Virulensi (keganasan) basil.

4. Daya tahan tubuh yang menurun yang memungkinkan basil TB berkembang biak. Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan faktor genetika, faktor faali, jenis kelmin, usia, dan faktor lingkungan (nutrisi, perumahan, dan pekerjaan).

Tahapan sakit tergantung dari konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup, lamanya watu sejak terinfeksi, usia seseorang yang terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang terinfeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan

(33)

memudahkan berkembangnya TB aktif (Sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB paru di masyarakat akan meningkat pula. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB paru akan menjadi sakit TB paru. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB ekstra paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier).

Tahapan meninggal dunia kemungkinan akibat keterlambatan diagnosis, pengobatan tidak adekuat, dan adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta. Pasien TB tanpa pengobatan 50% akan meninggal dan resiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif.

2.5 Patogenesis TB Paru 2.5.1 Infeksi Primer

Pada Infeksi Primer (keradangan permulaan), gambaran patologi, berupa gambaran bronkopneumonia yang dikelilingi oleh sel-sel radang fokal. (Hood Alsagaff et.al., 1993).

Basil mikrobakterium tuberkulosa tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer (Ghon). Selanjutnya menyebar ke kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah Primer Kompleks (Ranker); Infeksi primer (Ghon) dan Primer Kompleks (Ranke) dinamakan TB Primer, yang dalam perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan (Hood Alsagaff et.al., 1993).

(34)

TB Paru Primer merupakan keradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikrobakterium tuberkulosa, yang kebanyakan didapat pada usia anak 1-3 tahun, sedangkan yang disebut Tuberkulosa Post Primer (reinfection) adalah keradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil TB tersebut (Hood Alsagaff et.al., 1993).

Seseorang yang belum pernah diinfeksi oleh basil TB, tes tuberkulin akan negatif karena basil TB tidak dikenali oleh sistem imunitas seluler namun difagositosis oleh makrofagnya dapat mati. Basil TB berkembang biak secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dan cukup cepat dalam replikasi diri (Danutoso,2011).

Tahap ini sel-sel limfosit T akan mulai berkenalan dengan basil TB untuk pertama kalinya dan akan menjadi limfosit T yang tersentisasi. Limfosit T yang sudah tersentisasi ini akan mengeluarkan berbagai jenis limfoklin yang masing- masing mempunyai khasiat yang khas (Danutoso,2011).

Beberapa jenis limfokin mempunyai khasiat untuk merangsang limfosit dan makrofag untuk membunuh basil TB (Macrophage Activating Factor = MAF, Certainty Factor =CF, dll). Disamping itu skin reactivity Factor atau SRF untuk menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit berupa indurasi dengan diameter 10 mm atau lebih sedikit. Secara klinis, sifat ini dikenal dengan reaksi tuberkulin (sering juga disebut tes Mantoux). Adanya konversi reaksi tuberkulin dari negatif ke positif belum tentu menjadi indikator bahwa sudah ada kekebalan, tetapi yang pasti konversi ini menentukan indikator bahwa baru saja

(35)

terjadi infeksi M. Tuberculosis. Tetapi sayang sekali, makrofag tidak selamanya dapat membedakan antara kawan dan lawan, sehingga mungkin juga sel ini menimbulkan kerusakan-kerusakan jaringan dalan bentuk nekrosis, yang disebut pengkejuan, yang kemudian disusu dengan likuifaksi (pencairan) (Danutoso,2011).

Pada tahap ini, bentuk patologi klasik TB dapat ditemukan dalam proprsi yang tidak sama, yaitu berupa tuberkel-tuberkel, yang masing-masing berupa pengkejuan di tengah (sentral) yang dikelilingi oleh sel-sel epitheloif (yang berasal dari sel-sel makrofag), sel-sel datia Langhans (juga berasal dari makrofag), dan sel-sel limfosit. Basil-basil TB dapat musnah dengan perlahan- lahan atau akan tetap berkembang biak di dalam makrofag, atau akan tetap tinggal

‘tidur’ (dormant) selama bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun (Danutoso,2011).

Dalam waktu kurang dari 1 jam setelah berhasil masuk ke dalam alveoli, sebagaian basil TB akan terangkut oleh aliran limfa ke dalam kelenjar-kelenjar limfa regional dan sebagian malah dapat ikut masuk ke dalam aliran darah dan tersebar ke organ lain. Perubahan seperti telah dilukiskan di atas juga akan di alami oleh kelenjar-kelenjar limfa serta organ yang sempat dihinggapi basil TB.

Kombinasi tuberkel dalam paru dan limfadenitis regional disebut juga kompleks primer (Danutoso,2011).

Pengkejuan akan disusul dengan penimbunan garam-garam kalsium (klasifikasi) secara progresif. Prosesnya dimulai dalam beberapa bulan dan dapat berlangsung sampai bertahun-tahun kemudian. Bahkan, kadang-kadang, dapat

(36)

terbentuk pula zat kolagen dan sekali waktu dapat terjadi osigikasi kompleks primer kali ini. Biasanya suatu lesi primer TB akan mengalami penyembuhan spontan dengan atau tanpa klasifikasi, tetapi perlu diingat bahwa ada basil TB yang dikandung di dalam lesi-lesi primer tetap hidup walaupun sedang ‘tidur’.

Bukti akan kebenaran ini akan tampak pada otopsi, yang ditemukan akan menghasilkan perbenihan yang positif. Di samping klasifikasi, dapat pula terjadi fibrosis yang juga merupakan salah satu tanda bahwa proses telah tenang (Danutoso,2011).

Implikasi praktis dari semua ini ialah bahwa orang tersebut sekarang sudah kebal terhadap TB, tetapi perlu diingat kekebalan ini tidak kekal tidak seperti kekebalan terhadap rubella (campah jerman) atau rubeola (campak) yang akan bertahan selama hidup (Danutoso,2011).

Kekebalan ini mencapai puncaknya bebearapa waktu setelah infeksi pertama gagal menimbulkan penyakit TB, serta setiap kali terjadi infeksi berikutnya tetapi tak berhasil menimbulkan penyakit. Kekebalan ini dapat luntur, bahkan dapat hilang sama sekali bila tidak pernah ada kontak lagi dengan basil TB (Danutoso,2011).

Pada tahap permulaan tersebut fokus infeksi primer dapat menimbulkan (terutama pada anak-anak) :

1. Suhu badan meningkat sedikit (subfebril) 2. Tampak sakit

3. Nyeri persendian (anak cerewet) 4. Malaesa (anak tidak mau makan)

(37)

5. Uji kulit dengan PPD/tuberkulin menunjukkan reaksi negatif

Setelah infeksi primer ini berjalan kurang lebih 12 minggu, yakni setelah timbul kekebalan spesifik terhadap basil TB, maka terjadilah pembesaran kelenjar limfe regional yang sering dinamakan penyebaran limfogen (penyebaran limfohematogenous).

Reaksi tubuh masih seperti diatas ditambah dengan :

a. Uji kulir dengan PPD/tuberkulin yang semula negatif menjadi positif.

b. Batuk-batuk karena adanya pembesaran kelenjar yang mengadakan penekanan saluran udara (bronkus).

c. Pembesaran kelenjar limfe daerah hilus, pada trakea dan daerah leher d. Disamping itu juga dapat tampak adanya infiltrat halus yang tersebar luas

pada seluruh lapangan paru yang dikenal sebagai TB Paru milier.

e. Panas badan menjadi lebih tinggi, sering terjadi kejang-kejang (convuisi) oleh karena adanya meningitis

Infeksi Primer tersebut setelah terbentuknya kekebalan tubuh yang spesifik (immunitas spesifik), dapat sembuh dengan sendirinya, dengan meninggalkan atau tanpa meninggalkan bekas. Yang dimaksud bekas pada penyembuhan primer infeksi tersebut, dapat berupa fibrotik dan klasifikasi, sangat jarang dalam bentuk lainnya (pada foto toraks) (Hood Alsagaff et.al., 1993).

2.5.2 Infeksi Sekunder

TB sekunder ialah penyakit TB yang baru timbul setelah lewat 5 tahun sejak terjadinya infeksi primer. Bila karena sebab-sebab tertentu sistem pertahanan tubuh melemah, basil TB yang sedang ‘tidur’ dapat aktif kembali.

(38)

Proses ini disebut reinfeksi endogen. Dapat pula terjadi super-infeksi basil TB baru dari luar. Terutama di negara-negara dengan prevalensi TB yang masih tinggi, kemungkinan ini tidak boleh diabaikan. Infeksi oleh basil baru ini disebut reiinfeksi endogen, sedangkan kemungkinan reinfeksi eksogen makin tinggi bila prevalensi TB setempat juga makin tinggi (Danutoso,2011).

Kemungkinan suatu TB primer yang telah sembuh akan berlanjut menjadi TB sekunder tidaklah besar; diperkirakan hanya sekitar 10%. Sebaliknya juga, suatu reinfeksi endogen atau eksogen, walaupun semula berhasil menyebabkan seorang menderita penyakit TB sekunder, tidka selalu akan berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir dengan kematian. Hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas seluler di suatu pihak dan jumlah serta virulensi basil TB dipihak lain. Walaupun sudah sampai timbul penyakit TB, selama masih minima, masih ada kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri, yakni bila sistem imunitas seluler masih minimal, masih ada kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri, yakni bila sistem imunitas seluler masih berfungsi dengan baik, dengan meninggalkan bekas-bekas berupa jaringan parut (proses fibrotik) dan bintik-bintik/bercak-bercak kapur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa TB pada anak-anak pada umumnya adalah TB primer, sedang TB pada orang dewasa adalah TB sekunder karena reinfeksi endogen (Danutoso,2011).

2.6 Klasifikasi Penyakit

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu

“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

(39)

a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit (paru atau ekstra paru);

b. Bakteriologi dilihat dari hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis (BTA positif atau BTA negatif);

c. Tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat);

d. Riwayat pengobatan TB sebelumnya (baru atau sudah pernah diobati).

2.6.1 TB Paru

TB paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan merupakan penyakit yang sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua penderita.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam : a. Tuberkulosis paru BTA positif

1. Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

2. Jika satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif

Pemeriksaan tiga spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Tuberkulosis paru BTA negatif/rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila di foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas dan atau keadaan umum penderita buruk.

(40)

2.6.2 TB extra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran urin, alat kelamin, dan lain-lain.

Tuberkulosis extra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :

a. TB extra paru ringan

Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang, kecuali tulang belakang, sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB extra paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritus exsudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran urin dan alat kelamin.

2.7 Penetapan Diagnosis 2.7.1 Gejala-gejala klinis

Dalam percakapan dengan pasien (Anamnesis) dokter akan menanyakan secara rinci tentang keluhan yang dirasakan oleh pasien yang menjurus ke arah tuberkulosis. Gejala tuberkulosis secara umum adalah batuk terus menerus dan berdahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), keringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan (Danutoso,2011).

Gejala tuberkulosis tersebut di atas dijumpai pada penyakit paru selain tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan

(41)

Kesehatan (UPK), dengan gejala tersebut di atas harus dianggap sebagai “Suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita tuberkulosis dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikrokopis langsung (Danutoso,2011)..

Pada tuberkulosis paru anak gejala umum berupa berat badan menurun selam tiga bulan berturut-turut sebab yang jelas dan tidak naik selama satu bulan meskipun sudah dengan penaganan gizi yang baik, nafsu makan tidak ada, demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas dan disertai keringat malam, pembesaran kelenjar limfe supervisialis yang tidak sakit biasanya multiple paling sering didaerah leher, ketiak dan lipatan paha inguinal, gejala-gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari tiga puluh hari, tanda cairan di dada dan nyeri dada, gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen (Danutoso,2011).

2.7.2 Pemeriksaan bakteriologis

Tanda pasti penderita TB ditetapkan dengan pemeriksaan kultur, namun biayanya mahal dan membutuhkan waktu 6-8 minggu. Pemeriksaan dahak 3 kali, identik dengan pemeriksaan kultur, pemeriksaan dahak ini lebih cepat dan lebih murah. Pemeriksaan tersebut berupa pemeriksaan mikrokopis dari dahak yang telah dibuat sediaan hapus dan diwarnai secara Ziehl Neelsen. Bila kuman BTA dijumpai 2 kali dari 3 kali pemeriksaan penderita disebut penderita BTA Positif menular. Jumlah kuman yang ditemkan merupakan informasi yang sangat penting karena berhubungan dengan derajat penularan penderita maupun dengan derajat beratnya penyakit. Sebagian di negara-negara berkembang, pemeriksaan dahak

(42)

secara mikroskopik merupakan satu-satunya cara dimana diagnosis tuberkulosis dapat dipastikan (Danutoso,2011).

Pencatatan hasil pembacaan berdasarkan skala IUATLD : a. Tidak ada BTA per 100 Lapang Pandang (LP) = Neg

b. BTA per 100 Lapang Pandang (LP) = catat jumlah kuman (hasilnya meragukan)

c. 10-99 BTA per 100 Lapang Pandang (LP) = + atau (2 +) d. 1-10 BTA per 1 Lapang Pandang (LP) = ++ atau (3+) e. >10 BTA per 1 Lapang Pandang (LP) = +++ atau (3 +) 2.7.3 Pemeriksaan radiologis (foto rontgen)

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) BTA positif (Danutoso,2011).

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis maka penderita didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA Positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis, maka pemeriksaan SPS di ulangi. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas selama 1-2 minggu (Danutoso,2011).

Gambaran rontgen yang memberikan kesan kuat tentang adanya tuberkulosis adalah pada bagian atas paru menunjukkan bayangan berupa dahak atau bernoduler (ada satu atau kedua sisi), kavitas (lubang) khususnya bila

(43)

terdapat lebih dari satu lubang, bayangan dengan perkapuran dapat menyebabkan kesulitan dalam diagnosis. Keadaan ini belum merupakan diagnosis lengkap karena dapat terjadi pneumonia dan tumor paru ditempat-tempat yang dulu tuberkulosis yang sudah sembuh lalu mengapur (Danutoso,2011).

Gambar 2.2 Gambaran rontgen penderita TB paru

Bayangan lain yang mungkin berkaitan dengan tuberkulosis adalah bayangan bentuk oval atau bundar soliter (tuberkuloma), kelainan pada hilus dan mediastinum disebabkan oleh pembesaran kelenjar limfe (kompleks primer yang bertahan) bayangan titik kecil yang tersebar (Danutoso,2011).

2.8 Tipe Penderita TB Paru

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis oleh Kemenkes RI (2014) untuk keperluan pengobatan dan evaluasi dalam penanggulangan tuberkulosis, maka ada lima tipe penderita yang ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

(44)

a. Kasus baru : adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps) : adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default) : adalah penderita yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure) : adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In) : adalah penderita yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Lain-lain: adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik.

2.9 Pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan dalam pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian akibat kuman

(45)

TB, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan angka penularan TB, dan mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat.

Pengobatan TB meliputi 2 tahapan, yaitu : a. Tahap awal

Pada tahapan awal, pengobatan diberikan kepada pasien selama setiap hari dengan maksud untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh dari kuman yang mungkin sudah resisten pada semua pasien baru.

Pada tahap ini obat harus diberikan selama 2 bulan dengan pengawasan langsung oleh PMO. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyakit, daya penularan sudah menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

b. Tahap Lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan hal yang penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh total dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Pengobatan pada penderita TB dengan memadukan obat anti tuberkulosis yang direkomendasihkan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) dalam Penanggulangan Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menurut Kemenkes RI (2014) dibagi menjadi dua kategori, antara lain :

(46)

1. Kategori 1 : (2HRZE) / 4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis c. Pasien TB ekstra paru

2. Kategori 2 : (2HRZES) / (HRZE) / 5(HRE)3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan sterptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Paduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien dan paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Sedangkan paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

(47)

Paduan OAT ini disediakan program DOTS untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT-KDT sebelumnya (pengobatan ulang), seperti :

a. Pasien kambuh.

b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.

c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

2.10. Pencegahan TB Paru

Menurut Hood Alsagaff dkk (1993) bahwa mencegah TB paru terbagi atas tiga bagian, yaitu:

a. Primer

1. Mengonsumsi makanan 4 sehat dan 5 sempurna.

2. Memiliki perumahan dengan ventilasi yang cukup.

3. Memiliki tidur cukup dan teratur.

4. Berolah raga di udara segar.

5. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.

6. Pengontrolan faktor prediposisi yaitu pengobatan diabetes melitus, sakit kronis, dan mental.

b. Sekunder

1. Deteksi dini pasien TB Paru

2. case finding yaitu foto Ro dada masal dan uji tuberkulin.

3. Mengisolasi penderita dan mengobati penderita.

4. Ventilasi harus baik, kepadatan penduduk dikurangi.

c. Tersier adalah rehabilitas terhadap penderita TB Paru.

(48)

2.11 Program Nasional Penanggulangan TB Paru Indonesia

Berdasarkan Kemenkes RI (2014), upaya pengendalian TB paru di Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20 balai pengobatan dan 15 sanototium pada umumnya berada di pulau Jawa. Era tahun 1960-1970 menandai diawalingya upaya pengendalian pedoman nasional pengendalian TB. Pada tahun1977 mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6 bulan) dengan menggunakan panduan OAT yang terdiri dari INH, Rifampisin, dan Eltahmbutol. Pada tahun 1994 Departemen Kesehatan RI melakukan uji coba penerapan strategi DOTS di satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan satu kabupaten di Provinsi Jambi.

Lalu, pada tahun 1995 secara nasional DOTS diterapkan bertahap melalui puskesmas.

Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kinerja dan kemajuan program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator yaitu indikator dampak, indikator utama dan indikator operasional.

1. Indikator Dampak

Merupakan indikator yang menggambarkan keseluruhan dampak atau manfaat kegiatan penanggulangan TB. Indikator ini akan diukur dan di analisis di tingkat pusat secara berkala.

(49)

Yang termasuk indikator dampak adalah:

a. Angka Prevalensi TB b. Angka Insidensi TB c. Angka Mortalitas TB 2. Indikator Utama

Indikator utama digunakan untuk menilai pencapaian strategi nasional penanggulangan TB di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Adapun indikatornya adalah:

a. Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang diobati.

b. Angka notifikasi semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk.

c. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus.

d. Cakupan penemuan kasus resistan obat.

e. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat.

f. Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV.

Untuk tingkat provinsi dan pusat, Kabupaten/Kota juga harus mencapai indikator, yaitu :

a. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CDR.

b. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CNR.

c. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus.

(50)

d. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator cakupan penemuan kasus TB resistan obat.

e. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat.

f. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator persentase pasien TB yang mengetahui status HIV.

3. Indikator Operasional

Indikator ini merupakan indikator pendukung untuk tercapainya indikator dampak dan utama dalam keberhasilan Program Penanggulangan TB baik di tingkat Kab/Kota, Provinsi, dan Pusat, diantaranya adalah:

a. Persentase kasus pengobatan ulang TB yang diperiksa uji kepekaan obat dengan tes cepat molukuler atau metode konvensional.

b. Persentase kasus TB resistan obat yang memulai pengobatan lini kedua.

c. Persentase Pasien TB-HIV yang mendapatkan ARV selama pengobatan TB.

d. Persentase laboratorium mikroskopik yang mengikuti uji silang.

e. Persentase laboratorium mikroskopis yang mengikuti uji silang dengan hasil baik.

f. Cakupan penemuan kasus TB anak.

g. Cakupan anak < 5 tahun yang mendapat pengobatan pencegahan INH .

(51)

h. Jumlah kasus TB yang ditemukan di Populasi Khusus (Lapas/Rutan, Asrama, Tempat Kerja, Institusi Pendidikan, Tempat Pengungsian) . i. Persentase kasus TB yang ditemukan dan dirujuk oleh masyarakat atau

organisasi kemasyarakatan.

Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di atas, juga harus memantau indikator yang dicapai oleh kabupaten/kota yaitu:

a. Persentase kabupaten/kota minimal 80% fasyankesnya terlibat dalam PPM b. Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator persentase pasien

TB-HIV yang mendapatkan ARV selama pengobatan TB.

4. Formula dan Analisa Indikator

a. Proporsi Pasien Baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB adalah persentase pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA Positif dan MTB Positif) yang ditemukan diantara seluruh terduga yang diperiksa dahaknya dengan formula :

jumlah pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis yang ditemukan jumlah seluruh terduga yang diperiksa

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan oleh :

1. Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria terduga TB, atau

2. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu) Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan : 1. Penjaringan terlalu ketat

(52)

2. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

b. Proporsi pasien TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB Paru tercatat/diobati adalah persentase pasien TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB Paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB paru yang menular diantara seluruh pasien TB Paru yang diobati.

jumlah pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologs jumlah seluruh pasien TB Paru

c. Proporsi Pasien Baru TB Anak diantara seluruh pasien TB adalah persentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh pasien yang diobati dengan formula :

jumlah pasien TB anak (0 − 14 tahun) yang diobati jumlah seluruh pasien yang diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini diharapkan berkisar 8-12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB anak ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, angka ini menggambarkan over atau under diagnosis serta rendahnya angka penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang diharapkan maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB anak di fasyankes.

d. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) adalah jumlah pasien baru TB paru yang BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkiraan dengan formula :

jumlah pasien baru TB paru yang BTA positif yang ditemukan jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkiraan

(53)

Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru TB Paru BTA positif secara nasional. Indikator ini masih digunakan untuk evaluasi pencapaian MDGs 2015 untuk program pengendalian TB. Setelah tahun 2015, indikator ini tidak akan digunakan lagi dan akan diganti dengan Case Notification Rate (CNR) sebagai indikator yang menggambarkan cakupan penemuan pasien TB.

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus baru TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate program pengendalian tuberkulosis nasional minimal 90% pada tahun 2015.

e. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR) adalah angka yang menunjukkan jumlah seluruh pasien TB yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk dengan formula:

jumlah seluruh pasien TB yang dicatat dlm TB. 07 selama setahun jumlah penduduk

Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut.

f. Angka Konversi (Conversion Rate) adalah persentase pasien baru TB Paru tekonfirmasi bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah masa pengobatan awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

(54)

jumlah seluruh pasien baru TB paru terkonfirmasi

bakteriologis yang hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif jumlah pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang diobati Di fansyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2bulan / 3 bulan). Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

g. Angka Kesembuhan (Cure Rate) adalah angka yang persentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB paru terkonfirmasi biologis yang tercatat dengan formula :

jumlah seluruh pasien baru TB paru terkonfirmasi biologis yang sembuh

jumlah pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis

Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan di hitung juga untuk pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan : 1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat

terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.

2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua (second-line drugs).

Gambar

Gambar 2.1 Hasil pindai mikrograf elektron Mycobacterium tuberculosis  Basil  TB  memerlukan  waktu  12  sampai 24  jam  untuk melakukan mitosis  diri
Gambar 2.2 Gambaran rontgen penderita TB paru
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Gambar 5.1  Diagram kolom berdasarkan umur pada penderita TB Paru di  Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dilihat dari jumlah PTS di wilayah Jawa Barat yang termasuk dalam daftar pelaksana SPMI-PT yang baik menurut Dirjen Dikti Depdiknas RI di atas, dapat

[r]

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “ Evaluasi Ragam Genetik Ikan Nila Hasil Seleksi BEST F4, F5 dan Nirwana II berdasarkan Analisis RAPD dan

bahaya kebakaran pada tanki di PT Pertamina (Persero) Refinery Unit IV. Cilacap dalam mencegah serta menanggulangi terjadinya

Untuk membuat Modul ini penulis membuat struktur navigasi dan storyboard dengan menggunakan Macromedia Flash MX 2004 serta komponen-komponen lainnya yang mendukung proses

Oriflame merupakan sebua h perusahaan kosmetik dan perawatan wajah yang mempunyai sistem penjualan langsung (direct selling) yang berkembang paling cepat di dunia. Penulisan Ilmiah

Kebiasaan berbelanja masyarakat saat ini cenderung telah bergeser dari kebiasaan berbelanja di pasar tradisional menjadi kebiasaan berbelanja di pasar modern. Kebiasaan

Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat