• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal

Dalam dokumen KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESE (Halaman 40-45)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal

Definisi kabupaten tertinggal pada kajian ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 khususnya Bab 26. Dengan mengacu pada ketentuan ini, dalam kajian dari 32 kab/kota yang menjadi lokasi kajian ini, 8 diantaranya masuk kabupaten tertinggal dan 25 kab/kota masuk kategori tidak tertinggal.

Pada tabel 4.10 dibawah ini ditampilkan perbandingan distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas pada kabupaten tertinggal dan tidak tertinggal lokasi kajian. Data ini merupakan hasil kuesioner yang diisi oleh 29 puskesmas yang pada kabupaten tertinggal dan 37 puskesmas pada kabupaten tidak tertinggal

Tabel 4.10. Perbandingan rasio beberapa tenaga kesehatan per puskesmas menurut kategori kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal

Rasio tenaga kesehatan per Puskesmas

Kab. Tertinggal Kab/Kota Tidak tertinggal

Menurut Jenis Tenaga

Dokter 1,79 2,03 Dokter Gigi 0,79 1,30 Bidan 5,72 9,35 Perawat 10,34 11,27 Apoteker 0,00 0,08 Ass Apoteker 0,66 0,70 Ahli Gizi 1,28 1,81 SKM 0,55 1,11 Sanitarian 1,28 1,49 Terapi Fisik 0,00 0,05 Teknis Medis 0,31 0,27 Laboran 0,48 0,51 Perawat Gigi 0,55 0,16 Total Tenaga 27,14 33,03

Menurut status kepegawaian

Pegawai Negeri Sipil (PNS) 19,21 27,59

Pegawai Tidak tetap (PTT) 3,59 2,95

Honor Daerah 0,25 0,14

Wiyata 0,03 0,03

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk seluruh tenaga kesehatan, rata-rata sebuah puskesmas di daerah tertinggal mempunyai tenaga kesehatan yang lebih sedikit yaitu 27,14 tenaga, dibandingkan dengan kabupaten tidak tertinggal yaitu 33,03 tenaga. Hampir seluruh jenis tenaga kesehatan pada kabupaten tertinggal mempunyai rasio tenaga per puskesmas yang lebih kecil daripada kabupaten tidak tertinggal, kecuali rasio tenaga teknis medis dan rasio perawat gigi. Dari seluruh tenaga tersebut yang perbedaan yang relatif besar adalah pada tenaga bidan dan SKM. Namun pada kedua kategori terlihat bahwa rasio dokter umum lebih besar dari 1, artinya secara rata-rata setiap puskesmas dilayani lebih dari 1 dokter. Pada kabupaten tertinggal, rasio ini (1,79) sudah mendekati rasio yang diharapkan menurut perhitungan dengan metode DSP, yaitu 2,0.

Jika dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah dibandingkan 27,59 pada daerah tidak tertingggal. Namun rasio PTT dan honor daerah per puskesmas lebih tinggi pada daerah tertinggal. Hal ini mengindikasikan upaya untuk memenuhi kekurangan tenaga PNS dengan tenaga PTT dan honor daerah. .

Selain pengelompokan kabupaten dalam kategori tertinggal dan tidak tertinggal, pada kajian ini digunakan pula kategorisasi kecamatan terpencil dan tidak terpencil. Kecamatan terpencil maupun tidak terpencil dapat saja dapat terletak dalam wilayah administratif kab/kota tertinggal maupun tidak tertinggal, walaupun pada kenyataannya, kecamatan terpencil lebih banyak terletak di kabupaten tertinggal. Dalam kajian, kategorisasi terpencil dilakukan sendiri oleh responden, atau dengan kata lain menggunakan persepsi responden. Dalam hal ini tenaga kesehatan dan kepala Puskesmas diminta menggolongkan kecamatan asal mereka sebagai daerah terpencil atau tidak terpencil.

Dalam tabel 4.11 di bawah ini, dapat dilihat perbandingan beberapa parameter tenaga kesehatan dan fasilitas tenaga kesehatan antara kecamatan terpencil dan tidak terpencil. Dari hasil kajian, ditemukan terdapat 12 Puskesmas yang digolongkan ke dalam kecamatan terpencil dan 80 pusksemas di kecamatan tidak terpencil.

Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori kecamatan terpencildan tidak terpencil

J U M L A H PUSKESMAS

Kec Des/Kel Desa Terpencil Desa Ada Bidan Pddk Dilayani Pddk

Miskin Pustu Posyandu Polindes A. Kecamatan Terpencil 14,5 100 58 75 305.427 64.284 28 402 29 Ciracap, Sukabumi 1 6 6 5 8.000 4.101 2 50 2 Buniwangi, Sukabumi 1 5 5 4 2.000 3.000 1 33 Surade, Sukabumi 1 6 2 6 6.626 13.517 46 Tretep, Temanggung 1 13 5 8 3.738 4 58 5 Gemawang, Temanggung 1 10 6 6 29.519 5.365 2 55 3 Tangaya, Pangkep 1 9 9 4 15.907 2.520 4 30 7 Baloci, Pangkep 1 5 1 5 15.981 4.871 4 18 Taraweang, Pangkep 0,5* 5 5 14.696 2.850 2 16 3 Layang, Makasar 1 7 3 4 45.902 6.846 2 30 Sentani, Jayapura 2 14 2 33.973 13.714 3 30 2 Dosri, Jayapura 2 11 11 7 9.085 7.500 1 17 2

Hom-Hom, Wamena 2 9 10 19 n.a n.a 3 19 5

B. Kecamatan Tidak Terpencil**

48,5 477 36 356 1.791.56 2

434.736 139 2.836 165

Ket *) Dalam satu kecamatan dilayani oleh dua Puskesmas, sehingga satu Puskesmas yang menjadi Responden hanya mencakup separuh dari wialyah kecamatan

**) Untuk kepraktisan penyajian, data puskesmas di kecamatan hanya disajikan jumlah totalnya dari 82 Kecamatan tidak terpencil.

Dari tabel di atas dapat terlihat jumlah kecamatan yang dilayani oleh puskesmas di kecamatan terpencil bervariasi dari 0,5 kecamatan (artinya satu kecamatan terdapat 2 puskesmas) di Puskesmas Taraweang, Pangkep hingga satu puskesmas yang melayani 2 kecamatan (Makasar, Jayapura, Wamena), dengan jumlah desa yang dilayani bervariasi dari 5 desa hingga 14 desa. Fasilitas Puskesmas pada daerah terpencil ini pada umunya juga didukung oleh keberadaan puskesmas pembantu (kecuali di Surade, Sukabumi), polindes dan Posyandu.

Tabel 4.12 berikut ini merupakan rangkuman dan kompilasi dari tabel sebelumnya dalam penyajian yang lebih memudahkan untuk membandingkan kondisi tenaga kesehatan di kecamatan terpencil dan tidak terpencil.

Secara umum, dapat dilihat bahwa jumlah kecamatan yang dilayani oleh setiap Puskesmas lebih banyak pada Puskesmas di kecamatan terpencil (1,21 kec/puskesmas). Hal dapat diartikan bahwa pada daerah terpencil cenderung lebih banyak kecamatan yang belum mempunyai puskesmas, sehingga satu puskesmas harus menjangkau dua kecamatan, walaupun begitu jumlah desa yang dijangkau oleh puskesmas di kecamatan terpencil rata- rata lebih kecil dibandingkan dengan kecamatan tidak terpencil.

Tabel 4.12 Perbandingan rata-rata distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan di Kecamatan Terpencil dan Tidak terpencil

Kecamatan Terpencil

Kecamatan Tidak terpencil

Jumlah Kec yang dilayani per Puskesmas 1,21 0,90

Jumlah Desa yang dilayani per puskesmas 8,33 8,83

Jumlah Penduduk per Puskesmas 25.452 33.177

Ratio Puskesmas per 100.000 penduduk 3,93 3,01

Jumlah Penduduk per Pustu 10.908 12.889

Jumlah Penduduk Miskin per Puskesmas 5.357 8.051

Jumlah Desa yang mempunyai Bidan 0,75 0,75

Rasio Pustu per Puskesmas 2,33 2,57

Rasio Polindes per Puskesmas 2,42 3,06

Desa terpencil per Puskesmas 4,83 0,67

Demikian juga dengan jumlah penduduk yang harus dilayani di kecamatan terpencil lebih kecil daripada kecamatan tidak terpencil. Hal ini menunjukkan bahwa beban puskesmas di daerah terpencil apabila dilihat dari jumlah penduduk yang dilayani tidak lebih besar dari puskesmas di kecamatan tidak terpencil. Tigaperempat desa di daerah terpencil mempunyai bidan, sama dengan daerah tidak terpencil. Rasio puskesmas per 100.00 penduduk di kecamatan terpencil yang lebih tinggi (3,93) di banding kecamatan tidak terpencil (3,01). Dibandingkan denga rata-rata nasional 3,46 angka ini menunjukkan bahwa rasio di kecamatan terpencil masih lebih baik

Namun demikian, kita harus lebih berhati-hati dalam menyikapi hal ini. Walaupun jumlah penduduk yang dilayani lebih sedikit dan rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk lebih kecil, bukan berarti akses penduduk terhadap puskesmas di daerah terpencil lebih baik. Daerah yang digolongkan pada daerah terpencil pada umumnya adalah daerah yang sulit di capai dengan sarana tranportasi yang ada, baik karena topografi maupun keterbatasan sarana dan prasana tarnsportasi dan komunikasi. Wilayah administratif daerah terpencil pada umumnya lebih luas daripada daerah tidak terpencil. Hal ini mengakibatkan persebaran penduduk yang tidak merata serta sulit dijangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi, dari distrik Yaur ke Puskesmas Yeretuar di Nabire harus ditempuh selama 6 jam dengan transportasi laut/air; dari Yeretuar harus menempuh 2 jam perjalanan hingga ke Pustu Napan Yaur, dan dari Napar Yaur ke desa 2 jam (Pemda Nabire, 2004). Selain itu masih banyak daerah-daerah yang hanya dapat tempuh dengan transportasi air/ laut atau berjalan kaki berjam-jam lamanya hingga mencapai fasilitas pustu atau puskesmas. Dengan demikian akses penduduk pada daerah- daerah seperti ini sangat terbatas.

Yang relatif masih kurang di kecamatan terpencil adalah jumlah Pustu dan Polindes. Di kecamatan yang tidak terpencil rata-rata satu puskesmas didukung oleh 2,57 pustu dan 3,06 polindes; sementara di daerah terpencil masing-masing 2,33 pustu dan 2,43 polindes. Padahal, puskesmas kecamatan terpencil harus melayani 4,83 desa terpencil, sementara puskesmas di kecamatan tidak tepencil hanya melayani 0,67 desa terpecil. Dengan demikian beban kerja puskesmas di kecamatan terpencil sebenarnya lebih besar

dan memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi di banding daerah tidak terpencil. Oleh karena itu, untuk mendekatkan akses masyarakat di daerah terpencil kepada fasilitas kesehatan, perlu dipertimbangkan upaya untuk meningkatkan jumlah pustu atau polindes di daerah seperti ini, tentunya dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga kesehatan yang tersedia.

Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan jumlah tenaga kesehatan khususnya di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil. Hasil kajian ini justru menunjukkan bahwa insentif dari pemda lebih banyak diterima oleh tenaga di kecamatan tidak terpencil (93% tenaga kesehatan di kecamatan tidak terpencil menerima insentif dibandingkan dengan 64% pada tenaga kesehatan di daerah terpencil). Artinya sebanyak 36% tenaga kesehatan didaerah terpencil merasa tidak menerima insentif dari pemerintah.

Adapun bentuk insentif yang paling banyak diterima adalah insentif finansial, kemudian diikuti fasilitas (rumah, kendaraan, alat informasi, dan fasilitas lainnya), peningkatan status (karir, pangkat, pengangkatan PNS) dan percepatan masa bakti. Akan tetapi besar insentif yang diterima masih belum sesuai dengan harapan tenaga kesehatan, baik yang bekerja di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil (77,9% responden dari kecamatan tidak terpencil dan 76% dari kecamatan terpencil menyatakan insentif yang diberikan tidak sesuai dengan harapan mereka).

Gambar 4.10. Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan peningkatan insentif dan jenis insentif yang diharapkan menurut keterpencilan kecamatan

92.6 62.3 66.2 20.3 15.2 6.1 8.7 0.4 4.8 92.3 69.2 59 15.4 20.5 10.3 5.1 0 12.8 0 20 40 60 80 100 Gaji/Tunjangan Fasilitas (rumah, kendaraan, alat info, dll) Peningkatan karir Kemudahan ijin praktek Kedekatan dengan keluarga Akses ke fasilitas umum Peluang bekerja di fasilitas kes. lain Lingkungan sosial budaya Lainnya

Persen Responden Kec. Terpencil Kec. Tidak Terpencil

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa 3 jenis insentif yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan, baik yang bertugas di kecamatan terpencil dan tidak terpencil, adalah gaji/tunjangan, fasilitas, dan peningkatan karir. Hampir semua tenaga kesehatan mengharapkan insentif gaji/tunjangan yang lebih baik. Sekitar 20,5% tenaga kesehatan di daerah terpencil juga mengharapkan adanya kedekatan dengan keluarga, namun hanya 15% saja yang mengharapkan kemudahan ijin praktek dan hanya 5,1% yang mengharapkan peluang bekerja di fasilitas kesehatan lainnya. Persentase ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase tenaga kesehatan di daerah tidak terpencil, mengingat peluang untuk membuka praktek di luar atau bekerja di fasilitas kesehatan lain yang lebih kecil pada daerah terpencil.

Sebanyak 4 dari 10 tenaga kesehatan di kecamatan terpencil menyatakan mempunyai rencana untuk pindah ke wilayah lain. Sedangkan pada kecamatan yang tidak terpencil,

hanya 2 dari 10 yang mempunyai rencana untuk pindah ke wilayah lain. Alasan rencana kepindahan tenaga kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.13. Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana pindah dan alasan kepindahannya

Persentase Responden Alasan Kepindahan

Kec. Tidak Terpencil Kec. Terpencil

Insentif Yang Lebih Menarik 10,9 5,9

Pengembangan Karir 41,8 35,3

Dekat Dengan Keluarga 41,8 47,1

Keamanan 1,8 11,8

Peningkatan Pendidikan 0,4 2,6

Sekolah 0,4 2,6

Dua alasan utama rencana kepindahan adalah kedekatan dengan keluarga dan pengembangan karir, baik bagi tenaga di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil. Sedangkan insentif yang lebih menarik hanya menjadi alasan bagi 10,9% bagi tenaga di kecamatan tidak terpencil dan 5,9% di kecamatan tidak terpencil. Yang menarik diperhatikan adalah kenyataan walaupun hampir semua tenaga kesehatan mengharapkan peningkatakan insentif finansial, namun insentif bukan menjadi alasan utama rencana kepindahan. Hal terjadi kemungkinan karena pindah ke daerah baru tidak menjamin adanya peningkatan insentif yang lebih baik. Akan tetapi justru kedekatan keluarga dan pengembangan karir menjadi lebih penting bagi tenaga kesehatan baik di daerah terpencil maupun tidak terpencil. Di kecamatan terpencil, masalah keamanan masih menjadi kendala yang cukup besar dan menjadi alasan tenaga kesehatan Puskesmas untuk pindah ke lokasi lain.

Sebagai rangkuman, secara umum dapat dikatakan bahwa situasi ketenagaan di kabupaten tertinggal dan kecamatan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang dilayani lebih luas, proporsi PNS yang lebih sedikit dan honor daerah dan PTT yang lebih tinggi, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif finansial, fasilitas dan peningkatan karir yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.

Dalam dokumen KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESE (Halaman 40-45)

Dokumen terkait