• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESE"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEBIJAKAN

PERENCANAAN TENAGA KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT

DEPUTI BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

2005

(2)

Tim Peneliti dan Penyusun Rekomendasi:

Dedi M. Masykur Riyadi, Arum Atmawikarta; Dadang Rizki Ratman, Taufik Hanafi, Yosi Diani Tresna, Sularsono, Destri Handayani, Pungkas Bahjuri Ali, Khabib Mualim,

Penulis Buku:

Pungkas Bahjuri Ali, Dadang Rizki Ratman, Sularsono

Tim Pendukung:

Nurlaily Aprilianti; Erna Rosita

Dikeluarkan oleh:

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat

(3)

PENGANTAR

Dokumen ini merupakan laporan kajian tentang Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan, yang dilakukan pada tahun 2005 di 7 propinsi dan meliputi 32 kabupaten/kota. Kajian ini dilakukan oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas.

Kajian ini dilakukan karena Bappenas memerlukan masukan tentang kebijakan tenaga kesehatan. Dengan mengetahui proses perencaaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga kesehatan, diharapkan dapat memberikan masukan bagi Bappenas dan atau instansi pemerintah lainnya dalam mempertajam penyusunan kebijakan pembangunan kesehatan khususnya di bidang ketenagaan kesehatan di masa mendatang.

Kami mengucapkan terimakasih kepada para nara sumber yaitu Bapak Abdurachman (Kepala Pusbangkes Depkes), Dedi Ruswendi (Kepala Biro Kepegawaian Depkes), Setiawan Soeparan (Kepala Pusdikanakes Depkes), dan Bapak Untung Suseno (Kepala Purat Perencanaan Tenaga Kesehatan Depkes) beserta staf, serta seluruh pihak yang telah membantu pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada responden dan pihak-pihak yang membantu kami dalam memperoleh data, yaitu Depkes Pusat, Dinas Kesehatan di 7 propinsi, Dinas Kesehatan di 32 kabupaten/kota, Bappeda, Kepala Puskesmas dan seluruh tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya.

Laporan kajian ini masih jauh dari sempurna. Namun dari analisis yang dilakukan, sudah dirumuskan beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang dapat digunakan untuk perbaikan kebijakan perencanaan tenaga kesehatan di masa yang akan datang. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk lebih menyempurnakan laporan kajian ini.

Terima kasih.

Jakarta, Desember 2005

(4)

PENGANTAR

Kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh sistem dan tenaga pelayanan. Ketenagaan pelayanan seringkali menghadapi kendala dalam hal jumlah, sebaran, mutu dan kualifikasi, sistem pengembangan karir, dan kesejahteraan tenaga pelaksana pelayanan. Permasalahan yang muncul dalam tataran mikro operasional memunculkan persepsi rendahnya kualitas pelayanan, yang berawal dari kesenjangan antara aturan dan standar yang ada dengan pelaksanaan pelayanan yang tidak dapat menerapkannya. Pemahaman terhadap kedaaan nyata yang dihadapi di lapangan sangat penting untuk menelaah kembali landasan kebijakan, aturan, dan standar untuk meningkatkjan kualitas pelayanan.

Laporan ini menyampaikan hasil kajian mirko ketenagaan dalam pelayanan kesehatan publik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan di unit pelayanan kesehatan masyarakat terdepan, puskesmas. Hasil kajian ini dipandang penting sebagai sumber informasi bagi pengambil keputusan untuk memahami permasalahan, mengatasinya dan sebagai sumber pembelajaran bagi pengambil keuputusan lainnya. Kajian menunjukkan antara lain terdapatnya kesenjangan (gap) antara kebijakan ketenagaan pemerintah pusat dengan implementasinya di daerah dan telaahan terhadap ragam upaya pemerintah kabupaten/kota mengatasi persoalan ketenagaan pelayanan publik yang mereka hadapi.

Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, sudah pada tempatnya bila melihat ketenagaan pelayanan dalam kerangka keterkaitan sistem kesehatan nasional, sistem pendidikan nasional dan sistem lainnya. Pengelolaan ketenagaan kesehatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kaitannya dengan sistem pendidikan dan ketenagakerjaan secara menyeluruh. Sangat mungkin bahwa ketenagaan kesehatan yang dilaporkan pada buku ini merupakan gambaran persoalan serupa dalam ketenagaan di bidang lain sehingga jawaban pemecahan persoalan harus diupayakan secara menyeluruh terutama melalui telaahan di bidang ketenagakerjaan dan pendidikan.

Semoga diagnosis yang dilakukan melalui kajian ini tepat dan dapat ditindaklanjuti dengan resep dan rekomendasi yang tepat pula. Diharapkan laporan kajian ini dapat menjadi masukan dan bahan berguna untuk pengembangan kebijakan implementatif dalam penagagan ketenagaan untuk meningkatkan pelayanan publik.

Masukan dan saran perbaikan perbaikan kami nantikan. Terimakasih.

Jakarta, Desember 2005 Deputi Men PPN Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

(5)

ABSTRAK

Kajian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya, kebijakan perencanaan, pengadaan, penempatan dan pelatihan tenaga kesehatan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kajian menggunakan desain cross sectional dan dilakukan di 7 propinsi, mencakup

32 kabupaten/kota dengan responden dinas kesehatan, kepala puskesmas dan tenaga kesehatan puskesmas. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, diskusi, FGD dan survei. Analisa univariate dilakukan untuk mengetahui kecenderungan sebaran dan statistik deskriptif.

Secara umum perencanaan dilakukan untuk hampir semua jenis tenaga, walaupun lebih dari separuh kab/kota tidak menerapkan pedoman perencanaan yang ditetapkan, dengan alasan utama kurangnya sosialisasi. Kekurangan tenaga terjadi pada semua jenis tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada epidemiolog, teknis medis, rontgen, penyuluh kesehatan masyarakat dan dokter spesialis. Masalah utama ketenagaan adalah terbatasnya formasi dan kemampuan pendanaan, serta proses pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan.

Ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang lebih luas, dan proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi. Jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas adalah gaji/tunjangan yang lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas.

(6)

DAFTAR ISI

PENGANTAR ...3

ABSTRAK ...5

DAFTAR ISI...6

DAFTAR TABEL ...7

DAFTAR SINGKATAN ...9

BAB I. PENDAHULUAN ...10

A. Latar Belakang...10

B. Tujuan dan Output...11

C. Kerangka Konsep...11

D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Kajian...13

BAB II. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI...15

A. Tempat dan Waktu Kajian...15

B. Desain Kajian...15

C. Ruang Lingkup Kegiatan...15

D. Sampel dan Variabel Kajian...15

E. Pengumpulan dan Analisa Data...16

BAB III. KEBIJAKAN UMUM KETENAGAAN KESEHATAN DI INONESIA...18

A . Definisi Tenaga Kesehatan...18

B. Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan...18

C. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan...19

D. PendayagunaanTenaga Kesehatan...20

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...23

A. Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional...23

B. Kebijakan Tenaga Kesehatan...30

C. Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal...40

D. Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas di Kapasitas Fiskal Daerah...45

E. Pembinaan Karir Tenaga Kesehatan...47

F. Tanggapan Masyarakat...49

G. Peran Puskesmas Bagi Penduduk Miskin....50

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...52

A. Kesimpulan...52

B. Rekomendasi...53

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan ...16

Tenaga Kesehatan Tabel 3.1 Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok ...19

Jenis Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun 2005 Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk ...23

dibandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010 Tabel 4.2 Rasio Tenaga Kesehatan Di Berbagai Negara...24

Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional...28

Tabel 4.4 Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja...31

Tabel 4.5 Persentase Kabupaten Kota yang merasakan Kesenjangan ...34

Antara usulan dengan ketersediaan Tenaga Kesehatan Tabel 4.6 Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Kabupaten ...34

Lokasi kajian Tabel 4.7 Masalah Utama Dalam Pengadaan Nakes di Kabupaten Tertinggal ...35

dan Tak Tertinggal Tabel 4.8 Kriteria Penempatan tenaga kesehatan di lokasi kajian...36

Tabel 4.9 Jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan ...39

Tabel 4.10 Perbandingan rasio tenaga kesehatan per puskesmas menurut kategori ...41

kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori ...42

kecamatan terpencil dan tidak terpencil Tabel 4.12 Perbandingan rata-rata distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan ...43

di Kecamatan Terpencil dan Tidak terpencil Tabel 4.13 Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana...45

pindah dan alasan kepindahannya Tabel 4.14 Ketersediaan tenaga Puskesmas di daerah menurut kapasitas...46

Tabel 4.15 Insentif yang diterima tenaga kesehatan dari Pemda menurut kapasitas...46

fiskal daerah Tabel 4.16 Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan insentif ...46

dan jenis insentif yang diharapkan Tabel 4.17 Alasan Rencana Kepindahan Tenaga Kesehatan di Puskesmas ...47

Tabel 4.18 Frekwensi Pelatihan Yang Pernah Diikuti Responden...47

Tabel 4.19 Persepsi Responden Tentang Latar Belakang Pendidikan ...48

Jabatan Kepala Puskesmas Tabel 4.20 Alasan Pindah Tenaga Kesehatan Puskesmas ...41

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan Nasional ...12

Gambar 1.2 Kerangka konsep kajian...12

Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004. ...24

Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004...25

Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004. ...25

Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004 ...26

Gambar 4.5 Rasio Dokter Umum Puskesmas dan RS per 100.000 penduduk...26

Gambar 4.6 Rasio Dokter Umum terhadap Puskesmas menurut propinsi ...29

Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada ...32

daerah kajian Gambar 4.8 Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan ...33

Tenaga Kesehatan di Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas ..36

(9)

DAFTAR SINGKATAN

AKABA = Angka Kematian Balita

AKB = Angka Kematian Bayi

AKI = Angka Kematian Ibu

ASKES = Asuransi Kesehatan

BKD = Badan Kepegawaian Daerah

BPS = Badan Pusat Statistik

CPNS = Calon Pegawai Negeri Sipil

DRG = Dokter Gigi

DSP = Daftar Susunan Pegawai

GAKY = Gangguan Akibat Kurang Yodium

INPRES = Instruksi Presiden

IDI = Ikatan Dokter Indonesia

IBI = Ikatan Bidan Indonesia

ISFI = Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia

JPSBK = Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan

KESLING = Kesehatan Lingkungan

KIA = Kesehatan Ibu dan Anak

KS = Kartu Sehat

MDGs = Millenium Development Goals

PDGI = Persatuan Dokter Gigi Indonesia

PERSAGI = Persatuan Ahli Gizi Indonesia

PERMENKES = Peraturan Menteri Kesehatan

PKPS-BBM = Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar

Minyak

PNS = Pegawai Negeri Sipil

PPNI = Persatuan Perawat Nasional Indonesia

POLTEKES = Politeknik Kesehatan

POLINDES = Pondok Bersalin Desa

POSYANDU = Pos Pelayanan Terpadu

PTT = Pegawai Tidak Tetap

PUSKESMAS = Pusat Kesehatan Msyarakat

PUSTU = Puskesmas Pembantu

RPJM = Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RS = Rumah Sakit

SDKI = Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

SKM = Sarjana Kesehatan Masyarakat

SKN = Sistem Kesehatan Nasional

SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga

SMAK = Sekolah Menengah Analis Kimia

SMF = Sekolah Menengah Farmasi

SPK = Sekolah Perawat Kesehatan

SPRG = Sekolah Pengatur Rawat Gigi

SPSS = Statistic Programme for the Social Science

SUSENAS = Survai Sosial Ekonomi Nasional

WHO = World Health Organization

(10)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang ditandai oleh penduduknya berperilaku sehat dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia (Indonesia Sehat 2010).

Derajat kesehatan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator kesehatan masyarakat antara lain meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan anak balita, menurunnya angka kematian ibu melahirkan, dan menurunnya prevalesi gizi kurang pada anak balita.

Usia harapan hidup meningkat dari 45 (1967b) menjadi 66,2 tahun (2001); angka kematian bayi (AKB) menurun dari 128 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), angka kematian balita (AKABA) menurun dari 216 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), dan angka kematian ibu (AKI) melahirkan menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup (1986) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003).

Prevalensi gizi kurang (underweight) pada balita, telah menurun dari 37,5 persen tahun 1989 menjadi 25,8 persen tahun 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan anak balita yang pendek (stunting) sekitar 34,3 persen dan balita yang kurus (wasting) sebesar 16,6 persen. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil masih tinggi yaitu sekitar 45 persen (2003), dan prevalensi GAKY pada anak sekolah sebesar 11,1 persen (2003).

Walaupun telah menunjukan berbagai perbaikan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Selain itu, terjadi disparitas yang cukup mencolok antar wilayah, kota-desa, dan tingkat sosial ekonomi. Indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari

sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDG

merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks” untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang mempunyai pengaruh langsung pada derajat kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi prevalensi gizi kurang dan meningkatkan konsumsi kalori, (2) mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka kematian ibu, (4) menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (5) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih yang aman dan sanitasi dasar, dan (6) meningkatkan akses terhadap obat esensial (Bappenas, 2002).

(11)

kinerja sistem kesehatan nasional yaitu subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan.

Dalam subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsure utama yang mendukung subsistem kesehatan lainnya. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem SDM kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2004).

B. Tujuan dan Output

Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat termasuk penduduk miskin.

Keluaran (output) kajian kebijakan perencanaan bidang kesehatan antara lain meliputi: (1) Tersedianya profil tenaga kesehatan terutama di Puskesmas berdasarkan wilayah geografis dan sosial ekonomi; dan (2) Tersusunnya rekomendasi kebijakan jumlah, mutu dan penyebaran ketenagaan kesehatan di Puskemas dan jaringannya sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.

C. Kerangka Konsep

(12)

Dalam kajian fokus pembahasan akan diarahkan terhadap subsistem SDM kesehatan.Terdapat tiga unsur pokok dalam subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan. Karena luasnya ruang lingkup ketenagaan, bahasan akan lebih diarahkan pada ketenagaan di Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar pada strata pertama. Pada Gambar 1.2 dibawah ini dijelaskan kerangka konsep kajian.

Gambar 1.2 Kerangka Konsep Kajian

Kondisi saat ini

- Jumlah belum memadai

- Distribusi tidak merata

- Kompetensi kurang

- Pengembangan profesi belum baik

Kebijakan Kab/Kota:

- Proses Perencanaan

- Pelatihan

- Distribusi merata

- Berkualitas/Kompeten

- Pengembangan profesi berjalan dengan baik

Adaptasi dari SKN 2004

(13)

Ketenagaan kesehatan nasional saat ini menghadapi berbagai masalah kecukupan, distibusi, mutu dan pengembangan profesi. Jumlah tenaga kesehatan belum mencapai jumlah yang diinginkan, distribusinya kurang merata, kompetensi tenaga yang kurang memadai dan pengembangan profesi yang masih belum sesuai harapan. Keadaan ini perlu diperbaiki antara lain melalui perumusan kebijakan ketenagaan kesehatan yang meliputi perencanaan kebutuhan tenaga, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga. Dalam implementasinya kebijakan tersebut dipengaruhi baik secara positif maupun negatif oleh lingkungan strategis antara lain pelaksanaan desentralisasi, kemampuan fiskal daerah dan keaadaan geografis suatu wialayh cakupan. Jika kebijakan dan implementasi berjalan dengan baik maka diharapkan berbagai permasalah kesehatan, teutama berkaitan dengan jumlah dan jenisnya yan mencukupi, distribusi semakin baik, dan kualitasnya meningkat serta pengembangan profesi yang tertata. Dampak dari kebijakan yang diharapkan adalah pelayanan kesehatan yang lebih baik, yang pada akhirnya akan memperbaiki status kesehatan masyarakat.

D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Kajian

Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health

System Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di

Indonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005)

Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT) yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan bidan.

Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya, menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik. Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik.

Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujung tombak penyelenggara pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai: (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar.

(14)

Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.

Dengan melihat berbagai permasalahan ketenagaan kesehatan tersebut, maka perlu dikaji, bagamiana kebijakan perencanaan tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjawab pemasalahan di atas. Khusunya, kajian diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal ketenagaan

kesehatan di Puskesmas?

2. Bagaimana ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya?

3. Bagaimana mutu tenaga kesehatan yang tersedia?

4. Bagaimana distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas di wilayah tertinggal dan

terpencil?

5. Bagaimana pembinaan karir tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas?

6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan di

Puskesmas?

7. Bagaimana peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin?

8. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan tugas

(15)

BAB II. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu Kajian

Kajian dilaksanakan di 7 provinsi, mencakup 32 kabupaten/kota, dan 88 puskesmas. Kajian dilaksanakan selama 8 bulan pada tahun 2005, dengan persiapan salama 2 bulan, pelaksanaan pengumpulan dan analisis data 5 bulan, dan penyusunan laporan 1 bulan.

B. Desain Kajian

Disain kajian adalah cross sectional, yaitu dengan memotret keadaan ketenagaan

kesehatan dari segi perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan dan pendayagunaan tenaga kesehatan dengan sampel kajian di beberapa provinsi, kabupaten, puskesmas, dan tenaga kesehatan.

C. Ruang Lingkup Kegiatan

Kajian ini difokuskan untuk ketenagaan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya. Kajian dilakukan di 7 propinsi terpilih yang ditentukan berdasarkan katagorisasi rasio tenaga kesehatan dan penduduk di Puskesmas serta mewakili karakteristik wilayah Indonesia bagian Barat, dan Wilayah Timur. Pada setiap propinsi di ambil beberapa Kabupaten/Kota berdasarkan tingkat kemajuannya. Selanjutnya di setiap Kabupaten/Kota terpilih secara proporsional dipilih sejumlah Puskesmas yang menggambarkan daerah perkotaan dan daerah perdesaan

Untuk melakukan kajian ini dilaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut:

1. Diskusi dan seminar tentang kebijakan ketenagaan kesehatan;

2. Focus Group Discussion (FGD);

3. Pengumpulan data ketenagaan kesehatan di Puskesmas meliputi jumlah, distribusi

dan kualitas;

4. Pengumpulan data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketenagaan kesehatan

di Puskesmas;

5. Pengumpulan data tentang peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi

penduduk miskin;

6. Pengumpulan data tentang persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas;

7. Mempelajari pembinaan karir bagi tenaga kesehatan di Puskesmas yang

dilaksanakan saat ini;

8. Melakukan analisis data dan menyusun laporan penelitian; dan

9. Diseminasi hasil penelitian melalui seminar dan workshop.

D. Sampel dan Variabel Kajian

(16)

Pemilihan Kabupaten/Kota juga dilaksanakan secara purposif dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan dan ketertinggalan wilayah. Didasarkan atas kemampuan fiskal, yaitu kapasitas fiskal tinggi 2 Kab/kota, kapasitas fiskal sedang 9 kab/kota dan kapasitas fiskal rendah 21 kab/kota. Menurut katagori daerah, yaitu 8 kabupaten tertinggal dan 24 kab/kota tidak tertinggal.

Sedangkan yang menjadi responden terdiri dari staf Dinas Kesehatan Popinsi dan Kabupaten/Kota sebanyak 42 orang, Kepala Puskesmas sebanyak 84 orang, dan tenaga kesehatan di puskesmas sebanyak 193 orang. Keseluruhan jumlah responden kajian ini adalah sebanyak 319 responden.

Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan

Kriteria Wilayah Kapasitas Fiskal Jumlah Responden

No. Propinsi Jml.

Kab/Kota tertinggal Tak

tertinggal tinggi sedang rendah Dinkes Kapala

Dalam kajian ini dikumpulkan dan dianalisis berbagai variabel penting dari ketiga unsur pokok subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, antara lain: unit kerja penyusun rencana, jenis tenaga, periode penyusunan rencana, dasar penyusunan rencana, metoda penyusunan rencana, hambatan yang ditemui, koordinasi penyusunan rencana, sistem informasi untuk penyususan rencana.

Selain itu dikumpulkan pula kebutuhan dan ketersediaan tenaga, proses pengajuan kebutuhan, rekrutmen tenaga di daerah, masalah yang dihadapi dalam pengadaan tenaga, kriteria penentuan lokasi penempatan tenaga, kewenangan penempatan tenaga, pelatihan tenaga, jenis pelatihan yang dilaksanakan, sumber pembiayaan untuk pelatihan tenaga, dan sistem insentif yang digunakan serta minat untuk bertugas di daerah.

E. Pengumpulan dan Analisa Data

(17)

Kepegawaian, Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Kesehatan, dan Kepala Pusat Perencanaan Tenaga Kesehatan.

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan diskusi dengan responden Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas, dan tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas. Data primer yang dikumpulkan meliputi data dan infomasi yang berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.

(18)

BAB III. KEBIJAKAN UMUM KETENAGAAN KESEHATAN DI INONESIA

A . Definisi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di

bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan.

B. Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan

Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).

Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun 2000 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No. 81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang pedoman penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada Kepmenkes tersebut disediakan pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk dipilih sesuai dengan kemauan dan kemampuan.

Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda penyusunan yang dapat digunakan yaitu;

1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang

didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.

2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang

didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.

3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang

didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit.

4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan

(19)

Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios

Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:

1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga

kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,

2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,

3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio.

Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000, di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno, 2005)

Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong langka, dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi pendidikannya terbatas dan kurang diminati.

C. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga kesehatan sesuai jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan kemampuan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004). Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004) terdapat enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:

1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur Rawat

Gigi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Gigi

2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi

3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan)

4. Gizi

5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur

6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik

Prostetik, Teknik Elektro Medik, Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan Kardiovaksuler.

Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199 Politeknik Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Distribusi institusi pendidikan tenaga kesehatan berdasarkan kelompok jenis tenaga kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 3.1 Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok Jenis Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun 2005

Poltekes Non Poltekes

Kelompok

(20)

Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005 jumlah peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833 non Poltekes.

Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain

2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik

3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan

4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:

1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan

2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan

3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.

Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan antara lain:

1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan

belum serasi

2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan

3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna

4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron

5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah

belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta

6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.

Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi diluar Depdiknas termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005)

D. PendayagunaanTenaga Kesehatan

(21)

1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan

2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata

3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan

4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik

5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap

6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.

Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.

Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian

hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:

1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama

2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis

3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji

4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS

5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas

6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja

paksa.

Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela

2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu

3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan

4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),

domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian

5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti

6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum

terpenuhi

7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah

terpencil dan daerah pemekaran.

Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.

(22)

Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.

Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di daerah.

Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:

1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil

2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk

diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.

Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik. (Ruswendi, 2005)

(23)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional

Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu maupun penyebarannya.

1. Jumlah dan Kualitas

Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan

Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010

Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010

Jenis Tenaga Rasio per 100.000

penduduk tahun 2004

Sasaran rasio per 100.000 penduduk

tahun 2010

Jumlah tenaga yang dibutuhkan tahun 2010

Dokter Spesialis 5,1 6 14.156

Dokter Umum 7,2 40 94.376

Dokter Gigi 2,5 11 25.953

Perawat 59.6 117 276.049

Bidan 27,3 100 235.939

Apoteker 0,56 10 23.594

Asisten Apoteker 3,72 30 70.785

SKM 0,69 49 115.611

Sanitarian 3.54 40 94.376

Ahli Gizi 3,97 22 51.907

Sumber: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes, 2005

(24)

Tabel 4.2 Rasio Tenaga Kesehatan Di Berbagai Negara

Rata-rata per 100.000 populasi/tahun

Dokter Dokter gigi Perawat Bidan

Negara

Inggris & Irlandia Utara Amerika Sumber: Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

2. Distribusi

Keterbatasan jumalh tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali, provinsi lain yang memiliki banyak dokter spesialis dibanding daerah lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Secara lengkap penyebaran tenaga dokter spesialis di Indonesia pada tahun 2003-2004 dapat di lihat pada gambar berikut :

Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004.

(25)

Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004

Pola penyebaran yang sama terjadi pada dokter umum. Pusat-pusat distribusi tenaga kesehatan tersebut adalah di Pulau Jawa dan Bali serta di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Provinsi di Pulau Jawa yang relatif sedikit jumlahnya adalah Banten (provinsi baru) dan DI Yogyakarta.

Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004

0

(26)

Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004

Pada Gambar 4.4 tampak pola penyebaran tenaga bidan sedikit berbeda dengan tenaga perawat. Beberapa provinsi yang memiliki tenaga bidan lebih banyak antara lain Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NAD, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. contoh rasio tenaga dokter umum per 100.000 penduduk (Gambar 4.5) yang tertinggi adalah di Propinsi Kalimantan Timur dengan 18,23 dokter umum per 100.000 penduduk dan terendah ada di Jawa Barat dengan 4,3 dokter umum per 100.000 penduduk. Rasio di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten juga cukup rendah di bawah rata-rata nasional.

Dengan demikian walaupun secara nominal

jumlah dokter umum sebagain besar di Jawa dan Bali, namun bila dibandingkan dengan penduduk yang harus di layani, maka tenaga dokter di Jawa masih lebih rendah di banding daerah-daerah lain.

Gambar 4.5. Rasio dokter umum Puskesmas dan Rumah Sakit per 100.000 penduduk

(27)

Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa masih belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak penduduk dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan. Sebagai contoh walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur, tetapi karena penyebaran penduduk yang tidak merata, jarak, kendala geografis, dan sarana transportasi, masih banyak penduduk yang tidak terjangkau oleh dokter umum dengan mudah.

3. Jenis Tenaga

Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis tenaga lain yang dapat dikatakan sebagai tenaga “langka” karena berbagai faktor, yaitu:

1. Jumlah tenaga kurang, kebutuhannya besar; 2. Lulusannya sedikit, bidangnya tidak diminati; 3. Jumlah institusi pendidikannya kurang;

4. Kualifikasi pendidikannya terbatas (D3 atau kurang);

5. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditempatkan di wilayah tertentu kurang/tidak tersedia akibat maldistribusi (misalnya dokter spesialis di daerah terpencil).

Contoh beberapa tenaga “langka” adalah analis kesehatan, terapis wicara,

refraksionis optisien, fisioterapis, radiographer, epidemiolog, ahli human resource

management, dan lainnya. Beberapa penyebab kelangkaan tenaga ini adalah insentif

yang tidak menarik, jenjang karir tidak jelas, pasar tidak siap, non competence based, dan

sistem informasi yang terfragmentasi.

Disamping tenaga langka tersebut, terdapat beberapa jenis tenaga baru yang belum ditentukan kategorinya pada PP 32/1996, antara lain kesehatan dan keselamatan kerja, hukum kesehatan, pengobat traditional, sarjana farmasi traditional, administrasi medik, dan audiologis.

A. Ketersediaan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas

Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri dari 2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak 141.566 orang, (Lihat tabel 4.3), dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh

(28)

Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional)

JUMLAH 141.566 18,75

Sumber: Data Dasar Puskesmas Tahun 2004, Departemen Kesehatan

Dalam SKN 2004 dinyatakan sekurang-kurangnya Puskesmas melaksanakan enam jenis pelayanan kesehatan tingkat dasar, yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar. Jika dilihat dari tugas pelayanan kesehatan yang harus dilaksanakan maka tenaga kesehatan yang minimal dimiliki oleh setiap Puskesmas adalah dokter umum, bidan, perawat, ahli gizi, sanitarian, dan asisten apoteker.

Dengan menggunakan salah satu metode perencanaan kebutuhan tenaga seperti tercantum dalam SK Menkes No.81/Menkes/SK/I/2004, yaitu metode Daftar Susunan Pegawai (DSP), khususnya Model DSP Puskesmas Perdesaan, maka diperoleh gambaran bahwa untuk setiap puskesmas disarankan setidaknya terdapat 2 dokter umum, 1 dokter gigi 1, 6 perawat umum, dan 3 bidan di puskesmas. Jika dibandingkan data tahun 2004 (Tabel 4.3) dengan rasio tenaga dokter umum (1,18), dokter gigi (0,2), perawat umum (4,42), dan bidan (1,19), maka ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas masih belum memadai. Untuk mencapai rasio ideal, maka jumlah dokter umum dan dokter gigi di Puskesmas perlu ditingkatkan 2 kali lipat. Sedangkan perawat umum dan bidan di Puskesmas perlu ditambahkan separuh dari jumlah yang telah ada.

(29)

Dengan kriteria ini dapat terlihat bahwa rasio dokter umum yang bertugas di Puskesmas terhadap jumlah Puskesmas berkisar antara 0,35 di Papua dan 2,30 di Kepulauan Riau, dengan rata-rata nasional sebesar 1,18 (Gambar 4.8). Secara umum dapat digambarkan bahwa daerah dengan rasio lebih rendah dari 1 menunjukkan jumlah dokter lebih kecil dari jumlah Puskemas, artinya banyak Puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter umum. Di Papua misalnya, rata-rata hanya satu dari 3 puskesmas yang memiliki dokter.

Gambar 4.6. Rasio dokter umum terhadap Puskesmas menurut propinsi

Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap derajat kesehatan secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi amanat undang-undang dasar, pemenuhan hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk daerah terpencil seperti ini perlu dilakukan dengan serius.

Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara keseluruhan jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3, 15.056 bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika dilihat per propinsi, maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan Papua (5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga bidan di desa per desa adalah 0,4. Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan untuk setiap desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi. Jika dilihat per propinsi,

(30)

hanya satu propinsi, yaitu DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya berkisar antara 0,2 – 0,8.

Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten apoteker. Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565 orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan ahli gizi adalah 0,6. Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak 4.468 orang, rasio sanitarian per puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per puskesmas.

B. Kebijakan Tenaga Kesehatan

1. Perencanaan

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP

tersebut antara lain dinyatakan:

ƒ Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan

yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);

ƒ Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan (pasal 6 ayat 4).

Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana

penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana

kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana).

Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:

1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun

global;

2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan

selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;

3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan

Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;

4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian

metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method,

Health Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain

yang merupakan pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List

(Daftar Susunan Pegawai atau DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau

Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja; Skenario/Proyeksi dari WHO; dan penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana.

Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan

(31)

ini bisa digunakan di berbagai unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain.

Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-DSP (Authorized Staffing List) adalah

sebagai berikut.

1. Menghitung produktivitas Puskesmas secara kolektif dengan mengunakan rumus:

S = O/ 300 x N;

dimana : S = Dayaguna Staf /hari (serendah-rendahnya 5); N = Jumlah Staf; dan

O = Output Puskesmas

Jika nilai S kurang dari 5 maka ada dua alternatif yang dapat ditempuh yaitu memindahkan tenaga Puskesmas yang berlebihan ke Puskesmas yang membutuhkan atau meningkatkan output Puskesmas.

Tabel dibawah ini menjelaskan kaitan antara output Puskesmas dengan jumlah staf yang diperlukan.

Tabel 4.4. Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja

No Output Puskesmas

Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya sedikit, jika tidak dapat disediakan melalui pengangkatan PNS Daerah, dapat diatasi kekurangan tenaganya dengan sistem kontrak yang dananya berasal dari daerah.

2. Menentukan jenis tenaga. Untuk hal tersebut diperlukan struktur organisasi Puskesmas

yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah masing-masing dengan mengacu kepada SK Mendagri No. 23 Tahun 1994.

Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam contoh model perhitungan:

a) Puskesmas di daerah terpencil, jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang.

b) Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan

25 tenaga.

c) Puskesmas perkotaan dengan penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga.

d) Puskesmas Perawatan di daerah terpencil, diperlukan 27 tenaga.

e) Puskesmas perawatan di daerah kepulauan, diperlukan 38 tenaga.

f) Puskesmas perawatan di daerah strategis, diperlukan 41 tenaga.

Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur pula tentang jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.

(32)

kebutuhan tenaga kesehatan di Puskesmas. Dalam periode satu tahun, Dinas Kesehatan melakukan paling sedikit satu kali kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan dan sebagian besar pelaksananya adalah Unit Kerja Eselon III (47,1%).

Secara umum perencanaan kebutuhan sudah cukup lengkap karena meliputi hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan di daerah. Jenis tenaga yang direncanakan oleh hampir semua Dinas Kesehatan adalah tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, sanitarian, apoteker, asisten apoteker, Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Selain tenaga-tenaga tersebut, ada pula Dinas Kesehatan yang merencanakan kebutuhan tenaga dokter spesialis, terapi fisik, dan terapi medis untuk ditempatkan di puskesmas perawatan.

Dalam menyusun rencana kebutuhan tenaga, dari seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lokasi penelitian, lebih dari separuhnya (52,6%) tidak menerapkan Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan seperti tercantum dalam Surat Keputusan Menkes No.81 Tahun 2004 dan hanya 47,4% yang melaksanakan pedoman. Alasan utama tidak digunakannya pedoman tersebut berturut-turut adalah belum adanya sosialisasi, keterbatasan tenaga, menyerahkan ke Badan Kepegawaian daerah, belum tahu dan belum membaca surat keputusan (SK).

Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada daerah kajian

Sedangkan pada pada kabupaten/kota yang menggunakan pedoman penyusunan perencanaan kebutuhan SDM (47,4%), metode yang paling sering digunakan berturut-turut adalah:

1. Ratio Method (35,3%)

2. Health Services Demand Method (29,4%)

3. Health Services Target Method (14,7%)

4. Health Need Method (2,9%)

5. Berdasarkan beban kerja dan berdasarkan sarana kesehatan (8,8%)

Walaupun telah digunakan di 47,4% kabupaten/kotalokasi penelitian, penerapan pedoman SK Menkes tersebut masih menghadapi kendala, yaitu belum ada sosialisasi tentang pedoman (47% kab/kota); kemudian berturut-turut diikuti oleh terbatasnya data dan

(33)

informasi (39% kab/kota); terbatasnya kapasitas tenaga perencana (37% kab/kota); terbatasnya dana (32%; dan masalah lainnya seperti pembagian antar unit yang tidak jelas, keterbatasan tenaga dan lain-lain.

Gambar 4.8. Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan di Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman

3% pembagian tugas antar unit yang tidak

jelas

Dengan demikian, sosialisasi tentang pedoman masih menjadi alasan utama tidak diterapkannya pedoman penyusunan rencana kebutuhan tenaga SDM kesehatan. Pada daerah yang telah menerapkan pedoman sekalipun, tidak adanya sosialisasi ini masih menjadi hambatan/kendala utama. Oleh karena itu, jika Kepmenkes No. 81/2004 dapat dianggap sebagai standar perencanaan tenaga kesehatan, maka sosialisasi pedoman ini menjadi sangat diperlukan ke seluruh daerah, baik yang sudah ataupun yang belum menggunakannya.

Sosialisasi ini dapat pula menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas tenaga perencana di daerah yang masih menjadi kendala besar bagi perencanaan. Dalam hal ini pemerintah pusat dan propinsi dapat mengambil peranannya. Sementara itu kendala pendanaan serta data dan informasi menjadi tugas penting yang perlu diselesaikan oleh daerah. Dengan pendekatan dan pembagian peran antara pusat dan daerah ini, diharapkan perencanaan tenaga kesehatan dapat menjadi lebih baik.

(34)

BKD, dengan demikian BKD mempunyai wewenang penuh terhadap formasi yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan.

Perbedaan kewenangan dalam pengusulan dan penetapan formasi tenaga kesehatan manjadi salah satu faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan antara usulan yang disampaikan dan formasi yang akhirnya ditetapkan dalam hal jumlah, jenis, distribusi dan kualifikasi.

Tabel 4.5. Persentase kabupaten/kota yang merasakan kesenjangan antara usulan dengan ketersediaan tenaga kesehatan

Persentase Kab/Kota menurut tingkat kesenjangan Jenis Kesenjangan

Sangat Kecil Kecil Besar Sangat Besar

Jumlah 5% 50% 34% 11%

Jenis tenaga 13% 53% 24% 11%

Distribusi 13% 53% 32% 3%

Kualifikasi 8% 71% 18% 3%

Dari tabel tersebut, dapat terlihat bahwa ketidaksesuaian antara jumlah dan jenis tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia masih cukup dirasakan oleh sebagian besar kab/kota. Kesenjangan besar dan sangat besar dalam dal jumlah dirasakan oleh 45% Kab/Kota, dan kesenjangan jenis (35%) dan distribusi tenaga dirasakan 35% Kab/Kota. Kesenjangan dalam hal kualifikasi, walaupun terasa, tapi dianggap cukup kecil oleh sebagian besar kab/kota.

2. Pengadaan

Berdasarkan hasil survei lapangan, diperoleh gambaran bahwa secara umum ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas masih dianggap tidak atau kurang mencukupi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Kekurangan ini dirasakan oleh Dinas Kesehatan dan petugas di Puskesmas. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari seluruh 13.793 tenaga kesehatan (17 jenis tenaga) yang dibutuhkan pada tingkat Kabupaten/kota di lokasi penelitian, hanya 9.216 tenaga atau 66,1 % yang tersedia. Dari tenaga keseahatan tersebut yang paling banyak dibutuhkan adalah bidan (4.565) dan perawat (4.492) dan yang mengalami persentase kekurangan paling besar diantaranya adalah SKM, perawat, sanitarian dan laboran.

Tabel 4.6 . Kebutuhan dan ketersediaan tenaga kesehatan di

kabupaten lokasi Kajian

Jenis Tenaga Kebutuhan Ketersediaan Kesenjangan

(%)

Asistem Apoteker 606 319 47,4

Ahli Gizi 652 404 38,0

(35)

Sanitarian 737 530 28,1

Epidemiolog 21 0 100,0

Laboran 109 79 27,5

Total 13.793 9.216 33,2

Masalah utama yang dihadapi oleh kabupaten/kota dalam pengangkatan pegawai baru adalah keterbatasan formasi yang terjadi di 63,6 % kabupaten tertinggal dan 46,2 % di daerah tidak tertinggal pada daerah penelitian. Sedangkan masalah berikutnya adalah keterbatasan dana (18,2 % kabupaten tertinggal dan 34,6% kabupaten tak tertinggal), kemudian di susul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain. Ketiga masalah terakhir relatif hanya terjadi pada 15% kab/kota atau kurang (lihat Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Masalah Utama Dalam Pengadaan Nakes di Kabupaten Tertinggal dan Tak Tertinggal

Kab. Tertinggal Kab. Tak Tertinggal Masalah Utama

% % Masalah Regulasi 9.1 9.6

Masalah Peminat Terbatas 0.0 5.8 Masalah Terbatasnya Lulusan 9.1 1.9 Masalah Dana Terbatas 18.2 34.6 Masalah Terbatasnya Formasi 63.6 46.2 Masalah Lainnya 0.0 1.9

Dari tabel tersebut terlihat bahwa masalah utama pengadaan tenaga kesehatan baik yang di kabupaten tertinggal maupun tak tertinggal adalah terbatasnya formasi. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004, dari 12 jenis tenaga kesehatan di puskesmas, seluruh kabupaten/kota lokasi penelitian mengajukan usulan pengangkatan tenaga kesehatan yang terdiri dari 1.701 PNS dan 1.439 PTT. Namun dengan keterbatasan formasi yang ada, yang berhasil direalisasikan hanya 1.085 PNS dan 1.196 PTT atau masing-masing sebesar 63,8% dan 83,1% dari yang diusulkan. Sementara itu pada tahun yang sama 11 PNS dan 95 PTT memasuki masa pensiun atau menyelesaikan masa baktinya. Hal semakin memperburuk keadaaan tenaga kesehatan di daerah, apabila tidak diimbangi dengan realisasi pengangkatan tenaga kesehatan yang lebih besar.

(36)

Masalah pengadaan ini tidak hanya dirasakan oleh Dinas Kesehatan, tetapi juga di Puskesmas. Dari hasil penelitian pada Puskesmas di 38 kabupaten, 58,2 % Puskesmas di antaranya merasa bahwa ketersediaan tenaga kesehatan kurang, 35,4 % yang menyatakan cukup dan hanya 3,8 % yang menyatakan berlebih (gambar 4.9). Kekurangan ini terutama sekali dirasakan untuk tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (75,2%), Perawat (73,4%) dan Perawat (71,9%) seperti terlihat pada tabel sebelumnya.

Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di

Puskesmas

3. Penempatan

Dalam rangka pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, Dinas kesehatan menetapkan beberapa kriteria yang digunakan. Berikut ini adalah kriteria yang sering digunakan untuk menentukan penempatan tenaga dokter di puskesmas dan persentase kab/kota yang menggunakan kriteria tersebut.

Tabel 4.8 Kriteria penempatan tenaga kesehatan di lokasi kajian

Dokter PTT Bidan PTT

Puskesmas yang tidak ada dokter 84,2% Desa tidak ada bidan 84,2%

Rasio puskesmas terhadap Penduduk 57,9% Desa terpencil 50,0%

Cakupan pelayanan Puskesmas 44,7% Angka kesakitan 28,9%

Puskesmas Daerah Terpencil 31,6% Lainnya 7,9%

Angka Kesakitan 10,5%

Lainnya 2,6%

Dari tabel di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan dokter dan bidan PTT adalah puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan. Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai bidan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah mengikuti pedoman,

metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method. Bila dihubungkan dengan

kriteria penempatan dokter, justru sebagian besar kab/kota secara sederhana

(37)

perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan tenaga per individu puskesmas.

Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter per puskesmas kurang dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas tanpa tenaga dokter, (lihat gambar 4.8 di atas, rasio dokter per puskesmas), maka bisa diduga bahwa penggunaan kriteria puskesmas tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk penempatan dokter dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang.

Permasalahan bisa muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter tidak sesuai dengan kondisi lapangan, artinya tidak pada lokasi yang telah diusulkan oleh Dinas Kesehatan. Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD dan Dinas Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden (47,4%) menyatakan bahwa kewenangan penempatan ada pada Dinas Kesehatan atau DInas Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada Dinas Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6% kab/kota menyatakan kewenangan pada badan lain seperti Bupati.

Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala Puskesmas dan tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar separuh reponden menyatakan ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi pendaftaran pegawai baru, proses administrasi, seleksi penerimaan, penempatan, pengadaan penerimaan pegawai baru dan proses mutasi.

4. Mutu Tenaga Kesehatan

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:

1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan

yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan

2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi

standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21)

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub Sistem Sumberdaya Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi”. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan; 2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan; 3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing organisasi profesi; dan 4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.

(38)

Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010

Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan. Secara kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005). Data hasil akreditasi ini antara lan menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak upaya dan kegiatan untuk lebih meningkatkan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Hasil survei lapangan juga menunjukkan bahwa sekitar 70,6% responden menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di Puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adapatsi ataupun pelatihan di puskesmas. Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas di puskesmas sekitar 78,4% responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Adapun jenis pelatihan yang diikuti adalah sebagian besar merupakan pelatihan teknis fungsional (85,7%). Penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan di Puskesmas pada umumnya adalah Dinas Kesehatan Propinsi (36%), Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (25,5%), dan Departemen Kesehatan (5,1%).

Dengan mempertimbangkan pentingnya arti pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, maka sebagian besar Dinas Kesehatan (76,5%) memiliki rencana tahunan untuk jenis pelatihan yang dibutuhkan. Jenis pelatihan tersebut antara lain meliputi Pelatihan Fungsional dan Manajerial (50%), Fungsional (14,7%), dan Manajerial (5,9%). Untuk menunjang pelaksanaan pelatihan, sumber pembiayaan untuk kegiatan pelatihan adalah APBD Kab/Kota (44,1%), APBD Propinsi (38,2%), APBN (38,2%) dan sumber lainnya (11,8%).

Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap tenaga kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek profesinya. Sebagai bagian dari tahapan registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan “uji kompetensi” yang yang dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan. Dalam masa transisi, “uji kompetensi” ini dapat diberlakukan dengan menggunakan metode yang disepakati bersama antara Dinas Kesehatan dan organisasi profesi.

Departemen Kesehatan menetapkan bahwa bagi tenaga kesehatan yang lulus dari institusi pendidikan tenaga kesehatan dibawah pembinaan Departemen Kesehatan dapat langsung diregistrasi.

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan NasionalOutcome
Tabel 2.1 Daftar Lokasi (Sampel) Kajian Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan
Gambar 4.1  Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004.
Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

ekspor kakao dilakukan dengan menggunakan analisis regresi dengan variabel dependen adalah volume ekspor kakao di Provinsi Lampung dan variabel independen

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,

Penyaringan pemakanan adalah merupakan sebahagian daripada Piawaian Professional Pegawai Dietetik di United Kingdom (British Dietetic Association 1997) dengan

kesejahteraan rakyat yang diantaranya meliputi aspek ekonomi dan Pendidikan oleh pemerintah dewasa ini belum menunjukan hasil sesuai yang diharapkan rakyat Indonesia

Dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa motivasi kerja dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan dengan kinerja guru, maka disarankan kepada:.. 5.2.1

Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Lama Kerja Sebagai.. Variabel Moderating (Studi pada

Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik?. “Jangan takut Pak, aku

Sesuai dengan metode penelitian, inferensi atau pemaknaan nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik, yang dikonstruk