• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Tenaga Kesehatan

Dalam dokumen KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESE (Halaman 30-40)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Kebijakan Tenaga Kesehatan

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP

tersebut antara lain dinyatakan:

ƒ Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan

yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);

ƒ Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan (pasal 6 ayat 4).

Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana

penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana

kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana).

Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:

1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun

global;

2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan

selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;

3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan

Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;

4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian

metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method,

Health Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain

yang merupakan pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List

(Daftar Susunan Pegawai atau DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau

Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja; Skenario/Proyeksi dari WHO; dan penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana.

Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan

ini bisa digunakan di berbagai unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain.

Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-DSP (Authorized Staffing List) adalah

sebagai berikut.

1. Menghitung produktivitas Puskesmas secara kolektif dengan mengunakan rumus:

S = O/ 300 x N;

dimana : S = Dayaguna Staf /hari (serendah-rendahnya 5); N = Jumlah Staf; dan

O = Output Puskesmas

Jika nilai S kurang dari 5 maka ada dua alternatif yang dapat ditempuh yaitu memindahkan tenaga Puskesmas yang berlebihan ke Puskesmas yang membutuhkan atau meningkatkan output Puskesmas.

Tabel dibawah ini menjelaskan kaitan antara output Puskesmas dengan jumlah staf yang diperlukan.

Tabel 4.4. Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja

No Output Puskesmas

(O: Orang /Tahun)

Jumlah Staf (N: Orang) Dayaguna Staf/Hari (S) 1 2 3 4 5 <30.000 300.000-50.000 50.000-70.000 70.000-10.000 >100.000 16 21 30 40 >40 6.25 5,2-8,8 5,5-7,7 5,8-8,3 6,6

Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya sedikit, jika tidak dapat disediakan melalui pengangkatan PNS Daerah, dapat diatasi kekurangan tenaganya dengan sistem kontrak yang dananya berasal dari daerah.

2. Menentukan jenis tenaga. Untuk hal tersebut diperlukan struktur organisasi Puskesmas

yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah masing-masing dengan mengacu kepada SK Mendagri No. 23 Tahun 1994.

Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam contoh model perhitungan:

a) Puskesmas di daerah terpencil, jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang.

b) Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan

25 tenaga.

c) Puskesmas perkotaan dengan penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga.

d) Puskesmas Perawatan di daerah terpencil, diperlukan 27 tenaga.

e) Puskesmas perawatan di daerah kepulauan, diperlukan 38 tenaga.

f) Puskesmas perawatan di daerah strategis, diperlukan 41 tenaga.

Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur pula tentang jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.

Hasil survei di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada dasarnya responden Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan penyusunan rencana

kebutuhan tenaga kesehatan di Puskesmas. Dalam periode satu tahun, Dinas Kesehatan melakukan paling sedikit satu kali kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan dan sebagian besar pelaksananya adalah Unit Kerja Eselon III (47,1%).

Secara umum perencanaan kebutuhan sudah cukup lengkap karena meliputi hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan di daerah. Jenis tenaga yang direncanakan oleh hampir semua Dinas Kesehatan adalah tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, sanitarian, apoteker, asisten apoteker, Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Selain tenaga-tenaga tersebut, ada pula Dinas Kesehatan yang merencanakan kebutuhan tenaga dokter spesialis, terapi fisik, dan terapi medis untuk ditempatkan di puskesmas perawatan.

Dalam menyusun rencana kebutuhan tenaga, dari seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lokasi penelitian, lebih dari separuhnya (52,6%) tidak menerapkan Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan seperti tercantum dalam Surat Keputusan Menkes No.81 Tahun 2004 dan hanya 47,4% yang melaksanakan pedoman. Alasan utama tidak digunakannya pedoman tersebut berturut-turut adalah belum adanya sosialisasi, keterbatasan tenaga, menyerahkan ke Badan Kepegawaian daerah, belum tahu dan belum membaca surat keputusan (SK).

Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada daerah kajian

Sedangkan pada pada kabupaten/kota yang menggunakan pedoman penyusunan perencanaan kebutuhan SDM (47,4%), metode yang paling sering digunakan berturut-turut adalah:

1. Ratio Method (35,3%)

2. Health Services Demand Method (29,4%)

3. Health Services Target Method (14,7%)

4. Health Need Method (2,9%)

5. Berdasarkan beban kerja dan berdasarkan sarana kesehatan (8,8%)

Walaupun telah digunakan di 47,4% kabupaten/kotalokasi penelitian, penerapan pedoman SK Menkes tersebut masih menghadapi kendala, yaitu belum ada sosialisasi tentang pedoman (47% kab/kota); kemudian berturut-turut diikuti oleh terbatasnya data dan

Terpusat ke BKD 5% Belum Membaca SK 5% Belum tahu 26% Keterbatasan Tenaga 11% Baru saja disosialisasi 5% Belum ada sosialisasi 48%

informasi (39% kab/kota); terbatasnya kapasitas tenaga perencana (37% kab/kota); terbatasnya dana (32%; dan masalah lainnya seperti pembagian antar unit yang tidak jelas, keterbatasan tenaga dan lain-lain.

Gambar 4.8. Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan di Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman

3% 3% 5% 13% 13% 32% 37% 39% 47% 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 SK Menpan No. B/401/3/2005 Belum Dilaksanakan Keterbatasan tenaga pembagian tugas antar unit yang tidak

jelas

Ya terbatasnya dana terbatasnya kapasitas tenaga

perencana terbatasnya data dan informasi

belum ada sosialisasi tentang pedoman

Dengan demikian, sosialisasi tentang pedoman masih menjadi alasan utama tidak diterapkannya pedoman penyusunan rencana kebutuhan tenaga SDM kesehatan. Pada daerah yang telah menerapkan pedoman sekalipun, tidak adanya sosialisasi ini masih menjadi hambatan/kendala utama. Oleh karena itu, jika Kepmenkes No. 81/2004 dapat dianggap sebagai standar perencanaan tenaga kesehatan, maka sosialisasi pedoman ini menjadi sangat diperlukan ke seluruh daerah, baik yang sudah ataupun yang belum menggunakannya.

Sosialisasi ini dapat pula menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas tenaga perencana di daerah yang masih menjadi kendala besar bagi perencanaan. Dalam hal ini pemerintah pusat dan propinsi dapat mengambil peranannya. Sementara itu kendala pendanaan serta data dan informasi menjadi tugas penting yang perlu diselesaikan oleh daerah. Dengan pendekatan dan pembagian peran antara pusat dan daerah ini, diharapkan perencanaan tenaga kesehatan dapat menjadi lebih baik.

Dalam proses selanjutnya, rencana kebutuhan tenaga diusulkan kepada pihak yang berwenang di masing-masing daerah. Berdasarkan hasil survey, pihak yang berwenang menentukan usulan ini ternyata berbeda untuk masing-masing daerah, yaitu: (1) Dinas Kesehatan Kabupaten bersama-sama dengan Badan Kepegawaian Daerah (52,6%); (2) Dinas Kesehatan (44,7%); dan (3) BKD (2,6%). Dalam hal ini, sebagian besar usulan ditentukan bersama-sama oleh Dinas Kesehatan dan BKD. Demikian pula dalam hal formasi tenaga kesehatan, pada sebagian besar Kab/Kota (52,6%) wewenang formasi ada pada Dinas Kesehatan dan BKD. Hal ini bisa diartikan bahwa pada sebagian besar Kab/Kota, formasi ini ditentukan setelah melakukan koordinasi antara Dinas Kesehatan dan BKD. Akan tetapi pada sepertiga Kab/Kota (31,6%), wewenang formasi ada pada

BKD, dengan demikian BKD mempunyai wewenang penuh terhadap formasi yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan.

Perbedaan kewenangan dalam pengusulan dan penetapan formasi tenaga kesehatan manjadi salah satu faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan antara usulan yang disampaikan dan formasi yang akhirnya ditetapkan dalam hal jumlah, jenis, distribusi dan kualifikasi.

Tabel 4.5. Persentase kabupaten/kota yang merasakan kesenjangan antara usulan dengan ketersediaan tenaga kesehatan

Persentase Kab/Kota menurut tingkat kesenjangan Jenis Kesenjangan

Sangat Kecil Kecil Besar Sangat Besar

Jumlah 5% 50% 34% 11%

Jenis tenaga 13% 53% 24% 11%

Distribusi 13% 53% 32% 3%

Kualifikasi 8% 71% 18% 3%

Dari tabel tersebut, dapat terlihat bahwa ketidaksesuaian antara jumlah dan jenis tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia masih cukup dirasakan oleh sebagian besar kab/kota. Kesenjangan besar dan sangat besar dalam dal jumlah dirasakan oleh 45% Kab/Kota, dan kesenjangan jenis (35%) dan distribusi tenaga dirasakan 35% Kab/Kota. Kesenjangan dalam hal kualifikasi, walaupun terasa, tapi dianggap cukup kecil oleh sebagian besar kab/kota.

2. Pengadaan

Berdasarkan hasil survei lapangan, diperoleh gambaran bahwa secara umum ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas masih dianggap tidak atau kurang mencukupi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Kekurangan ini dirasakan oleh Dinas Kesehatan dan petugas di Puskesmas. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari seluruh 13.793 tenaga kesehatan (17 jenis tenaga) yang dibutuhkan pada tingkat Kabupaten/kota di lokasi penelitian, hanya 9.216 tenaga atau 66,1 % yang tersedia. Dari tenaga keseahatan tersebut yang paling banyak dibutuhkan adalah bidan (4.565) dan perawat (4.492) dan yang mengalami persentase kekurangan paling besar diantaranya adalah SKM, perawat, sanitarian dan laboran.

Tabel 4.6 . Kebutuhan dan ketersediaan tenaga kesehatan di

kabupaten lokasi Kajian

Jenis Tenaga Kebutuhan Ketersediaan Kesenjangan

(%) Dokter 987 593 39,9 Dokter Spesialis 64 30 53,1 Dokter Gigi 497 294 40,8 Bidan 4565 2951 35,4 Perawat 4492 3295 26,6 Apoteker 89 47 47,2 Asistem Apoteker 606 319 47,4 Ahli Gizi 652 404 38,0

Sanitarian 737 530 28,1

Terapi Fisik 108 72 33,2

Teknis Medis 203 68 66,5

Rontgen 4 1 75,0

Perawat Gigi 62 36 41,9

Penyuluh Kes. Masy. 182 82 54,9

Epidemiolog 21 0 100,0

Laboran 109 79 27,5

Total 13.793 9.216 33,2

Masalah utama yang dihadapi oleh kabupaten/kota dalam pengangkatan pegawai baru adalah keterbatasan formasi yang terjadi di 63,6 % kabupaten tertinggal dan 46,2 % di daerah tidak tertinggal pada daerah penelitian. Sedangkan masalah berikutnya adalah keterbatasan dana (18,2 % kabupaten tertinggal dan 34,6% kabupaten tak tertinggal), kemudian di susul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain. Ketiga masalah terakhir relatif hanya terjadi pada 15% kab/kota atau kurang (lihat Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Masalah Utama Dalam Pengadaan Nakes di Kabupaten Tertinggal dan Tak Tertinggal

Kab. Tertinggal Kab. Tak Tertinggal Masalah Utama

% % Masalah Regulasi 9.1 9.6

Masalah Peminat Terbatas 0.0 5.8 Masalah Terbatasnya Lulusan 9.1 1.9 Masalah Dana Terbatas 18.2 34.6 Masalah Terbatasnya Formasi 63.6 46.2 Masalah Lainnya 0.0 1.9

Dari tabel tersebut terlihat bahwa masalah utama pengadaan tenaga kesehatan baik yang di kabupaten tertinggal maupun tak tertinggal adalah terbatasnya formasi. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004, dari 12 jenis tenaga kesehatan di puskesmas, seluruh kabupaten/kota lokasi penelitian mengajukan usulan pengangkatan tenaga kesehatan yang terdiri dari 1.701 PNS dan 1.439 PTT. Namun dengan keterbatasan formasi yang ada, yang berhasil direalisasikan hanya 1.085 PNS dan 1.196 PTT atau masing-masing sebesar 63,8% dan 83,1% dari yang diusulkan. Sementara itu pada tahun yang sama 11 PNS dan 95 PTT memasuki masa pensiun atau menyelesaikan masa baktinya. Hal semakin memperburuk keadaaan tenaga kesehatan di daerah, apabila tidak diimbangi dengan realisasi pengangkatan tenaga kesehatan yang lebih besar.

Berbagai upaya dilakukan oleh daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan. Karena sebagian besar kabupaten/kota dihadapkan pada jumlah formasi yang terbatas, pemerintah daerah kemudian mengajukan tambahan formasi berupa tenaga PTT ke Pemerintah Pusat. Sebanyak 63% kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga kesehatan PTT (dokter umum, dokter gigi dan bidan) ke pusat. Pengajuan PTT ke pemerintah pusat merupakan salah satu strategi dari pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan di daerahnya. Karenanya upaya ini dilanjutkan dengan perekrutan tenaga PTT Pusat tersebut menjadi PNS daerah.

Masalah pengadaan ini tidak hanya dirasakan oleh Dinas Kesehatan, tetapi juga di Puskesmas. Dari hasil penelitian pada Puskesmas di 38 kabupaten, 58,2 % Puskesmas di antaranya merasa bahwa ketersediaan tenaga kesehatan kurang, 35,4 % yang menyatakan cukup dan hanya 3,8 % yang menyatakan berlebih (gambar 4.9). Kekurangan ini terutama sekali dirasakan untuk tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (75,2%), Perawat (73,4%) dan Perawat (71,9%) seperti terlihat pada tabel sebelumnya.

Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di

Puskesmas

3. Penempatan

Dalam rangka pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, Dinas kesehatan menetapkan beberapa kriteria yang digunakan. Berikut ini adalah kriteria yang sering digunakan untuk menentukan penempatan tenaga dokter di puskesmas dan persentase kab/kota yang menggunakan kriteria tersebut.

Tabel 4.8 Kriteria penempatan tenaga kesehatan di lokasi kajian

Dokter PTT Bidan PTT Kriteria % Kab/kota yang menggunakan kriteria Kriteria % Kab/kota yang menggunakan kriteria

Puskesmas yang tidak ada dokter 84,2% Desa tidak ada bidan 84,2%

Rasio puskesmas terhadap Penduduk 57,9% Desa terpencil 50,0%

Cakupan pelayanan Puskesmas 44,7% Angka kesakitan 28,9%

Puskesmas Daerah Terpencil 31,6% Lainnya 7,9%

Angka Kesakitan 10,5%

Lainnya 2,6%

Dari tabel di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan dokter dan bidan PTT adalah puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan. Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai bidan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah mengikuti pedoman,

metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method. Bila dihubungkan dengan

kriteria penempatan dokter, justru sebagian besar kab/kota secara sederhana

2.5% 3.8% 35.4% 58.2% 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 Sangat kurang Berlebih Cukup Kurang

perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan tenaga per individu puskesmas.

Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter per puskesmas kurang dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas tanpa tenaga dokter, (lihat gambar 4.8 di atas, rasio dokter per puskesmas), maka bisa diduga bahwa penggunaan kriteria puskesmas tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk penempatan dokter dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang.

Permasalahan bisa muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter tidak sesuai dengan kondisi lapangan, artinya tidak pada lokasi yang telah diusulkan oleh Dinas Kesehatan. Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD dan Dinas Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden (47,4%) menyatakan bahwa kewenangan penempatan ada pada Dinas Kesehatan atau DInas Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada Dinas Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6% kab/kota menyatakan kewenangan pada badan lain seperti Bupati.

Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala Puskesmas dan tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar separuh reponden menyatakan ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi pendaftaran pegawai baru, proses administrasi, seleksi penerimaan, penempatan, pengadaan penerimaan pegawai baru dan proses mutasi.

4. Mutu Tenaga Kesehatan

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:

1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan

yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan

2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi

standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21)

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub Sistem Sumberdaya Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi”. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan; 2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan; 3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing organisasi profesi; dan 4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang penting untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan. Hal tersebut diatur melalui Departemen

Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010

Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan. Secara kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005). Data hasil akreditasi ini antara lan menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak upaya dan kegiatan untuk lebih meningkatkan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Hasil survei lapangan juga menunjukkan bahwa sekitar 70,6% responden menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di Puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adapatsi ataupun pelatihan di puskesmas. Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas di puskesmas sekitar 78,4% responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Adapun jenis pelatihan yang diikuti adalah sebagian besar merupakan pelatihan teknis fungsional (85,7%). Penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan di Puskesmas pada umumnya adalah Dinas Kesehatan Propinsi (36%), Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (25,5%), dan Departemen Kesehatan (5,1%).

Dengan mempertimbangkan pentingnya arti pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, maka sebagian besar Dinas Kesehatan (76,5%) memiliki rencana tahunan untuk jenis pelatihan yang dibutuhkan. Jenis pelatihan tersebut antara lain meliputi Pelatihan Fungsional dan Manajerial (50%), Fungsional (14,7%), dan Manajerial (5,9%). Untuk menunjang pelaksanaan pelatihan, sumber pembiayaan untuk kegiatan pelatihan adalah APBD Kab/Kota (44,1%), APBD Propinsi (38,2%), APBN (38,2%) dan sumber lainnya (11,8%).

Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap tenaga kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek profesinya. Sebagai bagian dari tahapan registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan “uji kompetensi” yang yang dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan. Dalam masa transisi, “uji kompetensi” ini dapat diberlakukan dengan menggunakan metode yang disepakati bersama antara Dinas Kesehatan dan organisasi profesi.

Departemen Kesehatan menetapkan bahwa bagi tenaga kesehatan yang lulus dari institusi pendidikan tenaga kesehatan dibawah pembinaan Departemen Kesehatan dapat langsung diregistrasi.

Dalam tabel berikut digambarkan kondisi beberapa jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan.

Tabel 4.9 Jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan

No Org. Profesi Std.

Profesi

Etika

Profesi Registrasi Sertifikasi Lisensi

Kepmen Reg. Std. Komp. RUU 1 I D I √ √ √ √ √ √ √ √ 2 P P N I √ √ √ √ √ √ √ 3 I B I √ √ √ √ √ √ √ √ 4 P D G I √ √ √ √ √ √ √ √ 5 I S F I √ √ √ √ √ √ √ 6 PERSAGI √ √ DRAFT √ √ 7 HAKLI √ √ √ √ DRAFT √ √ 8 IKATEMI √ √ √ 9 IROPIN/R.O √ √ √ √ √ 10 Ik.Tehniker Gigi 11 Ik. Physioterapy √ √ √ √ √ √ √ 12 P A R I √ √ 13 P A F I 14 P P G I 15 Otorik Prostetik 16 Tehnisi Transfusi

*) Sumber : Pusat Profesi Tenaga Kesehatan, Mei 2004

Dari tabel tersebut terlihat bahwa masih diperlukan berbagai upaya dan langkah- langkah untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan praktek profesi yang dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi.

Pada era desentralisasi, upaya pembinaan dan pengawasan praktek profesi tersebut menjadi salah satu upaya yang penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Sebagai contoh, di Propinsi Jawa Tengah, dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan, telah dibentuk Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah (MTKP Jawa Tengah) melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 24 Tahun 2004, Tanggal 24 Maret 2004.

Tugas MTKP Jawa Tengah adalah:

a. Melaksanakan registrasi tenaga kesehatan

b. Melakukan sertifikasi tenaga kesehatan

c. Menetapkan standar pendidikan kesehatan berkelanjutan

d. Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

pelayanan kesehatan yang digunakan dalam praktik sesuai keputusan organisasi profesi

e. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan praktik kesehatan

f. Menetapkan peraturan pelaksanaan guna kelancaran pelaksanaan tugas

g. Menyampaikan hasil pelaksanaan tugas tersebut huruf a sampai dengan huruf f

kepada Gubernur.

MTKP Jawa Tengah ini dibentuk sebagai upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk secara langsung maupun tak langsung, meningkatkan kualitas atau mutu pelayanan kesehatan bagi individu maupun masyarakat yang membutuhkan dan mempersempit kesenjangan yang ada antara harapan masyarakat dengan pelayanan yang diterimanya sampai saat ini. MTKP juga berfungsi untuk memberikan perlindungan dan kepastian

hukum bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan, maupun bagi para petugas yang memberikan pelayanan profesi kesehatan.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, MTKP Jawa Tengah mempunyai kewenangan dalam hal:

a. Meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan registrasi tenaga

kesehatan

b. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi tenaga kesehatan

c. Menerbitkan dan mencabut sertifikasi registrasi tenaga kesehatan

d. Mengesahkan standar kompetensi tenaga kesehatan yang sudah ditetapkan oleh

masing-masing organisasi profesi

e. Memantau dan memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran pelaksanaan

praktik kesehatan.

Bersama lima Organisasi Profesi Jawa Tengah (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dan Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah telah berhasil menyusun Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Berkelanjutan dan Perangkat Uji Kompetensi

dengan menggunakan Sistim OSCA (Objectve Structure Competencies Assessment), yaitu

kajian kompetensi terstruktur dan obyektif bagi lima Organisasi Profesi tersebut. Sistim OSCA tersebut juga telah digunakan oleh 5 (lima) Institusi Tenaga Kesehatan Keperawatan dan selanjutnya akan digunakan secara menyeluruh untuk semua Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan di Jawa Tengah.

Upaya terobosan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Popinsi Jawa Tengah tersebut perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama Departemen Kesehatan

Dalam dokumen KAJIAN KEBIJAKAN PERENCANAAN TENAGA KESE (Halaman 30-40)

Dokumen terkait