a. Pengertian Piercing The Corporate Veil
Kata “piercing the corporate veil” terdiri dari kata pierce yang bisa di artikan menembus atau menyingkapi, veil
yang bisa diartikan tirai atau kerudung dan corporation yang
berarti perusahaan. Karena itu secara harafiah istilah “piercing
the corporate veil” berarti menembus/menyingkapi
tirai/kerudung perusahaan.79 Sedangkan dalam Black’s Law
Dictionary, corporate veil diartikan sebagai:
“the legal assumtion that the acts of a corporation are not the actions of its shareholders, so that the shareholders are exempt
from liability for the corporation’s actions”. Sedang piercing the corporate veil diartikan sebagai: “the judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate
officers, directorsand shareholders for the corporation’s
wrongful acts.” 80
Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan
teori penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate
veil) merupakan topik yang sangat populer dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum (modern) di kebanyakan negara lain. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk
mencapai “keadilan” khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak
perusahaan mempunyai hubungan hukum tertentu.81
79
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 7.
80
Tri Budiyono, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media, Salatiga 2009, h. 150.
81
Secara teoritik, terma piercing the corporate veil merupakan payung terhadap terma-terma lain yang memiliki pengertian dan maksud yang hampir sama dengan terma tersebut. Beberapa terma lain yang memiliki makna yang
hampir sama dengan terma ini, yaitu: alter ego, mere
instrumentality, shell, dummy, fiction, lifting the corporate veil, going behind the corporate veil atau disregarding the corporate entity.
Doktrin piercing the corporate veil mempunyai tujuan
untuk mencapai keadilan dengan cara sebagai berikut :82
a) suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak
orang atau perusahaan lain, atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan.
b) A doctrine that say that if a shareholder dominates a corporation and misues it for improper purposes, a court of equity can disregard the corporate entity and hold the
shareholder personally liable for the corporation’s debt
and obligation.
Doktrin piercing the corporate veil ini muncul oleh
karena doktrin tanggung jawab terbatas yang diterapkan dalam PT seringkali justru menjadi sumber ketidak-adilan bagi kelompok-kelompok tertentu. Keuntungan yang diterima oleh pemegang saham menimbulkan kerugian pada pihak-pihak lain, yang juga memiliki kepentingan terhadap perseroan. Untuk mengimbanginya, tanggung jawab pemegang saham yang
82
semula bersifat terbatas kemudian diabaikan dan kepadanya
diberlakukan tanggung jawab secara pribadi.83
Adapun yang merupakan kriteria dasar dan universal
agar suatu piercing the corporate veil secara hukum dapat
dijatuhkan adalah sebagai berikut:84
1. Terjadinya penipuan.
2. Didapatkan suatu ketidakadilan.
3. Terjadinya suatu penindasan (oppression).
4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).
5. Dominasi pemegang saham yang berlebihan.
6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham
mayoritasnya.
Selanjutnya terdapat beberapa contoh fakta yang secara
universal mestinya teori piercing the corporate veil dapat
diterapkan, antara lain, sebagai berikut:85
1. Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil). Modal yang
tidak layak ini (capital adequacy) menjadi faktor yang
krusial, apalagi terhadap perusahaan publik atau perusahaan finansial, seperti bank, asuransi, dan lain-lain.
2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.
3. Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.
4. Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara
menyalahgunakan badan hukum perseroan.
5. Terjadi tansfer modal/aset perseroan kepada pemegang
saham.
6. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu.
Misalnya, tidak dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.
7. Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan
perseroan.
8. Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai
kelayakan permodalan dan asuransi.
9. Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan
record keeping. Misalnya, terjadi percampuradukan antara dana milik perseroan dan dana milik pribadi pemegnag saham.
83Ibid. 84
Munir Fuady, Op.Cit., h. 9.
85
10.Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawab yang lebih besar karena kemungkinan
gugatan dari pihak korban tabrakan, pengusaha taxi
membuat perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah
untuk setiap taxi yang dimilikinya.
11.Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor
bahwa seolah-olah perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan aset yang banyak; mengingat pemegang sahamnya memang memiliki aset yang besar.
12.Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar,
kecenderungan untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan tunggal.
13.Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang
di sebut juga sebagai instrumentality, dummy, atau agent)
dari pemegang saham yang bersangkutan.
14.Teori piercing the corporate veil dterapkan untuk alasan
ketertiban umum (openbare order). Misalnya,
menggunakan perusahaan untuk melaksanakan hal-hal yang
tidak pantas (improper conduct).
15.Teori piercing the corporate veil diterapkan terhadap
kasus-kasus kuasi kriminal (quasi-criminal). Misalnya, jika
perusahaan dipergunakan sebagai sarana untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.
b. Piercing The Corporate Veil dalam Tatanan Hukum
Perusahaan
Sejak Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 dan juga setelah diganti dengan Undang-Undang
No. 40 tahun 2007, telah mentransplantasikan doktrin piercing
the corporate veil. Doktrin ini mengasumsikan tanggung jawab terbatas diibaratkan seperti cadar yang berpotensi untuk disalah gunakan oleh pemegang saham (khususnya pemegang saham mayoritas atau pengendali) untuk mencari keuntungan bagi
dirinya sendiri. Dengan memposisikan PT sebagai alter ego
atau dummy (boneka) dari pemegang saham mayoritas atau
pengendali. PT dijadikan instrumen untuk kepentingan pemegang saham tersebut. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi percampuran kepentingan PT dengan kepentingan pemegang saham secara pribadi. Atau dengan kata lain, secara substansial, tidak ada pemisahan harta lagi PT dengan harta
pribadi pemegang saham.86
Transplantasi doktrin piercing the corporate veil ini
dapat dicermati dari rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007, yang menyatakan
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau
tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung secara melawan hukum
menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Dengan ditransplantasikannya doktrin piercing the
corporate veil ini, maka dalam keadaan normal seorang pemagang saham memikul tanggung gugat secara terbatas, yaitu sampai dengan jumlah saham yang dimilikinya pada suatu Perseroan. Namun demikian dalam keadaan tidak normal, yaitu dalam hal 4 (empat) hal yang dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) tersebut terpenuhi, maka tanggung gugat terbatas seorang
86
Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 104.
pemegang saham menjadi gugur dan kepadanya dipikulkan
tanggung gugat pribadi.87
Transplantasi doktrin piercing the corporate veil
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga, utamanya kreditur peseroan. Beban pembuktian yang dipikulkan kepada pemegang saham atau induk perusahaan merupakan konsekwensi logis karena pemegang saham merupakan pihak yang memiliki keterdekatan yang tinggi terhadap perseroan. Lagi pula, akses untuk melakukan pembuktian bagi pemegang saham akan jauh lebih mudah dibandingkan apabila pembuktian dibebankan kepada pihak ketiga yang memiliki kepentingan untuk digugurkannya tanggung gugat terbatas. Pendekatan ini dianggap lebih
fungsional.88
e. Perluasan Tanggung Jawab Pemegang Saham
Secara prinsip tanggung jawab hukum induk perusahaan (holding company) sebagai pemegang saham hanya terbatas pada nilai
saham setornya, namun dalam hal-hal tertentu hukum
memperkenalkan atau setidak-tidaknya memperkenankan tanggung jawab hukum pemegang saham melebihi dari tanggung jawab sebatas saham setornya, yang dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam dua
keompok, yaitu89: 87 Ibid., h. 105. 88Ibid. , h. 106. 89
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 126.
1) Perluasan tanggung jawab pemegang saham/induk perusahaan berdasarkan peraturan perundang-undangan
a) Tanggung jawab induk perusahaan dalam proses pendirian
Perseroan terbatas
Transaksi yang dilakukan sebelum pengesahan
anggaran dasar oleh Menteri, maka masing-masing para pendiri melakukan perbuatan yang bersangkutan akan bertanggung jawab secara pribadi. Kecuali jika perseroan secara tegas
melakukan “ratifikasi”. Tetapi apabila pemegang saham
merangkap pula sebagai pengurus, maka sebagai pengurus, meskipun sudah ada pengesahan anggaran dasar oleh Menteri, para pengurus tersebut masih saja bertanggung jawab secara tanggung-renteng sampai dengan adanya pendaftaran dalam Daftar Perusahaan dan pengumumannya dalam Tambahan Berita Negara RI.
b) Tanggung jawab induk perusahaan karena doktrin piercing the
corporate veil
Doktrin piercing the corporate veil tidak terdapat dalam
KUHD, tetapi secara sangat simple diatur dalam UU PT. Doktrin ini mengajarkan bahwa suatu badan hukum bertangggung jawab secara hukum hanya terbatas saham yang dimilikinya, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus.
2) Perluasan tanggung jawab pemegang saham/induk perusahaan berdasarkan ikatan kontraktual
Prinsip tanggung jawab badan hukum yang mandiri juga dapat diterobos dengan adanya ikatan-ikatan kontrak, yang memang di maksudkan sebagai terobosan. Kontrak-kontrak tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Tanggung jawab induk perusahaan karena adanya kontrak yang
bersifat kebendaan
Induk perusahaan dapat melakukan kontrak-kontrak yang bersifat kebendaan dalam hubungan dengan kegiatan anak perusahaan. Sehingga, tanggung jawab yuridis dari perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan sampai batas- batas tertentu dapat dibebankan kepada induk perusahaan. Hal ini dapat terjadi misalnya dalam hal aset-aset dari induk
perusahaan ikut menjadi collateral terhadap hutang-hutang
yang dibuat oleh anak perusahaan.
Ikatan kontraktual yang bersifat kebendaan yang dilakukan oleh induk perusahaan terhadap bisnis anak perusahaan, dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
(1) Saham-saham anak perusahaan yang dipegang oleh induk
perusahaan digadaikan atau difidusiakan untuk menjamin hutang-hutang yang dibuat oleh anak perusahaan dengan pihak ketiga;
(2) Saham-saham perusahaan lain tetapi masih dalam satu grup usaha yang sama, saham-saham mana dimiliki oleh induk perusahaan, kemudian digadaikan atau difidusiakan untuk menjamin hutang anak perusahaan;
(3) Aset-aset dari induk perusahaan yang dijaminkan ke
kreditur karena hutang yang diambil oleh anak perusahaan, lewat bentuk-bentuk jaminan hutang seperti gadai, hipoteik ataupun fidusia.
b) Tanggung jawab induk perusahaan karena adanya kontrak yang
bersifat personal
(1) Dengan membuat corporate guarantee
Dalam hal ini, induk perusahaan membuat corporate
guarantee untuk menjamin hutang-hutang anak perusahaan terhadap pihak ketiga.
(2) Dengan membuat personal guarantee
Bahkan pemilik grup konglomerat, yang pada lazimnya merupakan pemegang saham pada induk perusahaan dapat
memberikan personal guarantee untuk menjamin hutang-
hutang anak perusahaan terhadap pihak ketiga.
(3) Dengan membuat garansi terbatas
Sering juga terjadi dalam praktek bahwa induk perusahaan maupun pemilik grup usaha konglomerat tidak mau
mengambil resiko dengan mempertaruhkan seluruh harta bendanya yang dimiliki oleh grup usaha konglomerat maupun oleh pribadi dari pemilik grup konglomerat tersebut. Sebaliknya dengan mendapatkan dana dari kreditur, pihak anak perusahaan sangat berharap adanya jaminan dari pihak induk perusahaan ataupun pribadi pemilik grup konglomerat tersebut. Dalam kondisi yang demikian, dapat ditempuh jalan kompromi, di mana induk
perusahaan tidak membuat corporate guarantee secara
tidak terbatas seperti biasanya. Demikian juga pihak pribadi pemilik grup konglomerat tersebut tidak pula membuat personal guarantee secara tidak terbatas. Apa yang mereka lakukan sebagai jalan kompromi adalah garansi dalam bentuk terbatas.
Garansi dalam bentuk-bentuk terbatas tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
(a) Coporate guarantee dengan ceiling (b) Personal guarantee dengan ceiling (c) Coporate guarantee dari sister company
Dengan penerapan bentuk-bentuk garansi terbatas seperti tersebut di atas, maka dapat diminimalkan ancaman terhadap eksistensi grup usaha konglomerat, akibat salah satu atau lebih anak perusahaan dalam keadaan tidak mampu membayar hutang.
f. Tanggung Jawab Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Pembebanan tanggung jawab induk perusahaan terhadap perbuatan anak-anak perusahaan diperlukan untuk menghindari adanya dominasi tanpa tanggung jawab. Tanggung jawab hukum terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat anak perusahaan menjalankan kebijakan/instruksi induk perusahaan perlu mempertimbangkan tujuan hukum untuk memenuhi prinsip keadilan dari kerugian yang
ditanggung oleh pemegang saham minoritas, kreditor, atau karyawan90.
Alasan mengapa diperlukan kejelasan dari tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam suatu perusahaan grup:
1) Mengenai perlindungan kepentingan karyawan dari anak
perusahaan. Perlindungan ini misalnya menyangkut hak-hak karyawan dalam hal terjadinya kepailitan atas suatu anak perusahaan dan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Untuk hal-hal seperti itu perlu ada kejelasan (disclosure) agar
semuanya menjadi jelas dan transparan misalnya kemungkinan
karyawan yang bersangkutan “ditampung” anak perusahaan lain
atau holdingnya91.
2) Menyangkut perlindungan pihak kreditur. Karena masing-masing
perusahaan dalam suatu perusahaan grup merupakan badan hukum yang terpisah pihak kreditur dapat mengantisipasi dengan mengatur secara tegas dalam kontrak mengenai perluasan tanggung jawab terhadap pihak lain. Misalnya, ditegaskan dalam kontrak bahwa anak perusahaan lain dalam grup yang sama atau bahkan
pengurusnya dapat menjadi corporate guarantor atau personal
guarantor yang akan ikut bertanggung jawab jika terjadi wanprestasi. Hal lain yang kiranya perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan untuk melindungi kreditur adalah
dalam hal suatu holding company yang menerapkan sistem
sentralisasi secara ketat. Jika ini terjadi akan adil jika holding
company juga dapat diminta tanggung jawab atas perbuatan anak
90 Sulistiowati, “Doktrin
-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 24.
91
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 156.
perusahaannya yang merugikan pihak lain. Hal seperti ini di Jerman disebut sebagai tanggung jawab untuk seluruhnya dan
tanggung jawab bersama (joint and several). Demikian pula jika
anak perusahaan “terpaksa” melakukan suatu perbuatan karena “dorongan” holding company atau holding company memperoleh
“manfaat secara langsung” dari perbuatan tersebut. Tentu dalam
hal seperti ini tidak adil jika anak perusahaan tersebut bertanggung
jawab sendiri92.
3) Perluanya perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas
yang tentu posisinya lemah dari kesewenangan pemegang saham mayoritas. Misalnya adanya upaya transfer keuntungan dari satu anak perusahaan ke anak perusahaan lain yang merugikan
pemegang saham minoritas93
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dan beberapa alasan di
atas, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya asas limited liability
tidak tepat apabila diterapkan untuk konstruksi perusahaan grup. Karena pada dasarnya induk perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas dari anak perusahaan berbeda dengan pemegang saham perseorangan pada perseroan tunggal. Meskipun terdapat pengecualian
dari asas limited liability yaitu adanya doktrin piercing the corporate
veil, yang apabila memenuhi syarat tertentu maka limited liability yang
diberikan pada induk perusahaan dapat disimpangi dengan piercing the
corporate veil. Tujuan dari doktrin piercing the corporate veil adalah memberikan keadilan dengan membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab pemegang saham yang semula bersifat terbatas kemudian diabaikan dan kepadanya diberlakukan tanggung jawab secara pribadi.
92Ibid. 93
Namun piercing the corporate veil hanya dapat diterapkan
apabila memenuhi unsur-unsur tertentu. Sehingga apabila limited
liability tidak tepat diterapkan dalam konstruksi. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada tanggung jawab lain yang lebih tepat diberlakukan untuk induk perusahaan dalam konstrusi perusahaan grup ?.
Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang- barang yang berada di bawah pengawasannya. Dalam konstruksi perusahaan grup induk perusahaan merupakan pinpinan sentral. Sebagai pimpinan sentral, induk perusahaan berhak melakukan pengawasan ataupun memberikan instruksi kepada anak perusahaan. Dengan kata lain, bahwa anak perusahaan berada dibawah pengawasan dan dikendalikan oleh induk perusahaan serta berada dibawah tanggungan dari induk perusahaan karena melaksanakan instruksi dari induk perusahaan.