• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan

8 PEMBAHASAN UMUM

8.1 Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan

Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas 40.236,72 km2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut yaitu sebesar 31.484,40 km2(78%), sedangkan wilayah daratannya sebesar 8.779,32 km2(22%). Keberadaan kondisi sumberdaya perikanan tangkap Halmahera Selatan, secara singkat dapat dikatakan bahwa Halmahera Selatan merupakan wilayah kepulauan dan memiliki luas lautan yang sangat besar (78%), dimana didalamnya terkandung potensi sumberdaya perikanan pelagis yang sangat besar. Pengembangan sumberdaya perikanan ini mempunyai prospek yang menguntungkan di masa yang akan datang baik untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat maupun berkontribusi terhadap perekonomian daerah.

Secara aktual, perikanan tangkap di Halmahera Selatan sampai dengan tahun 2011 masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Secara keseluruhan jenis kapal penangkap ikan di dominasi oleh motor tempel berukuran 5 GT (48%) dan motor tempel (29%). Dominannya kapal tanpa motor dan motor tempel ini mengakibatkan daerah operasi penangkapan nelayan yang berbasis Halmahera Selatan menjadi sangat terbatas, dan tidak jauh dari pantai. Keterbatasan ini diakibatkan karena untuk memperoleh armada yang berskala besar membutuhkan biaya investasi maupun biaya operasional relatif besar pula. Hal ini tercermin pula dari komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia. Menurut KKP (2009) komposisi kapal perikanan di indonesia sebagian besar masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97,11%, dan hanya sekitar 2,89% di lakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar.

Sampai saat ini, pengelolaan perikanan tangkap di Halmahera Selatan masih terdapat beberapa permasalahan. Permasalahannya antara lain status pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di (Laut Maluku) tergolong dalam gejala telah mengalamioverfishing, pendapatan nelayan belum maksimal, keterbatasan modal usaha, masih adanya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan, lemahnya sumberdaya manusia (SDM) dalam menerapkan teknologi penangkapan dan memanfaatkan serta mengelola potensi sumberdaya perikanan tangkap secara

efisien dan berkelanjutan, demokrasi keterlibatan nelayan dalam pengambilan kebijakan masih rendah, dan penerapan aturan dan hukum yang belum efektif.

Permasalahan yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap Halmahera Selatan ini tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap nasional. Permasalahan utama dan sangat mendasar yang dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil bersumber dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya akses terhadap permodalan dan prasarana serta faktor sosial budaya yang kurang kondusif bagi kemajuan usaha, yang semuanya berakibat pada rendahnya akses terhadap sumberdaya ikan, permodalan, teknologi, dan pasar. Permasalahan tersebut dapat

dikelompokkan dalam sepuluh permasalahan dan diperingkatkan yaitu

produktivitas dan efisiensi usaha, pengawasan dan pengendalian SDI, SDI dan lingkungan, permodalan, SDM, prasarana, sarana, dan pelayanan usaha, mutu dan nilai hasil tangkapan, pemasaran, kelembagaan nelayan, dan sosial-ekonomi nelayan (DJPT 2005).

Pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Halmahera Selatan, memerlukan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak-pihak terkait. Pengembangan tersebut diarahkan pada status keberlanjutannya yaitu melalui keberlanjutan dari berbagai aspek yang meliputi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan. Selanjutnya, pengembangan tersebut idealnya terjabarkan ke dalam suatu kebijakan, strategi, dan program-program kerja yang dipersiapkan terutama dalam menghadapi tuntutan di era otonomi dan globalisasi masa kini dan masa mendatang, yang secara nyata memiliki tantangan yang cukup berat.

Perikanan giob merupakan salah satu perikanan daerah tropis yang memiliki karekteristik yang unik, karena perikanan ini menggunakan alat tangkap tunggal dan tujuan tangkapan juga spesifik, yaitu hanya ditujukan untuk penangkapan jenis ikan julung-julung. Sifat dan karekteristik yang unik dari perikanan giob ini perlu mendapat perhatian agar sumberdaya ikan julung-julung lestari dan usaha perikanan giob tetap berkelanjutan. Beberapa faktor yang berkaitan erat dengan perikanan giob adalah unit penangkapan ikan, operasi penangkapan, produksi, daerah penangkapan.

Kapal giob yang digunakan oleh nelayan di Kayoa, Halmahera Selatan memiliki spesifikasi dan ukuran dimensi utama relatif kecil yaitu berkisar 4,5- 15 GT. Ukuran kapal ini jika dibandingkan dengan kapal mini purse seine pada umumnya memang relatif berbeda. Karman (2008) melaporkan bahwa kapalmini purse sein (pajeko) di Batangdua Kota Ternate berkisar 12-21 GT, sedangkan Namsa (2006) menginformasikan kapal mini purse seine (pajeko) di Tidore berukuran antara 13,21-17,63 GT. Kecilnya ukuran kapal giob ini disesuaikan dengan jarak jangkauan dan tujuan pengoperasian. Jangkauan pengoperasian giob hanya diwilayah pesisir, karena disesuaikan dengan lokasi migrasi ikan julung-julung sebagai target tangkapan. Kapal giob menggunakan tenaga pendorong jenis motor tempel berkekuatan 25 PK, 40 PK, dimana ada yang menggunakan 1 unit dan ada juga menggunakan 2 unit. Jumlah penggunaan motor tempel disesuaikan dengan ukuran kapal.

Alat tangkap giob yang digunakan oleh nelayan Kayoa, Halmahera Selatan memiliki ukuran yang bervariasi. Panjang jaring berkisar 195-375 m dan dalam kantong berkisar 12,8-22,5 m. Ukuran giob ini relatif kecil jika dibandingkan dengan ukuran mini purse seine pada umumnya, terutama ukuran dalam (tinggi) jaring. Karman (2008) melaporkan bahwa panjang mini purse seine yang digunakan di pulau Mayau berkisar 150,00-400,00 m, lebar (tinggi) berkisar 30,00-60,00 m. Namsa (2006) menginformasikan bahwa soma pajeko mini purse seine yang dioperasikan di perairan Tidore mempunyai panjang berkisar antara 200-350 mdan lebar berkisar 45-50 m.

Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah panjang jaring, berdasarkan hasil penelitian Irham (2006) dan Namsa (2006), faktor teknis panjang jaringmini purse seine (soma pajeko) di Maluku Utara dan Kota Tidore Kepulauan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan ukuran panjang jaring mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan (produksi). Faktor panjang purse seine dilaporkan juga signifikan untuk produksi ikan yang ditangkap dengan purse seinedi Pekalongan (Sudibyo 1998) dan di Pengabengan Kabupaten Jembrana Bali (Sugiarta 1992). Menurut Friedman (1986), secara teoritis jika semakin panjang purse seine yang digunakan maka semakin besar

pula garis tengah lingkaran yang dibentuk, sehingga semakin besar peluang gerombolan ikan yang tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan ikan dengan dinding purse seine semakin besar dan gerombolan ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap.

Jumlah nelayan yang mengoperasikan giob berkisar 7-12 orang. Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah jumlah nelayan (tenaga kerja), berdasarkan hasil penelitian Irham (2006), faktor teknis jumlah nelayan (tenaga kerja) di Maluku Utara memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan jumlah nelayan (tenaga kerja) mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan (produksi). Hal ini karena proses penurunan (setting) maupun penarikan (hauling) giob tidak menggunakan alat bantu namun mengandalkan tenaga manusia. Tenaga manusia bukan hanya digunakan pada saat menurunkan dan menarik jaring saja, tetapi setelah proses setting dan hauling giob selesai dilakukan, tenaga mereka juga di butuhkan untuk mengangkat hasil tangkapan ke atas kapal.

Dokumen terkait