• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL MUFASSIR DAN TAFSIR

2. Dunia Sastra KH. A. Mustofa Bisri

bulan Januari tahun 2014, KH M.A. Sahal Mahfudh menghadap kehadirat Allah, maka sesuai AD ART NU, Gus Mus mengemban amanat sebagai Pejabat Rois Aam hingga muktamar ke 33 yang berlangsung di Jombang Jawa Timur. Pada muktamar NU di Jombang, Muktamirim melalui tim Ahlul Halli wa Aqdi menetapkan Gus Mus memegang amanat jabatan Rois Aam PBNU. Namun Gus Mus tidak menerima Jabatan Rois Aam PBNU tersebut dan akhirnya Mukatamirin menetapkan Dr. KH. Ma‘ruf Amin menjadi Rois Aam PBNU periode 2015-2020.13

Gus Mus sendiri bersama kakaknya KH M. Cholil Bisri, sejak muda mempunyai kebiasaan menulis sajak dan saling berlomba untuk dipublikasikan. Gus Mus dan Gus Cholil yang suka membaca sejak masa kanak-kanak, tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai media masa termasuk. Kedua kakak beradik ini saling berkompetensi untuk menunjukkan hasil karya siapa dulu yang dimuat di media massa. Gus Mus ingat betul, betapa ia sangat jengkel saat karya puisi Gus Cholil muncul di sebuah harian yang terbit di Semarang. Lebih jengkel lagi ketika kliping karya puisi itu ditempelkan di papan pengumuman yang ada di pesantren, sehingga semua santri dapat membacanya. Gus Mus memandang hal itu sebagai tantangan yang perlu dijawab. Ia berusaha keras menunjukkan kemampuan di bidang yang sama. Akhirnya, berkat kerja keras, tulisan puisi Gus Mus dimuat di media massa. Karya puisi itu kemudian ditempel pada papan yang sama di atas karya puisi milik kakaknya.15

Karena kegemarannya menulis, membuat Gus Mus disebut sebagai kiai yang nyeleneh. Sementara, ia sendiri berpendapat, bahwa bersastra sudah menjadi tradisi para ulama sejak dulu, karena sastra itu diajarkan di pesantren. Ia juga menambahkan, bahwa setiap malam Jumat paling tidak membaca puisi, Burdah, dan Barzanji. Hal tersebut menurutnya, bahwa puisi, Burdah, dan Barzanji merupakan karya sastra yang agung, sedangkan al-Quran sendiri merupakan maha karya sastra yang paling agung.16 Berdasarkan pernyataan

15Badiatul Roziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 78.

16 Fahrudin Mualim, “Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi IbuKarya Mustofa Bisri Dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia”, h. 55-56.

demikian menunjukkan bahwa sangat jelaslah kecintaan Gus Mus terhadap dunia sastra.

Dengan puisi, Gus Mus mulai menuangkan kembali dunia sastranya ketika belajar di Al-Azhar Kairo. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Gus Mus diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta untuk membuat lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong.17

Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara Malam Palestina. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah.

Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Gus Mus, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya.

Sejak saat itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.18 Setelah Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi.

Gus Mus telah melahirkan ratusan sajak yang terkumpul dalam beberapa buku kumpulan puisi diantaranya adalah: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994),

17 Itsna Noor Laila, “Pemikiran Pendidikan Islam K.H. A. Mustofa Bisri”, h. 87.

18 Itsna Noor Laila, “Pemikiran Pendidikan Islam K.H. A. Mustofa Bisri”, h. 88-89.

Wekwekwek (1995), dan masih banyak lagi. Berkenaan dengan kepenyairan yang ditampilkan Gus Mus, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, meng anggap gaya puisi Mustofa Bisri tidak mengada-ada dengan keindahan yang seolah dipaksakan.

Penampilan puisinya wajar dan sederhana dalam bertutur, muncul dari keserhanaan dalam berucap. Walapun begitu, puisi yang ditampilkan sesungguhnya amat kritis. Bahasanya langsung, gamblang, tetapi tidak menjadikan puisinya hambar.19

Selain menuangkan jiwa sastranya melalui puisi, Gus Mus juga menuangkannya lewat seni lukis. Bakat lukis yang dimiliki Gus Mus sudah terlihat sejak masih remaja yaitu saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis.

Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan menggambar. Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan dan tak pernah serius, kata Gus Mus.20

Kecintaan Gus Mus terhadap seni melukis berlanjut sampai di bangku perkuliahan. Pada saat itu, Gus Durlah salah satu orang pertama yang menghargai lukisan Gus Mus, dengan memintanya menjadi ilustrator majalah yang dikelola oleh Gus Dur. Bahkan, disatu kesempatan gus Dur pernah mengejeknya, “Kamu tidak berbakat menjadi penyair, kamu lebih berbakat menjadi penulis!”

19 Erfi Firmansyah, “Pemikiran Politik Mustofa Bisri dalam Puisi: Perspektif Hermeneutika Kerohanian”, dalam Jurnal Literasi, Volume 02, No. 2, Desember 2012, h.

186-187. Diakses dari http://jurnal.unej.ac.id/index.php/LIT/article/download6089/4508 pada tanggal 11 Juli, jam 15. 17 WIB

20 Itsna Noor Laila, “Pemikiran Pendidikan Islam K.H. A. Mustofa Bisri”, h. 86-87

Gus Mus hanya menjawabnya melalui senyuman. Dari sebagai menjadi ilustrator, Gus Mus terus menerus melukis. Sampai suatu saat ia menemukan medium unik, yaitu kelelet rokok. Memang, Gus Mus adalah seorang perokok berat sejak remaja.21

Hingga saat ini, lukisan karya Gus Mus mencapai bilangan ratusan dan bisa disaksikan publik dalam berbagai pameran lukisan.

Sebuah lukisannya yang pernah mengundang kontroversi berjudul

“Berdzikir Bersama Inul” pernah dipamerkan tahun 2003 di Surabaya. Pada tahun 2007 lukisan Gus Mus yang berjudul “Intuisi”

dipamerkan di Jogja Gallery.22 Sebelumnya, pada akhir tahun 1998 Gus Mus pernah memamerkan 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisam bebas, dan 15 kaligrafi yang digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim supangkat, menilai bahwa kekuatan ekspresi pada karya Gus Mus terdapat pada pada garis grafis. Menurutnya ritmik menuju zikir membuat lukisannya berbeda dengan kaligrafi.23

Tidak hanya menulis puisi dan melukis saja, Gus Mus juga mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberpa buku keagamaan. Beliau termasuk kiai yang sangat produktif dalam menulis sebuah karya. Tidak berhenti pada menulis buku keagamaan, Gus Mus juga menerbitkan buku tentang humor dan esai.

Dua sisi berbeda (ulama dan seniman) yang ada dalam diri Gus Mus tersebut menjadi modal utama keikutsertaannya menciptakan iklim perubahan tanpa harus menjustifikasi salah satu pihak, tak

21 Ari Agung Pramono, Model Kepemimpinan Kiai Pesantren Ala Gus Mus, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2017), h. 115-116.

22 http://gusmus.net/profil , diakses pada tanggal 4 Juli 2018 pukul 20.10 WIB

23 Fahrudin Mualim, “Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi IbuKarya Mustofa Bisri Dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia”, h. 65

ketinggalan lembaga pesantren yang menjadi kendaraannya. Selama ini pesantren memang dikenal loyal pada suatu mainstream tertentu hingga lembaga pendidikan tradisional ini terkesan kurang memberi tempat bagi proses kreatif para santrinya, termasuk penciptaan karya seni dan sastra. Kalau pun ada, biasanya pesantren hanya akan mewadahi proses berkesenian yang berkaitan dengan tradisi mereka dan beraroma Arabisme. Padahal ini justru akan memperkuat stigma bahwa kaum santri memang orang-orang yang sengaja memilih jalan hidup konservatif.24

Di tangan Gus Mus, stigma tersebut dirubahnya dengan cara-cara inklusif, egaliter, dan universal. Dalam pandangan Gus Mus, untuk memajukan syiar agama tak perlu melalui cara-cara yang keras dan hanya akan menakuti-nakuti orang lain. Dalam hal ini Gus Mus mencoba menerapkan pesan Al-Qur'an bahwa untuk mengajak seseorang kembali ke jalan Tuhan hendaknya digunakan cara yang bijaksana atau dengan bertutur kata yang menyejukkan kalbu.25

Atas Pengabdian yang telah dilakukan Gus Mus, Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada dedikasi Gus Mus. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015.

Selain itu, Universitas Malaya (Malaysia) mengundangnya untuk seminar Seni dan Islam. Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan “Anugerah Sastra Asia” dari Majelis Sastra (Mastera, Malaysia, 2005).26 Penghargaan Gus mus tidak berhenti begitu saja,

24 Abu Asma Anshari, Abdullah Zaim, Naibul Umam ES, Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus, (Semarang: HMT Foundation, 2005), h. 56.

25Abu Asma Anshari, dkk, Ngetan-Ngulon, h. 57

26 http://gusmus.net/profil , diakses pada tanggal 4 Juli 2018 pukul 22.20 WIB

Budayawan sekaligus kiai ini juga mendapat anugerah gelar doctor honoris causa (HC) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gus Mus dianggap layak menerima gelar itu karena kiprahnya di bidang kebudayaan Islam.27

Dokumen terkait