BAB IV ANALISA DIMENSI SASTRA JAWA TERHADAP TAFSIR
C. Tafsir al-Ubairiz dalam Tingkat Tutur Kata Bahasa Jawa
thenguk-thenguk” tulisan “thenguk” tertulis
ءوغط
denganmenggunakan satu titik di bawah huruf tha.
Untuk penulisan “nya” dalam kitab al-Ubairiz karya Gus Mus ini sama dengan tulisan “nya” yang digunakan KH. Bisri dalam kitabnya al-Ibriz yaitu menggunakan tiga titik dibawah huruf ya.
(gaya tidak resmi), madya (gaya setengah resmi, bentuk campuran antara ngoko dan kromo), dan krama (gaya resmi, halus).8
Menanggapi uraian di atas, kitab Tafsir al-Ubairiz dalam tutur bahasanya yang menggunakan bahasa Jawa menunjukkan adanya tingkatan tutur kata atau unggah-ungguh dalam berbahasa.
Tingkatan yang pertama adalah krama, yaitu menyatakan tingkat kesopanan berbahasa paling tinggi. Tingkat tinggi ini biasanya digunakan oleh rakyat biasa kepada sang raja maupun pejabat-pejabat kerajaan atau oleh anak muda terhadap orang yang lebih tua dan sebagai bahasa pengungkapan sikap hormat. Ragam ini juga digunakan mengungkapkan sikap hormat yang amat tinggi.
Tingkatan krama ini terekam dalam tafsir karya Gus Mus ini.
Misalnya, pada surah al-Baqarah ayat 128
اَنَبَر َو ٱ ج لَع اَن سُم ِّ يَمِّل َكَل نِّمَو اَنِّتَيِّ ر ُذ ةَم ُ
أ سُّم ةَمِّل َكَل اَنِّر َ
أَو
اَنَكِّساَنَم بُتَو
يَلَع اَن َكَنِّإ َتن َ
أ ٱ ُباَوَلت ُميِّحَرل ٱ
١٢٨
Pada kalimat “
َكَل ِّ يَمِّل سُم
” mufassir memaknainya dengan“ingkang tunduk dateng panjenengan” yang tunduk kepada engkau.
Selain itu pada kalimat “
اَنِّر َ
اَنَكِّساَنَم أَو
” mufassir juga memberi makna “lan mugo paring sumerap panjenengan ing pinten-pinten ibadah kulo”9 yang artinya tunjukkanlah kami ibadah-ibadah kami.
8 Saifuddin, “Tradisi Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa Suatu Pendekatan Fisiologis”, dalam Jurnal Suhuf, Volume. 6, No. 2, 2013, h. 246
9 A. Mustofa Bisri, Al-Ubairiz Fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz, h. 8
Bahasa-bahasa Jawa tersebut menunjukkan tingkat tutur kata krama, terlihat pada kata “panjenengan”, “dateng”, “paring sumerap” dan “kulo”. Pemilihan kata krama pada pemaknaan tersebut menunjukkan bahwa tutur krama yang dipilih adalah bentuk penghormatan kepada yang lebih agung yakni Tuhannya.
Tingkat krama dipilih karena demikian itu adalah pembicaan antara hamba dengan Tuhannya, terlebih kalimat krama tersebut sebagai bentuk permohonan hamba kepada Tuhan. Tentu pemilihan krama adalah yang paling tepat digunakan ketika meminta kepada penciptanya.
Contoh lain, dalam memaknai lafadz
“ ذوعا”
, dalam kitan tafsir al-Ubairiz karya Gus Mus ini dimaknai dengan “nyuwun pangrekso ingsun”. Pada kalimat tersebut adalah bentuk dari ragam krama, terlihat ada kata “nyuwun”. Leksikon tersubut adalah leksikon ragam Jawa kromo. Jika leksikon ngoko bukan nyuwun tapi jaluk. Karena kedudukan antara yang bicara dengan lawan bicaranya lebih tinggi, maka yang digunakan adalah leksikon krama. Sama seperti contoh sebelumnya, bahwa lafadz-lafadz ini adalah bentuk permintaan, dan permintaan itu ditujukan kepada Tuhannya. Permintaan kepada yang lebih tinggi kedudukannya disebut permohonan, maka sewajarnya permohonan hamba (kedudukan rendah) kepada Tuhannya yang mempunyai kedudukan jauh lebih darinya adalah mengggunkan tutur kata tingkat krama.Contoh lain yang menunjukkan tingkat krama, pada Surah Maryam ayat 5
ِّ نىوَإِ
فِّخ ُت ٱ ل ىَوَم َِّل نِّم اَرَو ِّتَن َكََو يِّء
ٱ ِّت َ م
أَر رِّق َعا ا بَهَف ِّل
نِّم َكنُ َ
لَّ
ِّلَو ا ٥
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera”. (QS.
[19]: 5).
Gus Mus dalam memberi tafsiran ayat diatas pada kata
ا ِّلَو
dengan kalimat “ing putro jaler”, yang dimaksud putro jaler adalah seorang anak laki-laki yang melaksanakan perintah Allah setelah Nabi Ibrahim. Leksikon “putro” dan “jaler” menunjukkan tingkat krama, dimana hal demikian menunjukkan bahwa ayat tersebut adalah permintaan atau permohonan Nabi kepada Allah. Maka sudah menjadi sepantasnya menggunakan tingkat bahasa yang tinggi.
Contoh lain yang menunjukkan penggunaan leksikon krama pada tafsir al-Ubairiz adalah Surat al-Mu’minûn ayat 97:
لُقَو ِّ بَر ُذوُع َ ِّب أ َك نِّم ىَزَمَه ِّت ٱ ىَي َشل ِّيِّط ٩٧
“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan.” (QS. [23]: 97)
Pada penggalan ayat
ُذوُع َ
َكِّب أ نِّم ىَزَمَه ِّت ٱ ىَي َشل
ِّيِّط
GusMus memberikan arti dengan “nyuwun pangrekso kulo dateng panjenengan saking pengredho-pengredho syaithon”, maksudnya adalah minta perlindungan kepada Allah dari godaan-godaan syaithan. Penggunaan leksikon krama pada ayat ini terlihat pada
kata “nyuwun”, “panjenengan”, “pengredho-pengredho”. Ayat ini juga menunjukkan permintaan atau permohonan yang lemah kepada yang lebih berkuasa, dalam hal ini adalah Allah.
Contoh lain pada Surat Al-Kahfi ayat 63:
َلاَق يَءَر َ
أ ذِّإ َت
يَو َ أ اَن
َ لِّإ ٱ خ َصل ِّةَر ِّ نىِّإَف ُتيِّسَن ٱ
ُ ل َتو اَمَو
ىى َسن َ ُهيِّن أ ِّإ
َ لّ
ٱ ي َشل ى َط ُن ن َ
أ ذ َ
أ ُهَرُك ۥ َوٱ َذَ َ ُهَليِّبَس تَّ
ِّف ۥ ٱ َ ل ِّر ح
بَجَع ا ٦٣
“Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali"
(QS.[18]: 63)
Di dalam kitab al-Ubairiz, pada ayat di atas lafadz
يَءَر َ أ َت
diartikan dengan “onotho perso panjenengan?”. Penggunaan leksikon krama tergambar pada kata “perso”, “panjenengan”.
Penggunaan tingkatan tutur kata pada lafadz
يَءَر َ أ
َت
ini berbedadengan lafadz
يَءَر َ أ
َت
yang ada di ayat lain, misalnya pada surat al-Ma’un. Pada surat al-Ma’un lafadzيَءَر َ
أ
َت
bermakna “onothoweruh siro” yaitu menggunakan tingkatan ngoko. Hal demikian dikarenakan tingkatan pembicaranya lebih tinggi daripada lawan
bicaranya, dimana dalam konteks ayat ini adalah pembicaraan dari Tuhan ke hambanya. Sedangkan lafadz
يَءَر َ
أ
َت
yang ada pada surat al-kahfi menunjukkan penggunaan tingkat tutur krama karena pada ayat tersebut yang menjadi pembicaranya adalah pembantu Nabi Musa, oleh sebab itu maka sudah menjadi sepatutnya menggunakan tingkat krama. Karena tingkat sosial pembicara (pembantu) lebih rendah dibanding lawan bicaranya yaitu majikan (Nabi Musa as.)Dari contoh-contoh diatas, dapat dianalisa bahwa penggunaan tingkat tutur krama biasanya digunakan ketika pembicara mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari pada lawan bicaranya. Hal ini sejalan dengan fungsi tingkat tutur krama, dimana tingkat ini digunakan oleh pembicara yang lebih rendah kedudukan sosialnya daripada lawan bicaranya.
Tingkat tutur kedua yang terlihat dari tafsir karya Gus Mus ini adalah bentuk ngoko. Contoh, pada surah an-nisa ayat 154 mufassir memaknai kalimat
ِّت ب َسل ٱ ِّف اوُد عَت لّ َ ِ
dengan arti “ojo podho lacut siro kabeh ing dino sabt”.10 Pada kalimat tersebut terlihat penggunaan leksikon ngoko yaitu pada leksikon “ojo”,“ing”, dan “dino”. Kata-kata tersebut termauk dalam leksikon ngoko. Kata “ojo” jika krama menggunakan “ampun”, leksikon ngoko “ing” jika dalam bentuk krama leksikon yang digunakan adalah “ingdalem”, dan leksikon ngko “dino” jika dalam bentuk krama leksikon yang digunakan adalah “dinten”.
10 A. Mustofa Bisri, Al-Ubairiz Fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz, h.44
Contoh lain, pada surat an-Nûr ayat 1:
ةَروُس لَزن َ
أ ىَن اَه ضَرَفَو ىَن اَه َ
لنَزن َ أَو اَهيِّف ا
ىَياَء ىَنِّ يَب ت
ت مُكَلَعَل
َكَذَت َنوُر ١
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”. (Qs.[24]: 1)
Pada lafadz
اَه ىَن ضَرَفَو ,
Gus Mus dalam kitab tafsirnya al-Ubairiz memberikan tafsiran dengan “lan aku wajibaken”. Pada lafadz itu terekam menggunakan kata “aku” dimana hal tersebut adalah leksikon ngoko. Karena memang dalam ayat itu yang menjadi pembicaranya adalah Allah, sedangkan lawan bicaranya adalah hambanya. Hal tersebut juga bersifat perintah yaitu perintah untuk menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.Contoh lain yang menunjukkan penggunaan tingkat ngoko yaitu pada surat al-A’raf ayat 198.
نوَإِ
دَت مُهوُع
َ لِّإ ٱ ل ىىَدُه
َ لّ
سَي اوُعَم ىىَرَتَو مُه َنوُر ُظنَي َلِّإ
َك
مُهَو
َ لّ
بُي َنوُ ِّصِ
١٩٨
“Dan jika kamu sekalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-herhala itu tidak dapat mendengarnya. Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu padahal ia tidak melihat”. (QS.[7]: 198)
Pada lafadz
َك َلِّإ َنوُر ُظنَي
oleh mufassir al-Ubairiz diberi makna “podho mecicil ing siro”. Kata “mecicil” menunjukkan tingkatan yang rendah, oleh sebab itu hal demikian termasukleksikon ngoko. Yang dimaksud “mecicil” adalah memandang, melihat, ataupun bisa diartikan “mereka menatap kepadamu, seperti orang yang memandang”. Dimana dalam ayat ini yang memandang adalah berhala. Karena berhala adalah sesuatu yang lebih rendah maka wajar jika penggunaan tingkatan bahasanya menggunakan tingkat ngoko. Terlebih kata yang digunakan adalah “mecicil” yang oleh orang Jawa kata ini terkesan kasar dalam penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa berhala adalah sesuatu yang lebih atau sangat rendah. Lafadz diatas berbeda penggunaan tingkatan dengan yang lain. Misal saja pada Surat Yunus ayat 43.
نِّمَو مُه نَم ُر ُظنَي َلِّإ َك َتن َ
أَف َ أ هَت
يِّد ٱ ل َ مُع وَلَو اوُن َكَ
َ لّ
بُي َنوُ ِّصِ
٤٣
“Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan”. (QS.[10]:
43)
Lafadz
َك َلِّإ ُر ُظنَي
pada surat yunus ini bukan diartikan dengan “mecicil” tapi oleh Gus Mus diberi makna dengan“ningali”. Dalam bahasa Indonesia kedua penggalan ayat ini mempunyai arti sama yaitu “melihat”, “memandang”. Namun dalam bahasa Jawa terjadi perbedaan karena sasaran bicaranya yang dimaksud berbeda. Bisa berbeda dalam segi sosial, derajat maupun yang lainnya. Pada surat Yunus ini lafadz tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad. Maka oleh Gus Mus dengan memberi arti
“ningali” adalah tepat.
Pemilihan leksikon ngoko dalam pemaknaan ayat diatas menunjukkan bahwa lawan bicaranya adalah berkedudukan lebih
rendah. Dimana dalam konteks ini yang bicara adalah Tuhan dan yang menjadi lawan bicara adalah ciptaannya (manusia). Selain itu juga biasanya tingkatan ngoko ini dipakai ketika ditujukan kepada sesuatu yang lebih rendah. Demikian itu memberi gambaran bahwa penggunaan leksikon ngoko yang digunakan adalah tepat.
Dari uraian diatas mengenai ragam tingkat tutur kata dalam tafsir al-Ubairiz karya Gus Mus, dapat diasumsi bahwa tingkat tutur kata yang dipakai ada dua macam yaitu tingkat ngoko dan tingkat krama. Untuk tingkat madya tidak ditemukan dalam tafsir Gus Mus ini. Pertama tingkat ngoko biasanya digunakan dalam konteks pembicaraan antara Allah dengan manusia dimana manusia disini mempunyai kedudukan lebih rendah dari pada Tuhan, baik dalam larangan maupun perintah. Selain itu juga digunakan untuk menunujukkan bahwa hal/sesuatu yang lebih rendah atau hina.
Kedua, tingkat tutur kata ragam krama. Tingkatan ini biasanya digunakan dalam konteks permintaan atau permohonan dari hamba ke Tuhan. Selain itu juga digunakan ketika menunjukkan bahwa yang dituju adalah sesuatu tau orang yang lebih tinggi derajatnya.
101 A. Kesimpulan
Untuk menjawab rumusan masalah yang telah tertuang dalam Pendahuluan, penulis telah melakukan analisa terhadap dimensi sastra khususnya Sastra Jawa pada tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri. Dari uraian yang telah dipaparkan dari bab II sampai bab IV, dalam analisa penulis menemukan beberapa kesimpulan. Setidaknya ada tiga poin penting untuk menggambarkan dimensi sastra dalam tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri:
1. Dari dimensi ragam Sastra Jawa, dilihat dari Sastra Jawa berdasarkan bahasanya tafsir al-Ubairiz ini masuk dalam kategori Sastra Jawa Modern. Dilihat dari Sastra Jawa berdasarkan kategori isi, Karya Sastra tafsir ini masuk dalam ragam Piwulang dan Islam. Masuk dalam ragam piwulang karena isi dari tafsir ini banyak yang mengandung pengajaran. Hal ini sama seperti ciri-ciri yang ada pada ragam Piwulang. Masuk pula dalam kategori sastra ragam Islam, dimana ragam ini memuat teks tentang fiqih, hukum Islam, maupun teks turunan teks kitab suci Al-Qur’an dan kebanyakan teks ini ditulis dengan huruf Arab atau Pegon. Demikian juga terdokumentasi dalam tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Aziz karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri.
2. Dilihat dari dimensi sastra melalui sisi tulisan pegon, secara umum tulisan pegon pada tafsir al-Ubairiz sama seperti tulisan pegon yang dipakai oleh KH. Bisri Mustofa dalam kitab al-Ibriz. Namun ada sedikit perbedaan. Pertama, pada penulisan huruf “pa” KH. Bisri Mustofa menggunakan dua cara yaitu huruf “fa” dengan satu atau
tiga titik dibawah. Sedangkan Gus Mus dalam tafsir al-Ubairiz menggunakan satu macam saja dalam menuliskan huruf “pa” dalam tulisan pegonnya yaitu huruf “fa” dengan satu titik diatas. Kedua, pada huruf “Ca” KH. Bisri menggunakan satu cara yaitu dengan titik tiga pada huruf ج, sedangkan dalam kitab al-Ubairiz menggunakan dua tipe, tipe yang pertama sam dengan KH. Bisri yaitu dengan tiga titik. Tipe yang kedua dengan satu titik. Ketiga, pada penulisan huruf
“nga”. Menggunakan dua model, yang pertama mengikuti KH. Bisri dan yang kedua menggunakan huruf ‘ain tanpa titik. Keempat, penulisan “Dha” dalam al-Ubairiz mengikuti gaya penulisan KH.
Bisri yaitu dengan titik tiga di bawah huruf dal, namun model yang kedua yang digunakan al-Ubairiz berbeda dengan model kedua KH.
Bisri yaitu tanpa titik pada huruf dal. Kelima, pada penulisan “Ga”
dalam al-Ubairiz hanya mengikuti tipe tulisan KH. Bisri bentuk pertama yaitu dengan satu titik dibawah huruf kaf. Keenam, penulisan
“Tha” dalam al-Ubairiz menggunakan dua model, pertama sama dengan yang digunakan KH. Bisri yaitu menggunakan tiga titik di bawah huruf tha, model yang kedua menggunakan satu titik. Untuk penulisan “Nya” sama dengan yang digunakan KH. Bisri Mustafa.
3. Dilihat dari dimensi sastra ragam tingkat tutur kata dalam bahasa Jawa, tafsir al-Ubairiz karya Gus Mus, menggunkan dua macam yaitu tingkat ngoko dan tingkat krama. Untuk tingkat madya tidak ditemukan dalam tafsir Gus Mus ini. Pertama tingkat ngoko biasanya digunakan dalam konteks pembicaraan antara Allah dengan manusia dimana manusia disini mempunyai kedudukan lebih rendah dari pada Tuhan, baik dalam larangan maupun perintah. Selain itu juga digunakan untuk menunjukkan bahwa objek yang dituju tingkatannya lebih rendah ataupun hina baik dari derajat, sosial maupun yang
lainnya. Kedua, tingkat tutur kata ragam krama. Tingkatan ini biasanya digunakan dalam konteks permintaan atau permohonan dari hamba ke Tuhan. Ataupun biasanya juga digunakan untuk mengungkapkan bahwa objek yang dituju mempunyai tingkatan yang lebih tinggi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan berupa saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi para pengkaji kitab tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz karya KH. Ahmad Mustofa Bisri, penulis menyarankan untuk mengambil tema-tema yang menarik selain sastra. Karena di dalamnya terdapat uraian-urain yang berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Selain itu juga belum banyak peneliti yang melakukan pengkajian terhadap tafsir karya Gus Mus ini. Jadi masih memebutuhkan penelitian yang lebih terhadap tafsir ini.
2. Penelitian ini belum komprehensif, karena hanya melakukan penelitian terhadap dimensi sastra Jawa secara umum. Penulis menyarankan bagi siapa saja yang melakukan penelitian terhadap tafsir ini untuk mengkaji pemikiran-pemikiran mufassir (Gus Mus) dalam tafsir al-Ubairiz. Sehingga dapat memberikan kontribusi pada kepustakaan jurusan ilmu Al-Qur’an dan Tafsir tentang tafsir al-Ubairiz serta dapat memberikan kontribusi dalam bidang keilmuwan tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sri Wintala, Etika Jawa, Yogyakarta: Araska, 2018.
Anshari, Abu Asma, Abdullah Zaim, Naibul Umam ES, Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus, Semarang: HMT Foundation, 2005.
Anshari, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Baidan, Nashruddin, Rekontruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
Bisri, A. Mustofa, Al-Ubairiz Fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz, Surabaya:
Penertbit Pustaka Progresif, 2000.
Bisri, A. Mustofa, Mencari Bening Hati, Jakarta: Kompas, 2009.
Bisri, A. Mustofa, Sang Pemimpin, Rembang: CV. MataAir Indonesia, 2016.
Fauziah, Putri Laelatul, “Nilai-nilai Keikhlasan dalam Buku Membuka Pintu Langit Karya KH. A. Mustofa Bisri”, Skripsi, IAIN Salatiga, 2017.
Tidak diterbitkan.
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa, Yogyakarta: IKAPI, 2002.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2013.
Handayani, Sri, “Unggah-ungguh dalam Etika Jawa”, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Hidayat, Afendi dan Suwardi, Diktat Sejarah Sastra Jawa, Yogyakarta:
Fakultas Bahasa dan Seni UNY, 2005.
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2015.
Laila, Itsna Noor, “Pemikiran Pendidikan Islam K.H. A. Mustofa Bisri”, Tesis, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2012. Tidak diterbitkan.
Mahsyar, Muhammad, ”Pesan-Pesan Dakwah dalam Syair-Syair Puisi Karya KH.A.Mustofa Bisri”, Skripsi, IAIN Raden Saleh Lampung, 2017.
Tidak diterbitkan.
Masruroh, Lu’lu’ul, “Makna Pesan Dakwah Dalam Puisi Karya KH. Ahmad Mustofa Bisri”, Skripsi, IAIN Sunan Ampel , 2013. Tidak diterbitkan.
Mualim, Fahrudin, “Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi IbuKarya Mustofa Bisri Dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia”, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Tidak diterbitkan.
Muniroh, Natiqotul, “Analisis Strukturalisme Genetik dalam Novel Moi Nojoud, 10 ans, divorcée karya Nojoud Ali dan Delphine Minoui:
Sebuah Sosiologi Sastra”, Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012. Tidak diterbitkan.
Novantoro, Yusuf, “Karya Sastra Kontemporer Gus Mus Tahun 1980-2010 M”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016. Tidak diterbitkan.
Nurwatab, Ervan, Tafsir Al-Qur’an Tempo doeloe, Jakarta: Ushul Press, 2009.
Pradotokusumo, Partin Sardjono, Pengkajian Sastra, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Pramono, Ari Agung, Model Kepemimpinan Kiai Pesantren Ala Gus Mus, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2017.
Prawoto, Poer adhie, Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern, Bandung:
Angkasa, 1991.
Purwadi, Pengkajian Sastra Jawa, Yogyakarta: Pura Pustaka, 2009.
Purwadi, Sejarah Sastra Jawa Klasik, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009.
Qari’ah, Anitsatul, “Al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil di Tengah Perkembangan Tafsir Nusantara”, Tesis, IIQ Jakarta, 2011. Tidak diterbitkan.
Reksodihardjo, Soegeng, dkk, Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Yogyakarta: Depdikbud, 1990.
Roziqin, Badiatul, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Saryono, Djoko, Arung Diri Kitab Puisi, Surabaya: UPT Taman Budaya Jawa Timur, 2013.
Sumadi dan Edi Setiyanto, Permasalahan Pemakaian Bahasa Jawa Krama, Yogyakarta: Depdikbud, 2010.
Sumardjo, Jakob, dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1988.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1990.
Suseno, Frans Magnis dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Suseno, Frans Magnis, EtikaJawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT. Gramedia, 1985.
Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984.
Wellek, Rene dan Austin Werren, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT.
Gramedia, 1990.
Wiratma, Nara Setya, Periodisasi Sastra Jawa: Manifestasi Keluhuran Bangsa, Yogyakarta: UNS, 2015.
Zoetmulder, Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Jakarta:
Jambatan, 1985.
Jurnal Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014.
Jurnal Hikamuna, Vol. 1, No. 1, 2016.
Jurnal Insania, Vol 13, 2008.
Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014.
Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol. 5, No. 1, Juni 2016.
Jurnal Litera, Vol. 15, No. 2, Oktober 2016.
Jurnal Literasi, Vol. 02, No. 2, Desember 2012.
Jurnal Pengembangan Pendidikan, Vol. 9. No. 2, Desember 2012, Jurnal Suhuf, Vol. 2, No. 2, 2009.
Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 2, 2013
Jurnal Tanzil, Vol. I, No. 1, Oktober 2015.
digilib.uinsby.ac.id/17188/5/Bab%202.pdf, diakses pada 10 juli 2018 pukul 11. 40 WIB.
http://aloysiusindratmo.blogspot.com/.2010/02/dunia-sastra-jawa.html?=1, diakses pada tanggal 11 juli 2018 pukul 11.58 WIB