• Tidak ada hasil yang ditemukan

Durkheim dan Idealnya Lingkungan Sosial Pendidikan Islam

BAB IV PEMBAHASAN

B. Pembahasan

3. Durkheim dan Idealnya Lingkungan Sosial Pendidikan Islam

Ada beberapa hal yang melatar belakangi perhatian Durkheim dalam masalah konsensus dan moralitas, bukan saja atas dasar keadaan politik di Prancis saat itu sehingga menewaskan anak satu-satunya yang dipicu karena Perang Dunia I, melainkan juga karena ada pergeseran sosial, dampak dari adanya industralisasi dan kapitalisme saat itu.

Masa industrialisasi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap bentuk pemikiran dalam bersosial. Meningkatkan kinerja individu dalam membangun suatu perubahan dalam komunitasnya yang mengacu terhadap nilai keekonomisan. Termasuk hal-hal yang berdampak pada sesuatu yang ketidak manfaatannya pun dapat diperhitungkan, sehingga bisa mengurangi pembiayaan dalam kegiatan yang dilakukan.

Dari perubahan pola pikir individu yang terfokus kepada hal materialistis, maka akan berimbas pada kegiatan yang dilakukan dalam lingkungannya. Karna lingkungan dan pola pikir individu yang ada di dalamnya saling keterkaitan, sehingga hasil dari adanya industralisasi

22

Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Bangsa, (Jakarta: Baduose Media Jakarta, 2011), Cet. I, h. 15.

23

Hery Noer Aly. dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), Cet. II, h. 3.

yang tertuju pada materi semata dan memudarkan nilai-nilai moralnya. Tentang “ilmu moralitas” Durkheim pernah menulis bahwa karena ketentuan moral dan hukum pada dasarnya memantulkan keperluan sosial yang hanya bisa dimasukkan oleh masyarakat itu sendiri –

sesuatu yang berdasarkan pada “Pandangan Kolektif” – maka bukanlah

tugas kita mendapatkan (ketentuan) etika dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk suatu ilmu tentang etika.24 Jadi pantulan dari keperluan sosial akan industrialisasi dan kapitalisme membentuk moral dan hukum seputar bagaimana mereka bisa menghasilkan suatu keuntungan sebesar-besarnya, yang sangat boleh jadi merugikan orang lain atau tidak.

Etika merupakan tata nilai yang terkandung dalam suatu lingkungan sosial yang sering dikenal dengan istilah norma. Norma inilah yang menjadi acuan bersosialisasi dalam bermasyarakat. Pembagian norma ada beberapa macamnya, seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Semuanya menjadi satu rangkaian dalam kegiatan bermasyarakat.

Dalam model penelitian yang Durkheim lakukan, ia memandang diriya sebagai “rasionalis” karna ia yakin dapat menemukan hubungan sebab-akibat dalam tingkah laku sosial, dan ia memandang posisinya sebagai “spiritualis” dalam arti bahwa ia menjelaskan keseluruhan melalui bagian-bagian yang merupakan ciri khas keseluruhan itu.25 Ia menolak dalam mempelajari sosial disamakan dengan mempelajari benda-benda material yang hanya dapat dipahami dengan mempelajari sebagian benda dari keseluruhan, karna untuk memahami masyarakat akan sangat berbeda dengan memahami material.

Dalam artikel yang dipublikasikan oleh kompasiana.com menerangkan bahwa tingkat tindak pidana sejatinya merupakan sebuah

24

Taufik Abdullah dan A. C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi

Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), h. 2-3.

25

kemakmuran masyarakat sehingga besar kecilnya tindak pidana juga mendeskripsikan besar kecilnya tingkat penanganan keamanan serta besar kecilnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat.26

Gambaran keadaan sosial bangsa Indonesia dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

(Jumlah Tindak Pidana, Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia (diolah), sumber : Statistik Indonesia

2014, Dok.Pri)

Sebagaimana yang dijelaskan Durkheim mengenai tindakan sosial:

The rate of occurrence (wheather frequent or infrequent) of a social fact may serve as an index of an uderlying social reality and of the trends which pervade it. A scientifically measured statistical rate is a sign of „a certain state of thecollective consciouseness’.27

Tingkat keterjadian suatu fakta sosial (entah sering atau tidak) dapat berfungsi sebagai indeks yang menggarisbawahi keyataan sosial dan kecendrungan yang kuat di dalamnya. Suatu tingkat statistik yang

26

Joko Ade Nursiono, Tindak Pidana di Indonesia Masih Tinggi ini Penyebabnya, 2015, (www.kompasiana.com).

27

kolektif tertentu‟.28

Data statistik di atas menjadikan tantangan bagi bangsa Indonesia dari era globalisasi yang dihadapi, bagaimana bangsa ini mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa yang mempunyai karakter yang berbudi luhur yang merupakan warisan dan tujuan dari pendiri bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dikutip dari majalah Formula Vol. IV-Juni 2010, Agung Laksono menegaskan Arahan Presiden RI dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010, arahan Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional di Tapak Siring, Bali tanggal 19–20 April 2010, serta arahan Presiden RI pada Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasioanal di Istana Negara tanggal 11 Mei

2010; “Tujuan desain induk pembangunan karakter bangsa adalah

membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.29

Diperkuat lagi dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang dikutip dalam majalah Formula, vol.IV-Juni 2010 bahwa: “Character Building sudah mulai kita lupakan”.30

Jadi jelaslah terlihat kekhawatiran Durkheim mengenai nilai moralitas yang terjadi karna perubahan dalam bidang perekonomian serta kebijakan dalam politik memberikan benturan keras akan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada saat itu. Dalam catatan sejarah nasional telah diabadikan bahwa menjelang akhir pemerintahan Orde Lama (ORLA) pembangunan karakter/budi diluluhlantahkan oleh “Kekuatan Politik”. Memasuki Orde Baru (ORBA) untuk membangun karakter/budi pekerti anak bangsa melalui Pedoman Penghayatan dan

28

Soejono Dirdjosisworo, op.cit., h. xvii

29

Maswardi Muhammad Amin, op.cit., h.13.

30

adanya perilaku “Keteladanan” dari kepemimpinan nasional seperti yang didoktrinkan dalam P4 tersebut. Pembangunan karakter/budi pekerti sebagaimana diamanahkan oleh pendiri negeri ini yang memperjuangkan dengan jiwa, raga, dan harta menjadi terhambat. Pesan pendiri negeri ini adalah pembangunan sebagai isian dari

kemerdekaan harus mengedepankan “national character

building”/membangun karakter/budi pekerti bangsa. Terhambatnya “national character building” disebabkan oleh penekanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diutamakan adalah pembangunan ekonomi, fisik, material, sementara pembangunan karakter/budi pekerti kejiwaan diabaikan.31 Untuk itu, Durkheim melihat nilai moralitas inilah yang bisa memberikan keluwesan dalam bermasyarakat dan memberikan keseimbangan dalam menjalankan fungsinya sebagai elemen-elemen sosial.

Kesimpulan yang bisa diambil penulis dari pokok utama pandangan Durkheim dalam membentuk lingkungan sosial agar tercipta kesadaran kolektif yang mengarah kepada keseimbangan dan keteraturan dalam hidup berkelompok, yaitu didasarkan pada nilai moralitas yang disepakati bersama dan mempunyai nilai kebaikan bagi individu tersebut maupun individu yang lainnya. Kejujuran, tidak merugikan orang lain, hendaknya pendidikan Islam bermuara pada akhlak.

Seperti halnya nilai kebaikan dari sudut pandang moralitas, ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan kitabnya Al-Qur‟an juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Bahkan diriwayatkan dalam hadist, bahwa tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad Saw hanya untuk menyempurnakan Akhlak (tingkah laku), sebagaimana hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

31

َع َِِثَدَح :َلاَق ٍسْيَوُأ َِِأ ُنْب ُليِعاَِْْإ اََ ثَدَح

ِنْب ِدَمَُُ ْنَع ،ٍدَمَُُ ُنْب ِزيِزَعْلا ُدْب

َِِأ ْنَع ،ٍميِكَح ِنْب ِعاَقْعَقْلا ِنَع ،َن ََْجَع

ٍحِلاَص

ِناَمَسلا

َِللا َلوُسَر َنَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ،

: َلاَق َمَلَسَو ِْيَلَع ُها ىَلَص

«

َحِلاَص َمََُِِِ ُتْثِعُب اَََِإ

ِق ََْخَِْا

»

32

Ismail bin Abi Uyaisi berkata: Abdul A’ziz bin Muhammad menceritakan kepadaku hadis dari Muhammad bin „Ajlan dari Al Qo’qa’i bin Hakim dari Abi Soleh As Samman dari Abi Hurairah

sesungguhnya Rasulullah berkata : “Sesungguhnya aku diutus untuk

menyempurnakan akhlak mulia”

Dalam hadist tersebut ada dua poin yang harus diperhatikan, pertama yaitu bagaimana berakhlak mulia kepada Sang Khalik dan yang ke dua bagaimana berakhlak mulia kepada sesama manusia Suatu konsep yang biasanya dipandang mejadi karakteristik dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supernatural. Yang supernatural adalah tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman kita; yang supernatural adalah dunia misteri, yang tidak bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkapakan dan dicerap indra. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang ada di luar sains atau akal sehat pada umumnya.33

Tuhan pada awalnya adalah sesuatu yang dipandang manusia superior dari dirinya dalam hal-hal tertentu dan merupakan tempat menggantungkan kepercayaan . apakah sesuatu tersebut berupa satu pribadi, seperti Zeus atau Yahweh, atau permainan kekuatan-kekuatan abstrak sebagaimana yang terdapat dalam totemisme, para hamba percaya bahwa mereka terikat dengan tata laku tertentu yang dititahkan oleh prinsip sakral kepada mereka. Masyarakat juga menimbulkan semacam rasa ketergantungan pada dalam diri kita.34

32Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mugirah Al Bukhari Abu „Ubaid, Al Adab

Al Mufrad, Bairut: Daarul Bashaair Al Islamiyah, 1989, Juz 1, h. 104.

33

Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, (Jogjakarta: Ircisod, 2011), Cet. I, h. 49.

34

religion is not some historic phenomenon destined soon to fade away. The existence of society itself depends on the recurrence of periodic ritual, and only through such events can the sentiments of individuals be united:35

Dalam penutup buku Elementary Forms Durkheim berpendapat bahwa agama adalah sejarah beberapa fenomena tidak ditakdirkan untuk segera memudar. Keberadaan masyarakat itu sendiri tergantung pada ritual pengulangan periodik, dan hanya melalui peristiwa tersebut bisa menjadi perasaan individu yang disatukan.

Dengan demikian peranan agama dalam pengaplikasiannya di masyarakat mengikat solidaritas antar individu di dalamnya, yang artinya kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat bukan sekedar ada kepentingan bersama, melainkan ada suatu yang dianggap baik yang ingin selalu ada dalam lingkungannya dan kebaikan tersebut terjaga dan terlestarikan oleh penerusnya.

Bahkan Durkheim mengemukakan pandangannya terhadap peranan agama di dalam kehidupan bermasyarakat;

Not until 1895 did I have a clear sense of the vital role played by religion in social life. It was in that year that, for the first time, I found a way of approaching the study of religion through sociology. It was a revelation. This lecture course of 1895 marks a dividing line in the development of my thinking, so much so that all my previous research had to be re-evaluated to be brought into line with these new views.36

Tidak sampai 1895 aku memiliki rasa yang jelas tentang peran penting yang dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial. Saat di tahun itu bahwa, untuk pertama kalinya, saya menemukan cara untuk mendekati studi agama melalui sosiologi. Ini adalah sebuah wahyu. Kuliah ini dari 1895 menandai garis pemisah dalam pengembangan

35

Emile Durkheim, Durkheim on Morality and Society Selected Writings, (Chicago: The University of Chicago Press, 1973), h. xlix.

36

Emile Durkheim, Sociologist and Moralist, (London: The Taylor & Francis e-Library, 2005), h. 116-117.

sebelumnya harus dievaluasi kembali untuk dibawa ke sejalan dengan pandangan-pandangan baru.

Menurut Prof. Dr. H. Jalaludin dalam bukunya Psikologi Agama fungsi agama dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Berfungsi edukatif

Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang.37dalam ajarannya terdapat nilai-nilai kebaikan dan keburukan dalam pengaplikasian mereka sebagai penganut agama yang sesuai dengan yang ada dalam ajaran agamanya.

b. Berfungsi penyelamat

Di mana pun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.38 Tuhan yang mereka sembahlah yang nantinya diharapkan sebagai penolong mereka di kedua alam tersebut.

c. Berfungsi sebagai pendamaian

Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui: tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.39 Penyesalan dalam dosa

37

Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi XI, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 ), h. 261.

38 Ibid.

39

mendapatkan ketenangan beribadah dalam batinnya. d. Berfungsi sebagai social control

Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena:

1) Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya. 2) Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi yang kritis

yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).40 e. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.41 Rasa solidaritas tersebut merupakan ikatan yang terbentuk dalam menyatukan frem mereka terhadap ajaran agamanya.

f. Berfungsi sebagai trasformatif

Ajaran agama dapat mengubah kehidupan keperibadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu, kadang kala mampu mengubah kesetiaanya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.42

40 Ibid. 41 Ibid., h. 263. 42 Ibid.

Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.43 Berkreasi dan berinovasi memberikan pandangan bahwa agama tersebut mempunyai nilai lebih, selain agama itu dipandang sebagai hal yang sakral dalam nilai-nilai religius saja.

h. Berfungsi sublimatif

Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.44 Keselarasan antara aturan agama dengan tata norma yang ada dalam masyarakat memberikan suatu keharmonisan dalam menjalankan kedua aturan tersebut, supaya bisa saling beriringan dan saling bersinergi di antara keduanya . Maka agama pun memberikan peran utama dalam menjaga ketertiaban sosial yang berada di masyarakat. Selain nilai ketaatan yang didapat, ada nilai ibadah juga akan kita dapatkan. Ketika nilai ibadah atau amal ini diutamakan dalam lingkungan masyarakat, maka besar kemungkinannya akan mempengaruhi nilai moralitas individu yang ada di dalamnya, seperti yang dituturkan Durkheim berikut; While Durkheim could see no ready social or political solution to this moral problem, he believed that only a special type of consciousness based on charity and human sympathy may overcome

43 Ibid.

44 Ibid.

social background.45

Sementara Durkheim melihat tidak ada kesiapan solusi sosial atau politik untuk masalah moral, ia percaya bahwa hanya ada jenis khusus dari kesadaran berdasarkan amal dan simpati manusia yang dapat mengatasi kecenderungan untuk menilai nilai moral seseorang dalam hal latar belakang sosial mereka.

Menurut penulis dalam hal ini Durkheim melihat bahwa, pertama dalam menyelesaikan masalah moral dalam lingkungan sosial atau politik yaitu dengan adanya kesadaran berdasarkan amal. Kedua, dalam menilai nilai moral seseorang harus berdasarkan nilai simpati manusia itu sendiri, yang artinya besar kecilnya nilai moral seseorang akan terlihat dari besar kecilnya seseorang itu peduli terhadap orang lain, sehingga memberikan nilai empati untuk dirinya.

Sifat kehidupan kelompok membentuk cara orang berpikir, merasa, mengingat – dan apa yang dianggap mereka bersifat moral.46 Moralitas merupakan ciptaan sosial, maka representatif moralitas merupakan suatu yang masih abstrak dalam suatu lingkungan. Kapan saja unsur-unsur tertentu bergabung dan dengan demikian menghasilkan fenomena baru, jelaslah bahwa fenomena ini terletak bukan pada unsur-unsur semula tetapi pada keseluruhan yang dibentuk oleh kesatuan mereka.47 Jadi realitas dari sebuah fenomena berasal dari unsur-unsur yang bersatu. Satu dengan yang satu menjadi sebuah kesatuan padanan sosial. Moralitas merupakan suatu ciri manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk selain manusia.48 Jika Islam berpandangan hakikat terbentuknya sosial masyarakat sempurna

45

Emile Durkheim, Professional Ethics and Civic Morals, (London:, The Taylor & Francis e-Library, 2003), h. xxviii.

46

Lukas Ginting, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan

oleh Emile Durkheim, (Jakarta: Erlangga, 1990), h. xxi.

47

Ibid., h. xxii.

48

Syaiful Sagala, Etika & Moralitas Pendidikan; Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. I, h. 1.

Adam dan Hawa, maka tepatlah ”Buah jatuh tak akan jauh dari dari pohonnya” sebagai pribahasa yang tepat yang mendasari unsur ideologi terbentuknya moralitas sosial yang paling terkecil. Walaupun, tak semua proses moralitas menyerupai hukum pemantulan cahaya dalam cermin (sinar datang = sinar pantul), tetapi secara normalnya proses interaksi individu saat pertama kali menjadi bagian anggota keluarga, baik setelah lahir maupun masih dalam kandungan yaitu kedua orang tuanya sendiri.

Unsur lain yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan moralitas yaitu pendidikan formal dan non formal, Politik, Industri/Ekonomi, serta informasi dari luar, seperti berita kejadian sesuatu baik media masa (televisi, akun sosial media dan lain-lain) maupun media cetak (koran, majalah banner dan lain-lain). Jadi skema dari alur pembentukan moralitas adalah sebagai berikut:

Dari skema di atas, kita bisa melihat perputaran dari suatu proses pembentukan moralitas dalam masyarakat. Siapa yang paling kuat, siapa yang paling mempunyai kekuasaan, siapa yang sering memberi dan siapa yang paling masuk akal untuk mempengaruhi akan

Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu A n a k A n a k Anak Anak Alur Pembentukan Moralitas

yang diterimanya.

Dalam Islam terdapat tiga nilai keteladanan utama, yaitu akhlak, adab dan keteladanan.49 Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung

jawab selain syari‟ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term

adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad Saw. Ketiga nilai inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam.50

Untuk itu, karakter Islam dalam sosial menjadi dasar dari keteraturan berinteraksi. Pendidikan Islam sangatlah universal cakupannya dan semuanya merujuk pada suatu keteraturan. Akhlak, adab dan keteladanan merupakan dasar penenaman pendidikan dalam Islam, kesemuanya merupakan unsur yang harus ada dalam menghiasi sosial Islami. Dibutuhkan penggerak yang paham akan nilai standar Islam, serta koordinasi yang berkesinambungan di antara pihak-pihak yang berperan dalam mencapai tujuan nilai-nilai Islami.

Maka, idealnya dalam menghasilkan fenomena sosial yang menurut Durkheim terbentuk dari unsur-unsur hingga menjadi satu kesatuan, tak akan pernah lepas dari satuan terkecil tersebut. Sehingga satuan terkecillah yang akan menjadi pondasi dari suatu pembentukan fenomena yang terencana. Untuk itu, diperlukan pembentukan terencana juga untuk mendapatkan hasil yang direncanakan pada satuan terkecil dalam unsur tersebut.

Satuan terkecil sebagai tokoh yang berperan aktif dalam menciptakan fenomena sosial yang ada yang sekaligus menjadi salah satu pelopor utama dalam pembentukan karakter dan menjadi rujukan

49

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Persepektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 58.

50 Ibid.

orang tua.

Dokumen terkait