• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakta Sosial Emile Durkheim dalam Membentuk Lingkungan Sosial Pendidikan Islam Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fakta Sosial Emile Durkheim dalam Membentuk Lingkungan Sosial Pendidikan Islam Indonesia"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh

ACENG FUAD HASIM IKBAL

1110011000145

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh

Aceng Fuad Hasim Ikbal

NIM: 1110011000145

Di Bawah Bimbingan

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Zaimuddin, M.A

NIP: 19590705 1991031 1 002

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(4)
(5)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‟aalamin puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kenikmatan terutama nikmat Iman, Islam serta nikmat sehat waal‟afiat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Shalawat beserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi Muhammad Saw. Kepada keluarganya, shahabatnya, dan seluruh umatnya sampai hari kiamat.

Tidaklah mudah menyusun skripsi ini, penulis menyadari itu sepenuhnya. Tidak sedikit kesulitan, hambatan, rintangan, dan cobaan yang penulis alami. Karena dalam penulisan skripsi ini diperlukan kesungguhan, ketenangan, ketelatenan, kesabaran, kejernihan hati ketajaman pikiran, serta kedalaman pengetahuan. Namun berkat do‟a, dorongan dan motivasi dari berbagai pihak alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil khususnya kepada kedua orangtua tercinta Bapa H. Tatang Anwar dan Ibu Hj. Euis Siti Hajar yang dengan sabar mengasuh dan mengasih serta selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis. Selanjutnya penulis ikut menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA.

2. Dr. H. abdul Majid Khon, M.Ag dan Marhamah Shaleh, Lc, MA, selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.

3. Dra. Hj. Shofiah, M. Ag selaku dosen Penasehat Akademik.

(6)

ii

5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pemahaman yang baik kepada mahasiswa dan mahasiswinya.

6. Adik-adikku, Miftah Muhajir Salim, Muhammad Bahar Zamzami dan Solihat Samrotul Fuadah yang selalu menanyakan “Kapan wisuda?”.

7. Ka Asep Eka Mulayanuddin, S. Pd.I sebagai Ketua Komisariat Tarbiyah (KOMTAR) HMI Ciputat, Periode 2011-2012 yang selalu meluangkan waktu untuk bertukar pikiran dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman Pengurus BEM FITK Periode 2013-2014 yang selalu mensuport dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman pengurus FK2i (Forum Kajian dan Komunikasi Mahasiswa PAI) Periode 2012-2013.

10.Teman-teman Dhe Community.

11.Keluarga besar Kahfi Bagus Brain Communication (BBC) Motivator School. Terlebih pada guru sehat Dr. Tubagus Wahyudi, ST., Msi., MCHt., CHi. 12.Seluruh Guru dan staf SD Islam Al-Hidayah Pamulang, Tangsel.

13.Serta pihak yang tidak bisa penulis satu persatu sebutkan.

Sekecil apa pun sumbangan yang mungkin dapat diberikan, mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan diridhai Allah Swt. Amiin.

Jakarta, 20 Juni 2015.

(7)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORITIK ... 8

A. Pendidikan Islam ... 10

1. Pengertian Pendidikan Islam ... 10

2. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 12

3. Unsur-unsur Pendidikan Islam ... 15

B. Pemikiran Tokoh dan Pembaharu Pendidikan Indonesia ... 18

1. Ki Hajar Dewantara ... 18

2. K.H. Hasyim Asy‟ari ... 19

3. K.H. Ahmad Dahlan ... 20

4. Prof. Dr. Harun Nasution ... 21

C. Pengertian Fakta sosial ... 22

1. Karl Marx ... 23

2. Talcott Parsons ... 24

3. Robert King Merton ... 25

D. Lingkungan Sosial ... 26

E. Kerangka Berpikir ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

B. Jenis Data ... 29

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

(8)

iv

2. Teknik Pengolahan Data ... 31

D. Analisa Data ... 31

E. Teknik Penulisan ... 32

BAB IV PEMBAHASAN ... 33

A. Deskripsi Data ... 33

1. Biografi Emile Durkheim ... 33

2. Karya-karya Emile Durkheim ... 36

3. Fakta Sosial dalam Perspektif Emile Durkheim ... 38

4. Klasifikasi kelompok sosial menurut Emile Durkheim ... 39

B. Pembahasan ... 40

1. Kekeliruan Lingkungan Sosial Pendidikan ... 40

a. Anak SD disuruh nyontek oleh gurunya ... 41

b. Bentrokan di Manggarai ... 42

c. Sembilan pelajar terjaring razia saat pesta miras ... 43

2. Peranan Pendidikan Islam ... 44

3. Durkheim dan Idealnya Lingkungan Sosial Pendidikan Islam Indonesia ... 46

4. Fakta Sosial dan Pembentukan Karakter dalam Islam ... 59

a. Pembentukan Karakter Emile Durkheim Melalui Fakta Sosial 59 b. Pembentukan Karakter dalam Islam ... 61

5. Tujuan Pendidikan Islam ... 64

a. Al Jumu‟ah [62] ayat 2 ... 65

b. Al-Qashash [28] ayat77 ... 66

c. Q.S. At Tahrim [66] ayat 6 ... 67

d. Q.S. Ali Imran [3] ayat 190 ... 68

BAB V PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah modal utama bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan. Kebutuhan akan pendidikan dirasakan oleh setiap bangsa, termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, sejak awal kemerdekaan, Indonesia banyak melakukan pembenahan pendidikan, setelah sekian lama terkurung dalam kebiadaban para penjajah.

Pembenahan dalam pendidikan terus dilakukan, dalam konteks kurikulum pendidikan misalnya, Indonesia sudah banyak melakukan perubahan, mulai dari penerapan kurikulum 1947, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini yaitu penerapan kurikulum 2013 (K13). Tujuan utamanya adalah membentuk Sumber Daya Manusia yang mempunyai nilai (value) dari ilmu pengetahuan (knowledge). Untuk itu, dalam pengaplikasian Kurikulum yang terbaru ini, yakni K13 lebih mengedepankan nilai

afektif atau yang terfokus pada ranah emosi, seperti perasaan, penghargaan, semangat, minat, sikap dan motivasi.

Perubahan kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia merupakan suatu gagasan baru dari konsep pendidikan yang awalnya tertuju pada aspek kognitif semata sekarang lebih tertuju kepada aspek afektif tanpa menghilangkan aspek kognitif dan psikomotorinya. Perubahan konsep tersebut menurut Everett M. Rogers yang dikutip oleh Andi Ridwan Makkulawu, disebut inovasi. Yaitu suatu ide, gagasan, praktek atau objek/benda yang didasari dan diterima sebagai sesuatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi.1 sedangkan, proses penjelasan bagaimana suatu inovasi itu disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial dinamakan teori difusi inovasi.2 Yang artinya bahwa, dengan adanya

1 Andi Ridwan Makkulawu, “Proses Percepatan Difusi Inovasi Produk Susu Sterilisasi Nonthermal”, Jurnal Teknik Industri, h. 47.

2

(10)

kurikulum yang mengutamakan aspek afektif yang lebih terfokus pada dimensi sosial dan spiritual, memberikan jawaban terhadap bagaimana mengimplementasikan tujuan pendidikan Indonesia seutuhnya, sebagaimana tertera dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3

Maka, jika saja terjadi perdebatan pada penilain akhir antara nilai afektif dan kognitif pada peserta didik, dan ternyata ditemukan nilai kognitifnya tinggi serta nilai afektifnya kurang dari nilai standar yang telah ditentukan, dengan berat hati, instanasi pendidikan harus tegas memutuskan bahwa si peserta didik tersebut harus belajar lagi pada tingkat yang sama (belum lulus).

Perubahan kurikulum ini memberikan gambaran akan kerinduan bangsa Indonesia dengan lingkungan masyarakat yang berkarakter, berakhlak dan berbudi pekerti yang baik. Untuk itu perubahan kurikulum ini jika dikaitkan dengan pemikiran Roges yang dikutip oleh Andi Ridwan Makkulawu, tentang proses

difusi inovasi, terdapat empat elemen pokok yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh oleh

seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep „baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.4 Sejatinya, pendidikan karakter kerapkali tak dipandang ideal semasa Ki Hadjar Dewantara dengan “Tri Pusat

Pendidikan”, Kyai Ahmad Dahlan dengan “Sekolah Diniyah” dan lain

sebagainya.

3

Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI Tahun 2006, Undang-undang

dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: 2006), h. 8 - 9.

4

(11)

2. Saluran komunikasi; alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, ada sumber yang paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.5

3. Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.6

4. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.7 Sistem sosial ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap terciptanya pendidikan yang telah diinovasi.

Pelaksanaan pembelajaran yang erat kaitannya dengan penanaman nilai, juga sangat erat sekali dengan bagaimana cara interaksi sosial yang terjadi di dalamnya, sehingga nilai-nilai baik tak dipandang tabu lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pastinya, diperlukan suatu pembiasaan yang terus berulang-ulang yang berujung kepada adanya tindakan berpola/value yang berada di dalam bawah sadar individu. Maka respon yang keluar baik secara tindakan, kelakuan, maupun ucapan akan terealisasikan secara spontanitas, tanpa adanya suatu rekayasa kelakuan maupun ucapan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka peranan lingkungan memberikan pengaruh luar biasa dalam terealisasikannya interaksi sosial. Untuk itu, perlu

5 Ibid. 6

Ibid., h. 48.

(12)

diketahui beberapa pandangan para tokoh tentang peranan lingkungan yang mempengaruhi perilaku maupun kemampuan manusia dalam lingkungannya. Tiga dari empat aliran pendidikan, mempercayai akan peran penting pengaruh eksternal (lingkungan) dalam membentuk kepribadian anak. Ada empat aliran pendidikan yang sering dibicarakan, yaitu: Empirisme, Nativisme, Naturalisme dan Konvergensi.

Pertama, aliran Empirisme yang diperkenalkan oleh Jhon Locke. Aliran empirisme mengutamakan perkembangan manusia dari segi empiris yang secara eksternal dapat diamati dan mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia. Dengan kata lain pengalaman adalah sumber pengetahuan, sedangkan pembawaan yang berupa bakat tidak diakui.8 Kedua, nativisme merupakan aliran yang di perkenalkan oleh Arthur Schopenhauer. Aliran nativisme menyatakan bahwa perkembangan seseorang merupakan produksi dari pembawaan yang berupa bakat. Bakat yang merupakan pembawaan seseorang akan menentukan nasibnya. Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran empirisme.9 Ketiga, naturalisme yang dipelopori oleh J.J. Rousseau. Aliran naturalisme menyatakan bahwa semua anak yang dilahirkan pada dasarnya dalam keadaan baik. Anak menjadi rusak atau tidak baik karena campur tangan manusia (masyarakat). Pendidikan hanya memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh dengan sendirinya. Pendidikan hendaknya diserahkan kepada alam. Dalam mendidik seorang anak hendaknya dikembalikan kepada alam agar pembawaan yang baik tersebut tidak dirusak oleh pendidik.10 Keempat, aliran konvergensi yang dipelopori oleh William Stern. Aliran ini menyatakan bahwa bakat, pembawaan dan lingkungan atau pengalamanlah yang menentukan pembentukan pribadi seseorang. Pendidikan dijadikan sebagai penolong kepada anak untuk mengembangkan potensinya. Yang membatasi hasil pendidikan anak adalah pembawaan dan lingkungan.11

8

Syarif Hidayat, Toeri dan Prinsip Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2013). h. 6.

9 Ibid. 10

Ibid., h. 7.

(13)

Membahas mengenai lingkungan, tidak akan pernah terlepas dari pembahasan sosial. Jika penjelasan para tokoh di atas melihat dari segi perkembangan kemampuan dalam lingkungan, maka kita juga harus melihat bagaimana pandangan para tokoh lingkungan atau sosialis dalam melihat suatu perkembangan bagi individu yang ada di dalamnya. Dengan demikian, pendapat dari para tokoh sosial sangat dibutuhkan sebagai rujukan pembahasan ini.

Salah satu tokoh sosial yang membahas tentang pendidikan yaitu Karl Marx, dengan alirannya yang disebut Marxisme. Marxisme menyediakan pandangan untuk melihat bagaimana fungsi pendidikan dalam masyarakat berkelas, secara historis dan juga memiliki formulasi dan strategi pendidikan untuk menjadikan perubahan menuju kehancuran, ketimpangan dan ketidak adilan sistem kapitalisme.12

Tokoh lain yang membahas sosial pendidikan ialah tokoh terkemuka yang berasal dari Brasil, yaitu Paulo Friere. Paulo Friere mengusulkan suatu sistem dan orientasi pendidikan yang membebaskan dari budaya yang serba–verbal, mekanistik, dan dangkal. Budaya seperti ini, menurut Paulo Friere, tidak mungkin akan mengantarkan manusia pada kehidupan yang lebih autentik dan lebih manusiawi. Bahkan, hanya akan mengantar manusia pada “kepicikan” yang menjadi manusia sebagai robot yang tidak kenal akan eksistensi kemanusiaannya sendiri.13

Dari sekian banyak tokoh sosial, Durkheim merupakan tokoh sosial menarik perhatian penulis. Dalam teorinya tentang fakta sosial (social fact), yaitu suatu teori yang membahas tentang realita sosial yang terbentuk dari sebuah pembiasaan lingkungan individu yang terjadi di dalamnya. Teori Durkheim ini mirip dengan teori riadhahnya Imam Ghazali yang mengacu pada nilai-nilai Al Qur‟an dan Hadist, sedangkan Durkheim melihat dari sudut kekhawatiran dirinya sebagai mahluk sosial (Zoon Politicon). Bukan berarti penulis mengesampingkan azas pemahaman yang berlandaskan Al qur‟an dan Al hadist, hanya saja penulis

12

Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan: Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

Postmodern.(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010), h. 325.

13

(14)

menaruh perhatian khusus bagaimana hakikat pengamalan dari Al qur‟an dan Al hadist ini dalam persepektif sosial.

Durkheim tak membahas langsung tentang pengaruh lingkungan untuk pemahaman atau kemampuan individu, hanya saja kegelisahan Durkheim inilah membuat penulis merasa penting untuk diangkat dalam menyelaraskan Tujuan Pendidikan Nasional dengan kurikulum yang barunya (K13) yang lebih mengacu pada penanaman nilai (value) dari pendidikan itu sendiri yang terpusat pada penanaman moralitas bagi setiap individu para penerus bangsa Indonesia.

Durkheim memang non muslim, dan tidak pernah membahas tentang sosial pendidikan Islam, namun idenya mengenai “fakta sosial” menginspirasi penulis untuk mengambil pelajaran dalam memahami lingkungan, terutama lingkungan pendidikan Islam. Adapun fakta sosial dalam perspektif Durkheim secara singkat merupakan setiap cara bertindak, baik yang ditentukan maupun tidak memiliki kemampuan untuk menguasai individu dengan tekanan yang berasal dari luar, atau setiap cara bertindak yang bersifat umum pada masyarakat tertentu, namun pada saat yang sama (fakta sosial), mandiri serta bebas dari individu.14

Adapun fokus penelitian penulis adalah lingkungan sosial pendidikan Islam Indonesia. Degradasi moral, baik terkikisnya nilai keIslaman atau mulai lunturnya budaya bangsa yang terjadi pada abad 20 ini, selalu dikaitkan dengan pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan agama semestinya mampu mencetak anak didik yang religius, yaitu manusia yang selalu menjalankan kehidupan sesuai dengan kandungan nilai agama yang dianutnya. Begitu juga dengan pendidikan kewarganegaraan semestinya mampu mencetak anak didik yang cinta tanah air, mencintai bangsa ini yang kaya dengan budaya. Namun faktanya, nilai bangsa dan religiusitas sudah terkikis di kalangan anak muda yang sedang berkembang, bahkan pada kalangan dewasa yang sudah menjadi produk pendidikan. Misalnya nilai kejujuran yang sudah menghilang pada jiwa penduduk Indonesia, sehingga banyak pemimpin yang korup, menteri korup, guru korup, padahal mereka sudah banyak mengenyam bangku sekolah. Ada apa dengan pendidikan kita? Apakah pendidikan Indonesia memang sudah tidak sanggup

14

(15)

mencetak orang-orang baik? Kenapa? Jika melihat penuturan Paulo Friere, jangan-jangan memang pendidikan tidak lebih dari penjara yang mengekang tawanannya (peserta didik), sehingga ketika mereka keluar dari penjara, mereka berbuat sebebas-bebasnya? Keresahan-keresahan tersebut yang menghantui penulis, sehingga penulis memfokuskan penelitian pada lingkungan pendidikan Islam Indonesia. Sepertinya memang corak lingkungan pendidikan yang ideal memang belum ditemukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Memfokuskan pembahasan pada pendidikan Islam Indonesia merupakan bentuk tanggungjawab penulis sebagai umat Islam yang nasionalis. Penulis juga menyadari bahwa lingkungan pendidikan yang ideal, adalah lingkungan pendidikan yang diharapkan oleh lembaga pendidikan manapun, termasuk lembaga pendidikan Islam Indonesia. Selain itu, lembaga pendidikan Islam Indonesia adalah pendidikan yang unik, yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam di negara lain. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut, dalam menyelesaikan tugas akhir kuliah (skripsi), penulis tertarik untuk membuat karya tulis ilmiah mengenai : “FAKTA SOSIAL EMILE DURKHEIM DALAM

MEMBENTUK LINGKUNGAN SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM

INDONESIA”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Degradasi moral yang terjadi dikalangan manusia terdidik dan sedang dididik, yang disebabkan tidak bisa menyeimbangi pengetahuan intelektual dengan pengaplikasian nilai moralitasnya.

(16)

3. Adanya fungsi agama sebagai pemelihara individu-individu yang ada dalam suatu kelompok atau masyarakat, sebagaimana Durkheim melihat bahwa dalam sosial itu membutuhkan suatu keteraturan, supaya bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan bagi tiap individu yang ada dilingkungan tersebut. 4. Pendidikan memiliki peran penting untuk perkembangan peahaman

nilai-nilai moral dalam membentuk suatu mayarakat, termasuk pendidikan Islam di Indonesia. Karna dalam penanaman moral membutuhkan teknik penyampaian yang baik dan pengaplikasian moral yang baik pula dari si pendidik ke peserta didik untuk dapat dicontoh.

5. Belum ditemukannya corak lingkungan pendidikan Islam Indonesia yang ideal dalam membentuk pribadi peserta didik yang sesuai dengan nilai keIslaman di Indonesia. Karna masih mengutamakan aspek finansial yang mempunyai nilai ekonomis daripada aspek kepedulian terhadap sesama dalam berinteraksi.

C. Batasan Masalah

Dalam membahas pemikiran Durkheim tentang masalah sosial akan menimbulkan banyak permasalahan. Agar penelitaian ini tidak meluas, maka penulis membatasi masalah dalam penelitian ini pada 2 hal, yaitu:

1. Pemikiran Fakta Sosial Emile Durkheim

2. Relevansinya terhadap lingkungan sosial pendidikan Islam Indonesia.

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah tersebut, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa hakikat pemikiran Fakta Sosial Emile Durkheim yang dapat dalam dimanfaatkan dalam dunia pendidikan?

(17)

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian :

Dalam penelitian ini, penulis berikhitiar menemukan jawaban kualitatif terhadap masalah yang telah dirumuskan yaitu untuk mengetahui bagaimanakah pemikiran Fakta Sosial Emile Durkheim dan relevansinya terhadap lingkungan sosial pendidikan Islam Indonesia?

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah: a. Hasil penelitian menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama dalam

bidang pemikiran.

b. Penulis dapat menyelesaikan masalah sesuai teoritis.

(18)

10

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa, “Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengejaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik”.1

Adapun menurut Drs. H. M. Alisuf Sabri dalam bukunya “Ilmu Pendidikan” memaparkan, bahwa yang dimaksud dengan “Pendidikan adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/peserta didik secara teratur dan

sistematis ke arah kedewasaan”.2

Dr. Ramayulis, mendefinisikan pendidikan melalui pendekatan etimologis. Dalam bahasa Inggris “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan, dan dalam

bahasa Arab “tarbiyah” yang berarti pendidikan. Jadi, pendidikan adalah

bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.3

Sedangkan menurut Ngalim Purwanto, menjelaskan bahwa “pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah

kedewasaan”.4

Pendampingan dan perhatian merupakan hal yang harus diperhatikan dalam menjaga setiap perkembangan anak.

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. I, h. 263.

2

Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. I, h.5.

3

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h.1.

4

(19)

Lebih jauh, Azumardi Azra mengemukakan “pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan

memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien”5

. Pendidikan membuat generasi sosial selanjutnya memahami akan nilai-nilai yang ada dan siap merencanakan pembentukan keperibadian hasil pentranformasian pendidikan dari berbagai aspek yang ada

Dengan demikian, pendidikan hendaknya dipandang sebagai prioritas bersama dalam membangun suatu peradaban yang lebih baik. Tak hanya sebagai prioritas, pendidikan mempunyai peran yang harus dimiliki dan sebagai perhatian bersama sebagai mahluk sosial yang selalu mengharapakan akan perubahan yang lebih baik. Sehingga tidak hanya diperlukan kerjasama antar individu yang ada di dalamnya saja, melainkan pula semua elemen yang mencita-citakan dari kemanfaatan suatu pendidikan.

Selain pendidikan secara umum, juga ada pendidikan berdasarkan atau menurut Islam. Menurut Dr. Ahmad Tafsir Pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.6

Sedangkan Muhammad Athiyah Al-Abrasy yang dikutip oleh Prof. Dr. Armai Arief, MA berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan manis tutur katanya.7

Kemudian, Prof. Dr. Armai Arief, MA mengartikan “Pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk

5

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Ogos Wacana Ilmu, 2002), h. 3-4.

6

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), Cet. IX, h.32.

7

(20)

mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnnya”.8

Sedangkan menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat “Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian, pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, karena itu pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal”.9

Jadi pendidikan Islam yaitu pendidikan yang diberikan secara sadar dan terencana mengenai hal ihwal kehidupan yang diridhai Allah Swt dengan berpedoman kepada Al quran dan Al hadits.

Dari beberapa pandangan di atas mengenai pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam suatu proses usaha bersama yang dilakukan secara sadar dan terstruktur untuk menciptakan perubahan yang dinamis menuju kepada pembentukan jati diri peserta didik dengan nilai-nilai Islami serta mengembangkan potensi diri.

Untuk itu, pendidikan agama Islam tidak hanya mementingkan dari aspek kognitif saja, melainkan perlu perhatian lebih juga pada aspek afektifnya juga. Sehingga terciptanya keselarasan insan penerus bangsa yang islami.

2. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Pengaplikasian dari pendidikan Islam akan tercapai dengan baik, maka diperluakn pijakan untuk landasan dari setiap hal yang disampaikan dalam pendidikan Islam tersebut. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan. Landasan itu terdiri dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw yang dapat

8

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 40-41.

9

(21)

dikembangkan dengan ijtihad, al-Maslahah al-Mursalah, Istihsan, Qiyas, dan sebagainya.10

a. Al-Qur‟an

Penurunan al-Qur‟an diawali dengan ayat-ayat yang mengandung konsep pendidikan, dapat menunjukkan bahwa tujuan al-Qur‟an yang terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang bernalar serta sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari, dan observasi ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam bentuk segumpal darah dalam rahim ibu. Sebagaimana firman Allah:

َكِبَر ِمْساِب ْأَرْ قِا

.ِمَلَقْلاِب َملَع ْيِذلا .ُمَر ْكَْْا َكبَرَو ْأَرْ قِا .ٍقَلَع ْنِم َنا َسْنِْْا َقَلَخ .َقَلَخ ْيِذلا

:قلعلاُ.ْمَلْعَ ي ْم َل ا َم َنا َسْنِْْا َملَع

٥

َ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-„Alaq: 1-5).11

Dimensi al qur‟an memberikan gambaran semua aktifitas kehidupan manusia, dari potensi yang ada dalam diri manusia, baik motivasi untuk menggunakan panca indra dalam menafsirkan alam semesta untuk nantinya didaya gunakan untuk kemanfaatan, motivasi dalam memaksimalkan potensi akalnya dalam merancang dan membangun suatu perubahan, serta motivasi dalam meggunakan hatinya dalam memfilter dan mentransfer nilai-nilai Islami.

b. As-Sunnah

As-Sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi Saw diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya.12

10

Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 19.

11

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 597.

12

(22)

Dalam dunia pendidikan sunnah mempunyai dua manfaat pokok:

Pertama, Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-Qur‟an serta lebih memerinci penjelasan dalam al-Qur‟an. Kedua, Sunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan.13

Oleh karena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi pembinaan pribadi muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk Sunnah yang berkaitan dengan pendidikan.14 Karna pada hakikatnya sunnah merupakan tindakan dan ucapan Rasul yang mempunyai banyak nilai interpretasi dalam memahaminya, sehingga harus benar-benar dipahami secara mendalam dalam membaca konteks dan kesesuaian waktu ketika adanya sunnah Rasul tersebut.

c. Ijtihad

Ijtihad secara etimologi adalah usaha keras dan bersungguh-sungguh (gigih) yang dilakukan oleh para ulama, untuk menetapkan hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas persoalan tertentu. Secara terminologi ijtihad adalah ungkapan atas kesepakatan dari sejumlah ulil amri dari umat Muhammad Saw dalam suatu masa, untuk menetapkan hukum syari‟ah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi (batasan yang dikembangkan oleh al-Amidy).15 Ijtihad adalah mencurahkan berbagai daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara berdasarkan dalil-dalil syara secara terperinci.16

Ijtihad di bidang pendidikan sangat penting karena ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Walaupun ada yang agak terperinci, perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip tersebut. Sejak

13

Armai Arief, op. cit., h.39.

14

Zakiah Daradjat, op. cit., h. 21.

15

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 100.

16

(23)

turunnya al-Qur‟an sampai wafatnya Nabi Muhammad Saw, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.17 Dalam dunia pendidikan banyak sekali yang melakukan terobosan atau perubahan dalam mekanisme atau metode pembelajaran. Untuk itu, ijtihad merupakan sarana dalam mengembangkan suatu perubahan pendidikan secara dinamis, khususnya dalam mengembangkan dan meningkatkan pembelajaran yang bernuansa islami dengan mengadopsi metode pembelajaran yang ke kinian.

3. Unsur-unsur Pendidikan Islam

Dalam pengaplikasiannya, pendidikan Islam sangat memperhatikan aspek atau unsur yang mendukung pada tercapainya tujuan dari pendidikan Islam. Adapun aspek atau unsur pendukungnya antara lain sebagai berikut:

a. Pendidik

Pendidik ialah orang yang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik.18 Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap orang dewasa dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupakan suatu perbuatan sosial yang bisa merubah dan mengarahkan pola pikir seseorang untuk melakukan sesuatu

Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua anak didik sendiri karena merekalah yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya,19 sebab, merekalah yang selalu dekat dan selalu ada untuk anak mereka. Kedekatan itulah yang menjadikan guru pertama dari seorang anak, yaitu kedua orang tua mereka sendiri.

Adapun guru/pendidik dalam undang-undang guru dan dosen dijelaskan bahwa, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

17

Zakiah Daradjat, dkk, op. cit., h. 21-22.

18

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1989), h. 37.

19

(24)

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.20

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua 1991, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Tapi sesederhana inikah arti guru? Kata guru yang dalam bahasa arab disebut mu’allim dan dalam bahasa Inggris Teacher itu memiliki arti sederhana, menurut Mc Leod yang dikutip oleh Muhibbin mengartikan teacher A person whose occupation is teaching others. Artinya, guru ialah seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.

Pengertian-pengertian seperti itu masih bersifat umum, dan oleh karenanya dapat mengundang bermacam-macam interpretasi dan bahkan konotasi (arti lain). Pertama, kata seorang (a person) bisa mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya) mengajar. Dalam hal ini berarti bukan hanya dia yang sehari-harinya mengajar di sekolah yang dapat disebut guru, melainkan “dia-dia” lainnya yang berposisi sebagai:

kiai di pesantren, pendeta di gereja, instruktur di balai pendidikan dan pelatihan, dan bahkan juga pesilat di padepokan. Kedua, kata mengajar dapat pula ditafsirkan bermacam-macam, misalnya:

1) Menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif).

2) Melatih keterampilan jasmani kepada orang lain (bersifat psikomotor). 3) Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (bersifat

afektif).21 b. Peserta Didik

Peserta didik bisa disebut sebagai “raw material” (bahan mentah),

karena dalam proses transformasi pendidikan. ia akan dididik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia yang mempunyai nilai intelektualitas dan budi pekerti/akhlak. Dari sudut pandang lain mungkin peserta didik

20

Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005), (Jakarta: Sinar Grafika,

2008), Cet. I, h. 3.

21

(25)

sebagai objek pendidikan, namun di lain pihak peserta didik bisa dikatakan sebagai subjek pendidikan, karena secara tidak langsung si pendidik akan mempelajari hal-hal baru dari peserta didik untuk memaksimalkan dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik.

Secara umum, peserta didik adalah setiap orang yang menerima perubahan, perkembangan dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam UUSPN, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.22

c. Kurikulum

Kurikulum merupakan komponen yang tak kalah penting dari unsur pendidikan Islam, sebuah sistem dan juga merupakan acuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang biasanya harus ada, yang berfungsi sebagai tolak ukur dan batasan serta bahan evaluasi dalam meningkatkan taraf pendidikan yang diterapkan.

Terdapat banyak rumusan pengertian kurikulum dari para ahli, diantaranya Zakiah Daradjat menyatakan kurikulum adalah “suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu”.23

Sedangkan Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty dalam bukunya

"Reorganizing The High School Curriculum" yang dikutip oleh Zuhairini,

mengartikan “kurikulum dengan aktivitas/kegiatan yang dilakukan murid

sesuai dengan peraturan-peraturan sekolah”.24

Oleh karena itu, kurikulum bukanlah suatu dokumen yang berisi program periodik pembelajaran yang tertulis dalam suatu instasnsi pendidikan. Tapi lebih dari itu, kurikulum juga melihat proses pendidikan anak didik yang didapat disekolah maupun luar sekolah.

22

Ara Hidayah, Pengelolaan Pendidikan, (Bandung: Pustaka Educa, 2010), h. 43.

23

Zakiah Daradjat, dkk, op. cit., h. 122.

24

(26)

Dari pengertian diatas, kurikulum akan terus mengalami perubahan dalam setiap periode pembelajaran tertentu, dikarnakan tujuan dari pencapaian pendidikan akan selalu berpola kepada peningkatan mutu dengan melihat standar pendidikan yang telah diperbaharui, sehingga perlu adanya perubahan kurikulum demi tercapainya tujuan pendidikan ke arah yang lebih baik. Suatu kewajiban dari keberadaan kurikulum ini dalam setiap kegiatan pembelajaran, terlebih problematika kehidupan akan selalu menyandingi keberadaan agama sebagai tantangan yang akan melihat bagaimana eksistensi agama dalam menghadapi setiap masalahnya.

Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa progresifitas pendidikan Islam dalam menghadapi setiap tantangan masa akan memerlukan ketiga unsur tersebut, yakni dukungan dari pendidik. Baik pendidik yang secara formal berada di lingkungan sekolah, maupun pendidik non formal yang berada disekitar peseta didik dan motivasi dari setiap peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran serta dukungan kurikulum yang mengerti kebutuhan peserta didik, tanpa mengurangi tujuan pendidikan seutuhnya.

B. Pemikiran Tokoh dan Pembaharu Pendidikan Indonesia

1. Ki Hajar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara masa kecilnya bernama R.M. Soewardi Surjaningrat, lahir pada hari Kamis Legi, tanggal 02 Puasa tahun Jawa, bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1889 M. Ayahnya bernama G.P.H. Surjaningrat putra Kanjeng Hadipati Harjo Surjo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam ke-III. Ibunya adalah seorang putri keraton Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai pewaris Kadilangu keturunan langsung Sunan Kalijogo.25 Beliau wafat di Yogyakarta, pada tanggal 28 April 1959. Prinsip dari pemikiran pendidikan beliau yang terkenal dengan selogan “ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri

25 Haryanto, “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara” Jurnal Kurikulum dan

(27)

handayani” (didepan memberi contoh, ditengah memberikan bimbingan dan dibelakang memberikan dorongan).

Pada prinsip pemikiran pendidikan beliau, penanaman karakter pada peserta didik merupakan tanggung jawab bersama yang harus saling bersinergi satu dengan yang lainnya, supaya mendapatkan hasil yang dicita-citakan yaitu insan dengan intelektual tinggi yang dibentengi dengan adanya nilai karakter yang baik pada diri setiap peserta didik.

2. KH. Hasyim Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Hasyim Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (w. 1587 M) yang bergelar Pangeran Benawa bin Abdurrahman (w. 1582 M) yang bergelar Jaka Tigkir Sultan Hadi Wijaya bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq (w. 1463 M) bapak dari Raden Ainul Yaqin yang terkenal dengan Sunan Giri Tebuireng (w. 1506 M), Jombang. Beliau dilahirkan di Desa Gedang, sebelah utara kota Jombang, Jawa Timur pada hari selasa tangal 24 Dzulqa‟dah 1287 H bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M.26

Kegelisahan KH. Hasyim Asy‟ari saat itu adalah masih banyak penduduk yang belum beragama, hidup dengan adat dan istiadat yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Melihat kondisi kehidupan sosial seperti itu, KH. Hasyim Asy‟ari membuat sebuah kitab, karya yang sangat populer di dunia pendidikan hingga saat ini, yaitu: Adab Alim wa

al-Muta‟allim (akhlak pengajar dan pelajar). Yang di dalamnya membahas tentang hal-hal yang diperlukan oleh pelajar dalam kegiatan belajar serta hal-hal yang berhubungan dengan pengajar dalam kegiatan pembelajaran. Karya ini merupakan resume dari tiga buah kitab yang menguraikan tentang pendidikan Islam, yaitu: kitab Adab al-Mu’allim (akhlak pengajar) hasil karya Syaikh Muhammad bin Sahnun (w. 871 H/466 M); Ta‟lim al

-Muta‟allim fi Tariq at- Ta‟allum (pengajaran untuk pelajar: tentang

cara-cara belajar) yang dikarang oleh Syaikh Burhan al-Din al-Zarnuji (w. 591

(28)

H/1194 M); dan kitab Tadkhirat Shaml wa Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta‟allim (pengingat: memuat pembicaraan mengenai akhlak pengajar dan pelajar).27 Fokus pada pembahasan dari pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari yaitu terletak pada penanaman nilai akhlak dengan pedoman kitab, hasil karyanya yaitu kitab Adab Alim wa

al-Muta‟allim.

3. K.H. Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 dan meninggal pada 22 Februari 1923. Nama kecil beliau adalah Muhammad Darwis yang merupakan anak keempat dari KH. Abu Bakar. Sementara ibunya adalah putri dari H. Ibrahim, yang juga menjabat penghulu Kesultanan Yogyakarta saat itu.28

Dalam buku KH. AR. Fahruddin (Ketua Muhammadiyah 1968) berjudul Menuju Muhammadiyah yang dikutip oleh Muh. Dahlan, menyatakan bahwa yang dikerjakan Ahmad Dahlan sepanjang kepemimpinanya adalah sebagai berikut:

a. Meluruskan Tauhid, Peng-Esaan terhadap Allah swt. Meluruskan keberadaan Allah sebagai Sang Khalik. Hubungan Allah dan manusia tanpa perantara apapun.

b. Meluruskan cara beribadah kepada Allah swt. Tanpa adanya gerakan-gerakan yang kurang tepat dalam shalat.

c. Mengembangkan akhlakul karimah, etika sosial dan tata hubungan sosial sesuai tuntunan Islam.29

Pemberantasan TBC (Taqlid, Bid‟ah dan Khurafat), merupakan tahap pertama yang harus dihilangkan, karna hal tersebut akan mengganggu pada penanaman nilai-nilai Islam seutuhnya. Selain dari itu gagasan Ahmad Dahlan dalam kontribusi dalam dunia pendidikan yang perlu dicatat adalah memasukkan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah pemerintahan,30 yang pada saat itu, sekolah pemerintahan terfokus pada segi pendidikan umum, tanpa memasukan nilai-nilai agama di dalamnya.

27

Ibid., h. 20.

28Muh. Dahlan, ” K.H. Ahmad Dahlan sebagai Tokoh Pembaharu”

Jurnal Adabiyah Vol.

XIV, No. 2, 2014, h. 123.

29

Ibid., h. 124.

30

(29)

4. Prof. Dr. Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatra Utara dari hasil pernikahan antara Abdul Jabbar Ahmad dengan seorang putri dari Mandailing. Harun Nasution putra keempat dari lima bersaudara, pertama, Muhammad Ayyub, kedua, Khalil, ketiga, Sa‟idah, keempat, Harun Nasution dan kelima, Hafsah.31

Beliau meninggal di Jakarta pada tanggal 18 september 1998.

Perjalanan pendidikan beliau yaitu pada tahun 1962 Harun Nasution mendapat tawaran beasiswa untuk belajar di McGill University Kanada, Harun Nasution memperoleh gelar MA., dengan tesis The Islamic State In Indonesia: The Rise of The Ideologi The Movement For Its Creation and

The Theory of The Masyumi,32 setelah itu Harun Nasution melanjutkan kuliah di tempat yang sama selama dua setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D. Pada tahun 1968 ia te1ah dapat menyelesaikan kuliah di bidang ilmu kalam (Islamic Studies) dengan menulis disertasi berjudul:

The Place of Reason In Abduh's Theology, Its Impact On This Theological

System and Views.33 Beliau pernah menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974-1982).

Menurut Azyumardi Azra yang dikutip oleh Achmad Ruslan Afendi, dalam kapasitasnya sebagai rektor, Harun Nasution ingin menjadikan IAIN Jakarta sebagai pusat modernisasi kaum muslimin. Untuk mencapai tujuan tersebut pertama, ia melancarkan pembaharuan dengan melakukan restrukturisasi kurikulum IAIN secara keseluruhan.

Di lembaga-lembaga pendidikan umum, bidang sains dipergunakan metode pemikiran ilmiah, sedangkan dibidang agama masih banyak memakai metode berpikir tradisional dengan teori teologi tradisionalnya. Oleh karena itu perlu dirubah metode berpikir tradisional dan diganti

31

Achmad Ruslan Afendi "Peranan Harun Nasution dalam Pembaharuan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia", Disertasi pada IAIN Suanan Ampel Surabaya, Surabaya, 2010, h. 27, tidak dipublikasikan.

32

Ibid., h. 29.

(30)

dengan metode berpikir rasional dan ilmiah, sehingga dengan demikian, IAIN dapat menghasilkan ulama yang berpikiran luas, rasional, filosofis dan ilmiah dengan teologi rasional. 34 Dengan perubahan kurikulum tersebut beliau dijuluki sebagai Bapak Rasional, bahkan oleh para pakar beliau mendapat gelar sebagai Abduhisme.

C. Pengertian Fakta Sosial

Dari segi bahasa fakta sosial terdiri dari dua suku kata, yaitu “fakta” dan

“sosial”. Untuk mendefinisikan fakta sesungguhnya tidaklah mudah yang

sering kita bayangkan. Masih terdapat berbagai pendapat dan tafsiran yang cukup melelalahkan.35 Apa sesungguhnya fakta itu?

Di dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English

yang dikutip oleh Dadang Supardan, yang dimaksud fakta adalah sebagai berikut.

1. Sesuatu yang digunakan untuk mengacu pada situasi tertentu atau khusus.

2. Kualitas atau sifat yang aktual (nyata) atau dibuat atas dasar fakta-fakta.

3. Kenyataan; keyataan fisik atau pengalaman praktis sebagaimana dibedakan dengan imajinasi, spekulasi, atau teori.

4. Sesuatu hal yang dikenal sebagai yang benar-benar ada dan terjadi, terutama yang dapat dibuktikan oleh evidensi (bukti) yang benar atau dinyatakan benar-benar terjadi.

5. Hal yang terjadi dibuktikan oleh hal-hal yang benar, bukan oleh berbagai hal yang telah ditemukan.

6. Suatu penegasan, pernyataan atau informasi yang berisi atau berarti mengandung sesuatu yang memiliki kenyataan objektif, dalam arti luas adalah suatu yang ditampilkan dengan benar atau salah karena memiliki realitas objektif.36

Jadi menurut penulis fakta disini lebih mengedepankan kejadian yang sering terjadi dalam suatu lingkungan yang ada disekitar manusia itu baerada. Istilah sosial (social dalam bahasa inggris) dalam ilmu sosial memiliki arti yang berbeda-beda, misalnya istilah sosial dalam sosialisme dengan

34

Ibid., h. 37.

35

Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Edisi I (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), Cet. III. h. 49-50.

(31)

istilah Departemen Sosial, jelas kedua-duanya menunjukkan makna yang sangat jauh berbeda. Menurut Soekanto yang dikutip oleh Dadang Supardan, “apabila istilah sosial dalam menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat sosialisme adalah suatu ideologi yang berpokok pada prinsip pemilikan umum atas alat-alat produksi dan jasa-jasa dalam bidang ekonomi”.37 Sedangkan istilah sosial pada departemen sosial, menunjukkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan sosial.38 Secara tidak langsung sosial tidak hanya menyangkut masyarakat itu sendiri, tapi ada suatu prinsip yang tertanam dalam lingkungan masyarakat itu yang menjadi sumber ideologi tak tertulis dalam menjalankan kegiatan di tempat ia tinggal.

Lingkungan sosial merupakan kajian utama dalam pengkajian ilmu sosiologi, di dalamnya terdapat fakta atau realitas sosial yang menjadi saduran utama dalam kajian sosiologi sehingga peranan dari lingkungan sosial tidak akan pernah terpisahkan dalam penelitiannya, dan sudah menjadi satu kesatuan yang baku ketika mempelajari sosiologi berarti di dalamnya ada suatu karakteristik dari penggambaran lingkungan.

Adapun tokoh-tokoh klasik yang mengkaji lingkungan sosial dan teorinya mengacu pada suatu realitas atau fakta yang terjadi pada lingkungan sosial diantaranya sebagai berikut:

1. Karl Marx

Teori Marx ini memberi paradigma baru dalam tatanan paradigma ilmu sosial, karena Marx lebih menekankan praksis, nilai kerja, dan produksi ekonomi. Teori Marx merupakan pandangan kritis atas pemikiran utopis yang tidak bersifat praktis, sehingga jenis realitas dari teori Marx ini dapat dikatakan lebih merupakan realitas objektif dibandingkan realitas subjektif.39 Objektifitas pandangannya lebih tertuju pada gejala dalam lingkungan yang terjadi pada saat itu terutama dalam bidang politik dan ekonomi, sehingga paham sosialnya dikenal dengan

37

Ibid., h. 27.

38 Ibid., 39

I.B. Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan

(32)

paham materialistik dan idiologi perjuangan politiknya disebut marxisme.

Bias yang sangat menonjol dalam teori Karl Marx adalah determinan yang dianut, juga penekanan pada praksis membuat segala sesuatu yang bersifat materialistik menjadi penting sedangkan yang nonmaterialistik menjadi kurang penting. Negara, institusi, filsafat, dan pandangan dunia, menurut teori Marx hanyalah dianggap sebagai pelengkap dan oleh karenanya tidak mempunyai peran penentu. Faktor yang sangat menentukan dalam pandangan Marx adalah alat-alat produksi dan hubungan produksi, dan inilah yang sebenarnya menjadi bias dari teori itu.40

2. Talcott Parsons

Parsons menginginkan suatu spektrum teori yang umum yang melingkupi skala mikro dan makro. Hal ini menyebabkan para ahli kesulitan untuk menempatkannya kedalam paradigma mana sebenarnya persepektif teorinya itu. Ritzer, misalnya menempatkannya di dalam paradigma definisi sosial, sebab teori ini menempaatkan manusia sebagai aktor kreatif yang memiliki tujuan sendiri dan memiliki cara-cara tersendiri untuk mencapai tujuan tersebut. Itulah sebabnya, Parsons membedakan antara tindakan (action) dengan perilaku (behavior). Tindakan menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan menghayatan diri individu, sedangkan perilaku menyatakan secara tidak langsung kesesuaian secara mekanik antara perilaku (respons) dan rangsangan dari luar (stimulus). Adapun di sisi lain ada juga yang menempatkannya ke dalam paradigma fakta sosial. Tokoh yang berpandangan seperti itu adalah, Zamroni meskipun dia sebenarnya tetap menerima anggapan seperti yang dimaksud dalam pandangan George Ritzer. Tetapi tampaknya, pengelompokan di dalam paradigma ini lebih

40

(33)

didasari oleh pengelompokan teoritis Parsons yang dianggap sebagai teori struktural fungsional.41

Sebagaimana telah diungkapkan di muka, Parsons berkeinginan untuk menyatukan teori yang terkotak-kotak. Oleh karena itu, tampak juga agak sulit untuk membuat kategorisasi di mana sebenarnya posisi teori tersebut dalam paradigma ilmu sosial. Namun, secara umum dapat dinyatakan bahwa sebagai general theory ada tarik-menarik di antara realitas subjektif –di mana aktor memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan tindakan- dan bergerak kearah realitas objektif- di mana tindakan tersebut didasari oleh norma yang berlaku umum atau berangkat dari lingkup realitas mikro ke makro, inilah sebabnya mengapa muncul anggapan lain dalam perdebatan itu bahwa teori aksi Parsons sebetulnya merupakan jembatan penghubung antar paradigma dalam ilmu sosial.42

3. Robert King Merton

Ada beberapa catatan yang dapat diungkapkan terkait dengan posisi teori Merton dalam perdebatan teori sosial. Berdasarkan filsafat sosialnya, teori ini tergolong ke dalam filsafat positivistik, sebab yang dikaji ialah fakta objektif dari kehidupan masyarakt. Misalnya, dalam melihat fungsi sosial dia beranggapan bahwa yang dikaji ialah hal-hal yang observable, dan bukan disposisi psikologis. Oleh karena itu, dilihat dari paradigmanya, maka termasuk berada dalam paradigma fakta sosial. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa anggapannya bahwa struktur sosial bersifat mengekang dan mempengaruhi terhadap perilaku manusia. Adapun penjelasan teoritisnya ialah penjelasan fungsional, artinya dia melihat sebagaimana Durkheim dan Spencer, dia melihat bahwa masyarakat merupakan suatu bangunan yang tersusun dan berbagai

41

Ibid., h. 26-27.

42

(34)

subsistem yang antara satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung.43

D. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga 2002, merupakan kekuatan masyarakat serta berbagai sistem norma di sekitar individu atau kelompok manusia yang mempengaruhi tingkah laku mereka dan interaksi antara mereka.44 Jadi masyarakat mempunyai peranan dalam membentuk kekuatan bersama dalam mencapai tujuan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan pengertian masyarakat adalah sekumpulan manusia seperti halnya dengan kelompok dengan jumlah yang lebih besar. Masyarakat itu terdiri atas masyarakat internationality, nationality, society, dan community.45 Dilihat dari peranannya, masyarakat merupakan bagian dasar setelah individu dari pembentukan lingkungan sosial, sehingga cakupan antara lingkungan sosial lebih luas daripada masyarakat itu sendiri.

E. Kerangka Berpikir

Corak sosial memberikan gambaran umum terhadap sebuah perilaku yang berada di dalam masyarakat. Masyarakat yang tersusun dari berbagai elemen di dalamnya yang mempunyai peranan dalam segala tindak-tanduk terhadap individu di lingkungannya.

Tindakan kelompok individu menjelaskan bagaimana pembelajaran mereka terhadap komunikasi yang tersusun di dalamnya. Peranan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai etika dan estetika mempunyai kedudukan yang tinggi dalam proses pentransformasiannya. Maka dianggap penting, menurut penulis melihat realitas sosial atau fakta sosial sebagaimana yang dijelaskan oleh Emile Durkheim bahwasanya;

43

Ibid., h. 37.

44

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit.,h. 675.

45

(35)

Social facts differ not only in quality from psychical facts; they have a different substratum, they do not evolve in the same environment or depend

on the same conditions. This does not mean that they are not in some sense

psychical, since they all consist of ways of thinking and acting”.46

“Fakta sosial berbeda tidak hanya dalam kualitas dari fakta-fakta psikis; mereka memiliki lapisan yang berbeda, mereka tidak berkembang dalam lingkungan yang sama atau tergantung pada kondisi yang sama . Ini tidak berarti bahwa mereka tidak dalam arti psikis, karena mereka semua terdiri dari cara berpikir dan bertindak”.

Untuk menjadikan lingkungan sosial sebagai salah satu faktor penunjang yang harus diperhatikan dalam proses penanaman pendidikan setelah keluarga dan sekolah. Bahkan lingkungan keluarga dan sekolah merupakan satu kesatuan dari interaksi sosial.

Dari segi realitas sosial ini memberi gambaran bahwa lingkungan memberikan pengaruh terhadap tingkah laku individu yang ada di dalamnya, masyarakat memahami dirinya sebagai anggota masyarakat yang ditanamkan oleh anggota masyarakat lain ketika mereka masih kecil, seperti yang ada dalam Q.S. An Nahl ayat 78 yang berbunyi;

















































Artinya: “ dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan

tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

Dalam surat tersebut Allah memberikan modal dalam mencari pengetahuan manusia semenjak mereka dilahirkan kemuka bumi dari rahim seorang ibu. Allah dalam firmannya menyebutkan modal awal alat penerima informasi manusia sam’a artinya pendengaran, abshara artinya penglihatan dan af idah yaitu hati. Yang secara tidak langsung memberikan gambaran

46

(36)
(37)

29

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai (“Fakta Sosial Emile Durkheim dalam Membentuk Lingkungan Sosial Pendidikan Islam Indonesia”) ini dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Tarbiyah, Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan UI Depok serta di website libgen.org. Mengingat bahwa data-data mengenai Durkheim sudah banyak dalam bentuk tulisan. Penelitian ini juga dilaksanakan pada bulan November 2014-Juni 2015.

B. Jenis Data

Pada penelitian kali ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi sosial dan menggunakan metode deskriptif. Fenomenologi beranjak dari filsafat sebagaimana yang dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859-1938).1 Pada hakikatnya fenomenologi adalah upaya menjawab pertanyaan: Bagaimanakah struktur dan hakikat pengalaman terhadap suatu gejala bagi sekelompok manusia? Husserl, misalnya, memandang fenomenologi sebagai pengkajian terhadap cara manusia memeberikan benda-benda dan hal-hal di sekitar, dan mengalami melalui indra-indranya.2 Di antara metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metode deskriptif. Menurut Bugin yang dikutip dari buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2013, “Metode deskriptif bertujuan

untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penilain dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri,

1

Bagong Suyanto dan Sutinah (ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif

Pendekatan, Edisi Revisi xviii, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet.VI, h. 178.

(38)

fenomena tertentu”.3

Dengan kedua metode tersebut, penulis akan mencoba memahami biografi dan maksud dari pemikiran fakta sosial Emile Durkheim dalam membentuk cita-cita pendidikan Islam Indonesia seutuhnya. Kemudian penulis akan melihat pemikiran Emile Durkheim sebagai media untuk menganalisis fakta sosial dalam memikirkan bagaimana pendidikan Islam berproses dalam kehidupan.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggali informasi mengenai data yang berkaitan dengan penelitian penulis dari berbagai sumber buku baik buku yang bersifat primer dan buku yang bersifat sekunder. Baik dari perpustakaan atau kajian kepustakaan (library research),4 ataupun di luar perpustakaan. Selain dari buku-buku, penulis juga akan mengambil data dari sumber-sumber dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian penulis.

Sumber primer yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah Sociology and Philosophy by Emile Durkheim, Emile Durkheim The Elementary Forms of Religious Life, Emile Durkheim Suicide A

Study in Sociology, Emile Durkheim, W. D. Halls, Lewis Coser The

Division of Labour in Society Contemporary Social Theory, Emile

Durkheim, Sociology and Saint Simon, Emile Durkheim Professional

Ethics and Civic Morals Routledge Classics in Sociology, Emile

Durkheim Rules of Sociological Method 1982.

Adapun Sumber Sekundernya adalah karya orang lain yang mendukung isi penelitian seperti: Sosiologi dan Filsafat oleh: Emile

3

Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 62-63.

4

(39)

Durkheim Aturan-aturan Metode Sosiologis karya Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas

penyunting Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden, Waktu Sosial Emile Durkheim karya Fuad Ardlin. REALITAS SOSIAL Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah

Sosiologi, karya K.J. Veeger M.A.,Teori Sosiologi Modern Karya George Ritzer – Douglas J. Goodman dan sumber-sumber yang dikarang oleh penulis lain yang berkaitan dengan pembahasan.

2. Teknik Pengolahan Data

Setelah data-data dikumpulkan seluruhnya, kemudian penulis melakukan pengolahan data dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-data yang sesuai dan mendukung pembahasan, kemudian penulis melakukan analisis, lalu data hasil analisis disimpulkan sehingga menjadi satu kesatuan pembahasan yang utuh. Teknik pengolahan data yaitu dengan studi teks, studi naskah dengan menganalisis isi dengan konten analisis.

D. Analisa Data

(40)
(41)

33

PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Biografi Emile Durkheim

Lahir dengan nama lengkap David Emile Durkheim pada tanggal 15 April 1858 di Epinal ibu kota bagian Vosges, Lorraine, Perancis bagian Timur dari keluarga Yahudi. Ayahnya seorang Rabi, imam agama Yahudi yang bekerja di Perancis sejak tahun 1784. Ibunya seorang wanita sederhana dan ahli dalam sulam-menyulam. Latar belakang keluarga Yahudi menyebabkan ia dididik dan dipersiapkan menjadi seorang Rabi, tetapi karena pengaruh seorang guru wanita Katolik, ia cendrung ke arah bentuk mistik katolisisme. Seiring perkembangan intelektualnya, Emile Durkheim kemudian cendrung menganut agnotisme.

Tahun 1870, saat Emile Durkheim berumur 12 tahun, zaman Eropa sedang mengalami proses transformasi sosial. Di Perancis, kaisar Napoleon III dikalahkan oleh Bismark, “Kanselir Besi” dari Prussia, yang sedang dalam usaha menyingkirkan segala halangan politik dan militer yang dapat mengahalangi proses penyatuan Jerman. Kekalahan keponakan Napoleon Bonaparte ini, yang bercita-cita mengembalikan kebesaran pamannya, menimbulkan kegoncangan politik di Perancis. Pengalaman ini sangat mengesankan dan menimbulkan rasa prihatin dalam diri Durkheim, karena ia melihat dan merasakan terjadinya dekadensi moral yang melanda negara dan bangsa Perancis, khususnya pada bidang moral.

(42)

sekolah ini, Durkheim mulai berkenalan dengan seorang guru yang sangat dikaguminya, Fustel de Coulanges, salah seorang pelopor histografi modern Perancis. Sang guru pernah mengatakan, “Patriotisme adalah suatu kebijakan dan sejarah adalah suatu ilmu;

dan keduanya jangan dicampur adukkan”. Kata-kata dan pemikiran

sang guru inilah tampaknya menginspirasi Durkheim muda pada masalah konsensus dan peranan tradisi. Perkenalan dengan pemikiran Aguste Comte juga berawal dari sekolah ini. Di bawah bimbingan Boutroux, seorang ahli filsafat, Durkheim mengenal karya-karya sang pelopor keilmuan sosiologi tersebut. Sebuah perkenalan yang ikut membentuk corak, karakteristik dan sumbangan pemikiran Durkheim atas sosiologi. Selain dua pemikir ini, suasana akademik yang kondusif selama menimba ilmu di Ecole Normale Superier

membangkitkan minatnya untuk berdiskusi dan mengajukan argumentasi-argumentasi yang bernada filsafat, politik dan moral. Meski termasuk murid yang pandai di sekolahnya, nilai rata-ratanya tidak secemerang kecerdasannya. Ia bosan dengan serba aturan yang diterapkan sekolahnya karena dirasakan menghambat pencarian ilmiahnya.

Setelah studi di sekolah Ecole Normale Superier selama tiga tahun, Durkheim mengajar di berbagai Lycee dan juga pernah menetap setahun di Jerman untuk mempelajari situasi pemikiran di sana.1 Ia memasuki sekolah terkenal Ecole Normale Superieure di Paris, bersama-sama dengan sejumlah orang terkenal, seperti Henri Bergson, Jean Jaures dan Pierre Janet. Durkheim sangat tertarik pada filsafat, tetapi juga menaruh perhatian besar pada penerapan politik dan sosial selama hidupnya. Ia dianggap terlalu pemberontak untuk jabatan tinggi di kalangan agreges pada saat itu, dan karenanya jabatan akademis pertama yang didudukinya adalah sebagai seorang guru

(43)

mengajar di Universitas Bordeaux dan diangkat menjadi profesor dalam ilmu-ilmu sosial dan pedagogi. Lima belas tahun kemudian, di tahun 1902, ia berangkat ke Paris, untuk mengganti guru besar dalam bidang pedagogi di Sorbonne. Setahun di Sorbonne, ia diangkat secara definitif. Hingga pada tahun 1913, untuk pertama kali di Eropa, kata sosiologi dicantumkan dalam surat tugas mengajar.

Sejak tahun 1875, situasi politik Prancis seakan tak pernah lepas dari krisis. Peristiwa-peristiwa sosial-politik tersebut semakin mempertebal keyakinan Durkheim akan pentingnya konsensus sosial. Selain itu, perkembangan sosial-ekonomi dirasakannya telah merobek apa pun dasar dari konsensus dan solidaritas lama. Gejala ini tentu tidak terbatas di Perancis saja, fenomena perubahan sosial-ekonomi merupakan kecendrungan umum di Eropa Barat. Khususnya sejak Inggris mempelopori lahirnya revolusi industri. Perkembangan teknologi, pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan lahirnya kapitalisme merupakan peristiwa sosial yang penting karena mengubah seluruh tatanan sosial.

Emile Durkheim hidup pada masa pergolakan Perancis dan Eropa pada umumnya. Ia, mau tak mau, terlibat dalam berbagai peristiwa penting tersebut. Namun, ia sanksi bahwa revolusi adalah jalan pemecahan dari beragam problem sosial yang terjadi. Durkheim beranggapan bahwa masyarakat memerlukan dasar moralitas baru dan konsensus yang menjadi tiang segalanya. Ia tidak pernah secara langsung terlibat dalam politik praktis, meski sit

Gambar

Gambaran keadaan sosial bangsa Indonesia dapat dilihat pada diagram
figur utama
Grafika, Cet. I. 2008,

Referensi

Dokumen terkait

Keutamaan dan kegemilangan zaman sahabat telah tertulis di dalam tinta emas sejarah, mereka generasi terbaik yang mendapat pesan-pesan dari langit serta ditatar langsung

Nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu, sehingga nilai kerapatan yang dihasilkan dalam kegiatan

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan terhadap pekerja radiasi dengan alat cacah WBC dan pengukuran contoh urin dengan spektrometer-γ, diperoleh hasil bahwa radionuklida

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.. Menguak Tabir

Pada penelitian ini peneliti menggunakan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan pembelajaran menggunakan media pembelajaran program Festo Fluidsim pada mata

Android 5.0 Lollipop for Samsung Galaxy S5 is currently available for users in However, Samsung has released the Note 4 user manual for the updated rich (3),cara update get rich

Komposisi Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah 6 Composition of Deposit Fund of Islamic Banks1. Gambar

20 Selama 1 bulan terakhir, seberapa besar kesehatan fisik atau masalah emosional menghalangi aktivitas sosial anda yang normal bersama keluarga, teman, tetangga atau