• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM DZIKIR

A. Pengertian Dzikir

2. Dzikir Jahr (Keras)

67

Kata mursyid berarti orang yang menunjukkan jalan yang benar. Kata mursid berasal dari bahasa Arab, arsyada yang berarti memeberi petunjuk. Kata mursid ditemukan di dalam al- Qur’an, misalnya dalam QS. Al-Kahfi [18]:17:

˸Ϧ˴ϣ ˶Ϊ˸Ϭ˴ϳ ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ ˴Ϯ˵Ϭ˴ϓ ˶Ϊ˴Θ˸Ϭ˵Ϥ˸ϟ΍ ˸Ϧ˴ϣ˴ϭ ˸Ϟ˶Ϡ˸π˵ϳ ˸Ϧ˴Ϡ˴ϓ ˴Ϊ˶Π˴Η ˵Ϫ˴ϟ Ύ̒ϴ˶ϟ˴ϭ ΍˱Ϊ˶η˸ή˵ϣ

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allâh Swt..., maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin yang dapat member petunjuk kepadanya).”

Peranan mursyid atau syaikh terhadap murid sangat penting. Menurut Abû Hafs Syihâb al-Din al-Suhrâwardi (539-632 H/1140-1234 M), tokoh Tarekat Suhrawardiyah dalam bukunya Awârif al-Ma’ârif, bahwa syaikh adalah khâlifah Nabi Muhammad saw., karena ia mewakili Nabi Muhammad saw. menyeru manusia kepada Allâh Swt. Karena itu, kedudukan manusia di kalangan kaum sufi sangat tinggi dan luhur. Posisi yang mulia ini diperoleh para sufi, karena mereka menanmkan rasa cinta dan pengabdian kepada-Nya. Mursyid atau Syaikh membimbing muridnya mensucikan hati. Hati yang suci akan terpancar cahaya ketuhanan (nur Ilâhi ) dan mendapatkan ma’rifah yang menyebabkan ia mendapatkan keuntungan. Lihat, Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, “Mursyid,” dalam Ensiklopedi Tasawuf, jilid. III, T-Z (Bandung: Angkasa, 2008), h. 896.

68

Secara harfiah, ma’rifah berarti pengetahuan. Dalam kajian tasawuf, ma’rifah maksudnya ma’rifat Allâh Swt. (pengetahuan tentang Tuhan). Ma’rifah mulai banyak diperbincangkan dalam lingkungan para sufi pada aba ke III H, setelah adanya gagasan bahwa ma’rifah itu tiga macam atau memiliki tiga macam tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah ma’rifah yang dicari dan diharapkan oleh calon sufi. Itulah ma’rifah hakiki atau ma’rifah sufiah. Orang yang memiliki ma’rifah hakiki itu disebut arif billâh ., orang yang mengenal atau mengetahui Allâh. Lihat, Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, “Mursyid,” dalam Ensiklopedi Tasawuf, jilid. III, T-Z (Bandung: Angkasa, 2008), h. 896.

Dzikir jahr (keras) adalah mengingat Allah dengan bersuara. Sang dzakir (orang yang berdzikir) hanyalah seorang dzakir parsial manakala dzikirnya dilakukan dengan bersuara. Dzikir jahr dinamakan juga dzikir lisan. Untuk menjadi seorang dzakir menyeluruh, setiap anggota tubuh, setiap sel, harus tenggelam dan mengingatnya.

Sementara, sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir dengan suara keras lebih utama. Nabi Muhammad saw. memuji orang yang awwâh (secara harfiah, orang yang mengucapkan ah, ah!), yakni bersuara keras dalam dzikirnya, bahkan ketika orang lain melarangnya. Imam Ahmâd meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir:

ϦΑ

ϲϠϋ

Ϧϋ

Ϊϳΰϳ

ϦΑ

ΙήΤϟ΍

Ϧϋ

ΔόϴϬϟ

ϦΑ

ΎϨΛ

ϰγϮϣ

ΎϨΛ

ϲΑ΃

ϲϨΛΪΣ

Ϳ΍

ΪΒϋ

ΎϨΛΪΣ

ήϣΎϋ

ϦΑ

ΔΒϘϋ

Ϧϋ

ΡΎΑέ

:

Ϫϧ΍

ϦϳΩΎΠΒϟ΍

ϭΫ

Ϫϟ

ϝΎϘϳ

ϞΟήϟ

ϝΎϗ

ϢϠγϭ

ϪϴϠϋ

Ϳ΍

ϰϠλ

ϲΒϨϟ΍

ϥ΍

΍ήϴΜϛ

ϥΎϛϪϧ΍

ϚϟΫϭϩ΍ϭ΃

˯ΎϋΪϟ΍

ϲϓϪΗϮλϊϓήϳϭ

ϥ΁ήϘϟ΍ϲϓϞΟϭΰϋ

Ϳήϛάϟ

“Nabi Muhammad saw. bercerita tentang seorang pria bernama Dzu al- Bijadain, “innahu awwâh” (orang yang sering mengatakan ah). Ini karena dia adalah orang yang banyak berdzikir dengan membaca al-Qur’ân, dan dia meninggikan suaranya ketika berdoa.”69

Hadis-hadis yang berbicara tentang permasalahan ini dapat

dikompromikan dengan mengatakan bahwa hal tersebut berbeda sesuai perbedaan individu dan keadaan. Barang siapa takut akan hasrat pamer, atau takut bacaannya dapat mengganggu orang lain, maka yang lebih utama baginya adalah berdzikir dengan suara lirih. Akan tetapi, jika dia takut akan hasrat pamer dan bacaannya tidak akan mengganggu orang lain, maka yang lebih utama baginya adalah

69

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Uqbah bin Amir. Lihat, Abû ‘Abdullâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asâd al-Syaibâni. Musnad Ahmad bin Hanbal, bab Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhniy, (Beirut: Dâr al-Hadits, 1995), juz. 4, h. 159.

berdzikir dengan suara jelas. Dalam Hakekat Tasawuf karya Syaikh Abdul Qâdir Isa dikatakan, “Berdzikir dengan suara keras di dalam masjid tidak dilarang,70 agar kita tidak termasuk ke dalam firman Allah,

˵Ϫ˵Ϥ˸γ΍Ύ˴Ϭϴ˶ϓ˴ή˴ϛ˸ά˵ϳ˸ϥ˴΃

˶Ϫ͉Ϡϟ΍˴Ϊ˶ΟΎ˴δ˴ϣ˴ϊ˴Ϩ˴ϣ

˸Ϧ͉Ϥ˶ϣ˵Ϣ˴Ϡ˸χ˴΃˸Ϧ˴ϣ˴ϭ

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang- halangi menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid?.” (QS. Al- Baqarah: [2] 114).

Pada dzikir Jahr disuarakan dengan tekanan keras, dimaksudakan agar suara dzikir yang kuat dapat mencapai rongga batin mereka yang dzikir, sehingga memancarlah “nûr dzikir dalam jiwanya. Gerakan dzikir di ulang-ulang dengan irama yang makin lama semakin cepat, di bawah pimpinan seorang Syaikh atau imam. Penganut tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, diajarkan dzikir nafî isbat, kalimat dzikir yang tidak mengakui semua Tuhan-Tuhan dan menetapkan pengakuan kepada Tuhan Allah yang satu tunggal. Dzikir ini diucapkan dalm bentuk jahr.71

Dzikir jahr memiliki nilai atau berpengaruh pada kesucian jiwa, bila dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (a) dzikir diajarkan melalui proses talqin72 dari seorang mursyid, (b) dilakukan dalam keadaan suci, (c)

70

Syaikh Abdul Qâdir Isa. Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hal. 104.

71

Totok Jumantoro, dan Samsul Munir Amin, “Dzikir Jahr” dalam Kamus Ilmu Tasawuf (T. tp: Amzah., 2005, h. 40-41.

72

Kata talqin menurut bahasa berasal dari fi’il mâdhi (kata kerja masa lalu) laqina yang berarti telah mencerdaskan, telah memberikan pemahaman, atau telah menjadikannya masuk akal. Selain itu, laqqana-yulaqqinu-talqin juga berarti membimbing atau menasihati seperti membimbing seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat agar ia menyimak dengan baik kemudian dapat menirukannya dengan benar. Di dalam tasawuf dan tarekat, talqin adalah mengambil pelajaran dari seorang guru guna mengokohkan kalimat al-Taqwa, yakni kalimat Ilaha Illallâh., tiada Tuhan selain Allah di dalam kalbu.

˸Ϣ˵Ϭ˴ϣ˴ΰ˸ϟ˴΃˴ϭ ˴Δ˴Ϥ˶Ϡ˴ϛ ϯ˴Ϯ˸Ϙ͉Θϟ΍

“….. dan Allah mengokohkan kalimat takwa ke dalam kalbu orang-orang beriman….” (QS. Al-Fath [48]: 26).

dilakukan dengan suara yang kuat, (d) teknis pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad saw. yang disampaikan oleh seorang mursyid kepada muridnya.73

Dalam versi Ensiklopedi Tasawuf pun dijabarkan, yang disusun oleh Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, dzikir dapat berpengaruh terhadap kesucian jiwa jika dilakukan dengan (a) diniatkan untuk diri dan beribadah kepada dengan tujuan mencari kerelaan, cinta, ma’rifah kepada-Nya, (b) sebaiknya dilakukan dalam keadaan memiliki wudhu, (c) dilakukan di tempat dan suasana yang menunjang kekhusyukan, (d) berusaha memahami makna yang terkandung dalam lafal dzikir itu dengan sebaik-baiknya, (e) berusaha menghayati makna ucapan dzikir itu dan meresapkannya ke dalam hati, (f) mengosongkan hati dan ingatan dari segala sesuatu selain Allah, (g) berusaha mewujudkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ucapan dzikir itu dalam sikap hidup kita, dan (h) menjadikan dzikir sebagai aktifitas harian.74

C. Keutamaan dan Manfaat Dzikir

Apapun yang kita lakukan, secara jasmani hendaknya kita mengikuti jalan yang lurus. Perbuatan mengikuti jalan yang lurus. Perbuatan mengikuti jalan yang lurus ini hanya dapat dilakukan dengan cara mematuhi dan memelihara

Menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jailâni, talqin dzikir dalam tasawuf dan tarekat, hanya akan relatif dengan syarat mengambilnya dari seorang guru yang kalbunya telah takwa secara sempurna, yakni terpelihara dari lupa atau lalai dari mengingat Allah Swt., serta suci atau bersih dari dari segala sesuatu selain Allâh . Lihat, Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, “Talqin,” dalam Ensiklopedi Tasawuf, jilid. III, T-Z (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1254.

73

Totok Jumantoro, dan Samsul Munir Amin, “Dzikir Jahr” dalam Kamus Ilmu Tasawuf (T. tp: Amzah., 2005, h. 40

74

Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, “Dzikir,” dalam Ensiklopedi Tasawuf, jilid. III, T-Z (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1507.

syarî’at agama. Oleh karena itu, setiap orang hendaknya sadar dan senantiasa mengingat Allah (dzikrullâh), di waktu siang dan malam, baik secara zahir maupun batin. Bagi mereka yang memandang hakikat (yaitu Allah), dzikrullâh adalah wajib hukumnya atau tidak boleh ditinggalkan. Mengapa harus meninggalkannya, padahal ia adalah sumber ketenangan hati dan jiwa?

Dzikir merupakan amalan ringan yang memiliki banyak keutamaan. Selain itu, membiasakan dzikir dalam setiap gerak langkah kehidupan, dapat membawa perubahan yang sangat besar bagi siapa saja yang menjalankannya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “…tidak diragukan bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi dan perak. Dan alat pembersih hati adalah dzikir. Dzikir dapat membersihkannya, sehingga dia menjadi seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir maka hatinya akan berkarat. Dan apabila dia berdzikir, maka hatinya akan bersih. Berkaratnya hati disebabkan oleh dua perkara, yakni lalai dan dosa. Dan yang dapat membersihkannya juga dua perkara, yakni istighfâr dan dzikir. Barang siapa lalai dalam kebanyakan waktunya, maka karat di hatinya akan menumpuk sesuai dengan tingkat kelalaiannya. Apabila hati berkarat, maka segala sesuatu tidak tidak tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Dia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran, dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Sebab, ketika karat hati itu bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar sebagaimana

adanya…”75

Apabila karat hati bertumpuk, maka hati menjadi hitam dan pandangannya menjadi rusak, sehingga dia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat

75

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Al-Wâbil wa al-Sayyib wa Râfi’ al-Kalim al-Thayyib (T. tp: Dâr ‘Ilm al-Fawâid, t.t), h. 92.

mengingkari kebatilan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan mengikiuti hawa nafsu. Keduanya menghilangkan cahaya hati dan membutakannya,76 Allah berfirman:

Ύ˱σ˵ή˵ϓ˵ϩ˵ή˸ϣ˴΃

˴ϥΎ˴ϛ˴ϭ˵ϩ΍˴Ϯ˴ϫ˴ϊ˴Β͉Η΍˴ϭΎ˴ϧ˶ή˸ϛ˶Ϋ˸Ϧ˴ϋ

˵Ϫ˴Β˸Ϡ˴ϗΎ˴Ϩ˸Ϡ˴ϔ˸Ϗ˴΃˸Ϧ˴ϣ

˸ϊ˶τ˵ΗΎ˴ϟ˴ϭ

“Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti nafsunya dan keadaannya melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).

Menurut Imam Abû Qâsim al-Qusyairi, “…Dzikir adalah lembaran kekuasaan, cahaya penghubung, pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan yang benar dan bukti akhir perjalanan menuju Allah Tidak ada sesuatu setelah dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk kepada dzikir dan bersumber darinya...” Dia juga berkata, “…Dzikir adalah unsur penting dalam perjalanan menuju al-Haqq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dia tekun dalam berdzikir....”77

Sedangkan Ibnu Atha’illah di dalam karyanya Miftâh al-Fallâh wa Misbâh al-Arwâh mengatakan: “…Dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus menerus bersama Allah. Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya, salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah...”78

76

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Al-Wâbil wa al-Sayyib wa Râfi’ al-Kalim al-Thayyib. (T. tp: Dâr ‘Ilm al-Fawâid, t.t), h. 92.

77

Abi al-Qâsim Abdul Karîm bin Hawâzin al-Qusyairi. Risâlah al-Qusyairiyyah (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 256.

78

Ibnu Athâillah al-Sakandari. Miftâh al-Fallâh wa Misbâh al-Arwâh (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyyah, t. t), h. 5.

Banyak sekali hadis -hadis yang menjelaskan tentang manfaat berdzikir kepada Allah. Di antaranya:

˸Ϧ˴ϋ

˴ϖ˴Τ˸γ˶·

ϲ˶Α˴΃

˸Ϧ˴ϋ

˵ϥΎ˴ϴ˸ϔ˵γ

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

͈ϱ˶Ϊ˸Ϭ˴ϣ

˵Ϧ˸Α

˶Ϧ˴Ϥ˸Σ͉ήϟ΍

˵Ϊ˸Β˴ϋ

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

˳έΎ͉θ˴Α

˵Ϧ˸Α

˵Ϊ͉Ϥ˴Τ˵ϣ

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

ϲ˶Α˴΃

ϰ˴Ϡ˴ϋ

˴Ϊ˶Ϭ˴η

˵Ϫ͉ϧ˴΃

˳Ϣ˶Ϡ˸δ˵ϣ

ϲ˶Α˴΃

͋ή˴Ϗ˴΄˸ϟ΍

˴Γ˴ή˸ϳ˴ή˵ϫ

͋ϱ˶έ˸Ϊ˵Ψ˸ϟ΍

˳Ϊϴ˶ό˴γ

ϲ˶Α˴΃˴ϭ

͉Ϡϟ΍

˶ϝϮ˵γ˴έ

ϰ˴Ϡ˴ϋ

΍˴Ϊ˶Ϭ˴η

Ύ˴Ϥ˵Ϭ͉ϧ˴΃

˶Ϫ

˴Ϗ˴ϭ

˵Δ˴Ϝ˶΋Ύ˴Ϡ˴Ϥ˸ϟ΍

˸Ϣ˶Ϭ˶Α˸Ζ͉ϔ˴Σ

Ύ͉ϟ˶·

˴Ϫ͉Ϡϟ΍

˴ϥϭ˵ή˵ϛ˸ά˴ϳ

˳ϡ˸Ϯ˴ϗ

˸Ϧ˶ϣ

Ύ˴ϣ

˴ϝΎ˴ϗ

˵Ϫ͉ϧ˴΃

˴Ϣ͉Ϡ˴γ˴ϭ˶Ϫ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ

˵Ϫ͉Ϡϟ΍

ϰ͉Ϡ˴λ

˵Δ˴Ϥ˸Σ͉ήϟ΍

˸Ϣ˵Ϭ˸Θ˴ϴ˶θ

˵ϩ˴Ϊ˸Ϩ˶ϋ˸Ϧ˴Ϥϴ˶ϓ

˵Ϫ͉Ϡϟ΍˸Ϣ˵ϫ˴ή˴ϛ˴Ϋ˴ϭ˵Δ˴Ϩϴ˶Ϝ͉δϟ΍

˸Ϣ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˸Ζ˴ϟ˴ΰ˴ϧ˴ϭ

“Tidak ada satu kaum pun berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengitari mereka, rahmat akan melingkupi mereka, kedamaian akan turun kepada mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.”79

Dzikir kepada Allah akan melahirkan kecintaan dan loyalitas (al- Mahabbah) sebagai ruh Islam, ujung tombak agama. Karenannya, dapat diraih kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki. Allah telah menjadikan sesuatu ada

sebab-sebabnya. Dia menjadikan sebab al-Mahabbah dengan melanggengkan

dzikir. Barang siapa ingin meraih cinta Allah, hendaknya senantiasa mengingat- Nya. Karena ia adalah sebuah pelajaran dan pengingat. Sebagaimana ia adalah pintu dari berbagai ilmu.

Dzikir pun akan melahirkan sifat al-Murâqabah (perasaan selalu di awasi oleh Allah Swt.) sehingga akan memasukkannya ke pintu Ihsân. Maka, ia akan beribadah kepada Allah seakan ia melihat-Nya. Orang-orang yang lalai tidak akan sampai kepada derajat Ihsân.Sebagaimana orang hanya duduk-duduk tidak akan sampai ke rumahnya. Orang yang berdzikir akan menjadikan seseorang semakin dekat dengan Allah. Semakin banyak seseorang berdzikir , semakin dekat pula

79

Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahak al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi (Beirut: Dâr al-Fikr, 2004), bab. Mâ Ja’â fi qaum yajlisûn fayadzkurunllâh Azza wa Jalla, juz. 4, h. 232.

jaraknya dengan Allah. Sebaliknya, semakin lalai seseorang dari mengingat Allah, maka semakin jauh ia dari Allah.

Bagi siapa saja yang berdzikir, Allah pun akan menjadikannya selalu diingat di sisi-Nya. Sebagaimana yang telah difirmankan-Nya dalam surat al- Baqarah ayat 152,

˸Ϣ˵ϛ˸ή˵ϛ˸Ϋ˴΃ϲ˶ϧϭ˵ή˵ϛ˸ΫΎ˴ϓ

“Dan ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat-Mu”. (QS. Al- Baqarah [2]:152)

Berdzikirlah mengingat Allah di setiap gerak dan gerik, setiap berdiri dan duduk, setiap berjalan dan berbaring, karena perbuatan itu menambah taqarrub atau kedekatan kepada Allah. Bukankah setiap disebut nama ‘Allah’, Allah berada bersamanya?

Firman Allah lagi:

˶ν˸έ˴΄˸ϟ΍˴ϭ

˶Ε΍˴ϭΎ˴Ϥ͉δϟ΍

˶ϖ˸Ϡ˴Χ

ϲ˶ϓ

˴ϥϭ˵ή͉Ϝ˴ϔ˴Θ˴ϳ˴ϭ

˸Ϣ˶Ϭ˶ΑϮ˵Ϩ˵Ο

ϰ˴Ϡ˴ϋ˴ϭ

΍˱ΩϮ˵ό˵ϗ˴ϭ

Ύ˱ϣΎ˴ϴ˶ϗ

˴Ϫ͉Ϡϟ΍

˴ϥϭ˵ή˵ϛ˸ά˴ϳ

˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍

˴Ϛ˴ϧΎ˴Τ˸Β˵γΎ˱Ϡ˶σΎ˴Α

΍˴ά˴ϫ˴Ζ˸Ϙ˴Ϡ˴ΧΎ˴ϣΎ˴Ϩ͉Α˴έ

˶έΎ͉Ϩϟ΍˴Ώ΍˴ά˴ϋΎ˴Ϩ˶Ϙ˴ϓ

“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk, maupun dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka!” (Ali Imrân [3]: 191).

D. Hubungan Dzikir dengan Shalat

Shalat secara etimologi berarti “doa dan pujian”80 Dalam perintah ibadah shalat, Allah menggunakan istilah iqâmah al-Salâh (mendirikan shalat). Shalat diperintahkan agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam sujud keinsyafan sedalam-dalamnya akan kehadirannya. Ketika kita mendirikan

80

shalat, berarti kita sedang menuju ke pintu Allah. Shalat diibaratkan sebagai suatu perjalanan rohani, karena semua gerak-gerik di dalam shalat dikontrol oleh niat yang dilafalkan ketika memulai shalat.

Allah berfirman:

ϱ˶ή˸ϛ˶ά˶ϟ˴ΓΎ˴Ϡ͉μϟ΍

˶Ϣ˶ϗ˴΃˴ϭϲ˶ϧ˸Ϊ˵Β˸ϋΎ˴ϓ

Ύ˴ϧ˴΃Ύ͉ϟ˶·˴Ϫ˴ϟ˶·Ύ˴ϟ˵Ϫ͉Ϡϟ΍

Ύ˴ϧ˴΃ϲ˶Ϩ͉ϧ˶·

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha [20]:14)

Allah menempatkan dzikir-Nya di atas shalat, yakni bahwa shalat menjadi alat dan ingatan akan tujuan,81

˶Ϧ˴ϋ

ϰ˴Ϭ˸Ϩ˴Η˴ΓΎ˴Ϡ͉μϟ΍

͉ϥ˶·

˴ϥϮ˵ό˴Ϩ˸μ˴Η

Ύ˴ϣ˵Ϣ˴Ϡ˸ό˴ϳ˵Ϫ͉Ϡϟ΍˴ϭ

˵ή˴Β˸ϛ˴΃˶Ϫ͉Ϡϟ΍˵ή˸ϛ˶ά˴ϟ˴ϭ˶ή˴Ϝ˸Ϩ˵Ϥ˸ϟ΍˴ϭ˶˯Ύ˴θ˸Τ˴ϔ˸ϟ΍

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-‘Ankabût [29]: 45)

Jelas sekali firman Allah menerangkan kepada kita bahwa tujuan dari pada Shalat adalah agar kita ingat akan Allah. Sehingga apabila seseorang mengerjakan Shalat tetapi ingatannya tidak tertuju kepada Allah maka mereka tidak dikatakan orang yang mendirikan shalat, hanya sekedar memenuhi kewajiban untuk mengerjakan saja. Orang yang mendirikan shalat adalah orang yang bisa ingat akan Allah tatkala ia mengerjakannya maupun setelah selesai mengerjakannya. Dan kemudian ingatnya ia akan Allah membias pada dirinya dari buka mata sampai tutup mata.

81

Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Remembrance of Allah and Praising the Prophet, vol. 2 (United States of America: al-Sunna Foundation of America), 1998, h. 3.

Seseorang yang shalat, berkonsentrasi menyebut-nyebut nama Allah, berdoa dan dan berdzikir, maka dalam diri seseorang akan terpancar gelombang- gelombang ruhani menuju alam ketuhanan (Allah). Adanya gelombang penyatuan ini, maka seseorang akan mampu melihat hakikat kenyataan dan selalu mendapat petunjuk Tuhan (hidayah).

Setelah mendirikan shalat pun, kita dianjurkan untuk tetap senantiasa mengingat Allah dalam setiap gerakan kita, sebagaimana diperintahkan dalam firman-Nya:

΍˴Ϋ˶Έ˴ϓ˸Ϣ˵Ϝ˶ΑϮ˵Ϩ˵Ο

ϰ˴Ϡ˴ϋ˴ϭ΍˱ΩϮ˵ό˵ϗ˴ϭ

Ύ˱ϣΎ˴ϴ˶ϗ˴Ϫ͉Ϡϟ΍΍ϭ˵ή˵ϛ˸ΫΎ˴ϓ

˴ΓΎ˴Ϡ͉μϟ΍

˵Ϣ˵Θ˸ϴ˴π˴ϗ΍˴Ϋ˶Έ˴ϓ

˴ΓΎ˴Ϡ͉μϟ΍΍Ϯ˵Ϥϴ˶ϗ˴΄˴ϓ

˸Ϣ˵Θ˸Ϩ˴ϧ˸΄˴Ϥ˸σ΍

Ύ˱ΗϮ˵ϗ˸Ϯ˴ϣΎ˱ΑΎ˴Θ˶ϛ˴Ϧϴ˶Ϩ˶ϣ˸Ά˵Ϥ˸ϟ΍ϰ˴Ϡ˴ϋ˸Ζ˴ϧΎ˴ϛ

˴ΓΎ˴Ϡ͉μϟ΍͉ϥ˶·

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat mu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya Shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 103).

47

Dokumen terkait